Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 05 Juli 2015

PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN KITA, DALAM SEJARAHNYA PENUH DENGAN KEGONCANGAN POLICY

PENDIDIKAN KITA : PENUH  DENGAN KEGONCANGAN  PERUBAHAN POLICY, KEBERHASILANNYA TERGANTUNG PADA KETULUSAN BATHIN PENGAJARNYA.
DARI JAMAN ASHRAM HINDU, ASHRAN BUDHA, PESANTREN PARA WALI ISLAM,  JAMAN PENJAJAHAN BELANDA, PENDUDUKAN MILITER JEPANG, JAMAN PERANG KEMERDEKAAN, JAMAN DEMOKRASI LIBERAL, JAMAN ORDE LAMA DAN JAMAN ORDE BARU…35 TAHUN….YANG LEBIH LAMA JANGKA WAKTUHYA  DARI CULTUUR STELSEL PENJAJAHAN. 
TUJUAN PENDIDIKAN SILIH BERGANTI, TERHYATA KEBERHASILANNYA DITENTUKAN OLEH KETULUSAN BATHIN PARA PENGAJARNYA.
Rupanya, selama kita dibawah Nippon Gunsaikanbu dan perjuangan demi Kemerdekaan, pemikiran mengenai pendidikan generasi muda, kita mengalami kegoncangan hebat, bukan saja kegoncangan tapi, kecenderungan beralih aliran ke erosi nilai hidup, kedangkalan jiwa, telah menggerus pondasi lembaga pedidikan dan pengajaran itu sendiri, JANG SANGAT BERPENGARUH yaitu ketulusan pengajarnya.
Pada zaman penjajahan, pendidikan seluruhnya diserahkan pada Lembaga yang didominasi oleh profesional “guru”. Mulai sosok yang mengepalai seluruh upaya pendidikan dan pengajaran di seluruh Hindia Belanda, sampai pada para Penilik Sekolah di Kabupaten dan Karesidenan, semua dari kalangan profesi pendidikan. Di Karesidenan bercokol Pengawas Belanda, Di Kabupaten bercokol Pengawas Pribhumi.  Tugas mereka, dari Belanda totok maupun pribhumi yang tersirat adalah satu : Yaitu mencitrakan upaya Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Gubernur Jendralnya, keunggulan kebudayaan bangsa kulit putih, dengan membentuk satu lapisan kelas orang pribhumi para inlanders ini harus percaya bahwa Belanda mengajari hidup bersopan santun dan teknologi Barat, bisa menerima dengan aman akulturisasi kebudayaan Barat untuk menjalani hidupnya “lebih baik” ( lebih baik juga untuk sistim penjajahan juga) disamping itu, harus tidak kehilangan identitas sebagai pribhumi, dengan budaya lokal.  Mertua eaya almarhum lulusan HKS Purworejo, beliaau  sangat piawai mengenai gending Jawa ( macam macam irama tembang Jawa ) karena beliau dari suku Jawa tapi tidak hafal syair RM Ronngowarsito karena kebencian sang pujangga yang sangat tersembunyi dalam syair syair bebeliau mengenau zaman Penjajayah Belanda dan kepada pemuka agama Islam, bengsawan yang sok pandai, yang hanya menganal atribut atribut  kulit kulitya thok.

 Baik dari bangsa Belanda totok maupun bangsa Pribhumi, telah sangat berhasil menciptakan lapisan masyarakat, yang terdiri dari manusia kombinasi ini tanpa menggugah semangat kebangsaannya.  Sekolah dibagi tiga yaitu disediakan untuk anak anak orang kalangan rendah dengan income maksimum gaji mandor ( sekolah Ongko loro- Volks school 2 tahun dan vervolk school 3 tahun ), untuk kalangan kaum pribhumi menengah ( Normal school), kemudian untuk golongan dengan income menengah, sekolah  HIS, dan MULO, Ambachshool (sekola pertukangan – muatan scholastiknya lebih rendah dari SMP diisi dengan ketrampilan pertukangan), kemudian sekolah guru untuk sekolah dasar pribhumi dengan malah diberi stipendium ikatan dinas, dengan bahasa pengantar bahasa Belanda ( Kweek school,  HIK  dengan  HKS.) Pendidikan pengajaran kelas income tinggi se level anak Bupati dan anak Para Penyelia yang pribhumi, atau pegawai Belanda dengan bahasa pengantar bahasa Belanda dari kelas satu( ELS  Eropeesche School trus ke HBS  Hogere Burgers School)  dan AMS untuk pemakai bahasa ibu bukan bahasa Belanda dan ber-income menengah, merupakan sekolah persiapan untuk masuk perguruan tinggi. HBS sekolah ini diperuntukkan bagi warga Belanda, pribhumi warga priyayi, berpenghasilan tinggi). Prinsip saling menghargai antar guru dan murid (dalam keseharian mereka saling menyapa dengan sebutan yang sama “ meneer Fulan dan Mufrouw Fulan, atau Jefrouw Fulan) diutarakan dengan bebas dengan bahasa Belanda, sebab guru di tataran sekolah menengah,  sekolah menengah atas dan sekolah tinggi  semakin tinggi semakin sedikit guru pribhumi. Disinilah Penjajah Belanda menyematkan kebudayaan barat, dicitrakan lebih baik disemua aspek kehidupan, daripada kebudayaan feodal kuno kaum pribhumi, yang sangat mendapat cemohan dari murid murid AMS dan HBS  atau Sekolah Tinggi. Yaitu kolot dan mengundang  sinisme dari perbedaan kasta keturunan, yang sudah usang, sangat  penuh dengan penghormatan tanpa dasar dan takhayul. Ini sangat terkesan pada generasi muda pribhumi pada waktu itu, terutama guru guru, karena ketulusan para pengajar Belanda mencitrakan kebudayaannya diatas kebudayaan pribhumi. Benar benar pangejawantahan dari “etische politiek” yang sangat berhasil.
Untuk menyempurnakan etische politiek, para gadis remaja pribhumi putri kalangan tinggi disediakan sekolahan “Van Deventer” ( didesign oleh Prof Abendanon termasuk arsitek dari politik etis) di Semarang  kemudian di Solo, muatan pendidikan ketrampilan hidup sehat dan melaksenakan excellences budaya barat, tapi sekali kali tidak boleh kehilangan kepribadian pribhumi dalam berbusana dan bersikap, disiapkan untuk jadi istri istri pegawai tinggi pribumi seperti bupati dan para penyelia,  setingkat dengan yang menguasai karesidenan, para dokter dan sekelasnya. 
Th 1942, dalam hitungan minggu, Hindia Balanda telah jatuh ketangan bala tentara Dai Nippon
Nippon biasa nempeleng tidak pandang bulu, asal bawahan.  Semua orang dan semua umur. Cahaya Asia bangkit memperluas kekaisarannya seleluruh pantai kolam Pacific kecuali pantai pantai Amerika selama 3 tahun. Nippon Gunsaikanbu  meyakinkan bangsa yang terjajah, Nippon adala bangsa nomer satu, ichi bang.  Pekerjaan pendidikan dan pelajaran Kolonial Belanda dijungkir balikkan. Untuk mendapat simpati dari massa rakyat jajahan.
Sekolah dasar Ongko loro dan HIS ( Hollands Inlandsche School)  dibongkar dijadikan Sekolah Rakyat yang gratis, dan tanpa membedakan asal usul.  MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwiys - setingkat SMP bahasa pengantar bahasa Belanda), KES (Koningen Emma School) di Surabaya dan KWS ( Koningen Wilhemina School) di Batavia Sekolah Teknik Menengah bahasa pengantar bahasa Belanda  dijadikan SMP dan STM dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia tanpa batasan bagi yang masuk baik posisi kasta maupun kekayaan semua boleh asal lulus Sekolah  Menengah .
Juga sekolah guru, ada dua tingkat SGB dan SGA dipisahkan antara putri dan putra. Begitu pula HBS dan AMS dijadikan SMA juga tanpa batasan posisi sosial dan finansial. Cuma persyaratannya yang harus diturut adalah semua murid (dan orang tuanya) benci pada bangsa Europa. Semua buku buku pelajaran MULO, KES KWS, AMS dan HBS dan lain Sekolahan berdasarkan bahasa Belanda diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia ejaan lama, Guru guru dididik kembali bahasa Nippon dan tulisannya mulai katakana ( huruf bunyi), hiragana huruf bunyi dan kata keseharian yang merupakan karakter/gambar, kemudian kanji ( huruf karakter china). Semua harus percaya bahwa Kaisar Jepang Tenno Haika waktu itu  mendiang Kaisar Hirohito,  adalah setengah Dewa, kita tahu dia manusia biasa sebelum perang dan sesudah kalah perang.  Sangat dicibir dengan sembunyi sembunyi oleh murid madrasah pondokan pesantren yang Islam.
Nippon belum sepenuhnya menang dari Sekutu pada saat itu, maka waluapun masih Gunseikanbu, yang maksudnya adalah pemerintahan militer, akan tetapi sudah banyak muatan jangka panjang. Misalnya ketegasan mengenai masuknya kebudayaan Jepang ke dalam penghidupan pribhumi, ada yang lebih kurang cocok ada yang malah bertentangan.
Yang cocok,  kita adalah sama sama masih dalam taraf kebudayaan feudal kuno, dengan masyarakat  bertingkat statusnya dengan segenap upacaranya,  walau dalam kalangan militer. Umpama seorang bawahan akan bicara kepada atasannya selalu dengan pendahuluan “mohon izin” – atau dalam bahasa inggris “Sir, with respect”    bila diberi izin baru bicara tegas, tidak bertele tele, singkat dan sikap sempurna. Dalam bahasa Jawa, “Nyuwun sewu gusti, kepareng matur” sampil berdatang sembah. “Mohon izin” yang sekarang masih “harus” dikalangan Angkatan Laut RI, termasuk para istri mereka.
Ada yang bertentangan yaitu kebiasaan menerima hukuman tempeleng dan hukuman tempeleng didepan umum adalah jamak, termasuk tingkah kasar kepada kasta dibawah ( ungkapan “bageiro” yang artinya gobl….juga diobral oleh kalangan prajurit krucuk Nippon, atau bintara rendahan Nippon).  Bangsa Jepang tidak memandang terlalu tinggi wanita pada umumnya, sedangkan di kita sudah dari perkembangannya yang sangat awal menjalankan  matriarchat, menghargai wanita dalam adatnya. Sedangkan agama Hindu dan Islam saja yang sudah berakar begitu dalam, tidak dapat membongkar adat matriarchat ini seluruhnya. Semua perubahan dalam masyarakat yang merupakan propaganda dekolonisasi Belanda juga bergema di dunia Pendidikan dan Pengajaran, Penggilan pada guru lelaki dan perempan berubah dari Meneer dan Mufrouw atau Jefrouw, jadi Bapak Guru dan Ibu Guru, sama dengan apa yang digunakan di sekolah swasta Taman Siswa yang didirikan oleh nasionalis R. Suwardi Suyaningrat nama bangsawan Yogya yang jadi guru diganti oleh beliau sendiri jadi Ki Hajar Dewantoro. Baliau Pendiri Perguruan Taman Siswa, Taman madya dan Taman Dewasa yang menjadi pembibitan yang handal dari Penggerak Anti  Penjajahan. Sedang Islam mulai zamam Majapahit abad ke 13 sudah mengadakan Pondok Pesantren yang santrinya atau laki saja atau perempuan saja, mondok/ kost pada Kiai dan Nyai nya- bukan dengan sebutan Ustaz. Sedangkan pelajaran Agama islam bertentangan (haram)  dengan pemujaan cara agama Shinto yang membuat sesaji di altar persemabahan kepada Dewa dewa Jepang. Inilah sebabnya seorang Kiai dari Jombang Jawa Timur, mungkin kiai Wahab Hasbullah ditangkap Nippon, diinterogasi sempat disiksa dan dilepaskan, Nippon berfikir masih ada waktu buat menyelesaikan tuntas perkara ini.
Perbedaan ini akan segera menjadi antipati diam diam dari para terpelajar dan rakyat. Tapi  melawan dominasi penjajahan tuan tuan (kulit putih) berhasil baik, nyaris  tidak ditujukan pada sesama penjajah Nippon ( karena Nippon mencitrakan dirinya dihadapan orang pribhumi sebagai saudara tua, meskipun ada  antipati yang tersembunyi menimbulkan dendam kepada saudara tua ini  yang berwujud pemerintahan militer, mendapat cemohan diam diam karena tingkah yang umumnya kasar dari  kaum militernya, mungkin sudah pembawaan dari sananya.  Semua ini terikut dalam upaya pengajaran dan pendidikan cara Nippon.
Demi untuk propaganda perang, rakyat daerah jajahan tidak perlu bayar beaya pendidikan dan tujuan pokok pendidikan ini adalah mendukung terciptanya kebencian kepada Sekutu.  ketenteraman dan hukum dalam mansyarakat kolonial dan segragasi antara kaum tuan dengan  pribhumi yang dicitrakan oleh penjajah Belanda sebagai hidup bersih hygenis, yang beda dengan hidup pribhumi pada umunya ( mereka makan dengan pisau, sendok dan garpu, sedangkan Nippon pakai sumpit dan makan daging ikan mentah), di jaman penjajahan Nippon sangat disamarkan dengan berbagai cara.)   Pendidikan militer sampai  ke jenjang bintara dan perwira  lapangan PETA ( Pembela Tanah Air) dselenggarakan, para trainee nya mengadopsi cara Nippon dengan semangat  meniru korps samurai,  sangat dalam membekasnya.
Berbagai cara digunakan untuk pendidikan  masyarakat yang walau masih diperlukan buat membantu melawan sekutu tapi bersama itu toh diexploitasi dengan lebih hebat dari etische politik penjajahan Belanda dalam ekonomi perang Nippon, jadi kaum inteligensia diluar Jawa yang mengerti hal ini di eksekusi dengan sistimatis, terutama para dokter, lulusan NIAS Surabaya atau GH Batavia.
Ciri pokok dari pendidikan dan pengajaran  propaganda Nippon, meskipun policynya sangat populis, tapi semua orang tahu ini tanpa ketulusan dari pendidiknya, malainkan  dipacu oleh ketakutan kepada penguasa militer Nippon, tetap gagal.
Nippon kalah tahun 1945 bertekuk lutut karena di bom nuclear, dengan korban dua kota Nagasaki dan Hiroshima. Berakibat Dai Nippon Taikoku segera bertekuk lutut tanpa syarat.
Mendadak saja semangat melawan Sekutu gampang sekali berubah menjadi  semangat merdeka dari semua penjajah sudah dimiliki oleh 98 persen bangsa Indonesia. Yang dua persen tidak diperhitungkan, para bangsawan komprador dan bangsa tengkulak Timur Asing yang sudah jadi warga Hindia Belanda yang disamakan  dengan Belanda ( geliykgesteld - disamakan dengan warga Belanda – atau Londo godong, karena pribhumi yang mendapat hak geliykgesteld tidak boleh seluasa lagi bergaul dengan sanak kelurganya lagi – seperti kerabat ibu saya yang menjadi Patih di Lamongan atau Malang, ceritanya si Patih sudah tidak sowan lagi ke Ayah angkatnya yang pensiunan Asisten Wedana di Solo).
Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan tg 17 AGUSTUS 1945 hanya hitungan hari saja setelah Nippon menyatakan takluk tanpa syarat. Pendidikan dan Pelajaran berubah jadi kancah  semangat kemerdekaan terutama dari tingkat SMP-SMA- STM – Perguruan Tinggi yang hanya beberapa ratus mahasiswa saja terutama Kedokteran dan Tekhnik. Mereka sama sama membentuk Tentara Pelajar yang menjadi inti pelawanan secara fisik maupun kebudayaan -terhadap kembalinya penjajahan Belanda – murid murid ini melarang  guru gurunya berbahasa Belanda. Bekas tentara Nippon pribhumi- dengan setulus bathin mereka. Konon Tentara Pelajar ini tetap berjuang bersama sakyat, tanpa terpincuk pada ketersediaan rampasan bekal perang Jepang, harta benda Belanda dan Nippon yang ditinggal bergudang gudang, melainkan hanya senjata, bahan pakaian dan obat obatan untuk perang melawan NICA. Heiho yang ikut membakar semangat tempur rakyat. Semangat samurai Jepang, kecintaan pada Kemerdekaan Republi Indonesia. Pak Gumbreg, seorang Hieho, berjibaku menangani meriam anti pesawat terbang telah  melawan pesawat spitfire Inggris, satu pasawat jatuh, yang kedua beradu kepala dengan meriam pak Gumbreg dan tertembak jatuh sambil menghancurkan pak Gumbreg dengan senapan mesin beratnya, di front Jetis, Barat Surabaya tahun 1945.
Mulai saat itu, pendidikan dan pengajaran generasi muda bangsa ini memperoleh corak bentuknya yang sangat populis, kerena segera meneruskan  policy Pendidikan dan Pengajaran sementara Gunseikanbu Nippon.
Ini memperoleh sambutan positip dari rakyat jelata, semua anaknya bisa sekolah, sayangnya hanya dengan fasilitas yang ada sebelumnya. Toh sudah membesarkan hati.
Pendidikan dan pegajaran harus ditujukan pada anak bangsa dengan gratis, tanpa syarat harta dan kasta, dipertahankan dalam masa revolusi. Muatan pendidikan  kental disajikan dengan cinta tanah air yang SETULUSNYA. DIMULAI DARI GURU –GURUNYA. Mengikuti gelombang euphoria kemerdekaan, meskipun mereka hasil didikan Balanda yang sangat ketat menekankan pada ketundukan pada “rust en orde” – ketenteraman dan peraturan” dalam ketidak adilan, adalah tujuan utama  kandang imaginer exiskstensi bangsa ini dijaman penjajahan Belanda. Pembebasan dari kandang ini ditandai oleh profesi guru, profesinya tetap disandang walaupun harus mengungsi dari pertempuran  di Semarang, langsung mengajar SR ( sekolah rakyat) di Solo dan digaji oleh Pemerintahan Rapublik ini, tanpa banyak cing cong menunggu surat pengangkatan dan lain lain, beliau sudah bercucu, guru pengungsi dari Semarang ini, langsung menjadi  salah satu guru Sekolah Rakyat di Solo, dimana saya belajar sebagai anak pengungsi juga.
Dan kita harus sangat bersyukur bahwa mayoritas guru guru, yang terdidik pada jaman penjajahan Belanda, mengantisipasi dengan sangat tepat dan nyata menggariskan profesinya sebagai guru bangsa Indonesia yang sangat muda, dengan semangat yang menggelora. Sebutan kepada Bapak Ibu Guru tetap dipakai, bukan Sensei a’la Nippon, atau meneer/mufrouw cara Belanda, anehnya segera Bapak Ibu Guru  tidak ingat lagi bahasa Jepang. Tandanya beliau beliau mengajarkan bahasa jepang bukan setulus hatinya tapi tepaksa karena takut militerisme Nippon.
Propaganda perang Nippon membebaskan beaya pendidikan disekolah sekolah Negeri masih menjadi tonggak ketercapaian revolusi kemerdekaan.
Kejiwaan para guru masih tidak terusik selama pemerintahan Demokrasi liberal, selama Orde Lama, meskipu hanya hidup dari gaji – karena apa yang akan dukorupsi ? Ini ungkapan klasik kala itu, jaman demokrasi liberal jamannya Partai Partai rebutan kursi kekuasaan dan korupsi di sector yang paling menjanjikan yaitu pemberian“izin” untuk apapun dan “pajak” terutama bea masuk barang import, di tilep, karena menjual barang import untungnya besar, maklum rakyat terlalu lama menderita kekurangan barang yang biasa diimport dari luar. Tapi guru guru tetap tidak menjual bangku sekolah, tetap tidak menarik bayaran untuk naik kelas, untuk lulus ujian, untuk deterima sebagai murid sekolah vaforit, sunggh pamali, karena saya tahu sndiri. Guru guru bekerja dengan tekad seorang pejuang sejati  dan ketulusan bhatinnya dalam mendidik dan mengajar.
 Terbukti tekad dan ketulusan idealism para guru senior ini telah mengilhami,menarik generasi muda para mahasiswa kala itu, yang mau jadi guru sukarelawan, dipelosok tanah air, sampai banyak yang dibunuh oleh Permesta dan PRRI, Dewan Dewan Separatis karena membela NKRI, semoga Allah memberi tempat yang sebaik baiknya bagi arwah arwah mereka.
Dengan gugurnya guru guru sukarelawan, di pulau pulau  pelosok tanah air, tidak sia sia lahirlah Orde Trisakti yang dipimpin oleh Founding father kita sendiri,  Bung Karno. Kabinet Presidensial dengan Sukarno sebagai kepala Negara Perdana Menteri dan Panglima Tertinggi NKRI. Tewujudnya nyanyian “Dari barat sampai ke timur, berjajar pulau pulau”.Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.  Guru guru masih tetap pada idealismenya terhadap bangsanya di seluruh Indonesia setia dengan TRISAKTI.
Guru guru mendidik dan mengajar anak anak diseluruh hunian penduduk Negara yang masih agraris ini, sangat banyak di desa desa. Idealis yang terpelajar ini paling mengerti soal tanah yang dikelola pabrik gula pada zaman Penjajahan Beanda untuk menghasilkan tebu, oleh Pabrik gula digiling jadi gula. Tanah ini dikuasai oleh sebagian penduduk desa yang menghimpun kekuatan kelompok Partai atau tukang pukul, menggarapnya dengan backing kekuatan itu sejak jaman  demokrasi Partai Partai, sedang sebagian besar petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur lapar tanah, memang mereka bekas kuli pabrik gula maka Pemerintah Sukarno dengan Menterinya Sujarwo dan DPR hasil Pemilu ketiga mengundangkan UUPA no 5 Th 1960, membagikan tanah pabrik gula ini kepada petani ex kuli lahan tebu milik pabrik – Para guru desa mengerti betul kegunaan tanah sawah untuk petani miskin ini ikut bergembira. Sebaliknya para tuan tanah yang menguasai tanah ex pabrik gula selama 8 tahun sangat kehilangan, mereka kebanyakan dikalangan kelompok teragitasi saling memperkuat lolongan serigalanya dengan nafsu schizophrenic  massal membunuhi orang yang dianggap antek PKI tanpa tanggung jawab. Sedang  pasukan Jendral  Suharto yang mendukung amuk massal itu. Di kalangan akar rumput di pedesaan, klop mereka bekerja sama untuk menjatuhkan Bung Karno dan melenyapkan PKI –  pada coup de’etat Jendral Suharto dengan dalih memberantas G30S PKI, para petani penerima tanah hasil land reform ini dibantai habis oleh rakyat yang dikendalikan oleh para conformis yang teragitasi berat, mereka dari kelompok conformis Islam,  juga PNI Osa Usep dijaga oleh satuan dari kelompok bersenjata pengikut Jendral Suharto. Akibatnya sekolah desa mengambil guru sebagai pengganti yang hilang, seadanya dari lingkungan setempat. Maka hilanglah idealisme pendidik, ketulusan guru bangsa yang plural, mengajar dan mendidik dngan tulus tidak pandang asa usul, suku bangsa dan agama muridnya, karena mereka yang hilang adalah warga yang berfikir, intellectual desa yang sulit untuk jadi conformis meskipun mereka sebagian besar Islam, namun tidak terikat pada atribut dengan kopyah dan jilbab sebagai orang Jawa umumya. Orde Baru tidak mengenal kotak kotak untuk berbagi, sebagai yang dituntut oleh sekutunya,  tidak mengenal atribut conformistik yang dipimpin oleh Subchan ZE alm. Dia terbunuh pada kecelakaan mobil yang mencurigakan di padang pasir Saudi Arabia tidak lama kemudian, akhirnya NU kembali ke khitah dan tidak berpolitik praktis. Presiden Suharto memilih kroninya sendiri dari mereka yang bisa menggandakan uang. Sedang bekas sekutunya, untuk memenangkan coup d’etat ini,  sudah menguasai tanah bekas punya pabrik gula, beliau sendiri juga dari kalangan petani, mengerti betul kerja tuan tanah, jadi sekutu ini sudah habis gunanya. Tapi rakyat di pedesaan sudah kehilangan guru gurunya yang berfikir, mandiri, tulus dalam mengajar, dan tidak suka menonjokan konformisme  Diganti dengan guru guru yang kehilangan arah, pribadi pribadi yang kehilangan GURU, hanya mengandalkan atribut atribut saja, sebagai ganti iman dan intelektualitas mereka, nyambi berdagang dan meramaikan bursa politik, jadi Golkar. Juga dikota kota besar dan kota kabupaten, banyak guru yang dipecat dan dibunuh, dengan dakwaan simpatisan PKI, yang sebenarnya lebih banyak yang pengikutnya Bung Karno .
Diganti guru entah dari mana, semua dengan sekolah diberi wewenang untuk cari uang sendiri, memeras dari orang tua murid murid. Mulailah perlombaan jadi vaforit  orang tua murid, adu banyak muridnya  yang diterima disekolahan vaforit yang lebih tinggi. Muatan pendidikan agama diperbanyak, sebagai pencegahan kembalinya PKI yang dianggap anti agama tidak ber Tuhan. Untuk yang golongan Islam dajarkan huruf hijaiyah sampai tingkat SMU. Membaca Al Qur’an, sebagai ganti pelajaran Budi Pekerti. Maka liberalisasi  mencari uang dari upaya pendidikan dan pengajaran, sangat bertentangan dengan kepribadian sosok guru untuk pertama kali sepanjang sejarah pendidikan. Yang di didikkan adalah mencari uang dengan wajar, mendapatkan honorarium wajar atau berdagang wajar. Dengan posisi guru, kewajaran mencari uang disekolahan ini dengan mudah menjadi tidak wajar, karena dalam lingkungan sekolah kekuasaan guru adalah mutlak. Uang gedung , uang bangku menjadi puluhan juta, belum yang kecil cecil ,misalnya mneggharuskan muridnya menabung di guru kelas, pada akhir tahun uang tabungannya dipotong lebih dari 20 %, sepele dari segi finansial, tapi mebekas dalam di jiwa anak didik, ,membenakan secara tidak langsung  korupsi untuk disetor kepada atasan para orang tua murid, yang pasti menghasilkan rekening  rekenng gendut,  para Bupati juga di Kepala lembaga pendidikan,  hingga kepribadian guru dan gedung sekolahnya yang baru dibangun sama sama sangat lemah dan mudah roboh. Tidak ada lagi yang bicara perkara ketulusan bathin guru dalam mengajar. Kepala Sekolah hanya berkantor di Kabupaten untuk menggarap pembagian dana dan kucurannya dari Pemeirntah Deerah ingkat I maupun tingkat II, unutk bancakan bersama..
Dengan kagoncangan profesi guru ini, dan dasar mencari uang dalam dunia pendidikan, maka guru jadi komersial, memberikan les dirumah, dan memberi keistimewaan pada yang membayar, presis kayak Pendeta Drona. Inilah hasil akhir yang didapat selama Ode Baru. Termasuk menginfiltrasi pendidikan dan pengajaran di pondok pondok.
Pendidikan  tidak punya ideology yang bisa mengilhami rakyat, dengan idealisme yang lebih tinggi, selain pragmatisme mencari uang.
Segera sesudah pembantaian berdarah darah dikalangan petani pangan, Orde Baru mendapatkan bantuan dari konsursium bank bank luar megeri untuk belanja pupuk dan pestisida  sangat royal. Maka Pemerntah Orde Baru dengan dorongan dari konsursium mengadakan crash program intensifikasi produksi pangan, sebagai pengalihan perhatian para petani dari tragedi yang berusan melanda desa desa, program BIMAS PADI DAN POLOWIJO, yang memberi subsidi besar besaran dan bibit padi unggul dari IRRI.   Dengan demikian Pendidikan dan pengajaran disemua tingkatan, menjadi ajang phragmatisme mencari uang, tanpa ada yang secara serius mengamati. Ini berakibat parah pada anak didik diseluruh Indonesia selama 35 tahun rezim Orde baru berkuasa. Pedoman pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila tidak berpengaruh apa apa terhadap moral bangsa karena juga tidak diajarkan oleh guru guru/  instructor yang tulus.
Dilain sisi dunia Islam yang kokoh di akar rumput, telah terbelah ideologinya secara serius: Menjadi anti zionis yang sebenarnya menguasai Amerika Serikat, sebagai pembela setia dari faksi Yahudi yang nyata nyata  mengusir bangsa Arab dari ladang minyaknya, dari masjidil Aqsanya, dari tanah Palestin      –   Atau jadi sekutu Amerika Serikat melawan komunisme, yang sangat menguntungkan bila Partai Partainya  berkuasa pada satu saat, sayangnya komunisme sudah bubar. Pemimpin Dunia Islam di Indonesia tidak melihat sisi ideologi Islam yang lain, lebih hebat dari hanya pilihan yang sekarang nampak. Yaitu ideologi rakhman dan rakhim, dari bismillahirakhmanirrakhim yang dengan itu bisa mengganti hilangnya guru guru yang tulus. (Lihat di google degan kata kunci  rahasia huruf  "ba" dalam kalimat bismillah-anak-)
Guru  guru yang tidak mengajar dengan tulus ini selama 35 tahun kekuasaan Orde Baru, telah melahirkan anak didik yang menjadi warganegara bangsa ini  juga tidak ikhlas bernegara, bila memegang kekuasaan, bahkan gampang sekali menggunakan wewenangnya memperkaya diri alias korupsi desegala bidang. Contonya  Budiaji, Artalita Suryani, Roby Cahyadi, Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Cyrus Jaksa,  Dahlan Iskan, Aiptu Labora, Lutfi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, Andi Malarengeng, Andi Cul Malarangeng, La Ode Nurhayati, Ratu Atut Chosiah, Jero Wacik, Aqil Mochtar - si Hakim sableng, Hartati Murdaya Poo, Nazaruddin, Amran Batalipu dll,   jnaga sampai lupa Sutan Bhatu, yang masih muda muda,  dibesarkan dan dididik oleh iklim Orde Baru.
Th 1998, Orde Baru Jendral Suharto kahabisan nafas, karena kredit dari lembaga keuangan Dunia diketati nyaris berhenti, Jendral Suharto lengser, sebelum lengser. dalam sekaratnya, Orde Baru mengerti kekuatan apa yang membuat dia malu terhadap Amerika Serikat. Dilevel akar rumput, mengadakan operasi intelijen yang bersifat deterrent ke Pesantren Pesantren menteror kiai kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengembalikan mereka ke khitahnya. Tanpa hasil, sebab penentang Amerika   makin santer saja. dikalangan pesantren.
Inilah situasi dunia pendidikan dan pengajaran yang diwarisi Orde Reformasi, yang kita hadapi sekarang. Silih berganti Pemimpin Negara, dimulai dengan teknolog murni Dr Habibi,  budayawan pluralis guru bangsa Gus Dur, pejuang dengan fleksibilitas tinggi Megawati, pejuang pencitraan ABRI  Jendral Susilo Bambang Yudoyono, dua periode, dunia pendidikan tetap seperti itu. Quo vadis Domine?*)

















































PENDIDIKAN KITA : PENUH  DENGAN KEGONCANGAN  PERUBAHAN POLICY, KEBERHASILANNYA TERGANTUNG PADA KETULUSAN BATHIN PENGAJARNYA.
DARI JAMAN ASHRAM HINDU, ASHRAN BUDHA, PESANTREN PARA WALI ISLAM,  JAMAN PENJAJAHAN BELANDA, PENDUDUKAN MILITER JEPANG, JAMAN PERANG KEMERDEKAAN, JAMAN DEMOKRASI LIBERAL, JAMAN ORDE LAMA DAN JAMAN ORDE BARU…35 TAHUN….YANG LEBIH LAMA JANGKA WAKTU DARI CULTUUR STELSEL PENJAJAHAN. 
TUJUAN PENDIDIKAN SILIH BERGANTI, KEBERHASILANNYA DITENTUKAN OLEH KETULUSAN BATHIN PARA PENGAJARNYA.
Rupanya, selama kita dibawah Nippon Gunsaikanbu dan perjuangan demi Kemerdekaan, pemikiran mengenai pendidikan generasi muda, kita mengalami kegoncangan hebat, bukan saja kegoncangan tapi, kecenderungan beralih aliran ke erosi nilai hidup, kedangkalan jiwa, telah menggerus pondasi lembaga pedidikan dan pengajaran itu sendiri, JANG SANGAT BERPENGARUH yaitu ketulusan pengajarnya.
Pada zaman penjajahan, pendidikan seluruhnya diserahkan pada Lembaga yang didominasi oleh profesional “guru”. Mulai sosok yang mengepalai seluruh upaya pendidikan dan pengajaran di seluruh Hindia Belanda, sampai pada para Penilik Sekolah di Kabupaten dan Karesidenan, semua dari kalangan profesi pendidikan. Di Karesidenan bercokol Pengawas Belanda, Di Kabupaten bercokol Pengawas Pribhumi.  Tugas mereka, dari Belanda totok maupun pribhumi yang tersirat adalah satu : Yaitu mencitrakan upaya Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Gubernur Jendralnya, keunggulan kebudayaan bangsa kulit putih, dengan membentuk satu lapisan kelas orang pribhumi para inlanders ini harus percaya bahwa Belanda mengajari hidup bersopan santun dan teknologi Barat, bisa menerima dengan aman akulturisasi kebudayaan Barat untuk menjalani hidupnya “lebih baik” ( lebih baik juga untuk sistim penjajahan juga) disamping itu, harus tidak kehilangan identitas sebagai pribhumi, dengan budaya lokal. Baik dari bangsa Belanda totok maupun bangsa Pribhumi, telah sangat berhasil menciptakan lapisan masyarakat, yang terdiri dari manusia kombinasi ini tanpa menggugah semangat kebangsaannya.  Sekolah dibagi tiga yaitu disediakan untuk anak anak orang kalangan rendah dengan income maksimum gaji mandor ( sekolah Ongko loro- Volks school 2 tahun dan vervolk school 3 tahun ), untuk kalangan kaum pribhumi menengah ( Normal school), kemudian untuk golongan dengan income menengah, sekolah  HIS, dan MULO, Ambachshool (sekolaH pertukangan – muatan scholastiknya lebih rendah dari SMP diisi dengan ketrampilan pertukangan), kemudian sekolah guru untuk sekolah dasar pribhumi malah dengan  diberi stipendium ikatan dinas, dengan bahasa pengantar bahasa Belanda ( Kweek school,  HIK  dengan  HKS.) Pendidikan pengajaran kelas income tinggi se level anak Bupati dan anak Para Penyelia yang pribhumi, atau pegawai Belanda dengan bahasa pengantar bahasa Belanda dari kelas satu ( ELS  Eropeesche School trus ke HBS  Hogere Burgers School)  dan AMS untuk pemakai bahasa ibu bukan bahasa Belanda dan ber-income menengah, merupakan sekolah persiapan untuk masuk perguruan tinggi. HBS sekolah ini diperuntukkan bagi warga Belanda, pribhumi warga priyayi, berpenghasilan tinggi). Prinsip saling menghargai antar guru dan murid (dalam keseharian mereka saling menyapa dengan sebutan yang sama “ meneer Fulan dan Mufrouw Fulan, atau Jefrouw Fulan) diutarakan dengan bebas dengan bahasa Belanda, sebab guru di tataran sekolah menengah,  sekolah menengah atas dan sekolah tinggi  semakin tinggi semakin sedikit guru pribhumi. Disinilah Penjajah Belanda menyematkan kebudayaan barat, dicitrakan lebih baik disemua aspek kehidupan, daripada kebudayaan feodal kuno kaum pribhumi, yang sangat mendapat cemohan dari murid murid AMS dan HBS  atau Sekolah Tinggi. Yaitu kolot dan mengundang  sinisme dari perbedaan kasta keturunan, yang sudah usang, sangat  penuh dengan penghormatan tanpa dasar dan takhayul. Ini sangat terkesan pada generasi muda pribhumi pada waktu itu, terutama guru guru, karena ketulusan para pengajar Belanda mencitrakan kebudayaannya diatas kebudayaan pribhumi. Benar benar pangejawantahan dari “etische politiek” yang sangat berhasil.
Untuk menyempurnakan etische politiek, para gadis remaja pribhumi putri kalangan tinggi disediakan sekolahan “Van Deventer” ( didesign oleh Prof Abendanon termasuk arsitek dari politik etis) di Semarang  kemudian di Solo, muatan pendidikan ketrampilan hidup sehat dan melaksenakan excellences budaya barat, tapi sekali kali tidak boleh kehilangan kepribadian pribhumi dalam berbusana dan bersikap, disiapkan untuk jadi istri istri pegawai tinggi pribumi seperti bupati dan para penyelia,  setingkat dengan yang menguasai karesidenan, para dokter dan sekelasnya. 
Th 1942, dalam hitungan minggu, Hindia Balanda telah jatuh ketangan bala tentara Dai Nippon
Nippon biasa nempeleng tidak pandang bulu, asal bawahan.  Semua orang dan semua umur. Cahaya Asia bangkit memperluas kekaisarannya seleluruh pantai kolam Pacific kecuali pantai pantai Amerika selama 3 tahun. Nippon Gunsaikanbu  meyakinkan bangsa yang terjajah, Nippon adala bangsa nomer satu, ichi bang.  Pekerjaan pendidikan dan pelajaran Kolonial Belanda dijungkir balikkan. Untuk mendapat simpati dari massa rakyat jajahan.
Sekolah dasar Ongko loro dan HIS ( Hollands Inlandsche School)  dibongkar dijadikan Sekolah Rakyat yang gratis, dan tanpa membedakan asal usul.  MULO (Meer Ungebreid Lager Onderwiys - setingkat SMP bahasa pengantar bahasa Belanda), KES (Koningen Emma School) di Surabaya dan KWS ( Koningen Wilhemina School) di Batavia Sekolah Teknik Menengah bahasa pengantar bahasa Belanda  dijadikan SMP dan STM dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia tanpa batasan bagi yang masuk baik posisi kasta maupun kekayaan semua boleh asal lulus Sekolah  Menengah .
Juga sekolah guru, ada dua tingkat SGB dan SGA dipisahkan antara putri dan putra. Begitu pula HBS dan AMS dijadikan SMA juga tanpa batasan posisi sosial dan finansial. Cuma persyaratannya yang harus diturut adalah semua murid (dan orang tuanya) benci pada bangsa Europa. Semua buku buku pelajaran MULO, KES KWS, AMS dan HBS dan lain Sekolahan berdasarkan bahasa Belanda diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia ejaan lama, Guru guru dididik kembali bahasa Nippon dan tulisannya mulai katakana ( huruf bunyi), hiragana huruf bunyi dan kata keseharian yang merupakan karakter/gambar, kemudian kanji ( huruf karakter china). Semua harus percaya bahwa Kaisar Jepang Tenno Haika waktu itu  mendiang Kaisar Hirohito,  adalah setengah Dewa, kita tahu dia manusia biasa sebelum perang dan sesudah kalah perang.  Sangat dicibir dengan sembunyi sembunyi oleh murid madrasah pondokan pesantren yang Islam.
Nippon belum sepenuhnya menang dari Sekutu pada saat itu, maka waluapun masih Gunseikanbu, yang maksudnya adalah pemerintahan militer, akan tetapi sudah banyak muatan jangka panjang. Misalnya ketegasan mengenai masuknya kebudayaan Jepang ke dalam penghidupan pribhumi, ada yang lebih kurang cocok ada yang malah bertentangan.
Yang cocok,  kita adalah sama sama masih dalam taraf kebudayaan feudal kuno, dengan masyarakat  bertingkat statusnya dengan segenap upacaranya,  walau dalam kalangan militer. Umpama seorang bawahan akan bicara kepada atasannya selalu dengan pendahuluan “mohon izin” – atau dalam bahasa inggris “Sir, with respect”    bila diberi izin baru bicara tegas, tidak bertele tele, singkat dan sikap sempurna. Dalam bahasa Jawa, “Nyuwun sewu gusti, kepareng matur” sampil berdatang sembah. “Mohon izin” yang sekarang masih “harus” dikalangan Angkatan Laut RI, termasuk para istri mereka.
Ada yang bertentangan yaitu kebiasaan menerima hukuman tempeleng dan hukuman tempeleng didepan umum adalah jamak, termasuk tingkah kasar kepada kasta dibawah ( ungkapan “bageiro” yang artinya gobl….juga diobral oleh kalangan prajurit krucuk Nippon, atau bintara rendahan Nippon).  Bangsa Jepang tidak memandang terlalu tinggi wanita pada umumnya, sedangkan di kita sudah dari perkembangannya yang sangat awal menjalankan  matriarchat, menghargai wanita dalam adatnya. Sedangkan agama Hindu dan Islam saja yang sudah berakar begitu dalam, tidak dapat membongkar adat matriarchat ini seluruhnya. Semua perubahan dalam masyarakat yang merupakan propaganda dekolonisasi Belanda juga bergema di dunia Pendidikan dan Pengajaran, Penggilan pada guru lelaki dan perempan berubah dari Meneer dan Mufrouw atau Jefrouw, jadi Bapak Guru dan Ibu Guru, sama dengan apa yang digunakan di sekolah swasta Taman Siswa yang didirikan oleh nasionalis R. Suwardi Suyaningrat nama bangsawan Yogya yang jadi guru diganti oleh beliau sendiri jadi Ki Hajar Dewantoro. Beliau Pendiri Perguruan Taman Siswa, Taman madya dan Taman Dewasa yang menjadi pembibitan yang handal dari Penggerak Anti  Penjajahan. Sedang Islam mulai zamam Majapahit abad ke 13 sudah mengadakan Pondok Pesantren yang santrinya atau laki saja atau perempuan saja, mondok/ kost pada Kiai dan Nyai nya- bukan dengan sebutan Ustaz. Sedangkan pelajaran Agama islam bertentangan (haram)  dengan pemujaan cara agama Shinto yang membuat sesaji di altar persemabahan kepada Dewa dewa Jepang. Inilah sebabnya seorang Kiai dari Jombang Jawa Timur, mungkin kiai Wahab Hasbullah ditangkap Nippon, diinterogasi sempat disiksa dan dilepaskan, Nippon berfikir masih ada waktu buat menyelesaikan tuntas perkara ini.
Perbedaan ini akan segera menjadi antipati diam diam dari para terpelajar dan rakyat. Tapi  melawan dominasi penjajahan tuan tuan (kulit putih) berhasil baik, nyaris  tidak ditujukan pada sesama penjajah Nippon ( karena Nippon mencitrakan dirinya dihadapan orang pribhumi sebagai saudara tua, meskipun ada  antipati yang tersembunyi menimbulkan dendam kepada saudara tua ini  yang berwujud pemerintahan militer, mendapat cemohan diam diam karena tingkah yang umumnya kasar dari  kaum militernya, mungkin sudah pembawaan dari sananya.  Semua ini terikut dalam upaya pengajaran dan pendidikan cara Nippon.
Demi untuk propaganda perang, rakyat daerah jajahan tidak perlu bayar beaya pendidikan dan tujuan pokok pendidikan ini adalah mendukung terciptanya kebencian kepada Sekutu.  ketenteraman dan hukum dalam mansyarakat kolonial dan segragasi antara kaum tuan dengan  pribhumi yang dicitrakan oleh penjajah Belanda sebagai hidup bersih hygenis, yang beda dengan hidup pribhumi pada umunya ( mereka makan dengan pisau, sendok dan garpu, sedangkan Nippon pakai sumpit dan makan daging ikan mentah), di jaman penjajahan Nippon sangat disamarkan dengan berbagai cara.)   Pendidikan militer sampai  ke jenjang bintara dan perwira  lapangan PETA ( Pembela Tanah Air) dselenggarakan, para trainee nya mengadopsi cara Nippon dengan semangat  meniru korps samurai,  sangat dalam membekasnya.
Berbagai cara digunakan untuk pendidikan  masyarakat yang walau masih diperlukan buat membantu melawan sekutu tapi bersama itu toh diexploitasi dengan lebih hebat dari etische politik penjajahan Belanda dalam ekonomi perang Nippon, jadi kaum inteligensia diluar Jawa yang mengerti hal ini di eksekusi dengan sistimatis, terutama para dokter, lulusan NIAS Surabaya atau GH Batavia.
Ciri pokok dari pendidikan dan pengajaran  propaganda Nippon, meskipun policynya sangat populis, tapi semua orang tahu ini tanpa ketulusan dari pendidiknya, malainkan  dipacu oleh ketakutan kepada penguasa militer Nippon, tetap gagal.
Nippon kalah tahun 1945 bertekuk lutut karena di bom nuclear, dengan korban dua kota Nagasaki dan Hiroshima. Berakibat Dai Nippon Taikoku segera bertekuk lutut tanpa syarat.
Mendadak saja semangat melawan Sekutu gampang sekali berubah menjadi  semangat merdeka dari semua penjajah sudah dimiliki oleh 98 persen bangsa Indonesia. Yang dua persen tidak diperhitungkan, para bangsawan komprador dan bangsa tengkulak Timur Asing yang sudah jadi warga Hindia Belanda yang disamakan  dengan Belanda ( geliykgesteld - disamakan dengan warga Belanda – atau Londo godong, karena pribhumi yang mendapat hak geliykgesteld tidak boleh seluasa lagi bergaul dengan sanak kelurganya lagi – seperti kerabat ibu saya yang menjadi Patih di Lamongan atau Malang, ceritanya si Patih sudah tidak sowan lagi ke Ayah angkatnya yang pensiunan Asisten Wedana di Solo).
Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan tg 17 AGUSTUS 1945 hanya hitungan hari saja setelah Nippon menyatakan takluk tanpa syarat. Pendidikan dan Pelajaran berubah jadi kancah  semangat kemerdekaan terutama dari tingkat SMP-SMA- STM – Perguruan Tinggi yang hanya beberapa ratus mahasiswa saja terutama Kedokteran dan Tekhnik. Mereka sama sama membentuk Tentara Pelajar yang menjadi inti pelawanan secara fisik maupun kebudayaan -terhadap kembalinya penjajahan Belanda – murid murid ini melarang  guru gurunya berbahasa Belanda. Bekas tentara Nippon pribhumi- dengan setulus bathin mereka. Konon Tentara Pelajar ini tetap berjuang bersama sakyat, tanpa terpincuk pada ketersediaan rampasan bekal perang Jepang, harta benda Belanda dan Nippon yang ditinggal bergudang gudang, melainkan hanya senjata, bahan pakaian dan obat obatan untuk perang melawan NICA. Heiho yang ikut membakar semangat tempur rakyat. Semangat samurai Jepang, kecintaan pada Kemerdekaan Republi Indonesia. Pak Gumbreg, seorang Hieho, berjibaku menangani meriam anti pesawat terbang telah  melawan pesawat spitfire Inggris, satu pasawat jatuh, yang kedua beradu kepala dengan meriam pak Gumbreg dan tertembak jatuh sambil menghancurkan pak Gumbreg dengan senapan mesin beratnya, di front Jetis, Barat Surabaya tahun 1945.
Mulai saat itu, pendidikan dan pengajaran generasi muda bangsa ini memperoleh corak bentuknya yang sangat populis, kerena segera meneruskan  policy Pendidikan dan Pengajaran sementara Gunseikanbu Nippon.
Ini memperoleh sambutan positip dari rakyat jelata, semua anaknya bisa sekolah, sayangnya hanya dengan fasilitas yang ada sebelumnya. Toh sudah membesarkan hati.
Pendidikan dan pegajaran harus ditujukan pada anak bangsa dengan gratis, tanpa syarat harta dan kasta, dipertahankan dalam masa revolusi. Muatan pendidikan  kental disajikan dengan cinta tanah air yang SETULUSNYA. DIMULAI DARI GURU –GURUNYA. Mengikuti gelombang euphoria kemerdekaan, meskipun mereka hasil didikan Balanda yang sangat ketat menekankan pada ketundukan pada “rust en orde” – ketenteraman dan peraturan” dalam ketidak adilan, adalah tujuan utama  kandang imaginer exiskstensi bangsa ini dijaman penjajahan Belanda. Pembebasan dari kandang ini ditandai oleh profesi guru, profesinya tetap disandang walaupun harus mengungsi dari pertempuran  di Semarang, langsung mengajar SR ( sekolah rakyat) di Solo dan digaji oleh Pemerintahan Rapublik ini, tanpa banyak cing cong menunggu surat pengangkatan dan lain lain, beliau sudah bercucu, guru pengungsi dari Semarang ini, langsung menjadi  salah satu guru Sekolah Rakyat di Solo, dimana saya belajar sebagai anak pengungsi juga.
Dan kita harus sangat bersyukur bahwa mayoritas guru guru, yang terdidik pada jaman penjajahan Belanda, mengantisipasi dengan sangat tepat dan nyata menggariskan profesinya sebagai guru bangsa Indonesia yang sangat muda, dengan semangat yang menggelora. Sebutan kepada Bapak Ibu Guru tetap dipakai, bukan Sensei a’la Nippon, atau meneer/mufrouw cara Belanda, anehnya segera Bapak Ibu Guru  tidak ingat lagi bahasa Jepang. Tandanya beliau beliau mengajarkan bahasa jepang bukan setulus hatinya tapi tepaksa karena takut militerisme Nippon.
Propaganda perang Nippon membebaskan beaya pendidikan disekolah sekolah Negeri masih menjadi tonggak ketercapaian revolusi kemerdekaan.
Kejiwaan para guru masih tidak terusik selama pemerintahan Demokrasi liberal, selama Orde Lama, meskipu hanya hidup dari gaji – karena apa yang akan dukorupsi ? Ini ungkapan klasik kala itu, jaman demokrasi liberal jamannya Partai Partai rebutan kursi kekuasaan dan korupsi di sector yang paling menjanjikan yaitu pemberian“izin” untuk apapun dan “pajak” terutama bea masuk barang import, di tilep, karena menjual barang import untungnya besar, maklum rakyat terlalu lama menderita kekurangan barang yang biasa diimport dari luar. Tapi guru guru tetap tidak menjual bangku sekolah, tetap tidak menarik bayaran untuk naik kelas, untuk lulus ujian, untuk deterima sebagai murid sekolah vaforit, sunggh pamali, karena saya tahu sndiri. Guru guru bekerja dengan tekad seorang pejuang sejati  dan ketulusan bhatinnya dalam mendidik dan mengajar.
 Terbukti tekad dan ketulusan idealism para guru senior ini telah mengilhami,menarik generasi muda para mahasiswa kala itu, yang mau jadi guru sukarelawan, dipelosok tanah air, sampai banyak yang dibunuh oleh Permesta dan PRRI, Dewan Dewan Separatis karena membela NKRI, semoga Allah memberi tempat yang sebaik baiknya bagi arwah arwah mereka.
Dengan gugurnya guru guru sukarelawan, di pulau pulau  pelosok tanah air, tidak sia sia lahirlah Orde Trisakti yang dipimpin oleh Founding father kita sendiri,  Bung Karno. Kabinet Presidensial dengan Sukarno sebagai kepala Negara Perdana Menteri dan Panglima Tertinggi NKRI. Tewujudnya nyanyian “Dari barat sampai ke timur, berjajar pulau pulau”.Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.  Guru guru masih tetap pada idealismenya terhadap bangsanya di seluruh Indonesia setia dengan TRISAKTI.
Guru guru mendidik dan mengajar anak anak diseluruh hunian penduduk Negara yang masih agraris ini, sangat banyak di desa desa. Idealis yang terpelajar ini paling mengerti soal tanah yang dikelola pabrik gula pada zaman Penjajahan Beanda untuk menghasilkan tebu, oleh Pabrik gula digiling jadi gula. Tanah ini dikuasai oleh sebagian penduduk desa yang menghimpun kekuatan kelompok Partai atau tukang pukul, menggarapnya dengan backing kekuatan itu sejak jaman  demokrasi Partai Partai, sedang sebagian besar petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur lapar tanah, memang mereka bekas kuli pabrik gula maka Pemerintah Sukarno dengan Menterinya Sujarwo dan DPR hasil Pemilu ketiga mengundangkan UUPA no 5 Th 1960, membagikan tanah pabrik gula ini kepada petani ex kuli lahan tebu milik pabrik – Para guru desa mengerti betul kegunaan tanah sawah untuk petani miskin ini ikut bergembira. Sebaliknya para tuan tanah yang menguasai tanah ex pabrik gula selama 8 tahun sangat kehilangan, mereka kebanyakan dikalangan kelompok teragitasi saling memperkuat lolongan serigalanya dengan nafsu schizophrenic  massal membunuhi orang yang dianggap antek PKI tanpa tanggung jawab. Sedang  pasukan Jendral  Suharto yang mendukung amuk massal itu. Di kalangan akar rumput di pedesaan, klop mereka bekerja sama untuk menjatuhkan Bung Karno dan melenyapkan PKI –  pada coup de’etat Jendral Suharto dengan dalih memberantas G30S PKI, para petani penerima tanah hasil land reform ini dibantai habis oleh rakyat yang dikendalikan oleh para conformis yang teragitasi berat, mereka dari kelompok conformis Islam,  juga PNI Osa Usep dijaga oleh satuan dari kelompok bersenjata pengikut Jendral Suharto. Akibatnya sekolah desa mengambil guru sebagai pengganti yang hilang, seadanya dari lingkungan setempat. Maka hilanglah idealisme pendidik, ketulusan guru bangsa yang plural, mengajar dan mendidik dngan tulus tidak pandang asa usul, suku bangsa dan agama muridnya, karena mereka yang hilang adalah warga yang berfikir, intellectual desa yang sulit untuk jadi conformis meskipun mereka sebagian besar Islam, namun tidak terikat pada atribut dengan kopyah dan jilbab sebagai orang Jawa umumya. Orde Baru tidak mengenal kotak kotak untuk berbagi, sebagai yang dituntut oleh sekutunya,  tidak mengenal atribut conformistik yang dipimpin oleh Subchan ZE alm. Dia terbunuh pada kecelakaan mobil yang mencurigakan di padang pasir Saudi Arabia tidak lama kemudian, akhirnya NU kembali ke khitah dan tidak berpolitik praktis. Presiden Suharto memilih kroninya sendiri dari mereka yang bisa menggandakan uang. Sedang bekas sekutunya, untuk memenangkan coup d’etat ini,  sudah menguasai tanah bekas punya pabrik gula, beliau sendiri juga dari kalangan petani, mengerti betul kerja tuan tanah, jadi sekutu ini sudah habis gunanya. Tapi rakyat di pedesaan sudah kehilangan guru gurunya yang berfikir, mandiri, tulus dalam mengajar, dan tidak suka menonjokan konformisme  Diganti dengan guru guru yang kehilangan arah, pribadi pribadi yang kehilangan GURU, hanya mengandalkan atribut atribut saja, sebagai ganti iman dan intelektualitas mereka, nyambi berdagang dan meramaikan bursa politik, jadi Golkar. Juga dikota kota besar dan kota kabupaten, banyak guru yang dipecat dan dibunuh, dengan dakwaan simpatisan PKI, yang sebenarnya lebih banyak yang pengikutnya Bung Karno .
Diganti guru entah dari mana, semua dengan sekolah diberi wewenang untuk cari uang sendiri, memeras dari orang tua murid murid. Mulailah perlombaan jadi vaforit  orang tua murid, adu banyak muridnya  yang diterima disekolahan vaforit yang lebih tinggi. Muatan pendidikan agama diperbanyak, sebagai pencegahan kembalinya PKI yang dianggap anti agama tidak ber Tuhan. Untuk yang golongan Islam dajarkan huruf hijaiyah sampai tingkat SMU. Membaca Al Qur’an, sebagai ganti pelajaran Budi Pekerti. Maka liberalisasi mencari mencari uang dari upaya pendidikan dan pengajaran, sangat bertentangan dengan kepribadian sosok guru untuk pertama kali sepanjang sejarah pendidikan. Yang di didikkan adalah mencari uang dengan wajar, mendapatkan honorarium wajar atau berdagang wajar. Dengan posisi guru, kewajaran ini dengan mudah menjadi tidak wajar, karena dalam dilingkungan sekolah kekuasaan guru adalah mutlak. Uang gedung , uang bangku menjadi puluhan juta, memacu korupsi para orang tua murid, dan lembaga pendidikan hingga kepribadian guru dan gedung sekolahnya yang baru dibangun sama sama sangat lemah dan mudah roboh. Tidak ada lagi yang bicara perkara ketulusan bathin guru dalam mengajar. Kepala Sekolah hanya berkantor di Kabupaten untuk menggarap pembagian dana dan kucurannya dari tingakt I maupun tingkat II.
Dengan kagoncangan profesi guru ini, dan dasar mencari uang dunia pendidikan, maka guru jadi komersial, memberikan les dirumah, dan memberi keistimewaan pada yang membayar, presis kayak Pendeta Drona. Inilah hasil akhir yang didapat selama Ode Baru. Termasuk menginfiltrasi pendidikan dan pengajaran di pondok pondok.
Pendidikan  tidak punya ideology yang bisa mengilhami rakyat, dengan idealisme yang lebih tinggi, selain pragmatisme mencari uang.
Segera sesudah pembantaian berdarah darah dikalangan petani pangan, Ordee Baru mendapatkan bantuan dari konsursium bank bank luar megeri untuk belanja pupuk dan pestisida  sangat royal. Maka Pemerntah Orde Baru dengan dorongan dari konsursium mengadakan crash program intensifikasi produksi pangan, sebagai pengalihan perhatian para petani dari tragedi yang berusan melanda desa desa, program BIMAS PADI DAN POLOWIJO, yang memberi subsidi besar besaran dan bibit padi unggul dari IRRI.   Dengan demikian Pendidikan dan pengajaran disemua tingkatan, menjadi ajang phragmatisme mencari uang, tanpa ada yang secara serius mengamati. Ini berakibat parah pada anak didik diseluruh Indonesia selama 35 tahun rezim Orde baru berkuasa. Pedoman pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila tidak berpendaruh apa apa terhadap moral bangsa karena juga tidak diajarkan oleh guru guru/  instructor yang tulus.
Dilain sisi dunia Islam yang kokoh di akar rumput, telah terbelah secara serius: Menjadi anti zionis yang sebenarnya menguasai Amerika Serikat, sebagai pembela setia dari faksi Yahudi yang nyata nyata  mengusir bangsa Arab dari ladang minyaknya, dari masjidil Aqsanya, dari tanah Palestina – atau jadi sekutu Amerika Serikat melawan komunisme, yang sangat menguntungkan bila Partai Partainya  berkuasa pada satu saat, sayangnya komunisme sudah bubar. Pemimpin Dunia Islam di Indonesia tidak melihat sisi ideologi Islam yang lain, lebih hebat dari hanya pilihan yang sekarang nampak. Yaitu ideologi rakhman dan rakhim, yang dengan itu bisa mengganti hilangnya guru guru yang tulus.
Guru  guru desa yang tidak mengajar dengan tulus ini selama 35 tahun kekuasaan Orde Baru, telah melahirkan anak didik yang menjadi warganegara bangsa ini  juga tidak ikhlas bernegara, bila memegang kekuasaan, bahkan gampang sekali menggunakan wewenangnya memperkaya diri alias korupsi desegala bidang. Contonya  Budiaji, Artalita Suryani, Roby Cahyadi, Gayus, Dhana, Aiptu Labora, Lutfi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, Andi Malarengeng, Andi Cul Malarangeng, La Ode Nurhayati, Ratu Atut Chosiah, Jero Wacik, Hartati Murdaya Poo, Nazaruddin, Amran Batalipu dll,  yang masih muda muda,  dibesarkan dan dididik oleh iklim Orde Baru.
Th 1998, Orde Baru Jendral Suharto kahabisan nafas, karena kredit dari lembaga keuangan Dunia diketati nyaris berhenti, Jendral Suharto lengser, sebelum lengser. dalam sekaratnya, Orde Baru mengerti kekuatan apa yang membuat dia malu terhadap Amerika Serikat. Dilevel akar rumput, mengadakan operasi intelijen yang bersifat deterrent ke Pesantren Pesantren menteror kiai kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengembalikan mereka ke khitahnya. Tanpa hasil, sebab penentang Amerika   makin santer saja. dikalangan pesantren.
Inilah situasi dunia pendidikan dan pengajaran yang diwarisi Orde Reformasi, yang kita hadapi sekarang. Silih berganti Pemimpin Negara, dimulai dengan teknolog Dr Habibi,  budayawan pluralis guru bangsa Gus Dur, pejuang dengan fleksibilitas tinggi Megawati, pejuang pencitraan ABRI  Jendral Susilo Bambang Yudoyono, dua periode, dunia pendidikan tetap seperti itu. Que vadis Domine?*)

















































0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More