Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 28 Agustus 2018

daur ulang pertama: MENGARUNGI USIA MUDA

Daur ulang kedua

MENGARUNGI  USIA MUDA YANG AMAN BAGI DIRI SENDIRI,  DAN  MASYARAKAT SELURUH NEGARA.

Masa muda adalah masa yang sangat penting bagi yang bersngkutan  terutama bagi masyarakat dan Negara ini.

Orang muda,diatas usia 17 tahun sudah mampu mengerjakan secara fisik pekerjaan orang dewasa, yang usianya diatas-nya 5-10 tahun. Tapi beda umur ini juga membedakan kemampuan kemampuan befikir analitis secara rasional dan tenang, jauh dari harapan yang melonjak lonjak, sering berakibat buruk bagi orang lain.

Keguncangan yang hebat masyarakat Indonesia setelah Presiden Sukarno digulingkan, sangat mempegaruhi masyarakat secara kuas, sering sampai tidak diperkirakan, sebab dilaksanakan dengan terror masal terutama di pulau Jawa di tahun 1965.

 Anggauta masyarakat tersingkirkan sampi meliputi 20 % dari  total penduduk. Diamankan selamanya, ditawan tanpa proses, dibuang ke pulau Buru, dan dirumahkan –  korban paling besar dikalangan petani yang mendapat bagian tanah Pabrik Gula, tana bekas milik Belanda,   Yang dibantai adalah masyarakat pedukung bung Karno yang dicap  Komunis, baik dari Nasionalis maupun Agama,   sebenarnya Presiden Sukarnolah yang di-incar, sebab  berani melawan neokolonialisme Amerika Serikat, membangunkan Masyarakat Dunia non Blok.

Bagain paling pahit ini harus saya tulis, kerena  mereka yang telah usia kawin pada saat  pengusiran pendukung Bung karno  selama 35 tanun orde baru sudah berananak pinak, meskipun dalam kesulitan ekonomi dan hidup tidak normal, sebagai warga disisihkan karena penyakit kusta.

Banyak yang mengalami keguncangan jiwa hebat  dalam kehidupan  bermasyaraknya, bahkan  akibatya banyak anak anak mereka yang sekarang berusia 23 -48 tahun yang mengalami keguncangan jiwa dan menderita psichosis – pschichopati, tanpa disadari.

Beda di masyarakat yang sudah tua dan maju, yang telah lama menapaki industrialisasi.

Disana dinamikan social hampir tedak mempengaruhi nafkah seseorang,  asal mau bekerja.

Di masyarakat  jajahan yang baru merdeka,  ada stigma, hanya satu jalan saja untuk mencari nafkah cukup buat hidup layak – memanjati jenjang social dengan ijazah.  Ini betul suastu blunder Nasional.

Padahal Islam mengajarkan empat dari lima jalan mencari nafkah adalan berdagang. Tapi sudah menjadi anggapan umum berdagang adalah kurang formal.

Sedangkan nasib mereka yang disisihkan dengan keluarganya akan kehilangan jalan mencari nafkah.

Di AS pun pernah terjadi hal yang sama di tahun 50 han : Mc Carty- isme, seorang senator yang sangat fanatic anti komunis, merajalela memburu para simpatisan komunis di AS, sehingga setiap  orang bisa  dicurigai sebagai Komnis. Masyarakat yang jadi gempar  ( belum oleh FBI) jadi simpatisan gerakan keadilan  terhadap ketimpangan masyarakat AS saja, seperti rasialisme yang sangat tajam terhadap ras dan warna kulit sudah di cap komunis dan disisihkan. Tapi jual burger dipinggir jalan  masih cukup buat nafkah.

Keguncangan jiwa yang hebat menjangkiti :

Putra putri pejabat 

Putra putri  seniman

Putra putri akar rumput

Karena orang tuanya disisihkan bahkan ditahan,  diamankan selamanya oleh Penggarap tanah Pemerintah,  selama zaman Jepang, jaman perang kemerdekaan, 8 tahun. Kok  dibagikan pada para sialan ini patani tak bertanah, tanpa memperhitungkan mereka yang telah 8 tahun menggarap dengan para santrinya, ya tidak heran kemudian jadi algojo.

Kemudian selama 35 tahun Orde Baru berkuasa, Putra Putri Kiai pun mendapat perlakuan yang miring  dari Penguasa Orde baru.

Banyak yang tepincuk jadi kepala gang anak muda, meskipun panggilan seharfi harinya “gus” tidak diacuhkan oleh sistim. Dan frustasi berat.

Pajabat jaman orde baru tidak bisa  merunut rel moral yang wajar dari masyarakat dulu, melainkan harus menyenangkan atasan  yang berkuasa  mutkak atas anggaran. Sedang para juniornya sudah terlanjur konsumtive tak terkendali. Bahkan putra putri seorang  mayor jendral  menjadi walikota pensiunan ABRI, juniornya sudah  pada usia kawin malah tidak survive tanpa dukungan finansial yang tidak sedikit setiap bulannya, maklum yang dipilih sebqgai istri ya artis ataau perqgqwa paling sedikit selebrriti lah. Jadi tentu saja keuangan harus didukung oleh orang tuanya, belum sampai ke posisisi Ponco Sutowo, atau Tomy misalnya, KEDUDUKAN AYAHNYA SUDAH CUPUP BUAT MENCARI SPONSOR PATUNGAN YANG SANGAT MENGUNTUNGKAN OLEH KKN. Putra putri eselon dibawahnya jadi Pribadi yang tertekan,  menderita psichosis dan menjadi psichopat tanpa maunya

Putra seorang  Kiai terkenal dari darah biru dengan pangglan “gus” mempunyai pesantren besar, terpincuk  pergaulan dengan    gang  sangat boros,  dijadikan  Kiai Pondok modern dikawinkan tambah menjadi jadi akhirnya menderita gangguan pscichosis bipolar disorder  akhirnya cuma jadi tukang omde (omong gede ) merugikan orang sekitarya.

Dari keluarga seniman kenamaan, menyandang nama keluarga besar dari seniman itu,  meskipun sang  seniman jadi sasaran  kekejaman Orde Baru, tanpa  katrolan  sang kepala ‘gilda’, yang  sudah di pulau Buru, mencari jalan sendiri berakhir  sebagai penderita pschichosis  – maka  terkecohlah  yang menjadi korbannya  -omde -  merespond  kicauan pschichopatnya, tragicomik yang tidak lucu.

Kebetulan tulisan saya di blog  google yang jadi sasaran, semoga para pembaca maklum. Blog ini tidak akan jadi buku, sebab kuwajiban saya terhadap masyarakat saya, sudah saya penuhi dengan blog ini saja, semoga.

Sampai ke derajad tukang batu. Para juniornya masih bisa kejangkitan pschichosis ini. Tapi untungnya mereka tidak sempat jadi  penderita pschichosis karena tidak sempat menggunakan otaknya. Dan tidak kurang  penting gilda mereka   masih utuh, tidak tersentuh Orde Baru, sehingga bila anggauta keluarga gilda-nya kuat, mereka mudah mencapai  jenjang tukang batu. Bukan lulus STM saja, wong ST sudah lama tidak ada..

Mengaduk semen pasir sampai puluhan tahun, para junior dari akar rumput ini,  melayani para tukang bangunan. Mereka diakui setingkat kepiawaiannya mendapat pengakuan dari seniornya,  sampai mereka  beruntung    mendapat  bos atau mendapatkan bowheer yang mempercayainya memainkan cetok dan kasut.

 Saya baru tahu dan mengerti antidote dari gejala kejiwaan ini,  untuk mereka yang diatas  dari jenjang akar rumput. Yaitu  menekankan kebiasaan membaca buku buku apa saja, dan kesempatan membedahnya dengan para pandega yang sabar dan hidup bebas, tanpa ganjelan psichosomatik, tapi bernaluri perjuangan membela rakyat kecil, akan sangat  dalam terkesan dilubuk jiwanya dan jadi antidote keguncangan jiwa. Itu saja*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More