Buah Apel ini tumbuh berproduksi di daerah pegunungan dengan ketinggian antara 800 hingga 1500 meter di atas permukaan laut, di pulau Jawa di mana angin musson kering bertiup dari arah timur (Australia), dan pada musson barat yang basah, daerah itu merupakan lereng dengan angin yang agak kering karena terletak di bayangan hujan, dia lebih cocok. Makanya Apel tumbuh dan berproduksi lebih baik di Batu dan Poncokusumo Kabupaten Malang, dari kawasan Pujon lereng sebelah barat gunung Panderman.
Pada tahun tahun sebelum tahun 1950-han Apel sudah ada di Batu, tapi belum merupakan tanaman budidaya buah yang bisa diandalkan – merupakan tanaman buah yang tidak berarti, dan tumbuh nyaris merupakan semak berketinggian sedang ramping cabangnya banyak lurus ke atas kayak sapu lidi terbalik, orang tidak pernah memperhatikannya, karena nyaris tidak berbuah.
Ini yang saya amati mulai dari masih sekolah di SMP, saat saya berkunjung ke Famili ayah saya yang Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malang, Beliau juga mempunyai kebun jeruk di Batu. Memang tahun 1953 daerah Batu/Punten masa itu masih didominasi oleh kebun jeruk. Mulai saat itu saya tidak pernah berkunjung ke daerah itu hingga tahun 1966. Ternyata selama 13 tahun saya tidak menengok daerah Batu/Punten, Apel sudah mengalami transformasi menjadi tanaman budidaya penting untuk daerah itu, bahkan sudah merebak sampai lereng utara pegunungan Ijen (mungkin Pakistaji, Sukowono atau hulu Kali Putih ) sampai ke lerang utara gunung Welirang Pacet Desa Claket malah sudah disebut kultivarnya Rome Beauty, dan satu jenis Apel Hijau yang saya lupa nama kultivarnya. Tahun 1970 sudah ada cultivar baru yang lebih enak di Batu/Punten kayaknya mirip Golden Delicious dari Amerika Serikat yang sangat terkenal itu.
Untuk pelengkap, menurut majalah Rider Digest Apel Cultivar Golden Delicious ini berasal dari satu pohon induk, yang buahnya menang sayembara apel di Amrika Serikat dengan cepat mendominasi pasar buah Apel. Menurut Wikipedia, cultivar ini mulai muncul th 1905 di Clay County W. Virginia, sekitar th 1938 seorang Plant Breeder buah buahan Pak Colonel Bracket membeli pohon itu seutuhnya dengan harga 5000 dollar dari Pak Muller, lalu menjaga mata tunasnya untuk dikembang biakkan, bahkan di kurung dalam sangkar kawat dan dipangkas sendiri untuk menjaga pencurian entrys-nya.
Ada festival “Golden Delicious” diselengarakan di West Virginia sampai 1972 Karena Pemerintah Setempat memutuskan menjadikan cultivar ini mascot resmi th 1955.
Konon pohon induk itu hidup sampai tahun 1950.
Lho, sampai segitunya……..perhatian Pejabat Publik di sana, lha disini... Penjabat Besar Publik ikut panen padi tapi cultivarnya malah meragukan, diorbitkan oleh Penipu. Saking kebeletnya citra-nya ikut populer. Malah sampai sekarang entah dimana cultivar padi itu ditanam, apa bisa mengungguli hasil karya Breeder padi dari Balai Penelitian Resmi yang dikembangkan oleh Breeder profesional?
Memang di Indonesia hampir semua tanaman budidaya, seleksi dan breeding kalau ada, diselengarakan oleh Pemerintah, yang ya maklum dananya sangat terbatas, kecuali tanaman hias dan bunga bungaan, kesenangannya orang kaya, kebanyakan introduksi dari luar.
Kembali pada apel di Batu, rupanya dari tahun 1953 sampai 1966 ada perubahan besar mengenai pendekatan terhadap budidaya tanaman apel di Batu/Punten: Pertama; entah dimulai oleh siapa, memang sejak itu, Apel selalu disambungkan dengan batang bawah Apel kerdil (Malus micromalus ) dari China, kebiasaan yang sangat baik ini menyebabkan mudahnya orang mendapat kualitas yang seragam sebab dibiakkan dengan clone. Lha Apel kerdil ini dibiakkan dengan stek batang dan stek akar, sampai sekarang tidak ada kekurangannya.
Kedua; Apel kerdil ini menjadikan pohon apel di Batu ya kerdil, dibandingkan dengan yang tumbuh dinegara asalnya, ini menyebabkan kamungkinan semua cabang cabangnya bisa dirundukkan melengkung ke bawah sampai ujungnya menhadap tanah, dengan tali rafia.
Ketiga ; Pohon yang kerdil ini gampang dipangkas ujung ujung rantingnya dan digunduli daun daunnya sampai gundul seluruhnya.
Perlakuan digunduli daun daunnya dan dipangkas pucuknya, dan cabang cabangnya dilengkungkan ke bawah sampai tunduk ke tanah, dan digunduli daun-daunnya sampai habis, menyebabkan tunas tunas dekat ke ujung cabang tumbuh selang beberapa minggu, lho sambil mengeluarkan bunga bareng-bareng, asal air dan hara cukup, jadi bisa ditebak kapan harus dipupuk dan diairi, umumnya ya sesudah dipanen. Lha ini yang menyebabkab apel di Batu/Punten dapat dipanen dua kali setahun.
Perlakuan ke empat; Karena Apel mudah sekali terpolinasi sendiri atau polinasi silang dengan Apel lain pohon, konon di Daerah Sub Tropic oleh serangga, tapi di sini malah terjadi terlalu banyak pentil (bakal buah) yang jadi, malah mesti dikurangi higga 2 maximum 3 pentil setiap tunas, malah bisa dikurangi ulang setelah buahnya nampak terlalu banyak.
Setelah buahnya sebesar salak masak, baru harus diberi selongsong kertas semen atau satu per-satu untuk mencegah hama ngebor masuk dan mendapat warna yang baik.
Terus terang, buah Apel yang masak musim kemarau lebih alot/liat dagingnya dari yang masak diwaktu masih ada hujan.
Terus terang lagi, budidaya buah Apel sekarang sangat perlu bahan proteksi tanaman yang harganya mahal, terutama fungicida, yang diaplikasikan berkali-kali dan beberapa kali insektisida untuk mengendalikan ulat daun yang macam-macam.
Fungisida ini harus mampu mencegah kanker batang, berupa jamur sebangsa Fungi imperfectans, yang mematikan phloem cabang dan batang, juga menyerang buah, yang membekaskan penjalaran kematian jaringan secara concentric makin melebar, bila menyerang batang, begitu lingkaran batang seluruhnya sudah terinfeksi, ya seluruh bagian atas dari serangan itu lantas layu dan akhirnya mati. Meskipun menurut pengalaman saya masih bisa ditolong dengan menyambungkan dengan batang bawah baru di tempat dia ditanam tanpa menjebolnya, atau cabang air ranting yang tumbuh dari bawah serangan, kayak di-by pass, seminggu sudah berfungsi, sayang tho, wong untuk memperoleh batang berdiameter 5 cm saja perlu tiga tahun atau lebih dengan beaya tinggi..
Satu tips untuk pemula, hati-hati memberi Pupuk (N) misalnya Urea, atau ammonium Nitrate (NH3)N03, karena puput tsb gampang membuat vigor yang baik, tapi pohon sangat rentan terhadap kanker batang (bangsa Fungy imprfectans itu )
Lebih baik mengalah, memberi pupuk berimbang (agak banyak P dan K), lebih baik dengan mengganti tanah seluruh lubang tanam sebaiknya 1x1 meter sedalam 70 cm dengan pupuk kandang siap pakai kualitas baik thok, anda akan terbebas dari problem agak lama, dari pada lubang tanam yang hanya 60x60x60 cm dengan pupuk seadanya, toh tanahnya subur, iya dia hidup dengan baik tapi problem berikutnya yang perlu beaya mahal perlu dipertimbangkan.
Untuk pelengkap, menurut majalah Rider Digest Apel Cultivar Golden Delicious ini berasal dari satu pohon induk, yang buahnya menang sayembara apel di Amrika Serikat dengan cepat mendominasi pasar buah Apel. Menurut Wikipedia, cultivar ini mulai muncul th 1905 di Clay County W. Virginia, sekitar th 1938 seorang Plant Breeder buah buahan Pak Colonel Bracket membeli pohon itu seutuhnya dengan harga 5000 dollar dari Pak Muller, lalu menjaga mata tunasnya untuk dikembang biakkan, bahkan di kurung dalam sangkar kawat dan dipangkas sendiri untuk menjaga pencurian entrys-nya.
Ada festival “Golden Delicious” diselengarakan di West Virginia sampai 1972 Karena Pemerintah Setempat memutuskan menjadikan cultivar ini mascot resmi th 1955.
Konon pohon induk itu hidup sampai tahun 1950.
Lho, sampai segitunya……..perhatian Pejabat Publik di sana, lha disini... Penjabat Besar Publik ikut panen padi tapi cultivarnya malah meragukan, diorbitkan oleh Penipu. Saking kebeletnya citra-nya ikut populer. Malah sampai sekarang entah dimana cultivar padi itu ditanam, apa bisa mengungguli hasil karya Breeder padi dari Balai Penelitian Resmi yang dikembangkan oleh Breeder profesional?
Memang di Indonesia hampir semua tanaman budidaya, seleksi dan breeding kalau ada, diselengarakan oleh Pemerintah, yang ya maklum dananya sangat terbatas, kecuali tanaman hias dan bunga bungaan, kesenangannya orang kaya, kebanyakan introduksi dari luar.
Kembali pada apel di Batu, rupanya dari tahun 1953 sampai 1966 ada perubahan besar mengenai pendekatan terhadap budidaya tanaman apel di Batu/Punten: Pertama; entah dimulai oleh siapa, memang sejak itu, Apel selalu disambungkan dengan batang bawah Apel kerdil (Malus micromalus ) dari China, kebiasaan yang sangat baik ini menyebabkan mudahnya orang mendapat kualitas yang seragam sebab dibiakkan dengan clone. Lha Apel kerdil ini dibiakkan dengan stek batang dan stek akar, sampai sekarang tidak ada kekurangannya.
Kedua; Apel kerdil ini menjadikan pohon apel di Batu ya kerdil, dibandingkan dengan yang tumbuh dinegara asalnya, ini menyebabkan kamungkinan semua cabang cabangnya bisa dirundukkan melengkung ke bawah sampai ujungnya menhadap tanah, dengan tali rafia.
Ketiga ; Pohon yang kerdil ini gampang dipangkas ujung ujung rantingnya dan digunduli daun daunnya sampai gundul seluruhnya.
Perlakuan digunduli daun daunnya dan dipangkas pucuknya, dan cabang cabangnya dilengkungkan ke bawah sampai tunduk ke tanah, dan digunduli daun-daunnya sampai habis, menyebabkan tunas tunas dekat ke ujung cabang tumbuh selang beberapa minggu, lho sambil mengeluarkan bunga bareng-bareng, asal air dan hara cukup, jadi bisa ditebak kapan harus dipupuk dan diairi, umumnya ya sesudah dipanen. Lha ini yang menyebabkab apel di Batu/Punten dapat dipanen dua kali setahun.
Perlakuan ke empat; Karena Apel mudah sekali terpolinasi sendiri atau polinasi silang dengan Apel lain pohon, konon di Daerah Sub Tropic oleh serangga, tapi di sini malah terjadi terlalu banyak pentil (bakal buah) yang jadi, malah mesti dikurangi higga 2 maximum 3 pentil setiap tunas, malah bisa dikurangi ulang setelah buahnya nampak terlalu banyak.
Setelah buahnya sebesar salak masak, baru harus diberi selongsong kertas semen atau satu per-satu untuk mencegah hama ngebor masuk dan mendapat warna yang baik.
Terus terang, buah Apel yang masak musim kemarau lebih alot/liat dagingnya dari yang masak diwaktu masih ada hujan.
Terus terang lagi, budidaya buah Apel sekarang sangat perlu bahan proteksi tanaman yang harganya mahal, terutama fungicida, yang diaplikasikan berkali-kali dan beberapa kali insektisida untuk mengendalikan ulat daun yang macam-macam.
Fungisida ini harus mampu mencegah kanker batang, berupa jamur sebangsa Fungi imperfectans, yang mematikan phloem cabang dan batang, juga menyerang buah, yang membekaskan penjalaran kematian jaringan secara concentric makin melebar, bila menyerang batang, begitu lingkaran batang seluruhnya sudah terinfeksi, ya seluruh bagian atas dari serangan itu lantas layu dan akhirnya mati. Meskipun menurut pengalaman saya masih bisa ditolong dengan menyambungkan dengan batang bawah baru di tempat dia ditanam tanpa menjebolnya, atau cabang air ranting yang tumbuh dari bawah serangan, kayak di-by pass, seminggu sudah berfungsi, sayang tho, wong untuk memperoleh batang berdiameter 5 cm saja perlu tiga tahun atau lebih dengan beaya tinggi..
Satu tips untuk pemula, hati-hati memberi Pupuk (N) misalnya Urea, atau ammonium Nitrate (NH3)N03, karena puput tsb gampang membuat vigor yang baik, tapi pohon sangat rentan terhadap kanker batang (bangsa Fungy imprfectans itu )
Lebih baik mengalah, memberi pupuk berimbang (agak banyak P dan K), lebih baik dengan mengganti tanah seluruh lubang tanam sebaiknya 1x1 meter sedalam 70 cm dengan pupuk kandang siap pakai kualitas baik thok, anda akan terbebas dari problem agak lama, dari pada lubang tanam yang hanya 60x60x60 cm dengan pupuk seadanya, toh tanahnya subur, iya dia hidup dengan baik tapi problem berikutnya yang perlu beaya mahal perlu dipertimbangkan.
Tanah di dataran tinggi umumnya adalah andosol, endapan gunung api berupa debu dan pasir yang sangat muda, maklum wong dekat dengan kepundan gunung api jadi belum sempat terurai oleh jazad renik dan iklim, apalagi serangga.
Ada lagi, Mites dan Thrips yang dikendlikan dengan Miticides atau Thripsicides yang umumnya harganya mahal selalu harus tersedia, bila tidak hama ini cepat sekali menjalar dan merusak panen. Soalnya kecuali hama daun dan buah ini cepat sekali berkembang, bila udara kering kurang dari 70% kelembaban relatifnya, harganya juga mahal.
Tips untuk pemula, amati dengan interval beberapa hari, perkembangan thrips dan mites ini dengan menghitung populasinya, terutama pada saat cuaca kering. Dengan alat kaca pembesar, dari daun pada posisi yang sama, misalnya daun pada ruas ketiga, untuk seterusnya ya ruas ketiga cabang yang mewakili. Sebab hama ini kecil sekali dan selalu bergerak, sebaiknya daun itu dicepit diantara dua lembar kertas HVS putih sebaiknya yang agak hygroscopis, trus lembar kertas itu sebelumnya diberi tanggal dan jam, lokasi pengambilan sample daun, perlakuan dan consentrasinya dsb, kertas HVS rangkap yang ditengahnya ada daun yang mau diperiksa ini digiling di antara dua roller baru dari mesin ok(terbuat dari karet yang diperkeras masih rata karena belum pernah dipakai) ditekan dengan pegas, hingga hama hama yang akan dihitung itu sekiranya bisa tergencet mati.
Hasilnya ada dua lembar kertas yang ternodai oleh bangkai Thrip atau Mitesi. Yang nodanya besar betina dengan telor telornya. berwarna merah, noda merah kecil berarti hama jantan, berwarna merah muda berarti hama muda, noda coklat atau hitam berarti hama itu sudah mati sebelunya tergencet, mudah ya ?
Karena kita menghitung dengan loupe hama yang tidak bergerak.
Begitulah saya belajar mengamati mites atau thrips ini di Inggris, dari seorang Agronomist biasa yang membuat alatnya sendiri untuk mengakuratkan data lapangan sebelum aplikasi dan jam jam sesudah aplikasi miticide atau thripsicide dan memudahkan kerja.
Rupanya semua Penelitipun di sana membuat alatnya sendiri, biasa meniup kaca, mengelas dan menjahit, apalagi membuat kotak, merangkai alat electronika pun mereka mahir, di negara kita semua peneliti kebanyakan beli jadi, barang begini di sana ndak ada pabriknya, makanya penelitian sangat mahal wong beli kerajinan tangan Peneliti, karena Peneliti di sini di negara kita ini adalah kaum Priyayi, kaum Menak, mereka inilah kalangan Aristokrat baru. Gelar akademisnya saja ndak boleh ketinggalan walau di surat undangan kondangan temanten, bahkan surat kondangan sunatan sekalipun, meskipun karya ilmiahnya -maaf ya- kebanyakan- tidak semuaya lho- minim. Malah... Masya Alloh, di banyak pemakaman saya pernah lihat batu nisan yang tertera gelaran akademis dari si mayit sampai batu nisan itu tak muat. Saya yakin Malaikat Munkar dan Nakir mungkin tidak begitu concern para gelaran nama di batu nisan, saya yakin kedua malaikat itu hanya concern pada amalan perbuatan sang mayit saja.
Tips untuk pemula, amati dengan interval beberapa hari, perkembangan thrips dan mites ini dengan menghitung populasinya, terutama pada saat cuaca kering. Dengan alat kaca pembesar, dari daun pada posisi yang sama, misalnya daun pada ruas ketiga, untuk seterusnya ya ruas ketiga cabang yang mewakili. Sebab hama ini kecil sekali dan selalu bergerak, sebaiknya daun itu dicepit diantara dua lembar kertas HVS putih sebaiknya yang agak hygroscopis, trus lembar kertas itu sebelumnya diberi tanggal dan jam, lokasi pengambilan sample daun, perlakuan dan consentrasinya dsb, kertas HVS rangkap yang ditengahnya ada daun yang mau diperiksa ini digiling di antara dua roller baru dari mesin ok(terbuat dari karet yang diperkeras masih rata karena belum pernah dipakai) ditekan dengan pegas, hingga hama hama yang akan dihitung itu sekiranya bisa tergencet mati.
Hasilnya ada dua lembar kertas yang ternodai oleh bangkai Thrip atau Mitesi. Yang nodanya besar betina dengan telor telornya. berwarna merah, noda merah kecil berarti hama jantan, berwarna merah muda berarti hama muda, noda coklat atau hitam berarti hama itu sudah mati sebelunya tergencet, mudah ya ?
Karena kita menghitung dengan loupe hama yang tidak bergerak.
Begitulah saya belajar mengamati mites atau thrips ini di Inggris, dari seorang Agronomist biasa yang membuat alatnya sendiri untuk mengakuratkan data lapangan sebelum aplikasi dan jam jam sesudah aplikasi miticide atau thripsicide dan memudahkan kerja.
Rupanya semua Penelitipun di sana membuat alatnya sendiri, biasa meniup kaca, mengelas dan menjahit, apalagi membuat kotak, merangkai alat electronika pun mereka mahir, di negara kita semua peneliti kebanyakan beli jadi, barang begini di sana ndak ada pabriknya, makanya penelitian sangat mahal wong beli kerajinan tangan Peneliti, karena Peneliti di sini di negara kita ini adalah kaum Priyayi, kaum Menak, mereka inilah kalangan Aristokrat baru. Gelar akademisnya saja ndak boleh ketinggalan walau di surat undangan kondangan temanten, bahkan surat kondangan sunatan sekalipun, meskipun karya ilmiahnya -maaf ya- kebanyakan- tidak semuaya lho- minim. Malah... Masya Alloh, di banyak pemakaman saya pernah lihat batu nisan yang tertera gelaran akademis dari si mayit sampai batu nisan itu tak muat. Saya yakin Malaikat Munkar dan Nakir mungkin tidak begitu concern para gelaran nama di batu nisan, saya yakin kedua malaikat itu hanya concern pada amalan perbuatan sang mayit saja.
Oke, setelah sindirian saya kepada kaum Aristokrat Akademik Indonesia yang lebih mementingkan gelaran-gelaran Akademik yang berderet dari depan dan belakang namanya, ketimbang karya, ketimbang manfaat untuk rakyatnya, marilah kita kembali membicarakan Apel di Batu. Pertanyaan saya kenapa budidaya Apel yang di hulu Kaliputih Situbodo di Kecamatan Pacet, di NTT hilang, sedang di Batu/ Punten, Poncokusumo saja, hanya petani kaya yang mampu memelihara Apel, entah sampai kapan kemudian tersaing oleh Apel import.
Wong memenuhi kebutuhan Kedelai yang sangat penting untuk generasi mendatang kayaknya kok sulit sekali, senengnya ya import. Kepada yang saya hormati : kaum Aristokrat Akademik Indonesia, marilah buat Indonesia jadi surplus Kedelai. (*)
Wong memenuhi kebutuhan Kedelai yang sangat penting untuk generasi mendatang kayaknya kok sulit sekali, senengnya ya import. Kepada yang saya hormati : kaum Aristokrat Akademik Indonesia, marilah buat Indonesia jadi surplus Kedelai. (*)
1 comments:
Dari Subagyo, penulis blog ini: Ke Kabupaten Bondowoso, tepatnya di Kayumas, prnah apl dikebunkan dengan berhasil, di Larantuka juga tapi kok ndak ada beritanya hingga dekarang ? Apakah ada diantara Pembaca yang bisa meberi kabar mengenai dua wilayah ini ?
Posting Komentar