yang ini copy paste yang lain coba buka you tube dengan judul yang sama
Marsinah
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini membutuhkan lebih
banyak catatan
kakiuntuk pemastian. Bantulah memperbaiki artikel inidengan menambahkan
catatan kaki dari sumber yang
terpercaya. Tulisan yang tidak dapat diverifikasi akan
dipertanyakan serta dapat disembunyikan ataupun dihapus sewaktu-waktu oleh
Pengurus.
|
Marsinah, seorang Pejuang
HAM dan Penggerak Buruh Indonesia
Marsinah (lahir di Nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun)
adalah seorang aktivis dan buruh pabrik Jaman Pemerintahan Orde Baru, berkerja
pada PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timuryang diculik dan kemudian
ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang
selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun
Jegong, desa Wilangan dengan tanda-tanda
bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat
dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar
jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen
Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah
tewas akibat penganiayaan berat.
Daftar isi
Awal tahun 1993, Gubernur
KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi
himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya
disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti
tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan
PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan
resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan
upah dari Rp1700 menjadi Rp2250.
Marsinah adalah salah
seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain
terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah
teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi
buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total
mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok
dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari mereka
perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan
tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif
bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan.
Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei,
tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando
Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan
diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan
masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8,
keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim
Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai
penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit
Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den
Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS
ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku
Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami
siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian,
akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan
terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu
telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi
ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah
dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa
lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi
Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan
Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Tahun 1993,
dibentuk Komite Solidaritas Untuk
Marsinah (KSUM).
KSUM adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang
ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis
buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KSUM melakukan berbagai aktivitas untuk
mendorong perubahan and menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian
perselisihan perburuhan. Munirmenjadi salah seorang
pengacara buruh PT. CPS melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan
PT. CPS Porong atas pemutus hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat
kodim sidoarjo terhadap 22 buruh PT. CPS Porong yang dianggap sebagai dalang
unjuk rasa.
·
Kisah Marsinah ini kemudian diangkat
menjadi sebuah film oleh Slamet Rahardjo, dengan judul "Marsinah (Cry
Justice)" (imdb.com). Film berbiaya sekitar
Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah
munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta
pemutaran film itu ditunda.
·
Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi
keroncong senior Mus
Mulyadimeluncurkan
album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini diciptakan oleh komponis MasGat untuk mengenang
jasa-jasa Marsinah.
·
Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal
dari Jakarta bernama Marjinal, menciptakan sebuah lagu
berjudul Marsinah, yang didedikasikan khusus untuk perjuangan Marsinah. Lagu
ini dibawakan sekaligus dalam 2 albumnya, yaitu album termarjinalkan dan album terbaru
mereka bertajuk predator, masing-masing dalam
versi yang berbeda.
Pada 26 November 1997 malam, pentas drama
monolog Marsinah Menggugat oleh Ratna Sarumpaet dan Teater Satu
Merah Panggung di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJ), Jl.
Gentengkali, Surabaya, dilarang pihak kepolisian. Sebelumnya pentas sudah dilakukan
di tujuh kota, terakhir dua hari sebelumnya pentas tersebut sukses di Malang.
Pentas ini digelar oleh panitia pertunjukan dari Korp Puteri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri PMII).
Sebelumnya pihak panitia
melayangkan surat pemberitahuan ke Polda Jatim pada 12 November 1997. Menurut Petunjuk
Pelaksanaan (juklak) POLRI yang dikeluarkan oleh KAPOLRI, pertunjukan
kebudayaan semacam teater atau drama, tidak memerlukan izin, hanya
pemberitahuan. Surat izin pemakaian gedung juga sudah dikeluarkan Taman Budaya
Jatim tertanggal 20 November 1997.
Pukul 15.00 WIB, pihak
panitia diminta menemui langsung Kasat IPP di Polwiltabes.
Pukul 16.00, pintu
ditutup aparat dan dijaga ketat. Mereka yang datang untuk menonton Marsinah
Menggugat, dilarang masuk.
Sekitar pukul 19.00, para
peonton sudah berdatangan. Mereka bergerombol di depan pintu masuk ditutup dan
dijaga beberapa petugas. Sementara Ratna Sarumpaet dengan beberapa panitia
tetap bertahan di panggung pertunjukan. Ia bersikeras tetap di tempat itu sampai
jadwal sewa gedung untuk pertunjukan selesai, pukul 23.00 WIB.
Pukul 19.20 Ketua PMII
Jawa Timur dan Ketua Panitia Kegiatan dengan didampingi beberapa aktivis FKMS
bernegosiasi dengan aparat untuk meminta izin masuk, tetapi gagal.
Sekitar pukul 20.00, Ratna
meminta maaf kepada penonton yang datang bergerombol di depan pintu. Ratna
dengan memanjat pagar, mengucapkan maafnya dan kemudian menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
Sekitar pukul 21.00,
penonton yang tidak bergeming, mulai dihalau petugas. Pengamanan pintu TBJ
ditambah dengan puluhan Polisi Unit Reaksi Cepat (URC) Polwiltabes, Satuan
Perintis Polresta Surabaya, Brimob, dan beberapa aparat dari KODAM V Brawijaya
serta sejumlah besar satuan intelejen.
Setelah penonton pulang,
sekitar pukul 23.00, Ratna bersama panitia keluar dan terus dikawal petugas.[2]
1. ^ Report in which the
committee requests to be kept informed of development - Report No 318, November
1999
Kasus
peradilan terkenal Indonesia
|
|
Marsinah · Munir Said Thalib
|
|
Menu navigasi
·
Belum masuk log
Lainnya
Pencarian
Komunitas
Wikipedia
Bagikan
Cetak/ekspor
Perkakas
Bahasa lain
·
Teks tersedia di
bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons;
ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih
jelasnya.
0 comments:
Posting Komentar