Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 06 Agustus 2011

PENDIDIKAN MENURUT PENGAMATAN SAYA

 Ada dua faktor yang harus ada, yang dididik dan yang mendidik, yang dididik adalah  junior dan yang mendidik adalah senior.
Kenapa ?
Yang jelas junior harus tahu tentang “bahaya” dan “mencari makan”. 
Manusia termasuk berkecenderungan menyampaikan keahliannya tentang organisasi masyarakatnya sekaligus menyampaikan keahlian menurut bakat individu masing - masing ke juniornya. Yang jelas pendidikan junior sebenarnya adalah dalam rangka mempertahankan species. 
Dari satu generasi ke generasi yang lain selama ribuan tahun, dari bapak ke anak dari ibu ke gadisnya, dari yang tua dan berpengalaman kepada setiap yunior, begitulah yang terjadi, sampai ada pendapat mengenai bakat dan kecenderungan untuk bertani, yang berdagang, mencari ikan dan sebagainya. Sedangkan apa yang terjadi adalah pemberian estafet dari senior ke juniornya  yang merupakan kesinambungan secara terus-menerus sepanjang zaman, sampai pada suatu saat apa yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dan tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan, kecuali bila diproduksi secara massal, maka ada pembagian kerja yang rinci, ada pengajaran untuk setiap keahlian yang diberian oleh yang ahli, yaitu pendidikan massal.
Dalam bahasa Jawa ada “kagunan” dan ada “pangawikan” kesemuanya artinya ilmu, tapi yang pertama berarti ilmu terapan dan yang kedua berarti ilmu yang dari alam yang dimengerti kepastiannya oleh manusia, sebab orang Jawa sudah mengerti sebab dan akibat (karmapala)  sudah mengerti dua hal yang  berlawanan dan tak terpisahkan (im dan yang)  sudah mengerti hubungan antara pertumbuhan dan perkembangan (wis tibha titiwancine), “kebetulan dan keharusan” misalnya bila lalu lintas di kota kota  se -semrawut sekarang yang menderita kecelakaan lalu lintas pasti banyak, itu kepastian,  lah yang celaka itu siapa  itu kebetulan , dan banyak lagi gejala alam yang menjadi hukum semesta. Persolannya sekarang, kenapa pendidikan senior kepada junior itu dituntut dengan beaya yang sangat tinggi ?
Persoalannya bukan di anggaran Pemerintah saja dan tidak sederhana. Bayangkan, guru-guru harus berpenghasilan sama dengan pegawai Bank paling murah seorang Kepala Cabang satu Bank swasta atau Pemerintah.
Betapa tidak, satu Kepala Cabang suatu Bank tentu saja harus jujur tidak ada se-sen pun uang bank yang tidak cocok dengan pembukuan bank dan tidak ada nasabah yang dipilih meleset karena suap, malah sebagian bank memindah kepala cabangnya secara berkala, agar tidak ada kenalan atau saudara yang diberi hutang dengan nilai agunan asal-asalan, atau perusahaannya senin kemis nafasnya karena suatu hal diberi kredit, harus tahu benar prospek ekonomi wilayahnya terutama individu si pemohon hutang baik formal atau informal.
 Satu Guru apalagi seorang Kepala Sekolah, benar-benar  memelihara “the real currency of a nation” yaitu nilai generasi yang akan datang, jasmani dan rokhaninya, kagunan dan pangawikannya – juga posture dan kebiasaan  kerja yang teratur, mengerti beda antara benar dan salah, kreatif patuh pada aturan, artinya berbudi pekerti baik, mempunyai harga diri dan sebagainya. Ibadah pada Agamanya, berbadan sehat, untuk ditempatkan di seluruh Nusantara.    
Lho kalau Bank, cabangnya di seluruh Nusantara termasuk BRI di setiap Kecamatan ndak ada yang merugi bila bukan karena policy Pusatnya. Karena itu menurut saya Pendidikan dan Pelajaran ya sama dengan dengan bank-bank, di setiap kecamatan ada SMU/SMK, malah di setiap Desa ada SD Negeri atau beberapa Desa satu SD. Kuantitanya melebihi Bank Negri dan Swasta jadi satu, yang kalah tentu kualitasnya. Kenapa kualitas Pengelola bank-bank setiap cabang lebih unggul dari pengelola satu sekolahan.  Yang jelas kepala cabang dan staf nya bank-bank Negri maupun Swasta lebih berpembawaan mantab ketimbang Kepala Sekolah atau Guru-Guru ? Apa karena duit yang ada di Banknya kan bukan miliknya ? Apa karena pendidikannya ? Kiranya mereka saling mengungguli secara fisik pegawai Bank laki-laki maupun wanita harus mempunyai “pleasant personality” harus cukup cerdas (indext prestasinya  minimum 3,00 – yang enggak segitu ya jangan jadi Pegawai Bank atau Guru) begitu pula Guru masih ada lebihnya, harus bisa “sabar”, sebab ada rambu -rambunya, malah kalau di Bank tekanan kepada kesabaran minim, yang lebih diperlukan kosentrasi, bila lagi ngitung uang itu saja, jadi tetep setara kan ?
Cuma hasil kerjanya beda, uang yang beredar harus “spread positive” (bunga pinjaman  plus ongkos administasi lebih tinggi dari bunga simpanan plus administrasi ) jadi kekayaan Bank, di Pendidikan hasilnya langsung beredar  di ketertiban masyarakat, kemajuan teknologi, seni dan budaya - tidak bakal dirasakan, di dayaguna masyakat- yang menjalani tidak merasa, bangsa lain sangat merasakan, itu saja bedanya.
Ini saja belum cukup untuk membahas kenapa  ongkos pendidikan yang resmi atau tidak resmi meroket.
Menurut sejarahnya, kita -warga-yang berumur lebih dari 60 tahun mengalami bahwa ada SGB (Sekolah Guru B) menerima murid dari SD/SR pendidikan selama 4 tahun sekolahnya di asrama dengan fasilitas komplit diberi ikatan dinas, ada SGA (Sekolah guru A) dengan fasilitas yang sama, kemudian ada SGPD, STM dan SPMA (Sekolah Guru  Pendidikan Jasmani, Sekolah Tekhnik Menengah, Sekolah Pertanian Menengah Atas) menerima murid dari SMP, juga diberikan ikatan dinas  masih ditambah dengan Pengerahan Mahasiswa untuk mengajar di SMA yang seharusnya dari B 1, dan Sarjana Pendidikan Guru ( Fakultas Pedagogi ).
Kemudian entah oleh Menteri dari Pemerintahan  Orde Lama atau Orde Baru, SGB dihapus, SGA diganti dengan SPG dan bersekolah membayar makin mahal, uang gedung, uang duduk,  uang buku pelajaran yang setiap tahun diganti baru,  uang training angklung, uang pembayar alat drum band, uang tabungan yang dipecah dengan gurunya setiap tahun dll, tidak mungkin makin sedikit.
Karena tahap pertama mulai tahun lima puluhan ikatan dinas diberikan kepada SGB, SGA dan SGPD, maka sekolah ini menjadi favorit dari golongan  ber- income rendah – terutama anak anak buruh tani dan Petani kecil di Pedesaan, di mana budipekerti sudah berganti lambat laun jadi  “the might is right” yang kuat (di pedesaan) adalah yang benar,  dari zaman penjajahan sampai sekarang. Bisa dibayangkan bila falsafah ini merasuki bidang pendidikan.(Silahkan baca di blog ini dengan judul “Problem social di pedesaan P. Jawa”).
Dulu pada zaman Hindia Belanda guru-guru dicetak oleh Pemerintah dari anak-anak mereka yang berpenghasilan tetap dan cukup atau petani yang tanahnya luas. Seperti juga semua sekolah dasar Pemerintah, ya mahal, lain dengan Sekolah Swasta Taman Siswa misalnya, bayarnya ya seadanya. Kecuali Sekolah “Ongko Loro” (angka dua-jawa) yang didirikan Pemerintah Penjajahan untuk rakyat pedesaan, lama pendidikan dua tahun, mungkin untuk mencetak para Mandor, yang harus bisa sekedar baca tulis huruf latin dan berhitung sederhana, tentu saja Sekolah 'Ongko Loro 'didirikan dekat pabrik gula, perkebunan kopi dan karet bukan di desa yang jauh dari usaha perkebunan. Lulusan Sekolah 'Ongko Loro' bisa jadi Mandor ! Luar biasa, makanya sekolah adalah obsesi orang di pedesaan.   
Kira kira lima belas tahun sesudah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia  th 1950 hingga 1965 Republik ini mempunyai Guru- Guru yang baik, dan tidak bayar.
Dari Sekolah Rakyat - 6 tahun, SMP- 3 tahun dan SMA- 3 tahun dididik oleh guru-guru yang non cooperative dengan Belanda selama Perang Kemerdekaan, yang ber-cooperative dengan pendudukan Belanda  ditaruh di Kantor PDK naik pangkat sulit.  Beliau-beliau ini meskipun mendapat pendidikan Belanda, tapi khusus pendidikan guru waktu itu sangat memperhatikan kualitas manusia sebab Belanda juga lebih tidak senang kalau  pendidikan guru-guru Pribumi maupun Belanda totok, menghasilkan lulusan-lulusan yang berbudipekerti  dan harga diri yang rendah, atau malah korupsi waktu di- recruit jadi pegawai apa saja di era Hindia Belanda. Guru-guru hasil pendidikan Republik yang diajar oleh guru -guru berpendidikan zaman penjajahan yang non-cooperator sebagian besar tewas dibantai pada tragedi 1965, sisanya, hidup diatur oleh menteri yang Orde Baru merencanakan pendidikan untuk  jadi “karyawan” industri  hilir (mencetak dan membungkus – setengah buta hurufpun bisa ) dan harus “meneng, manut, mangan,”( makanya SMA diubah menjadi SMU biar tidak “kemoncolen” atau mentang-mentang, sebab ini terjemahan langsung dari Bahasa Belanda  HBS : Hoogere Burgere School – Pendidikan Tinggi untuk para Burgers - Warga yang terhormat – yang lain dari AMS (Algebruid Midelbaare School) – untuk kaum Pribumi  dan Indo,  yang lebih murah, terjangkau oleh Pribumi,  terjemahannya SMU, (rupanya untuk kedudukan para Penyelia), istilah “buruh” dihapus, diganti dengan karyawan supaya si Lulusan SMU tidak kikuk jadi buruh srabutan.
Kepala Sekolah zaman Orde Baru lebih banyak bergiat di Kantor Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten, di luar sekolah untuk memenangkan Golkar. Kata kuncinya oleh penguasa siapa saja di jaman apa saja adalah :“biarkan yang mencari kekayaan dengan korupsi, nanti toh kamu dapat giliran dan kaya”, akibatnya banyak gedung sekolah yang roboh dalam waktu yang singkat, iuran murid makin merajalela.
Kata kuncinya oleh penguasa siapa saja di jaman apa saja (bisa parpol apa saja): Sekarang biar saya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, besok kan kamu dapat giliran,  adaptasi dari pandangan hidup yang  “the might is right” - Jawaban parpol lain : "sementara kau jadi pimpinan saya, apapun benar, besok toh giliran saya" - Oalah dasar. ! (*)














0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More