CATATAN INI ADALAH INGATAN SERTA KISAH BERDASARKAN SAKSI MATA ANAK BERUMUR HAMPIR TUJUH TAHUN.
Anak itu adalah saya sendiri. Masa akhir penjajahan Jepang di Indonesia pada tahun 1945, saya, Subagyo, sudah bersekolah di Sekolah Rakyat zaman Nipon. Saya lahir pada tahun 1938.
Biasa, sekolah gratis sudah diajari nulis Jepang.
Sampai sekarang saya masing ingat tulisan katakana – “yama” yang artinya gunung.
Nyanyi di samping 'Kimigayo' lagu kebangaan Dai Nippon Taikoku, juga Umi Yu Kaba yang menlancholik.
Ada nyanyian yang di Jepang sekarang dilarang, waktu saya berkunjung ke Tokyo tahun 1980 saya ditegur oleh teman satu anak muda Jepang, saat saya melagukan syair : "Isimo ciwa…asahi tomo ete…", bilangnya, "Jangan nyanyi gitu Pak Bagyo itu nyanyan fasis". Lha itu dulu tahun 1945 yang diajarkan Jepang pada anak sekolah di Surabaya.
Waktu tahun 1945 itu, kepala saya digunduli bukan niru Nipon, oleh kakek saya, tapi banyak borok di kepala he.. he.. he. Kalau nggak salah saya berpakaian celana pendek dari kain seadanya, dan hem dari kain mekao/belacu (kain katun kasar sampai sekarang dipaki untuk karung terigu).
Artinya tidak pakai hansop atau baju “monyet” yaitu baju tanpa lengan, kerah hanya lubang, di belakang tengkuk diberi celah untuk kaki dan badan masuk, diberi kancing satu. Bagian atas ini dijahit selingkar celana tarzan, di bagian pusar dijahitkan kantung besar. Ini pakaian seragam anak anak sampai kelas III-IV, yang bukan untuk sekolah, nama Inggrisnya “long John” kata anak saya.
Saya lupa, bahwa mereka yang dilahirkan tahun sesudah penyerahan kedaulatan th 1949-1950 yang sekarang umurnya sudah 62 tahun pasti tidak tahu ada baju “seragam” umum untuk anak kecil seperti ini.
Cuma pada zaman itu, anak kelas satu Sekolah Rakyat (SR) yang dibawa dari rumah hanya “gerip” yakni alat tulis dari batu lei, dan potongan lidi untuk berhitung. Gerip yang baru panjangnya sejengkal, dan diameternya lebih kecil dari pensil, lebih besar dari gagang lidi.
Pada waktu itu, sisa gerip yang panjangnya beberapa centimeterpun berharga, kami gunakan dengan menyambung dengan ranting bamboo.
Setiap saat alat tulis dari batu lei ini harus diasah di pemukaan semen yang agak kasar, Tempat mengasah ter-favorit adalah bibir got air cucuran atap sekolahan, supaya runcing.
Gerip ini dituliskan datas “sabak” dibuat dari lembaran batu hitam yang lunak berbingkai kayu-batu lei ini di import dari Jerman, sudah ada sejak zaman Nederlands Indie. Sekarang saya mengerti, lembaran batu ini asalnya sediment lumpur hitam yang berlapis-lapis.
Diambil setebal kira-kira 5 mm, “papan” batu lei ini dijadikan alat untuk belajar menulis dan menggambar, panjangnya dua jengkal orang dewasa dan lebarnya sejengkal, ini milik sekolah, tidak dibawa pulang.
Di batu lei ini atau sabak ini (yang jarang utuh karena tidak tergantikan, oleh suasana Perang Dunia II), semua anak sekolah belajar menulis, berhitung dan menggambar dengan alat ini.
Saya lahir dan tinggal di Surabaya, saya jalan kaki dari Jalan Juwet pinggir pojok barat daya lapangan depan Gelora Tambaksari, sampai Sekolahan di jalan Pacar Keling dekat kuburan Cina, cukup jauh jalan kaki.
Seingatku, meskipun depan rumah sewa keluargaku di jalan Juwet ada sekolahan, tetapi dipakai oleh Nipon untuk asrama calon Heiho.
Alhamdulillah, selama saya dalam perjalanan ke sekolah dan dari sekolah, ternyata saat saat akhir Dai Nipon, menjelang kalah, tidak pernah ada serangan udara Sekutu, tapi waktu di sekolah, dalam kelas, sering.
Saya ingat kami digiring ke lubang perlindungan yang diberi atap anjaman bamboo supaya tidak panas, dari sela-sela anyaman ini saya lihat dengan jelas pesawat berbadan dua, ternyata kemudian namanya pesawat tempur P-40, pesawat tempur Amerika yang dipakai menggempur pertahanan Nipon, menukik kearah utara, arah Pelabuhan Ujung, pangkalan Angkatan laut Nipon.
Aku ingat saat itu tanggal 15 Agustus 1945, dan Hirosima dan Nagasaki telah di bom atom dan kemudian Nipon menyerah kepada Sekutu. Saat itu keluargaku tidak tahu dan merasakan apa-apa, wong semua radio disegel pada gelombang Propaganda Perang Nipon.
Tapi dua hari kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 saya pulang lebih pagi dari sekolah, sekira pukul 10:30, Ayahku dan Ibuku sudah ada di luar rumah, raut wajah mereka terlihat gembira luar biasa, kemudian dengan penuh kegembiraan mereka bilang kami sudah merdeka. Sontak pada tanggal 17 Agustus 1945, di Surabaya, di radio kami sudah dikumandangkan lagu Indonesia Raya, segera disusul lagu “Dari barat sampai ke Timur berjajar pulau-pulau……. ” semuanya irama mars. Rasanya senang sekai, kami anak sekolah rakyat tetap masuk sekolah, pakai lencana merah putih kecil disematkan di dada, wow... rasanya bangga sekali. Perasaan penuh nasionalisme, anak umur 7 tahun. Mungkin pembaca mayoritas, tidak merasakan apa yang saya rasakan.
Aku ingat di antara tanggal akhir Agustus 1945 itu, kakakku yang di SMP Praban pulang, dan pamanku yang di sekolah STM belakang Kantor Pengadilan juga pulang dari asramanya di Jl Tembaan. Mereka kemudian saling berbicara dengan bersemangat, dan disertai mata yang berapi-api. Yang aku tahu beberapa hari kemudian, aku lantas dibawakan oleh-oleh dari abangku berupa mainan mobil berwarna merah dan buku tulis lengkap dengan pensil berwarna cap tiga burung gelatik, diambil dari dari persediaan Sekolah di Jl Darmo yang disita Nipon.
Saat Itu baru saya tahu, gembiranya merdeka.
Sesudah itu, ingatanku kabur sedikit, terlarut dalam euphoria merdeka orang dewasa, yang saya mengerti, dijajah itu dipaksa kerja oleh Belanda, itu dari media propaganda peperangan Nipon yang sangat gencar.
Sampai sekarang aku masih ingat nyanyian propaganda Nipon yang diajarkan…. : “Awaslah Inggris dan Amerika……” sol la sol do’’ sol do\ re mi re do’’, ha.. ha.. ha.., maaf ya kawan-kawanku warga Inggris dan Amerika, karena bunyi nyanyiannya memang seperti itu.
Yang jelas abangku dan pamanku sudah jarang pulang, waktu abangku pulang, dia sudah membawa sepeda motor pakai zijspan dan berpakaian ala tentara Nipon, meskipun tidak komplit, masih celana pendek selutut dan hem putih handuk putih kecil terkalung di leher, sepatu kain sampai diatas mata kaki. Katanya padaku :
"Kami merampas dari Gudang Jepang". Kemudian tak lama pamanku juga datang ke rumah dengan membawa senapan mesin pesawat udara yang magazijnnya bundar. Senapana itu diutak-atik di rumah, dalam upaya memasang penopang untuk dipakai di darat. Mereka abangku dan pamanku itu terlihat gembira sekali. Sekarang kalau masih hidup, keduanya tentu telah berumur 80 tahun ke atas, sayangnya beliau-beliau sudah meninggal.
Pamanku pensiunan kolonel Zeni angkatan darat. Dan Abangku tertua, aku sangat bangga padanya, saat 10 November 1945, abangku, namanya Mukadi Imam (alm.), dia saat itu sudah kelas 2 SMP, lain halnya dengan anak SMP sekarang, waktu itu abangku sudah tergabung dalam kesatuan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Dan saat Surabaya dibombardir oleh sekutu karena salah paham, pada November 1945, abangku tahunya dia melawan Belanda. Kita semua di Surabaya telah diberitahu oleh Mas-mas pejuang, bahwa Belanda (Londo) mau mendarat di Surabaya. "Wah gila Belanda ini !?", pikir saya waktu itu, kalau Belanda mau mendarat lagi, jadilah kita dijajah belanda lagi. Maka wajar jika warga pribumi Surabaya ngamuk mendengar Belanda -yang sudah dihancurkan Jerman, juga sudah diremuk Jepang di Asia itu-, lha kok mau balik lagi menjajah Indonesia ?
Abangku yang TRIP ikut melawan saat meletus pertempuran 10 November 1945, sekali lagi Malaby terbunuh itu adalah kecelakaan dan kelengahan Sekutu sendiri. Situasi di Surabaya, situasi Indonesia, kan sudah panas, sekutu kurang tanggap dan kurang mengerti akan situasi psikologis rakyat Surabaya. Tahunya kami ini rakyat Surabaya, ya NICA Belanda membonceng sekutu, teko maneh (datang lagi). Baru kemudian saya ketahui karena Belanda adalah anggota sekutu yang berperang melawan Jerman, maka Belanda jelas ingin melanjutkan menjajah Indonesia, setelah bebas dari Jerman dan Jepang.
Bulan-bulan Agustus-September 1945, kami merasakan kemerdekaan dengan semangat dan kegembiraan anak-anak. Saya masih ingat di Tunjungan di hotel Yamato pada 18 September 1945, bendera mera putih biru dirobek birunya. Saya ingat ada dua bulan yaitu separo Agustus, September dan separo bulan Oktober, adalah bulan konsolidasi Tentara Keamanan Rakyat dan Badan Keamanan Rakyat, beserta embrio inti dari TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), terbentuk oleh abangku dan teman-teman-nya SMP Praban dan sebagian kecil SMT.
Ada satu peristiwa yang saya ingat, yang menimpa teman Abangku bernama Dumadio Adhi, dia gugur di pagar tembok rendah SMA 2 Surabaya di jalan Sedap Malam di pojok timur, tertembak oleh tentara Gurkha. Saat itu di Bulan November 1945 Abangku dan TRIP Surabaya menyerbu Pasukan Gurkha yang menduduki HBS, sekarang SMA Kompleks, dan Dumadio Adhi tertembak oleh sbiper gurkha tepat di jidadnya..
Selanjutnya kami bisa bertahan tinggal di Surabaya melewati bombardemen Sekutu dari laut darat dan udara tanggal 10 Nopember 1945.
Sebagai akibat Jendral Inggris Mallaby, tertembak di depan gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, sekutu memberi ultimatum pada rakyat Surabaya, namanya 'Ultimatum Mansergh' karena yang tanda tangan perwira Inggris bernama Mansergh, isinya : bila tidak menakluk berpakaian putih-putih sambil membawa senjatanja kosongan, pelurunya di kantong, menjerahkan diri di tempat yang ditentukan, sebelum jam 10 pagi, bila tidak Kota Surabaya akan dibombardir dari laut darat dan udara. Selebaran ditebar oleh pesawat di seputar kota, kami anak-anak berebut mendapatkannya. Juga mengoleksi selongsong peluru dari jalanan dan diberi oleh Mas-Mas laskar. Ultimatum tidak digubris oleh rakyat yang sudah percaya diri tanpa takut. Maka pecahlah pertempuran 10 November 1945 karena kami warga Surabaya tidak mau tunduk pada sekutu. Wah, kedengarannya aneh juga ya, apalagi untuk anak muda jaman sekarang ? sekutu kok dilawan ? Kan di film Holywood sekutu adalah pahlawan yang menangan ? Ya, waktu itu rakyat Surabaya tahunya melawan NICA yang ada dalam kapal perang sekutu, itu saja. Melawan Belanda pada intinya.
Mengungsi
Pada bulan Desember tahun 1945 kami sekeluarga harus mengungsi keluar Surabaya karena kota sangat genting. Surabaya sudah tidak bisa dipertahankan oleh TKR, BKR Lasykar Rakyat dan gabungan unsur Profesional bekas Heiho, serta unsur angkatan Laut, dan unsur angkatan Udara, karena Surabaya adalah pangkalan Angkatan Laut Nipon yang amat strategis, dan Polisi yang dibawah Komando Nipon kemudian dibentuk Polisi Istimewa yang ikut bertempur.
Karena gigihnya para pejuang Indonesia melawan (resistance), laskar pejuang bertambah banyak di mana-mana. Akhirnya, melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945 (hingga saat ini diperingati sebagai hari kelahiran TNI), BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada 24 Januari 1946, dirubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia.
Karena saat itu di Indonesia terdapat barisan-barisan bersenjata lainnya di samping Tentara Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan untuk mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan barisan-barisan bersenjata tersebut menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penyatuan itu terjadi dan diresmikan pada tanggal 3 Juni 1947.
Saat itu TNI unggul dalam organisasi tingkat batalion dan divisi tapi kurang personil terlatih dan berpengalaman di tingkat kompi dan regu, kemudian menyerap laskar BKR dan TKR, bukan tanpa persoalan di kemudian hari. Terutama dengan laskar-laskar yang banyak dipimpin oleh tokoh kharismatis seperti Bung Tomo, Sabaruddin, Tokoh Kiai Hisbulloh, Mat Osin, dll. Lasyka Lasykar banyak dari luar kota Surabaya, menduduki gudang peninggalan Dai Nipon dan Pabrik dengan dalih untuk Surabaya.
Malah ada laskar khusus dari Parakan yang bersenjatakan bamboo runcing yang dianggap mempunyai kekuatan magis dari seorang tokoh Kiai Parakan Jawa Tengah, kebanyakan abang-abang kita membawa karaben Nippon, melawan kendaraan lapis baja tank tank Scorpion dan Chieftain dari Tentara Inggris, berita burung saat itu menyebutkan tank raksasa.
Dari udara berseliweran si Cocor Merah atau pesawat Spitfire punya Inggris. Pertempuran frontal berbulan- bulan kemudian, untuk mempertahankan kota Mojokerto. Di lini Warudoyong-Tambakboyo sampai Tandes dengan garis pertahanan lini kedua sekitar Jetis.
Saya terkenang sosok pahlawan Surabaya bernama Pak Gumbreg seorang bekas Heiho, hebatnya Pak Gumbreg ini berhasil menembak jatuh Spitfire di front lini kedua ini. Namun pada perlawanan melawan pesawat yang kedua kali, Pak Gumbreg gugur bersama meriam anti pesawat terbangnya-Bofor, berlaras ganda, sebelum gugur Pak Gumbreg sempat menembak jatuh pesawat Spitfire. Jadi total 2 buah Spitfire rontok di tangan pak Gumbreg. Dan korban dua pesawat pemburu musuh tidak pernah terulang lagi selama lima tahun Perang Kemerdekaan. Lini ini sangat alot berkat sarang senapan mesin pillbox buatan perencana Nipon. Karena lewat jalan raya Surabaya-Mojokerto akan percuma, bahan bakar tank cukup hanya untuk 50 km, dari selatan jalan dan dari utara jalan. Lasykar dan tentara Republik di selatan dan utara belum di mopping up dari Para Republiken yang mempertahankan lini ini. Akhirnya seki5tar bulan Desember, garis perahanan sepanyang tTandes sampai Warudortong rntuh sebab pada malam hari puluhan tank mafibi Inggris lewst Kedurus turun ke sungai Mas ( cabang singai Brantas yang lerat kota Surabaya) malam malam melayari kalo Mas dari sana mudik, hingga percabangan kali brantas di Mlirip, naik lewat darat tepat dibelakang gari pewtahanan rsngksisn pillbox ( sarang senapan mesin berat) dari Warudoyng sampai ke Benowo yang diuat Jepang. Situaisi ini membuat Pasukan petahanan compur aduk di garis petahana pillbox ini terbuka di dari belakang, membuat laskar laskar yang bertahan segera mundur lewat utara atau selatan sunga Mas, dan Molokerto menjadi terbuka lebar lewat jalan besar Mujukerti Krian, tanpa takuk tetjebak untuk melayani logosdtik penetrasi tentara Belanda. Operasi amfibi ini jarang diceritakan oleh para sejarawan, karena selama kekuasaan Orde Baru jendral Suharto, front sSurabaya diusahakan dilupakan, karena dapat mewnyramkan jasa TNI di Palagan Ambarawa yang hanya satu pencegatan majunya pasukan Belanda saja.
Di lain front Selatan Sungai Porong, karena Sidoarjo sudah dianggap tanpa pertahanan. Belanda malah mendarat lewat Bangil, di seberang selatan sungai Porong, blunder besar dari TNI bagian Artileri berat, peralatan howitzer dan meriam buang (istilah rakyat) untuk kanon berat tinggalan Dai Nipon malah diundurkan ke kawasan cul de sac Pandaan Tretes. Terpaksa dibumihanguskan. Tentara Kerajaan Belanda terus ke Lawang, dari Bangil.
Berkat dukungan bahan makanan dari abangku, pamanku dan ayahku yang mencari sisa-sisa gudang gudang tentara Nipon yang bukan tanpa resiko kepergok tentara Gurkha, mereka meskipun jarang pulang tapi selalu mengirim ke rumah, terutama beras dan banyak ransum kering tentara Nipon.
Pengungsian dilakukan senja dengan kereta api yang diberangkatkan dari Stasiun Wonokromo, Stasiun lain di Gubeng dan Semut atau Sidotopo sudah tidak mungkin, karena sering jadi ajang pertempuran, kereta pengungsian menuju ke Mojokerto.
Yang saya ingat pengungsian kami sekeluarga dimulai senja dari Tambak Sari pakai truck, dengan wanti-wanti tidak usah membawa barang banyak-banyak, sebab kita mengugsi hanya seminggu, sepanjang perjalanan senja kota Surabaya menjadi sepi. Truck yang kami tumpangi menghindari patroli tank Belanda Inggris yang tak tertahankan. Tank Belanda-Inggris itu cuma takut terhadap tentara berani mati yang memanjati tank dan memasukkan granat dari lubang intai Tank.
Sepanjang jalan banyak toko Cina tutup tapi masih mengibarkan bendera merah putih dan bendera China Nasionalis. Pemerintah Cina Nasionalis Kuomintang adalah termasuk dalam Komisi Tiga Negara yang membantu Indonesia merdeka yang pertama, dengan Australia dan Amerika Serikat.
Aku jadi teringat saat kami di pengungsian dari Mojokerto trus Ke Pare dua bulan trus Ke Madiun empat bulan, berakhir di Solo dari awal th 1947. Melewatkan pertentangan bersenjata oleh Muso, yang gembong PKI, berakhir dengan dibantainya seluruh PKI juga Muso oleh Pemerintah yang Pemrakarsa Perundingan KMB, sebab Muso tidak menyetujui perundingan ini yang menuju kompromi dengan Belanda, sampai aksi penyerbuan Belanda yang mereka namakan aksi Polisionil ke II berakhir dengan perundingan KMB tahun 1949.
Dengan habis-habisan dalam harta benda dan daya tahan, akhirnya tahun 1950 kami sekeluarga pulang ke Surabaya dengan tambah adik kami dua orang perempuan, saya naik kelas enam, masih menumpang di rumah Paman yang lain yang jadi Kepala Stasiun Wonokromo, di Jl Gunungsari no 20 tidak ada yang tercecer dalam pengungsian selama 5 tahun dengan kekurangan pangan dan penderitaan bathin dibandingkan keluarga yang tetap ada di Solo, artinya tidak mengungsi kemana-mana. Selama di Madiun dan Solo, ayahku jadi Pegawai BPPGN (Badan Pembagian dan Penjualan Gula Negara), yang karena gula dalam gudangnya habis dicuri oleh Bapak Kepala BPPGN namanya Bapak Danu dan atasannya seorang Menteri di Yogyakarta, berlindung di bawah Gubernur Militer Solo, mereka kompak waktu itu, bapakku harus bertanggung jawab dan tanpa pengadilan masuk penjara Gladak Solo.
Namun ayahku kemudian dilepaskan di Karang Pandan sebelum penyerbuan aksi Polisionil Belanda ke II th 1949. Tahun 1950 kami balik ke Surabaya.
Epilog
Hatiku masih serasa teriris oleh sembilu bila mendengan lagu “Surabya o Surabaya ditahun empat lima ……kami berjuang menyabung nyawa..”
Mengingat tanggal 10 Nopember 1945 dihapus dari hari besar Nasional entah karena apa, sedangkan satu hari saja di Yogya tanggal 3 Mei 1949 dibesar-besarkan dibuatkan monument Nasional, di Ambarawa dibikin monunen Palagan. Aku sangat setuju monument itu semua untuk pelajaran generasi mendatang, tapi jangan sekali-kali menghapus dari sejarah apa yang terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, kotaku dengan menghapuskan dari arti Nasional seperti yang dibuat oleh Penguasa Orde baru, diprakarsai oleh Doktor Sejarah. Nugroho Notosusanto, kualat lho.
Pejuang Kemerdekaan yang tidak bergabung terus dengan TNI, diangkat jadi Veteran Pejuang Kemerdekaan dengan pangkat seperti ketika masih remaja berjuang di Surabaya dan bergerilya, sedangkan yang terus berdinas dengan pangkat yang pasti lebih tinggi dihargai lebih dari koleganya yang memilih kehidupan sipil sesudah Perang Kemerdekaan, perlakuan yang sangat dibuat buat untuk meremehkan upaya rakyat. Sebab Perang Kemerdekaan hanya terjadi sekali selama Republik ini masih merdeka.
Memang ada beda approach perlawanan bergerilya di Jawa Tengah terutama Solo Yogya dengan perlawanan bergerilya di Jawa Timur. Tapi ada persitiwa di Wlingi pernah ada upacara di Markas Tentara Belanda dibuat kocar-kacir oleh tembakan meriam 88mm Banteng Blorok, tanpa tertangkap meriamnya oleh pengejarnya yaitu pasukan Belanda yang lengkap dengan pesawat intai dan artileri berat.
Di Jawa Timur tidak pernah gerilya membuat ajang pertempuran di kota-kota, melainkan di tempat penghadangan yang jadi urat nadi ekonomi. Buktinya, tidak ada perkebunan yang bisa operasional karena angkutan hasil yang tidak terjamin keamanannya oleh gerilya.
Pernah terjadi, setelah beberapa tahun Penyerahan Kedaulatan, seorang Menteri Kabinet RI ditolak menginap di Hotel Simpang kalau ndak salah Menteri Mr. Iskak. Rupanya penolakan itu untuk menyepelekan Republik ini yang dilakukan oleh Manager Hotel yang orang Belanda Totok. Hasilnya, Hotel itu langsung dibuat porak-poranda oleh para pemuda pelajar yang mendengarnya. Pesannya jangan macam-macam di Surabaya, kotanya Pahlawan.
Pola Pemerintah Orde Baru mengecilkan perlawanan Rakyat dibandingkan dengan yang dibuat oleh ex didikan Nipon yang tergabung dalam Peta adalah pola memecah-belah dan tidak berdasar, karena PETA pun membutuhkan Rakyat.
Sampai sekarang Negeri ini, Pertahanan Negara tidak dilakukan oleh para wajib militer, tapi oleh profesional militer, banyak militer yang sangat profesional dan baik di mata rakyat. Tapi masa Orla dan Orba menunjukkan bahwa militer sangat piawai terhadap perimbangan kekuatan, gampang kasak-kusuk membuat ulah kudeta kek, berontak kek, politisasi korupsi kek, yang berakhir dengan kompromi dengan temannya sendiri.
Ayahku almarhum bernama Kusno, beliau dulu adalah Pegawai Swasta (Klerk Kantor Notaris) jaman Belanda yaitu Mr. Theodore Vermeulen. Bukan ayahku tidak nasionalis, tapi dengan bekerja sebagai clerk untuk orang Belanda, ayahku jadi banyak tahu tentang cara Belanda mengatur pertanahan di Indonesia. Jaman Jepang ayahku nganggur, Ibuku membatik dan mewarna kembali kain batik yang sudah luntur dimakan usia, jaman Jepang masih keren dipakai kembali, wong kain mori bahan baku kain batik sudah hilang dari pasaran.
Jika ada pertanyaan ; "Kok ikut mengungsi sampai lima tahun membela apa ? Ikut Belanda di daerah Pendudukan kan pasti dapat rumah gedung dan penghasilan yang baik seperti Meneer Liem yang lulusan HCS (Hollandsche Chineesen Scool) yang dipekerjakan oleh BPM th 1947 di kilang aspal Wonokromo hingga Uni Indonesia Belanda dibubarkan th 1953 ?"
Jawaban Pertama : Ternyata kata "Merdeka!" yang ditegaskan Bung Karno telah mengilhami beliau, untuk tidak terpisah mendukung secara moral abang saya yang akan berjuang di fihak Republik di daerah Republik, mulai 17 Agustus 1945 umurnya belum 16 tahun yang teman-temannya bilang dia anak pemberani dan tegas. Dia dijemput teman-temannya dari Akademi Militer di Prambanan, tahun 1946 antara lain oleh mas Gatut Kusumo alm. ayah menganjurkan dia masuk ke akademi militer karena masih sangat muda usia.
Kedua:. Anak-anak bapakku banyak ada 8 anak waktu itu, hanya bisa disekolahkan bila Indonesia Merdeka, bila kembali terjajah Belanda, hanya anak para priyayi saja yang mampu bersekolah seperti di zaman Ayahku. Ayahku hanya lulus Sekolah Pertukangan Ambach School, bisa dapat gaji lumayan setelah ganti profesi bekerja di kantor Notaris, dia hafal hukum waris cara Islam, diperlukan di kantor Notaris yang Belanda, karena banyak kenalan akrab beliau yang bangsa Arab dan Islam, lebih mantap dengan Klerk yang memberikan banyak alternative, daripada dengan Notarisnya, misalnya soal hibah harta sebelum meninggal kepada anak perempuan yang disayang, yang nanti bila sang ayah keburu meninggal, akan dapat waris sedikit saja,. Ternyata akta hibah Notariat ini dibenarkan Hukum Islam dan Hukum Negara, rupanya Arab di Indonesia telah berubah dari Arab aslinya, yang menganut adat partriarchaat murni, artinya waris terutama pada garis keturunan lelaki, sedang hukum adat Jawa dan Minang matriarchaat murni, waris terutama sawah jatuh ketangan gari keturunan perempuan.
Orang seperti almarhum abang saya, menjadi korban kesewenangan komplotan orang pencari kesempatan, komplotannya lebih gampang menyatu dengan sejenisnya kuat dalam segala hal, selau lemah dalam satu hal “moral”. Komplotan ini melampaui batas Negara. Negara Adhi Kuasa yang membagi pil anti nurani, bangga membunuh teman sendiri, sebangsa heroin dalan saat konflik kayak di Negara Negara Arab sekarang.
Orang pencari keempatan, tidak menghiraukan Hukum Pemerintah dan Hukum Pegaulan yang sopan, dan melecehkan Hukum Allah. lebih berhasil selama perjuangan untuk kemerdekaan akan berlanjut lama. Sebab sudah diramal oleh Pujangga Jawa Raden Ngabehi Roggowarsito dalan Serat Kalatidha : ….. "Hing jaman kena musibat, wong hambeg dyatmika konthit", artinya : di jaman kena kutuk musibah, orang berwatak ksatria sejati didorong ke sudut. Abangku kemudian keluar dinas tentara dan memilih menjadi Guru. Sampai wafatnya tahun 1990-an abangku adalah pensiunan Guru.
Tulisan ini yang merupakan kesan orang dewasa diilhami dari buku karangan Mas Radjab Gani yang konon dari bagian Kesehatan TRIP mulai dari Surabaya, kemudian pembicaraan saya dengan Mas Gatut Kusumo alm. tokoh kesenian Surabaya ketika masih hidup, sayang bukunya sudah hilang, mengenai sejarah kawan-kawannya TRIP Jawa Timur yang ditempa waktu lahir di Surabaya seperti Jabang bayi Tutuka. Kemudian lewat kawah Candradimukha Revolusi Kemerdekaan menjadi anggauta Brigade TNI ke 17, TRIP Jawa Timur yang sekarang pasti bukan anggauta Veteran RI, karena semua sudah wafat sebagai Prajurit sejati, semoga amalnya diterima Allah, kesalahannya sewaktu hidup diampuni Allah. (*).
(Oleh: Ir Subagyo, M.Sc (74); teriring doa keselamatan kubur untuk almarhum abangku Mukadi Imam, pejuang TRIP, yang memberitahukanku bahwa arti hidup berjuang melawan penjajah itu adalah lebih baik, daripada diam mencari selamat-tapi dijajah terus, pesannya singkat :"Dijajah itu ga enak Dik Bag, Merdeka...!")