Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 13 Agustus 2012

HAK PENJAJAHAN YANG MENYAKITKAN INI DINAMAKAN HAK “EX-TERRITORIAL”



Hak Penjajahan yang sangat menyakitkan hati para Nasionalis pernah ada dan masih ada terus di pojok-pojok dunia yang dikuasai oleh sebuah “kekuatan adi daya” hingga sekarang.
Tinggal  merunut kepada siapa kekuatan ini berpihak. Maka keberuntungan berpihak pada mereka.

Di sini tidak dipersoalkan pikiran sehat, kemanusiaan, keadilan bagi semua orang dsb. Pokoknya satu kelompok dilindungi  “kekuasaan adi daya”, dan pihak lain ditindas di tempat dan waktu yang sama.

Keberadaan hak ex-territorial yang sangat “melegenda” ada di kantong-kantong wilayah di mana orang asing berkelompok untuk melakukan pekerjaannya, bertempat tinggal dan berkarya, tanpa campur tangan administrasi dari Penguasa setempat secuilpun. Hukum di lokasi itu dijalankan oleh Penguasa yang mewakili Negara yang mendapatkan Hak Ex-Territorialnya dari Penguasa Negara Terjajah.
Contohnya di Kekaisaran China dan Republik China sebelum Perang Dunia I.
Hampir seluruh Perwakilan dari Negara-negara Europa waktu itu berdagang dengan China. Mereka tinggal di wilayah China, tapi penegak hukum China tidak mempunyai kekuasaan terhadap mereka kaum expat yang tinggal di kantong-kantong Ex-Territorial ini.

Banyak Penjahat dan Komprador orang China  berlindung di kantong-kantong ini, yang membuat aturannya sendiri. Itu terjadi dulu di Negara China, yang terjadi sebelum Perang Dunia I, apa lacur itu juga terjadi di wilayah jajahan, di mana orang asing (expat) atau warga kaya mendirikan perkebunan-perkebunan besar puluhan ribu hectare, tempat ditanam berbagai tanaman budidaya misalnya kelapa sawit, kopi, tebu, karet, sampai sekarang.

Bayangkan, kedaulatan Negara hanya dijalankan dan terwujud oleh Pegawai atau petugas Negara yang pangkatnya dan wewenangnya kecil di pelosok, di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit atau tebu yang luas, dan memiliki semua infrastrukture yang ada di wilayah itu. Zaman Penjajahan Belanda dulu, bahkan rumah dinas Administrateur Perkebunan Kopi, di bagian belakang rumah itu ada kamar tahanan dengan jeruji besi ! Anda bisa bayangkan.
Bayangkan juga, lahan 75 ribu Ha selama 25 tahun dikuasai oleh 'Raja Putri Uang' Sang Hartati Murdaya yang juga Pembina Partai diberikan oleh Bupati Buol Sulawesi bagian Timur (Harian Surya 9/8/2012), tentu saja seluruh Bhumi dan pantai yang masih perawan dengan uang suap 3 miliar rupiah saja. Bayangkan hanya 7,5 juta untuk duapuluh lima tahun per-meter persegi ! Atau 300 rupiah per-tahun per-meter persegi, untuk hak yang secara praktis merupakan hak Ex-Territorial.
Bagaimana Pemerintah Daerah Bupati Buol “menancapkan amanah kedaulatan rakyat”  terhadap pemakaian dan pembangunan fasilitas umum yang diadakan pada areal seluas ini ? Kecuali tersandera pemakaiannya oleh “Hak Guna Usaha” yang dibuat atas rekomendasi Bupati Buol sendiri yang selingkuh dengan Pengusaha, sehingga terus terang mengkhianati Pemerintah RI yang menjadi majikannya ?
Tidak mengada-ada bila di tengah-tengah areal seluas itu ada tambang emas atau nickel misalnya, atau di wilayah garis pantainya ada pasir besi atau dikembangkan untuk pariwisata ?  Bukankah aturan-aturannya di ciptakan oleh Satpam Perkebunan ?
 Sebagai contoh yang mudah, Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh Perkebun Tebu Jatiroto di Jawa Timur, merupakan areal tanah dantara Jalan Klakah - Randu Agung -Tanggul, sebagai batas Utara, di Timur jalan dari Tanggul ke Pantai Selatan Gumukmas, batas Selatan adalah Pantai Selatan, batas Barat adalah Yosowilangun-Lumajang. Wilayah teraebut dulu merupakan Hak Guna Usaha Perkebunan Tebu Jatiroto, yang sekarang di dalamnya terdapat beberapa Kecamatan, masih ada tanah hak milik Penduduk, hutan Negara, pantai milik Negara, jalan dan Jembatan milik Negara, yang bisa digunakan rakyat banyak.
Itu di Pulau Jawa, lha di Sulawesi, di Lampung lain lagi. Pengusaha sekaliber Sang Hartati Murdaya, pengusaha sekaliber Sang Artalita, mampu membersihkan areal itu menjadi massive seluruhnya di bawah “Hak Guna Usaha” nya, tidak secuilpun dimiliki orang lain. Andaikata ada sumber air memancar dari Bhumi di sana, maka si pemilik Hak Guna Usaha berhak melarang orang meminumnya. Begitu pula bila ada pohon mangga tumbuh dan berbuah matang, si pemilik Hak Guna Usaha akan berhak melarang orang memetiknya, atau memungut buah-buah yang masak dan jatuh, konon terjadi di lahan Hak Guna Usaha lahan Tebu yang massive di Lampung.
Sedangkan menurut budaya kita, orang orang se-kualitas mereka-mereka itu, di wilayah seluas Kabupaten, akan juga menguasai  potensi dagangan bernilai ekonomi yang lain menurut watak perangainya yang serupa Rahwana, yang ternyata pasti mengabaikan kepentingan masyarakat, misalnya membuat sarang kemewahan perjudian dan prostititusi yang namanya diganti “Entertainment and Resort centre” yang “exclusive”, seperti di Tanah Genting Kra,  pun bisa.
Uang tiga miliar rupiah, bisa membikin buta siapa saja.
Daya tarik Pengusaha sebangsa Hartati Murdaya dan Artalita atau Anggodo Wijaya, hubungan dengan mereka,  memang termasuk azas banking prudences dari Bank Bank Pemerintah maupun Swasta untuk memberi kredit, dengan uang rakyat.
Sedangkan -sayangnya- Bangsa ini butuh kedelai, bila rakyat mau membuka lahan baru, menanam kedelai siapa akan membantu membuka tanah ?, dan malangnya lagi, siapakah yang akan memberi Hak Guna Usaha bagi si Kecil ? 
Apalagi butuh modal untuk membeli “kapur pertanian” di sana, karena banyak tanah perawan dari pembukaan hutan yang tanahnya asam tidak cocok untuk kedelai, boro-boro membuat jalan dan jembatan, siapa menjamin kreditnya ? 
Saudara pembaca, agama Islam dan agama-agama Samawi sesungguhnya mengatur agar manusia tidak serakah, agar manusia mampu menjadi khalifah yang baik dalam mengatur Bhumi ini untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan Sang Pharaoh atau Sang Qarun. Oh iya, ngomong-ngomong, Qarun itu saking serakahnya ditenggelamkan lho oleh Alloh sendiri, Dia waktu itu turun tangan sendiri untuk menenggelamkan Qarun hingga ke dalam tanah. Dan oh iya, -sekadar mengingatkan ingatan kita, saya khawatir kita lupa- bahwa Sang Pharaoh itu juga ditenggelamkan di laut, juga oleh Dia sendiri tanpa minta bantuan siapa-siapa. 
Jadi saya sangat yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah mengantuk dan tidaklah tidur.(*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More