Jumlah Rakyat Indonesia menempati 5 besar negara berpenduduk paling banyak di Dunia. Dari jaman dulu ya memang sudah banyak, sampai dibawa ke New Caledonia, dibawa ke Suriname oleh Belanda, pertaniannya cukup untuk memenuhi kebutuhan gula Dunia sampai 40% pada pertengahan abad 19, karetnya seimbang dengan produsen-produsen colonial dari seluruh dunia.
Hanya beras memang dari jaman Penjajahan dulu ya import karena harganya lebih murah, pikir Pemerintah Hindia Belanda lebih untung seluruh tanah terbaik yang terkonsentrasi di Pulau Jawa ditanami tebu dengan hampir 200 pabrik gula di buat di Pulau Jawa saja.
Dari sistem ekonomi Tuan Belanda, mayoritas petani di pulau ini tanahnya sudah di-design untuk lahan tebu sistim 'Reynoso', yaitu tanan sekali didongkel dan ditanam dengan stek tebu lagi, yang ditanam tiga empat ruas paling atas, dalam selokan, dari kedua ujung selokan tanam (panjangnya rupanya diatur sejauh orang melemparkan air dari kedua sisi – kira-kira 6 m,dari kedua sisi got tanam ada saluran air untuk menyiram, dari saat penanaman stek, bibit stek ditimbun sedikit demi sedikit, dan hati-hati, sampai selokan penanaman tebu hampir rata tanah, selanjutnya malah ditimbun hingga 40 cm.
Stek tebu diletakkan di selokan diberi bantalan tanah gembur sedikit demi sedikit di taburi tanah dari atas selokan tanam dengan hati hati, selama tumbuh dengan cepat, selalu ditaburi tanah sehingga akhirnya rata dan malah diurug meninggi, dijaga agar saluran air bisa masuk diantara guludan tebu itu. Sampai pada saat panen seolah olah tebu itu sudah nangkring ditanam diatas guludan.
Lha batas milik seorang per seorang petani padi dimana, kan batasnya hilang?
Seluruh lahan tebu ini diberi pengarian kelas satu oleh Kanjeng Gupermen ya karena milik sang Kanjeng, petani sawah gogol bisa berpindah-pindah lokasinya, ya diukur kembali. Seorang kuli pabrik gula dijatah ½ bau atau 1/3 bau (1 0,75 ha).
Hanya petani sekitar lahan tebu itu diberi izin menanam padi, bila habis ditanam tebu, 16 bulan lamanya, dipanen dan digiling, ini masa giling tebu selama sepuluh bulan. Panen tebu yang sepuluh bulan itu terbanyak di masa musim kering, sampai permulaan musim hujan.
Pada dasarnya keadaan lahan setiap waktu dalan satu tahun adalah 1/3 tebu hampir panen, 1/3 tebu masih muda, 1/3 padi.
Saat petani tidak menanam padi, mereka jadi kuli di pabrik gula, dengan upah 25 sen ( satu sen = 1/100
gulden) dan diberi hak menanam padi ½ -1/4 bau ( 1 bau kira kira 0,75 Ha) sekali dalam 3 tahun, ini namanya sawah “glebakan” petani yang menggarap namanya petani “gogol” disawah “pekulen” dengan pengucapan 'e' seperti “elok”, atau sawah “gogol”.
Ya itu, dari pertama teknologi moderen membuat waduk besar, membuat bendung, membuat bendungan dengan debiet diatas 1000 l/det. di pulau Jawa, adalah untuk lahan tebu, jadi bukan untuk produksi beras, jadi sejak zaman Penjajahan memang tidak ada swasembada beras, beras untuk kuli diimport dari Saigon.
Kebetulan selama Penjajahan Jepang, Balatentara Dai Nippon tidak bagitu perlu produk gula, melainkan bekal perang ya beras.
Seluruh lahan tebu berubah menjadi persawahan, dalam waktu tiga tahun atau tujuh musim tanam padi, tiga musim hujan dan empat musim kemarau, tebu hanya tinggal kurang dari 10 % dari biasanya , rakyat di pedesaan selama penjajahan Bala Tentara Dai Nippon sangat menderita kelaparan, terutama di Pulau Jawa, karena sistim nafkah yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda hancur.
Padinya langsung dirampas Dai Nippon, namanya Pemerintahan Militer, jadi ya semua gabah diambil.
Setelah Jepang kalah perang Dunia II, dan Negeri Belanda baru dibebaskan dari cengkeraman Nazi Jerman maka kini sampailah pada masa kemerdekaan.
Cita-cita kemerdekaan bangsa ini dilecut keras dari adanya kelaparan dan keharusan menghambakan diri kepada kaum militer Jepang yang lugas, mau jadi hamba atau mati.
Kaum Pemuda bulat tekatnya dan Bung Karno dan kawan kawanya seluruhnya ikut terbawa oleh situasi kesempatan emas saat itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945.
Pemerintahan Ir. Sukarno, th 1958 – 1965 cenderung ke extensifikasi pemanfaatan lahan pasang surut di Kalimantan dan Papua Barat, baru direncanakan, karena ternyata produksi beras tidak cukup, Pegawai Negeri yang gajinya rendah harus antri jatah.
Ini lain sama sekali dengan yang dicanangkan oleh Jendral Suharto penggantinya, di ambang kejatuhannya pengganti Bung Karno, setelah berkuasa duapuluh lima tahun pada 1990, mendadak mencanangkan proyek ambisius pembukaan satu juta hectare lahan gambut di Kalimantan, direncanakan tergesa-gesa saat agony Rezim ini gara-gara kredit diketati oleh Consortium para Creditor, akhirnya uang terhambur percuma, untuk perjalanan Penggede dan Pinpro dan survey oleh siapa saja. Saya juga tidak ngerti ini bisikan siapa?, satu juta hektar lahan gambut satu hectarepun tidak ada. Ini proyek yang sungguh sia-sia.
Pemerintahan Orde Baru Jendral Suharto Segera sesudah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret 1966, dengar bisikan dari siapa tidak jelas hingga sekarang, dengan tegas Rezim Orde Baru memilih intensifikasi lahan terutama yang sudah ada di Pulau Jawa, Sumatra dan Sulewesi, Bali dan NTB, selama paling kurang lima Pembangunan Lima Tahun (Pelita) praktis mulai th 1966 – 1990 jadi selama duapuluh empat tahun, dengan Bimas kemudian Inmas kemudian Insus.
Yang jelas di Los Banos selatan kota Manila sudah beberapa tahun sebelum 1965 telah didirikan IRRI (Intenational Rice Research Institute) yang telah berhasil menyilangkan dua jenis padi yang umurnya sama tapi ada perbedaan dalam umur etape etape pertumbuhannya, akhirnya menjadi padi IR 5 dan IR 8 yang berumur pendek, berdaun tegak dan posturnya pendek, mampu menyerap pupuk buatan banyak, kapasitas panen hingga 5 -6 ton gabah kering giling per Ha.
IRRI didirikan atas bantuan Negara Donor dan Amerika Serikat.
Waktu ditawarkan mau didirikan di Indonesia ditolak oleh rezim Bung Karno dengan alasan politis, ini sangat mengecewakan sebagian pakar Pertanian kita. Intentsification Project dengan tulang punggung Padi jenis baru IR5 danIR8 dibantu sepenuhnya oleh pakar Pertanian dari Universitas Gajah Mada dan Institute Pertanian Bogor, sebab yang pro Bung Karno sudah 'diamankan' atau 'disingkirkan' (baca :banyak yang langsung dibunuhi tanpa pengadilan).
Demas (Demonstrasi Masal) musin tanam th 66 dan musim kering th 66 padi jenis ini berubah menjadi PB5 dan PB8 telah menjadi tulang punggung Bimas (Bimbingan Intensifikasi Masal).
Sedankan pupuk urea dan pestisida di-supply oleh Multi National Companies sampai ditempat, toh disambut dengan antusias antara lain oleh Ciba Geigy dengan Diazinon, Hoechst dengan Thiodan 35EC, Shell dengan Endrin, Pertamina dengan pupuk urea dan masih banyak lagi Multi National Companies yang ikut…..
Satu trobosan yang langka, sudah diperhitungkan dengan intensifikasi padi jenis baru ini, umur pendek, mampu berproduksi tinggi, kekurangan beras bisa diatasi.
Bayangkan padi jenis lama (umurnya hingga 5 hingga 6 bulan meskipun rasanya enak tapi potensi panennya rendah paling 2 -4 ton gabah kering giling, bahkan cenderung lebih rendah) yang menarik, padi jenis baru ini mampu menyerap pupuk buatan jauh lebih besar, dan Indonesia waktu itu (hingga sekarang) belum bisa memproduksi sendiri sarana produksi pertanian intensif semuanya, apalagi pestisida.
Inilah sebabnya kenapa Multi Nasional Companies mau susah payah ikut Bimas Gotong Royong, toh mereka tidak rugi, karena Companies telah dibayar cash, uang dari Bank Dunia melimpah, mem-back up dengan kredit bagi Orde Barunya Presiden Suharto.Tidak hanya itu, pupuk urea 1 kw/ha diberi subsidi 50 % kredit lagi, dibayar saat panen, begitu gabahnya laku, juga pestisida diberi subsidi 80 % subsidi dan jatah 2 liter/Ha cara pembayaran sama.
Azas pemberian kredit dan subsidi adalah akad kredit individual setiap petani pengikut Bimas. Peran Lurah membagi sarana intensifikasi pada petani gurem ini sangat besar, juga memanipulasinya (konon pemilikan
sawah rata rata 0.1ha/petani, gimana cara membaginya?? ).
Kita semua terperangah, hasilnya memang naik hanpir 70 % dari yang biasanya. Intensifikasi sawah padi secara massal meskipun dikerjakan oleh petani pulau Jawa yang sudah cukup piawai, masih penuh dengan salah pengertian dan lelucon, umpama menaruh satu zak urea 50 kg di saluran air masuk sawah toh urea mudah sekali larut, iya bener tapi esoknya padi baru umur 15 hari langsung mengering apalagi yang dekat
dengan pematang yang dibuka untuk air masuk.
Bimas Gotong Royong 2 – 3 musim diganti dengan Bimas Nasional. Penyuluhan petanian kepada Petani dikerjakan oleh Dinas Pertanian, distribusi dan menagih utang petani dkerjakan oleh P.T Pertani.
Tiga musim tanam sudah cukup bagi P.T. Pertani untuk “berdagang” barang subsubidi ini, terutama bagi insektisida yang memang populer dakalangan Petani Bimas, berdagang dengan dulunya pedangang kiosk, tapi dua musim kemudian telah menjai tycoons dibidang ini. Berdagang dengan para Pebisnis ini jauh menguntungkan dari menghitung dan menagih petani gurem yang hutang sarana produksi Bimas, dan menjadi tanggungan P.T. Pertani.
“Perdagangan” barang susidi ini menjadi marak terutama pestisida, berkat adanya perbedaan “kemanjuran” terhadap hama dan fanatisme para petani terhadap satu nama merk pestisida yang disetiap daerah lain-lain jenis insektisida yang disukai.
Bayangkan, selama empat Pelita areal intensifikasi tidak kurang dari 7 juta hectare per-tahun, padi musim hujan dan padi musin kering, sedang Bimas sendiri mencakukup palawija, kedele dan jagung, dengan pembayaran kontan, akan tetapi subsidi masih dipertahankan.
Andaikata diperhitungkan dengan harga sekarang, setiap hectare sawah yang cocok untuk programe intensifikasi (mestinya pengairannya dapat diandalkan) mendapatkan jatah pupuk urea subsidi katakan rata-rata 1 kuintal per ha dan insectisida 2 liter ekivalent Diazinon, maka subsidi yang didapat per Ha sawah adalah 50 % dari katakan Rp 1700,-/kg urea atau Rp. 85.000,- sedangkan pestisida seandainya harga sekarang Rp.100.000,-/liter dengan subsidi 80% jatah 2 liter maka yang diterima uang subsidi Rp.160. 000,-/ha maka per musim, petani dapat subsidi Rp. 245.000,- /ha /musim. Dengan harga gabah kering giling sekarang Rp. 4000,-/kg dan panen Rp.3500,-/ kg gabah kering giling, maka uang yang diterima kurang lebih Rp. 14.000,000,-.
Pengerjaan tanah, tanam, pemeliharaan dan panen misalnya Rp. 5 000.000,- /ha (air sampai sekarang gratis)
kecuali area pinggir bengawan Solo musim kemarau diairi dengan pompa ongkosnya 20 % panen.
Tidak heran bila bulan ini September 2011, petani Jawa Timur sangat khwatir bila import beras 300 ribu ton dari Thailand di gudang Sidoarjo dijual di Jawa Timur, akan menurunkan harga gabah musim kemarau.
Ada distorsi harga harga pada masa subsidi sarana produksi pertanian yaitu harga import pupuk dan pestisida sangat tinggi (kemungkinan di mark-up) jadi di pasaran hampir tidak ada urea dan pestisida dengan harga normal, untuk melindungi harga import oleh Pemerintah Indonesia yang jumlahnya sangat besar.
Dan yang terpenting harga gabah kering giling di Indonesia jauh lebih murah dari harga pasar International dengan alasan tidak ada harga dari pedagang umum, tapi dari pemerintah negeri surplus beras. Sedangkan bila diperlukan import pun dari Relasi di Singapore.
Lha iya, wong di Indonesia saat itu, sekali lagi saat itu dimasa Orde Baru ongkos produksi beras pupuk, pestisida. air pengairan, solar dan besin untuk traktor semuanya di subsidi besar-besaran, dan yang terpenting, petani gurem bisa bertani, harga gabah kering giling ditawar murah pun sudah memadai, pokoknya cepat. Kok ndak export beras? Ndak usah di export, disini banyak gudang raksasa, isinya milik siapa ? Nanti toh diimport lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi. Selama Orde Baru, Badan Urusan Logistik ini “The New VOC” sangat tertutup. Sedagkan swasembada beras selama lima Pelita hanya ada dua tiga tahun baik, yang tidak import. Badan Pemerintah Orde Baru BULOG dan di Kabupaten namanya DOLOG dengan uang Negara, ditugasi Pemerintah beli gabah dengan harga dasar, maksudnya untuk mendongkrak harga waktu panen raya, beli dengan harga dasar memang iya, tapi oknum-oknumya tidak demikian, wong oknum, jadi duitnya ya diberikan kepada tengkulak, untuk beli gabah di bawah harga dasar, nanti masuk gudang Dolog dibeli pake harga dasar, untung sedikit dibagi-bagi, dikalikan dengan sebagian saja dari 7 juta ha sawah total per-tahun, misalnya hanya setertiga saja dibeli “tengkulak” tiap kali panen selama lima Pelita dikalikan dengan sepuluh rupiah saja saat itu, selisih harga beli di level petani pada saat itu, dengan harga dasar yang ditetapkan, untungnya sudah berapa ?
Lha menurunkan harga gabah di permulaan panen raya caranya gimana ? Ya “opersi pasar” ini syah menurut Peraturan, dengan beras murah di pasar pasar Kecamatan yang lagi panen, barang lima enam truck beras dalam seminggu saja, dijual murah, kan langsung harga gabah di lokasi itu jadi anjlog (wong petani gurem ya panen, jadi harus segera dijual, jemuran padi saja sudan ndak ada, ya dijemur dijalan jalan), lantas si oknum oknum-oknum kirim tengkulak-tengkulak untuk pembelian murah, selisih dengan harga dasar, gampang kan ?
Belum terhitung setiap tahun harus import untuk memperbarui iron stock yang harus ada. Karena stock susut dibagikan ke Pegawai Negeri dan ABRI. Cuma tunggu bila panen usai, e e.. iron stock kurang, ya import
Yang di import ya berasnya sendiri digudang lain dilabel tulisan Thailand, perkara dokumen import semua beres, wong cuma kertas.
Lantas Orde Reformasi, pupuk urea masih disubsidi, kurang dari 50 % tentunya, wong produksi sendiri, subsidi silang dengan gas punya sendiri, mau intensifikasi ya terserah, extensifikasi ya terserah, anggaran untuk membangun ionfra strukturnya ndak ada, membeli kekurangan beras karena sebagian gagal panen ada duit, ada alasan buat hutang dan menghubungi Singapore Conection. Yang penting sekarang yang kayak begitu harusnya sulit disembunyikan, rakyat akan dengar, ini zaman transparansi, di jaman ini lain dari jaman orde baru, di jaman ini rakyat boleh bisa berpikir. (*)
Hanya beras memang dari jaman Penjajahan dulu ya import karena harganya lebih murah, pikir Pemerintah Hindia Belanda lebih untung seluruh tanah terbaik yang terkonsentrasi di Pulau Jawa ditanami tebu dengan hampir 200 pabrik gula di buat di Pulau Jawa saja.
Dari sistem ekonomi Tuan Belanda, mayoritas petani di pulau ini tanahnya sudah di-design untuk lahan tebu sistim 'Reynoso', yaitu tanan sekali didongkel dan ditanam dengan stek tebu lagi, yang ditanam tiga empat ruas paling atas, dalam selokan, dari kedua ujung selokan tanam (panjangnya rupanya diatur sejauh orang melemparkan air dari kedua sisi – kira-kira 6 m,dari kedua sisi got tanam ada saluran air untuk menyiram, dari saat penanaman stek, bibit stek ditimbun sedikit demi sedikit, dan hati-hati, sampai selokan penanaman tebu hampir rata tanah, selanjutnya malah ditimbun hingga 40 cm.
Stek tebu diletakkan di selokan diberi bantalan tanah gembur sedikit demi sedikit di taburi tanah dari atas selokan tanam dengan hati hati, selama tumbuh dengan cepat, selalu ditaburi tanah sehingga akhirnya rata dan malah diurug meninggi, dijaga agar saluran air bisa masuk diantara guludan tebu itu. Sampai pada saat panen seolah olah tebu itu sudah nangkring ditanam diatas guludan.
Lha batas milik seorang per seorang petani padi dimana, kan batasnya hilang?
Seluruh lahan tebu ini diberi pengarian kelas satu oleh Kanjeng Gupermen ya karena milik sang Kanjeng, petani sawah gogol bisa berpindah-pindah lokasinya, ya diukur kembali. Seorang kuli pabrik gula dijatah ½ bau atau 1/3 bau (1 0,75 ha).
Hanya petani sekitar lahan tebu itu diberi izin menanam padi, bila habis ditanam tebu, 16 bulan lamanya, dipanen dan digiling, ini masa giling tebu selama sepuluh bulan. Panen tebu yang sepuluh bulan itu terbanyak di masa musim kering, sampai permulaan musim hujan.
Pada dasarnya keadaan lahan setiap waktu dalan satu tahun adalah 1/3 tebu hampir panen, 1/3 tebu masih muda, 1/3 padi.
Saat petani tidak menanam padi, mereka jadi kuli di pabrik gula, dengan upah 25 sen ( satu sen = 1/100
gulden) dan diberi hak menanam padi ½ -1/4 bau ( 1 bau kira kira 0,75 Ha) sekali dalam 3 tahun, ini namanya sawah “glebakan” petani yang menggarap namanya petani “gogol” disawah “pekulen” dengan pengucapan 'e' seperti “elok”, atau sawah “gogol”.
Ya itu, dari pertama teknologi moderen membuat waduk besar, membuat bendung, membuat bendungan dengan debiet diatas 1000 l/det. di pulau Jawa, adalah untuk lahan tebu, jadi bukan untuk produksi beras, jadi sejak zaman Penjajahan memang tidak ada swasembada beras, beras untuk kuli diimport dari Saigon.
Kebetulan selama Penjajahan Jepang, Balatentara Dai Nippon tidak bagitu perlu produk gula, melainkan bekal perang ya beras.
Seluruh lahan tebu berubah menjadi persawahan, dalam waktu tiga tahun atau tujuh musim tanam padi, tiga musim hujan dan empat musim kemarau, tebu hanya tinggal kurang dari 10 % dari biasanya , rakyat di pedesaan selama penjajahan Bala Tentara Dai Nippon sangat menderita kelaparan, terutama di Pulau Jawa, karena sistim nafkah yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda hancur.
Padinya langsung dirampas Dai Nippon, namanya Pemerintahan Militer, jadi ya semua gabah diambil.
Setelah Jepang kalah perang Dunia II, dan Negeri Belanda baru dibebaskan dari cengkeraman Nazi Jerman maka kini sampailah pada masa kemerdekaan.
Cita-cita kemerdekaan bangsa ini dilecut keras dari adanya kelaparan dan keharusan menghambakan diri kepada kaum militer Jepang yang lugas, mau jadi hamba atau mati.
Kaum Pemuda bulat tekatnya dan Bung Karno dan kawan kawanya seluruhnya ikut terbawa oleh situasi kesempatan emas saat itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945.
Pemerintahan Ir. Sukarno, th 1958 – 1965 cenderung ke extensifikasi pemanfaatan lahan pasang surut di Kalimantan dan Papua Barat, baru direncanakan, karena ternyata produksi beras tidak cukup, Pegawai Negeri yang gajinya rendah harus antri jatah.
Ini lain sama sekali dengan yang dicanangkan oleh Jendral Suharto penggantinya, di ambang kejatuhannya pengganti Bung Karno, setelah berkuasa duapuluh lima tahun pada 1990, mendadak mencanangkan proyek ambisius pembukaan satu juta hectare lahan gambut di Kalimantan, direncanakan tergesa-gesa saat agony Rezim ini gara-gara kredit diketati oleh Consortium para Creditor, akhirnya uang terhambur percuma, untuk perjalanan Penggede dan Pinpro dan survey oleh siapa saja. Saya juga tidak ngerti ini bisikan siapa?, satu juta hektar lahan gambut satu hectarepun tidak ada. Ini proyek yang sungguh sia-sia.
Pemerintahan Orde Baru Jendral Suharto Segera sesudah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret 1966, dengar bisikan dari siapa tidak jelas hingga sekarang, dengan tegas Rezim Orde Baru memilih intensifikasi lahan terutama yang sudah ada di Pulau Jawa, Sumatra dan Sulewesi, Bali dan NTB, selama paling kurang lima Pembangunan Lima Tahun (Pelita) praktis mulai th 1966 – 1990 jadi selama duapuluh empat tahun, dengan Bimas kemudian Inmas kemudian Insus.
Yang jelas di Los Banos selatan kota Manila sudah beberapa tahun sebelum 1965 telah didirikan IRRI (Intenational Rice Research Institute) yang telah berhasil menyilangkan dua jenis padi yang umurnya sama tapi ada perbedaan dalam umur etape etape pertumbuhannya, akhirnya menjadi padi IR 5 dan IR 8 yang berumur pendek, berdaun tegak dan posturnya pendek, mampu menyerap pupuk buatan banyak, kapasitas panen hingga 5 -6 ton gabah kering giling per Ha.
IRRI didirikan atas bantuan Negara Donor dan Amerika Serikat.
Waktu ditawarkan mau didirikan di Indonesia ditolak oleh rezim Bung Karno dengan alasan politis, ini sangat mengecewakan sebagian pakar Pertanian kita. Intentsification Project dengan tulang punggung Padi jenis baru IR5 danIR8 dibantu sepenuhnya oleh pakar Pertanian dari Universitas Gajah Mada dan Institute Pertanian Bogor, sebab yang pro Bung Karno sudah 'diamankan' atau 'disingkirkan' (baca :banyak yang langsung dibunuhi tanpa pengadilan).
Demas (Demonstrasi Masal) musin tanam th 66 dan musim kering th 66 padi jenis ini berubah menjadi PB5 dan PB8 telah menjadi tulang punggung Bimas (Bimbingan Intensifikasi Masal).
Sedankan pupuk urea dan pestisida di-supply oleh Multi National Companies sampai ditempat, toh disambut dengan antusias antara lain oleh Ciba Geigy dengan Diazinon, Hoechst dengan Thiodan 35EC, Shell dengan Endrin, Pertamina dengan pupuk urea dan masih banyak lagi Multi National Companies yang ikut…..
Satu trobosan yang langka, sudah diperhitungkan dengan intensifikasi padi jenis baru ini, umur pendek, mampu berproduksi tinggi, kekurangan beras bisa diatasi.
Bayangkan padi jenis lama (umurnya hingga 5 hingga 6 bulan meskipun rasanya enak tapi potensi panennya rendah paling 2 -4 ton gabah kering giling, bahkan cenderung lebih rendah) yang menarik, padi jenis baru ini mampu menyerap pupuk buatan jauh lebih besar, dan Indonesia waktu itu (hingga sekarang) belum bisa memproduksi sendiri sarana produksi pertanian intensif semuanya, apalagi pestisida.
Inilah sebabnya kenapa Multi Nasional Companies mau susah payah ikut Bimas Gotong Royong, toh mereka tidak rugi, karena Companies telah dibayar cash, uang dari Bank Dunia melimpah, mem-back up dengan kredit bagi Orde Barunya Presiden Suharto.Tidak hanya itu, pupuk urea 1 kw/ha diberi subsidi 50 % kredit lagi, dibayar saat panen, begitu gabahnya laku, juga pestisida diberi subsidi 80 % subsidi dan jatah 2 liter/Ha cara pembayaran sama.
Azas pemberian kredit dan subsidi adalah akad kredit individual setiap petani pengikut Bimas. Peran Lurah membagi sarana intensifikasi pada petani gurem ini sangat besar, juga memanipulasinya (konon pemilikan
sawah rata rata 0.1ha/petani, gimana cara membaginya?? ).
Kita semua terperangah, hasilnya memang naik hanpir 70 % dari yang biasanya. Intensifikasi sawah padi secara massal meskipun dikerjakan oleh petani pulau Jawa yang sudah cukup piawai, masih penuh dengan salah pengertian dan lelucon, umpama menaruh satu zak urea 50 kg di saluran air masuk sawah toh urea mudah sekali larut, iya bener tapi esoknya padi baru umur 15 hari langsung mengering apalagi yang dekat
dengan pematang yang dibuka untuk air masuk.
Bimas Gotong Royong 2 – 3 musim diganti dengan Bimas Nasional. Penyuluhan petanian kepada Petani dikerjakan oleh Dinas Pertanian, distribusi dan menagih utang petani dkerjakan oleh P.T Pertani.
Tiga musim tanam sudah cukup bagi P.T. Pertani untuk “berdagang” barang subsubidi ini, terutama bagi insektisida yang memang populer dakalangan Petani Bimas, berdagang dengan dulunya pedangang kiosk, tapi dua musim kemudian telah menjai tycoons dibidang ini. Berdagang dengan para Pebisnis ini jauh menguntungkan dari menghitung dan menagih petani gurem yang hutang sarana produksi Bimas, dan menjadi tanggungan P.T. Pertani.
“Perdagangan” barang susidi ini menjadi marak terutama pestisida, berkat adanya perbedaan “kemanjuran” terhadap hama dan fanatisme para petani terhadap satu nama merk pestisida yang disetiap daerah lain-lain jenis insektisida yang disukai.
Bayangkan, selama empat Pelita areal intensifikasi tidak kurang dari 7 juta hectare per-tahun, padi musim hujan dan padi musin kering, sedang Bimas sendiri mencakukup palawija, kedele dan jagung, dengan pembayaran kontan, akan tetapi subsidi masih dipertahankan.
Andaikata diperhitungkan dengan harga sekarang, setiap hectare sawah yang cocok untuk programe intensifikasi (mestinya pengairannya dapat diandalkan) mendapatkan jatah pupuk urea subsidi katakan rata-rata 1 kuintal per ha dan insectisida 2 liter ekivalent Diazinon, maka subsidi yang didapat per Ha sawah adalah 50 % dari katakan Rp 1700,-/kg urea atau Rp. 85.000,- sedangkan pestisida seandainya harga sekarang Rp.100.000,-/liter dengan subsidi 80% jatah 2 liter maka yang diterima uang subsidi Rp.160. 000,-/ha maka per musim, petani dapat subsidi Rp. 245.000,- /ha /musim. Dengan harga gabah kering giling sekarang Rp. 4000,-/kg dan panen Rp.3500,-/ kg gabah kering giling, maka uang yang diterima kurang lebih Rp. 14.000,000,-.
Pengerjaan tanah, tanam, pemeliharaan dan panen misalnya Rp. 5 000.000,- /ha (air sampai sekarang gratis)
kecuali area pinggir bengawan Solo musim kemarau diairi dengan pompa ongkosnya 20 % panen.
Tidak heran bila bulan ini September 2011, petani Jawa Timur sangat khwatir bila import beras 300 ribu ton dari Thailand di gudang Sidoarjo dijual di Jawa Timur, akan menurunkan harga gabah musim kemarau.
Ada distorsi harga harga pada masa subsidi sarana produksi pertanian yaitu harga import pupuk dan pestisida sangat tinggi (kemungkinan di mark-up) jadi di pasaran hampir tidak ada urea dan pestisida dengan harga normal, untuk melindungi harga import oleh Pemerintah Indonesia yang jumlahnya sangat besar.
Dan yang terpenting harga gabah kering giling di Indonesia jauh lebih murah dari harga pasar International dengan alasan tidak ada harga dari pedagang umum, tapi dari pemerintah negeri surplus beras. Sedangkan bila diperlukan import pun dari Relasi di Singapore.
Lha iya, wong di Indonesia saat itu, sekali lagi saat itu dimasa Orde Baru ongkos produksi beras pupuk, pestisida. air pengairan, solar dan besin untuk traktor semuanya di subsidi besar-besaran, dan yang terpenting, petani gurem bisa bertani, harga gabah kering giling ditawar murah pun sudah memadai, pokoknya cepat. Kok ndak export beras? Ndak usah di export, disini banyak gudang raksasa, isinya milik siapa ? Nanti toh diimport lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi. Selama Orde Baru, Badan Urusan Logistik ini “The New VOC” sangat tertutup. Sedagkan swasembada beras selama lima Pelita hanya ada dua tiga tahun baik, yang tidak import. Badan Pemerintah Orde Baru BULOG dan di Kabupaten namanya DOLOG dengan uang Negara, ditugasi Pemerintah beli gabah dengan harga dasar, maksudnya untuk mendongkrak harga waktu panen raya, beli dengan harga dasar memang iya, tapi oknum-oknumya tidak demikian, wong oknum, jadi duitnya ya diberikan kepada tengkulak, untuk beli gabah di bawah harga dasar, nanti masuk gudang Dolog dibeli pake harga dasar, untung sedikit dibagi-bagi, dikalikan dengan sebagian saja dari 7 juta ha sawah total per-tahun, misalnya hanya setertiga saja dibeli “tengkulak” tiap kali panen selama lima Pelita dikalikan dengan sepuluh rupiah saja saat itu, selisih harga beli di level petani pada saat itu, dengan harga dasar yang ditetapkan, untungnya sudah berapa ?
Lha menurunkan harga gabah di permulaan panen raya caranya gimana ? Ya “opersi pasar” ini syah menurut Peraturan, dengan beras murah di pasar pasar Kecamatan yang lagi panen, barang lima enam truck beras dalam seminggu saja, dijual murah, kan langsung harga gabah di lokasi itu jadi anjlog (wong petani gurem ya panen, jadi harus segera dijual, jemuran padi saja sudan ndak ada, ya dijemur dijalan jalan), lantas si oknum oknum-oknum kirim tengkulak-tengkulak untuk pembelian murah, selisih dengan harga dasar, gampang kan ?
Belum terhitung setiap tahun harus import untuk memperbarui iron stock yang harus ada. Karena stock susut dibagikan ke Pegawai Negeri dan ABRI. Cuma tunggu bila panen usai, e e.. iron stock kurang, ya import
Yang di import ya berasnya sendiri digudang lain dilabel tulisan Thailand, perkara dokumen import semua beres, wong cuma kertas.
Lantas Orde Reformasi, pupuk urea masih disubsidi, kurang dari 50 % tentunya, wong produksi sendiri, subsidi silang dengan gas punya sendiri, mau intensifikasi ya terserah, extensifikasi ya terserah, anggaran untuk membangun ionfra strukturnya ndak ada, membeli kekurangan beras karena sebagian gagal panen ada duit, ada alasan buat hutang dan menghubungi Singapore Conection. Yang penting sekarang yang kayak begitu harusnya sulit disembunyikan, rakyat akan dengar, ini zaman transparansi, di jaman ini lain dari jaman orde baru, di jaman ini rakyat boleh bisa berpikir. (*)
(Oleh : Ir. Subagyo, M.Sc-umur 73 tahun-, pernah mengikuti kursus tentang Padi di IRRI -Filipina, pernah mengikuti sejumlah workshop tentang agriculture antara lain di London- Inggris, dan Russia . Fasih berbahasa Inggris, Russia (oral dan tulisan), Belanda serta bahasa Jawa.)
0 comments:
Posting Komentar