Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 12 Oktober 2011

Jogjakarta 1959

Saya memilih judul Jogjakarta Tahun 1959, karena tahun itulah keberangkatan saya ke negara bekas Uni Sovyet untuk belajar di Fakultas Pertanian di Universitas Patricia Lumumba (University Druzhby Norodov), Moscow.

Saat itu saya sebenarnya adalah mahasiswa propadeuse (tingkat 1) jurusan Kedokteran Hewan di UGM (Universitas Gadjah Mada) Jogjakarta. Ayah saya,  Bapak Kusno, masih kuat membayari kuliah saya di UGM tahun segitu karena beliau bekerja sebagai klerk alias juru tulis kantor notaris keturunan Belanda di Surabaya.  Saya  adalah anak keenam dari 11 bersaudara.  Saya sebenarnya terbiasa hidup susah, sehingga ingin mengubah nasib. 

Saat itut bermula dari pameran pendidikan di Jogjakarta, 1959, saya dengan modal berbahasa Inggris memberanikan diri mendaftar jurusan ilmu pertanian di Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa 'Patricia Lumumba'  atau Universitet Drushby Narodov di Moskow. Lamarannya saya tulis pakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Setelah diterima, saya langsung ke Kedubes Uni Soviet di Jakarta, pamit bapak di Surabaya cuma lewat telepon..

Sesampai di Jakarta, ternyata saya harus mengurus paspor dulu ke Surabaya. Jadilah saya pamit kepada Bapak dan Ibu Kusno meminta restu secara langsung. Tak lama kemudian, saya terbang ke Moskow via India menumpang Super Constalation milik Air India. Dari India ke Moskow dengan pesawat TU 104. Itu aslinya pesawat tempur tapi dimodifikasi untuk bawa penumpang.

Moskow di bulan Desember 1959 itu sedang musim dingin, sementara saya hanya berbekal beberapa potong baju ala Indonesia. Lain sekali dengan persiapan enam kawan sepesawatnya, antara lain, Tumbu Tri Iswari Astiani, istri bekas Kabulog Rahardi Ramelan. Kawan-kawan saya sudah siap dengan baju wol untuk musim dingin.

Tiba di Rusia, saya menyaksikan ternyata iklim perkuliahan di Russia lain sekali dengan iklim perkuliahan di Indonesia.  Dosennya sangat terbuka, dan dapat kita temui di mana saja,  para dosennya juga tidak bermental feodal, sehingga pergulatan ilmu science tidak pakai sungkan. Selain itu perpustakaannya juga lengkap.

Tapi sebelum bisa membaca semua buku di perpustakan itu saya hanya diberi waktu 3 bulan untuk dapat menguasai dengan sempurna bahasa Russia dengan huruf alfabet Cyril yang cukup susah buat dihafal secara cepat. Tapi untunglah karena pilihannya adalah :bisa berbahasa Russia oral dan written secara sempurna atau pulang kampung ke Indonesia karena gagal test bahasa, maka dengan semangat 45 saya dan kawan- kawan dapat menguasai alfabet cyril dan bahasa Russia dalam tempo 3 bulan saja (karena terpaksa).
Di Universitas Patricia Lumumba, saya puaskan keinginan saya untuk membaca buku apa saja, yang penting membaca. Dan perkuliahan juga berlangsung tiap hari, di musim panas pada bulan Juli-September adalah libur musim panas. Nah pada musim panas ini saya beranikan diri untuk menumpang kereta api trans Russia untuk pergi ke kawasan-kawasan yang bagi saya masih asing yakni Kazakhstan, Uzbekistan, Bukhara, Turkmenistan dan Azerbaijan. 

Di Bukhara, Tashkent, Uzbek, saya berkesempatan mempelajari sejarah Syekh Al Bukhari, dari manuskrip asli yang berumur ratusan tahun. Syech Al Bukhari, adalah perawi hadits nabi yang terkenal. Selain itu di tahun 1960-an saya juga membaca banyak karya-karya pujangga sastrawan dari negara-negara  bekas Uni Sovyet yang penduduknya muslim seperti Chechnya, Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstandan Azerbaijan. Karya-karya itu ditulis di berbagai media, papyrus, kulit onta, kulit kambing, lempeng tulang, dan kain, baik karya yang esoteris maupun syar'i, sangat mengagumkan bagi saya.

Bagi saya karya-karya kuno  tersebut membuka pengalaman bathin saya. Selanjutnya saya juga berkesempatan untuk mempelajari filsafat Yunani, filsafat Aria kuno (Persia) dan filsafat-filsafat timur kuno lainnya dari manuskrip asli yang telah diterjemahkan dari bahasa aslinya dengan huruf cyril di perpustakaan nasional di Moscow, karena saya memiliki kartu perpustakaan nasional Uni Sovyet. Saya pernah tinggal beberapa hari di perpustakaan saja, karena malas untuk pulang ke asrama mahasiswa, saking gemarnya saya membaca buku.

Kebetulan saya juga bisa aktif Bahasa Inggris tulis dan oral, dengan begitu akhirnya malah banyak ketemu kawan sesama pecinta  buku. Saya juga bergaul erat dengan para pelukis dan pematung tingkat menengah di Moscow, antara lain kawan saya adalah Maysarov (pematung), Dobovski (pelukis,) dari mereka saya belajar seni dan melihat dunia seperti apa adanya. 
Kuliah di Rusia saya jalani normal seperti halnya mahasiswa yang lain. Setamat S1, saya memperoleh kesempatan untuk langsung melanjutkan ke program magister pertanian, uniknya  thesis saya saya buat 2 (dua) judul yang pertama tentang "pengaruh batang bawah tanaman terhadap batang atas tanaman" dan kedua tentang penelitian peternakan yakni tentang Sapi Merah Russia, atas permintaan para professor.

 Di Russia era tahun 1960-an, kami mahasiswa Indonesia  berkesempatan dua kali bertemu dengan Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Sukarno. Bung Karno dua kali berkunjung ke Russia, dan selama dua kali kunjungan tersebut kami para mahasiswa asal Indonesia diberi kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Bung Karno. 
Saya merasakan benar semangat Bung Karno supaya Indonesia  bisa 'Berdikari', berdiri di atas kaki sendiri. Itu yang berulang kali beliau  tekankan kepada kami para mahasiswa Indonesia di Moscow.  Dan bagi saya pribadi, yang takkan pernah terlupakan adalah beliau juga menyalami kami semua seraya berpesan kepada masing-masing pribadi secara akrab layaknya antara bapak dan anak. Kepada saya yang belajar pertanian  Bung Karno berpesan "Tingkatkan ilmu pertanianmu, amalkan untuk negrimu". Itu pesan singkat beliau yang  semakin memacu motivasi saya untuk belajar lebih keras lagi di negeri Russia tersebut.

Begitulah karena mendapat suntikan motivasi dari -tak tanggung-tanggung- Bung Karno sendiri, saya pun semakin tak membuang waktu lagi untuk berusaha menyelesaikan serangkaian penelitian saya, kadang kala saya tidur di laboratorium di Universitas yang terletak di kawasan Pavlovskaya Ulitsa, Moscow, tersebut .
Tak sia-sia upaya saya dalam menyelesaikan studi. Sayapun dinyatakan lulus dan mengantongi gelar magister (M.Sc) di akhir tahun 1966, kemudian kembalilah saya pulang ke Tanah Air. 
Di Tanah Air pada tahun 1966 ternyata sedang terjadi pergolakan politik yang makin memuncak, semua lulusan Russia dicurigai, bahkan ditangkapi seenaknya, dipenjara tanpa pengadilan, dan dibuang di Pulau Buru hanya karena lulusan Blok Timur. 

Namun mungkin sudah nasib saya, karena saya memang tidak pernah menjadi anggota partai politik manapun, sayapun memperoleh surat bersih diri yang dikeluarkan oleh Komando Ressort Kepolisian VII, Pasar Minggu, Djakarta tanggal 27 April 1967.
 Tapi sekali lagi, para sarjana lulusan Russia, lulusan, Chekoslovakia, lulusan Chinna dan Vietnam tidak memperoleh tempat secuilpun di birokrasi Indonesia. Dan bagi sarjana lulusan Blok Timur justru banyak mendapat tempat di penjara dan pembuangan. 

Yang dapat tempat terhormat pada waktu itu adalah para sarjana lulusan Amerika, dan sekutunya (Inggris, Perancis). Akhirnya karena tidak bisa bekerja di lingkungan Pemerintahan maupun BUMN apalagi jadi Dosen Universitas Negeri, hanya karena saya Lulusan Russia sayapun tidak menyesali diri.  

Oke, tidak masalah pula, karena saya ditolak bekerja di berbagai instasi pemerintahan, BUMN dan Universitas Negeri, sayapun memilih bekerja di perkebunan Kopi di  pedalaman Bayu Lor Banyuwangi Jawa Timur. Tempatnya sejuk, dan sangat subur, beruntung pula di perkebunan itu baik sekali untuk merenung dan belajar kembali. Selanjutnya, saya memilih bekerja di sektor swasta pertanian.

Sebenarnya untuk ilmu, lulusan mana saja asal belajar bersungguh-sungguh pasti menguasai ilmu tersebut, hanya iklim politik di Indonesia pada waktu saya lulus sekitar tahun 1960-an memang masih mendewakan teori-teori ilmu science dari Amerika, Inggris dan dunia Barat. Sementara teori-teori science Russia dan Chinna tidak dipergunakan karena alasan politis. Okelah, namanya ilmu, tentulah dapat dipelajari asalkan mau dan mampu.

Begitulah, sampai di tahun ini umur saya sudah jelang 80 tahun, saya telah mengalami Clash I dan Clash II  agressi militer Belanda, dilanjutkan dengan kesengsaraan saat pendudukan Jepang, pergolakan Politik 1965-1966 dan reformasi tahun 1998. 
Semuanya saya alami dan saksikan sendiri. Bahkan kakak kandung saya  bernama alm. Mukadi bergabung dengan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) di Surabaya dibawah  komando Mas Isman  alm.  
Kakak kandung saya almarhum Mukadi  yang sekarang dimakamkan di Nglames  adalah pejuang perang 10 November 1945 di Surabaya, saya menyaksikan sendiri peperangan 10 November 1945 karena rumah saya berlokasi di Jalan Juwet, kawasan Tambak Sari Surabaya dan keluarga saya baru mengungsi keluar Surabaya pada bulan Desember 1945. Kawan-kawan kakak saya antara lain alm Mas Gumbreg  yang gugur duel satu lawan satu antara artileri udara yang dipegangnya dengan pesawat tempur NICA yang juga berhasil ditembak jatuh olehnya. 
Karena heroiknya peristiwa yang saya saksikan di Surabaya 10 November 1945, nanti saya akan kisahkan tentang para pahlawan yang saya kenal secara pribadi yang ikut perang 10 November 1945 di Surabaya lautan api.
Demikianlah seklumit kisah saya, pesan saya asalkan anda memiliki  ilmu yang berguna bagi orang lain, maka cobalah bagikan ilmu itu sebanyak-banyaknya, jangan pelit ilmu, jangan pula jual mahal ilmu. Dan carilah ilmu sebanyak- banyaknya pula. (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More