KEBUDAYAAN MANUSIA MASA KINI:
SATU KEHARUSAN BAGI MANUSIA UNTUK MENJAGA KETERSEDIAAN ALAMI SARANA HIDUPNYA. DAN KELESTARIAN KEANEKA RAGAMAN HAYATI SESAMA CIPTAAN ALLAH YANG BERBAGI DENGANNYA.
Dari keharusan ini maka akan ada kebudayaan baru dari manusia moderen yang sesuai dengan keadaan yang sangat menekan ini, atau ras manusia musnah.
Apabila kesadaran ilmu sudah melampaui kesadaran ideology
karena manusia sebagai makhluk hidup terdiri dari dua unsur yang tak tepisahkan:
unur ragawi dan unsur ketuhanan, maka explorasi sosiologi profetik sepertinya
dari yang paling universal kemudian meningkat ke explorasi dari sumbernya
langsung, ke persoalan yang lebih multi tafsir sangat diperlukan untuk
menghadapi masa depan teknologi manusia sehingga bisa menyatukan seluruh
potensinya untuk bertransformasi meningkat ke tingkat rakhmatan lil alamin. Tidak
beda dengan pemakaian angka lambang bilangan huruf Arab untuk berhitung di seluruh Dunia, oleh bangsa
bahasa dan tulisan yang manapun.
Dimulai dengan keluasan kesabaran qolbu ulamanya. Dengan ini saya
sajikan copy paste dari pencerahan yang saya temukan di google:
qoute:
Racik Meracik Ilmu
Racik Meracik Ilmu
Home » pengetahuan
Umum , Sosiologi » Pengertian Sosiologi
Profetik
Dalam
proses perkembangan suatu masyarakat atau kelompok, sebagaimana yang dituturkan
oleh August Comte mengatakan: bahwa dalam mempelajari sesuatu tentang sosiologi
itu sendiri diperlukan adanya posisi penting dalam sebuah masyarakat yang
kemudian berkembang paradigma perilaku sosial.
Dengan beragam paradigma tersebut, maka
sosiologi tumbuh dan berkembang menjadi ilmu yang memberikan perhatian pada
hubungan timbal balik antar individu, masyarakat, atau kelompok. yang kemudian
lahirlah sebuah sosiologi Islam dan masyarakat modern yang akan penulis dalam pembahasan selanjutnya.
A. Epistemologi Sosiologi Profetik
Sosiologi Profetik secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP
dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan Ilmu Sosial yang
mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental.
Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP
adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh
berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian
memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban
tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian
merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu:
humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di
bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan
sebagai sosiologi berparadigma ISP.
Gagasan mengenai Ilmu Sosial Profetik (ISP)
menurut Kuntowijoyo dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal[1] dan Roger Geraudy.[2] Dengan bersumber pada kedua
tokoh ini, Kuntowijoyo memaknai tentang isi penting dari penunaian tugas-tugas
kenabian (etika profetik) yang telah menjadi bagian darii proses sejarah umat
manusia. Abdul Quddus ( seorang sufi besar Islam dari Ganggoh) mengatakan bahwa
Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness)
dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan
sejarah.
Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang
lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi telah memasukkan
unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya,
realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan
pergolakan sejarah manusia.
Sementara Roger Geraudy memandang kemerosotan
peradaban Barat yang sekuler sebagai awal dari upaya untuk membangun dan
menciptakan peradaban baru yang didasarkan pada keagamaan, ia menyatakan bahwa
di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki
banyak kelemahan, maka kita sebaliknya menghidupkan kembali warisan Islam yan
telah ada. Yang diambil adalah “Filsafat Kenabian” (filsafat profetika) dari
Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam
adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan
aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah
sejarah masyarakat menjadi positif. Garaudy mengklaim bahwa bangunan filsafat
itu telah dilakukan oleh para filsuf muslim sejak Al-Farabi sampai dengan Mulla
Shadra, dengan puncaknya Ibn ‘Arabi.
oleh Kiki Erwinda & Lydia Megawati
Supprapto Putri
|
Ide dasar dari Iqbal dan Garaudy tersebut
memperoleh ruang “artikulasi” ilmiah ketika Kuntowijiyo menggali langsung dari
Al-Quran, ketika itu katanya, sisi profetik yang harus diemban oleh ilmu sosial
yang berbeda dari dakwah harus memenuhi tiga unsur yakni (amar ma’ruf, nahi
munkar, dan tu’minuna billah. Unsur pertama adalah amar ma’ruf yang diartikan
sebagai humanisasi. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artiya memanusiakan
manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,kekerasan, dan kebencian dari
manusia.[3] Humanisasi sesuai dengan
semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban
Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme
teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa
memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.[4]
Dari epistimologi di atas, sosiologi profetik
memiliki paradigma-baik mandiri dari paradigma sosiologi secara umum maupun
menyatu dalam keseluruhan paradigma sosiologi, artinya paradigma sosiologi profetik juga tidak terlepas dari paradigma sosiologi secara umum, meski nanti
akan ada upaya mengaitkan dengan teks-teks Islam, entah sifatnya teks ke konteks
atau konteks ke teks, keduanya tidaklah begitu menjadi masalah, meski yang
harus ditekankan oleh sosiologi adalah dari konteks ke teks, karena fakta-fakta
empiris memerlukan penjelasan rasional, yang sering kali atau kadang-kadang
mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma, tetapi dalam “rumah” sosiologi
profetik sedapat mungkin konteks memperoleh legitimasi nilai etisnya dari
Islam.
Pelebaran obyek studi sosiologi dan humaniora
dengan menggunakan cara pandang Islam sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual
akademisi muslim, yang sejak lama mengumandangkan islamisasi ilmu. Dalam waktu
yang lama terjadi pemisahan antara ilmu-ilmu empiris dengan ilmu-ilmu agama.
Selama ini yang lazim dikenal dalam ilmu sosial humaniora terbagi menjadi dua
macam, yaitu ilmu-ilmu alami (kauniyah) dan ilmu-ilmu Quran (qauliyah).
Pembagian ini menurut Kuntowijoyo perlu segera ditambahkan dengan ilmu nafsiyah.
Kalau ilmu Kauniyah berkaitan dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkaitan
dengan, nilai, kesadaran. Ilmu nafsiyah itu menurut Kuntowijoyo disebut dengan
humaniora. Pembagian ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ilmuwan
sebelumnya, Ibn Sina mengelompokkan ke dalam tiga kategori teori ilmu
pengetahuan Islam, yaitu ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu matematika, dan
ilmu-ilmu alam atau fisik.
Pembagian seperti Ibn Sina di atas juga ditemukan dalam tradisi sosiologi klasik, August Comte misalnya membuat
klasifikasi ilmu menjadi tiga yakni teologi, metafisika, dan positivis.
Kemudian Kuntowijoyo membuat fase perkembangan keilmuwan dalam kerangka yang
hampir sama yakni periode utopia, periode ideologi, dan periode ide. dalam
kerangka perjuangan politik kalangan Islam misalnya, pada periode utopia, para
pemimpin Islam hendak mendirikan negara Islam seperti apa yang kita harapkan
tanpa melihat kondisi objektif. Periode ideologi, umat Islam menghendaki negara
Islam teokrasi yang demokratis, sementara periode ide lebih menekankan pada
spesifikasi seperti ekonomi Islam, universitas Islam, lebih dari itu kita butuh
ide Islam tentang etika, estetika, pemikiran filsafat, dan lain-lain.
B. Paradigma Sosiologi: Sosiologi untuk Sosiologi
Paradigma adalah cara pandang atau world view
atau teori dominan dari ilmu tertentu. Menurut Kuhn bahwa suatu disiplin ilmu
lahir sebagi proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori
ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru. Dalam hal ini, paradigma menjadi
dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Suatu paradigma akan menjadi kuat
apabila didukung oleh berbagai kekuatan seperti, penelitian, pengembangan,
penerbitan (jurnal dan buku), dan juga penerapan dalam bentuk kurikulum di
lingkungan akademik atau masyarakat ilmiah.
Berkembangnya suatu paradigma akan dtentukan oleh berbagai perangkat pendukung paradigma tersebut sehingga diterima luas,
Fakih menyebut bahwa paradigma adalah konstelansi teori, pertanyaan,
pendekatan, serta prosedur yang digunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran,
konstelasi tersebut dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan
keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberikan makna
realitas. Dalam hal ini, suatu paradigma memiliki kekuatan justru terletak pada
kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat
sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat
untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan untukmeneliti dan
berbuat.
Dalam sosiologi, paradigma muncul,
berkembang, dan mengalami keruntuhan bukan soal benar dan salahnya suatu teori
atau paradigma, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor pendukung yang menang,
karena memiliki kekuatan dan kekuasaan dari pengikut paradigma yang dikalahkan.
Paradigma merupakan cara suatu ilmu untuk memahami realitas dan dinamika yang
terjadi dalam masyarakat. Sosiologi sendiri memiliki beragam paradigma dengan
keunggulan masing-masing dalam memotret realitas kehidupan masyarakat,
antar satu paradigma dengan paradigma lainnya saling melengkapi.
Oleh sebab itulah, paradigma keilmuan
sosiologi sangat beragam, ia tidak bersifat tunggal, sepeti yang disebutkan
oleh Ritzer, dalam sosiologi terdapat tiga paradigma yang populer yaitu
paradigma definisi, sosial, dan paradigma perilaku sosial.[5] Ketiga paradigma ini
menjadi pokok soal dalam kajian sosiologi, harus diteliti dan dikaji dalam
dunia yang real, dunia empiris atau dunia nyata.
Dalam pandangan kaum positivitis, suatu
pengetahuan harus dapat digunakan dalam berbagai keperluan atau kebutuhan guna
menjelaskan fenomena sosial, shingga ilmu itu tidak memiliki ranjau-ranjau yang
dapat menghalang penggunannya, ilmu tersebut tidak terikat oleh nilai-nilai
tertentu, melainkan pada ilmu itu sendiri, ia bersifat netral dalam menjelaskan
fakta-fakta sosial, itulah sebabnya pengetahuan ilmiah yang autentik itu harus
bersifat netral, tidak memihak atau value free (bebas nilai).
Dengan melepaskan diri dari kaitan-kaitan
dengan nilai-nilai tertentu, maka sosiologi akan lebih independen dalam
menjelaskan fakta-fakta sosial, lebih leluasa dalam meneliti fakta-fakta sosial
yang oleh Durkheim disebut sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan
ide. Fakta sosial yang perlu diteliti dan dianalisis oleh sosiologi menurut
Durkheim terdiri dari dua macam;
·
dalam
bentuk material, yaitu barang sesuatu dapat disimak, ditangkap, dan
diopservasi. fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia
nyata(eksternal world), contoh arsitektur dan norma hukum.
·
dalam
bentuk nonmateril, yaitu sesuatu yang dianggap nyata(eksternal). fakta sosial
jenis ini merupakan fenomena yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran
manusia , contoh egoisme, altruistik, dan opini.
Realitas terus menerus mengalami perubahan
dan berkembang menurut logika sosial yang mencipakannya, realitas tersebut
bekerja dan berproses untuk mencapai suatu kondisi yang dikehendaki sebagi
sesuatu yang ideal dan sempurna, menurut Hegel, realitas itu bukan suatu yang
statis, jadi, bulat, suatu “substansi” melainkan berkembang, mengasingkan
diri, menemukan diri kembali, menyadari diri melalui taaf-taraf dialektis yang
semakin mendalam. Realitas itu “subjek”. Di belakang realitas alam dan manusia
dengan masyarakat dan pemikirannya berlangsunglah “proses” pernyataan diri roh
alam semesta.
Berangkat dari itu, paradigma sosiologi
mestinya juga harus dihadirkan untuk konteks sosial yang real dan diaplikasikan
dalam merespons fenomena sosial. Suatu paradigma keilmuan yang lahir dari dialektika
sosial akan memberikan makna tersendiri khususnya dalam konteks akademik dan
kemanusiaan, umpamanya dialektika antara realitas dan kesadaran. Sosiologi
sebagai ilmu yang mendasarkan segalanya dari realitas dan fakta empiris, tidak
cukup dengan melepaskan diri dari menjelaskan realitas tanpa “bertanggungjawab”
untuk berkontribusi di dalamnya.
Dengan mengaitkan antara keyakinan kepada
yang gaib dan pijakan pada fakta-fakta sosial empiris sebagai sumber
pengetahuan yang dikonstruksi secara subjektif, akan menghasilkan suatu
paradigma keilmuan sosiologi baru yang diyakini sebagai upaya merekonstruksi
ilmu ini dalam kerangka keterpaduan antara struktur Pencipta dan struktur
ciptaan yang bertebaran di jagad bumi ini.
C. Konstruksi Paradigma Sosiologi Profetik
Sosiologi profetik yang dimaksudkan disini
adalah Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowijoyo. Sebagian besar diskusi ISP,
selalu saja menjadikan atau meletakkan sosiologi sebagi “rumah” yang tepat
untuk konsep tersebut. Ilmu sosial yang dimaksud oleh Kuntowijoyo sangat luas
termasuk ilmu-ilmu humaniora atau ilmu kemanusiaan, tetapi basis formal
materialnya kalau dilakukan pengkajian mendalam apa yang dimaksud oleh
Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik itu secara sederhana dapat disebut
“sosiologi”, ia berbicara masalah fungsionalisme dan strukturalisme misalnya.
Kajian-kajian tentang ilmu sosial humaniora selalu memperoleh dukungan
paradigma sosiologi, bahkan sebagian kalangan menyebut bahwa ilmu sosial yang
“murni” adalah sosiologi.
Paradigma sosiologi profetik adalah menuju
pada perubahan yang bersifat permanen dalam arti semakin dekatnya manusia
kepada yang Maha Abadi, menurut Kuntowijoyo, Islam menghendaki adanya
transformasi menjuju transendasi. Transformasi inilah yang akan menjadi core dan
dikaji oleh sosiologi dalam perspektif Islam. Tauhid merupakan suatu konsep
yang bersifat dinamis, tauhid sebagai pandangan dunia dapat dimaknai sebagai
sebuah pandangan umum tentang realitas, kebenaran,ruang dan waktu, dunia dan
sejarah Islam.
D. Kerangka Metodologi Sosiologi Profetik
Sosiologi memeiliki beragam metodologi dalam
rangka menjelaskan fakta-fakta sosial. Metode yang satu mungkin berhasil
menjelaskan fenomena sosial tertentu, tetapi belum tentu dapat dan berhasil
menjelaskan fenomena sosial yan lain. Metode yang digunakan mengikuti
kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat, kalau dahulu sosiologi lebih
didominasi oleh metode kuantitatif, menjelaskan fenomena-fenomena sosial dengan
pendekatan statistik dan angka-angka, kini tidak lagi dominan, bahkan metode
kualitatif dengan ragam tekniknya jauh lebih populer digunakan oleh para ilmuan
sosial, khususnya sosiologi.
Metode-metode yang digunakan dalam studi
sosiologi, tampaknya dapat digunakan dalam studi-studi yang lebih luas,
termasuk studi yang berkaitan dengan agama dan kehidupan sosial.Kuntowijoyo
menyebut metodologi yang digunakan untuk mengilmukan Islam adalah integralisasi
dan objektivikasi. Yang pertama bertujuan mengintegralisasikan kekayaan manusia
dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah
Nabi) dan yang kedua menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua
orang (rahmatan lil ‘alamin).
Ilmu-ilmu rasional-empiris merupakan ilmu
yang dikonstruksi melalui pengalaman empiris manusia, ilmu yang didasarkan pada
fenomena sosial yang ditangkap oleh pancaindra atau didasarkan pada riset,
eksperimen dan sebagainya. Ilmu dalam pandangan Islam adalah ilmu yang
merupakan hasil usaha manusia melalui akal, hati nurani, kesadaran, serta
bantuan pancaindranya, yang disusun secara sistematis, untuk memahami
fenomena-semesta Ketuhanan.
Ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta empiris
dengan ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama tidak dipisahkan,
melainkan keduanya harus dikawinkan untuk mencapai suatu peradaban kemanusiaan
yang maju. Untuk menyatukan kedua sumber ilmu itu, menurut Kuntowijoyo
digunakan metodologi yang bersifat integralistik dan objektivikasi.
Metode Integralistik menurut Kuntowijoyo
tidak hanya menyatukan agama dan hasil pemikiran manusia, tetapi bertujuan
untuk menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dengan agama-agama
radikal dalam banyak sektor.
Untuk mengembangkan paradigma sosiologi
profetik memerlukan sejumlah metode untuk menjelaskan metode untuk menjelaskan
fakta-fakta sosial, apalagi fakta-fakta objek yang cenderung “bebas
nilai”dengan agama yang mengandung unsur-unsur moral tinggi.
E. Sosiologi Profetik: Alternatif Pengembangan Sosiologi
Dengan menggunakan pendekatan integrasi dan
interkoneksi, baik dalam cara memperoleh suatu “kebenaran” ilmu maupun alat
yang digunakan untuk melakukan penyelidikan ilmiah guna menjelaskan fenomena
sosial, akan lebih memberikan suatu kekayaan yang besar terutama dalam
kaitannya dengan usaha untuk meminjam istilah Kuntowijoyo yaitu mengilmukan
Islam dalam ranah kajian sosiologi suatu langkah penting apabila dikaitkan
dengan tradisi positivitis yang selama ini digunakan dalam sosiologi.
Seperti yang ditulis oleh Mutaqqin[6] bahwa sosiologi Profetik menggariskan
beberapa hal:
·
Sosiologi
profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya, yaitu humanisasi,
liberalisasi, dan transendasi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik
juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penellitian.
·
Secara
Epistimologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada
tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan
positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos
·
Secara
metodologi sosiologi profetik jelas berdiri dalm posisi yang berhadap-hadapan
dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivisme seperti
klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah
fakta-fakta yang terindera.
·
Sosiologi
profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan
basis material (structure).
Dengan menggunakan pendekatan sosiologi
profetik, banyak fenomena sosial politik yang dapat dijelaskan, pendekatan ini
lebih memberi ruang artikulasi konsepsional dan teoritis guna memahami
kecenderungan global yang mengukuhkan hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme
dengan wajah yang multi kompleks. Kuntowijoyo dengan gagasan profetiknya,
berupaya untuk menghindar dari berfikir yang berdasarkan mitos menuju cara
berfikir yang bersifat empiris realis.
Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian yang telah penulis
paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
·
Ilmu
Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting
Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk
menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi
lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju
cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai
dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan
transendensi.
·
sosiologi
profetik memiliki paradigma, mandiri dari paradigma sosiologi secara umum
maupun menyatu dalam keseluruhan paradigma sosiologi, artinya paradigma
sosiologi profetik juga tidak terlepas dari paradigma sosiologi secara umum,
meski nanti akan ada upaya mengaitkan dengan teks-teks Islam. Dan sosiologi
profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas
empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang
wahyu sebagai bagian dari mitos.
REFERENSI
[1] Muhammad Iqbal, Membangun
kembali Pikiran Agama dalam Islam, (Djakarta: Tinta Mas, 1966).
[2] Roger Geaurdy, Janji-janji
Islam, (Bulan Bintang, 1982).
[3] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa
Masjid: Esei-esei Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental, (Bandung: Mizan, 2001), hlm.364-365.
[4] Husnul Muttaqin, “Menuju
Sosiologi Profetik”, dalam Jurnal Sosiolologi Profetik, Vol I, No. 1, Oktober
2006, hlm. 59-82.
[5] George Ritzer, Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm.
15-97.
[6] Husnul Mutaqqin, “Menuju
Sosial Politik”, dalam jurnal Sosiologi Reflektif, vol. I, no. I, Oktober,
2006, hlm. 59-82.
Related Posts:
·
Pengertian Sosiologi ProfetikDalam
proses perkembangan suatu masyarakat atau kelompok, sebagaimana yang dituturkan
oleh August Comte mengatakan: bahwa dalam mempelajari sesuatu … Rea
·
SOSIOLOGI ISLAM DAN
ILMU PENGETAHUAN: PARADIGMA SOSIOLOGI PROFETIKDalam
proses perkembangan suatu masyarakat atau kelompok, sebagaimana yang dituturkan
oleh August Comte mengatakan: bahwa dalam mempelajari sesuatu t… Read
SOCIAL PROFILES
GOOGLE+ BADGE
·
Popular
·
Tags
Telah tercatat dalam sejarah bahwa Islam telah berjaya dan
mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun, namun
disi...
Keragaman suku bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan
kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh dalam keseluruhan pr...
Racik Meracik Ilmu - Dalam masa lebih tujuh abad,
kekuasaan Islam di Spanyol , umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana.
Banyak prest...
Seringkali ditemukan orang atau di televisi menyebut kata
“metafisika”, sayangnya metafisika tersebut selalu condong dan dikaitkan ke
ara...
Sikap, perbuatan atau tindakan adalah beberapa hal yang
pasti dilakukan manusia dalam hidupnya. Sungguh sangat tidak mungkin jika
seora...
LIKE FACEBOOK
Powered
by Blogger.
·
BROSUR STAI DDI MAKASSAR
TOTAL PAGEVIEWS
·
BROSUR STAI DDI MKS
TRANSLATE
Powered by
Translate
·
USTAZ ABU JANDAL ALBOLIWUDI
BERITAKURASI.COM
Copyright © 2018 Racik Meracik Ilmu | Powered by Blogger
iDesign by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com | BTheme.net UNQUOTE.
0 comments:
Posting Komentar