Di penghujung abad ke 19, zaman keemasan bangsa-bangsa yang telah manapaki Revolusi Indudstri, terutama berkembangnya industri alat-alat dari baja dan besi dari produksi pertukangan menjadi produksi massal.
Segera mesin-mesin terciptakan dengan pesat, alat pintal dan tenun hampir bersamaan dengan teciptanya mesin uap. Kapal-kapal bermesin uap menjelajah ke semua pelabuhan di Dunia membawa mata dagangan segala macam perkakas dari besi dan baja dan textile hasil tenunan mesin dari benang kapas, flax dan wool, juga senjata api.
Kemakmuran wilayah-wilayah yang telah mencapai Revolusi Industri ini mengangkat taraf kehidupan masyarakat, akibatnya kebutuhan akan gula meningkat sangat tajam, karena gula adalah bahan terpenting dari makanan delicatessen lambang kemewahan.
Di anak benua Europa dan Amerika Serikat yang merupakan wilayah beriklim empat musim, gula di dapat dari Biet gula – sebangsa lobak (Beta L ) sejak abad ke 17 sudah terbentuk industri gula dari budidaya ini. Produksinya menjadi sangat jauh dibawah kebutuhan.
Mulailah dikembangkan Industri gula di Pulau Jawa dari budidaya tanaman Tebu ( Saccharum L ) dipicu dan didukung oleh Revolusi Industri di Europa.
Maka dibangunlah Industri Gula secara besar-besaran, waktu itu hanya dalan kurun waktu puluahan tahun, terbentanglah lahan lebih dari satu juta hektar di pulau Jawa terutama di dataran rendah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, lahan berpengairan teknis, artinya air pengairan didapat dari bendung dibangun di sungai-sungai dengan debiet aliran sungai mencapai lebih dari 10 000 liter/detik dengan panjang saluran mencapai hingga hampir 100 km kalau perlu lewat aquaduct dan siphon, waduk berbagai ukuran dan ketinggian dari muka laut juga dibangun, air pengairan sampai ke lahan hanya lewat pintu-pintu air berbagai ukuran debiet yang bisa diatur dengan mekanisme hampir pasti seperti jarum jam, kelebihan air hujan di lahan juga bisa dibuang lewat saluran pelimpahan yang direncanakan.
Lahan dan Desa-desa secara merata dan teratur terpotong potong silang menyilang oleh jalan-jalan dan jembatan-jembatan berdaya dukung antara 10 ton untuk kelancaran angkutan panen tebu yang mencapai 1000 kw/ Ha.
Juga terbentang jalanjalan inspeksi saluran pengairan dengan daya dukung memadai dan terpelihara baik.
Ratusan Pabrik Gula dengan cepat bermunculan, antara Asembagus di ujung Timur P. Jawa hingga sekitar Cirebon, perbatasan Jawa Barat.
Semua Pabrik Gula giling selama 9 bulan dalam satu tahun, kegiatan pembibitan dan penanaman, tebang dan pembuatan selokan saluran air di lahan berjalan sepanjang tahun.
Kegiatan penanaman tebu di Pulau Jawa memang unique, dinamakan dengan nama penemunya cara Reynoso. Tebu ditanam dari tunas batang/ pucuk, tumbuh jadi rumpun tebu setelah tua dan masak kira-kira 16 bulan, rumpun-rumpun ini ditebang dan dibongkar seakar-akarnya – untuk digiling.
Setelah itu selama setahun ditanam padi dan polowijo. Lahan berpengairan teknis sekitar Pabrik gula 10.000 – 20.000 Ha yang 1/3 ada tebu menjelang / sedang panen, 1/3 ada tebu yang masih muda/baru tanam dan 1/3 padi atau polowijo, begitulah sepanjang tahun, berpindah pindah tempat secara bergiliran. Di sekitar pabrik gula, desa-desa berubah, penduduknya tidak melulu bertani padi dan polowijo, tapi sebagian besar jadi buruh di lahan tebu, bertani apabila mendapat giliran bertanam padi di tanah yang disediakan setelah tebu dibabat, 1/3 dari lahan yang berpengairan teknis, dengan luas garapan rata-rata kurang lebih ½ bau ( satu bau 0,76 Ha) setiap Kuli dapat sawah garapan satu Pekulen atau satu Gogolan.
Kuli atau Gogol adalah Petani yang terdaftar mempunyai hak garap dan mempunyai kewajiban kerja tanpa dibayar memperbaiki saluran irigasi atau jalan-jalan transportasi tebu, diatur oleh Lurah desa dan para Mandor Tebu, sebagai ganti sewa sawah dan jatah air pengairan. Jabatan sebagai Kuli bisa diwariskan kepada anak laki-laki, bila tidak punya pewaris atau sudah uzur hak Kuli dan kuwajibannya gugur tanah dikembalikan kepada Kanjeng Gubermen karena Pemerintah Hindia Belanda yang secara de jure memiliki lahan yang dibangun untuk penanaman tebu. Secara praktis jabatan Kuli bisa dialihkan ke Petani lain oleh Pegawai dari Tuan Pabrik
Setiap Kuli mendapatkan giliran menanam padi dan polowijo di lahan yang tebunya habis dipanen, jadi lahannya berpindah pindah, dan masih harus di dongkel dibesihkan dari akar dan sisa rumpun yang masih harus dsetorkan ke Pabrik untuk digiling.
Hanya satu dua Perusaan Gula yang “memiliki” tanahnya sendiri dengan hak Erfpacht (Hak Guna Usaha) untuk tebu dengan sistim pengairan dan sistim transportasi milik sendiri - hak ini diperoleh dari Pemerintah Hindia Belanda. ( misalnya Jatiroto, Jember Jawa Timur).
So far so good, begitulah sejak penghujung abad 19 hingga Perang Dunia ke II Belanda menguasai pasar gula Dunia.
Perang Dunia II, Belanda kalah oleh bala tentara Dai Nippon dalam hitungan minggu, Hindia Belanda berganti Tuan.
Ekonomi Perang Jepang di daerah jajahan yang baru, bekas Hindia Belanda, secara drastis dirubah, hanya beras yang dibutuhkan untuk bekal perang dalam jumlah yang sangat besar.
Selama tiga tahun pendudukan militer Jepang, pruduksi gula sangat berkurang, lahan tebu ditanamai padi, karena berpengairan teknis bisa dua kali setahun.
Semula Petani di Pulau Jawa semangat, karena mereka bisa nenikmati makan nasi putih setahun penuh begitulah harapannya, tapi apa lacur, semua padinya di ambil oleh balatentara Dai Nippon, mereka hanya gigit jari.
Musim berikutnya para Petani pada malas, habis tenaga dan modal tanam hasilnya dirampas (tentu saja ada saja Elit Desa yang jadi Komprador dalam merampas panen ini dan mencari untung juga).
Pasar gelap beras di kota-kota merajalela, karena penduduk kota dijatah kebutuhannya akan beras dan harus antri di sentra distribusi pangan yang secara ketat diawasi oleh Kempeitai bala tentara Dai Nippon. Sedangkan di desa-desa malah tidak ada, mereka makan iles-iles (ubi hutan yang gatal dan beracun) ataupun makan apa saja.
Pangreh Praja (Sekarang Pamong Praja) dari Bupati sampai Lurah dan Carik, Kebayan, Elit Desa (para Saudagar dan Tengkulak/ Pengijon). Termasuk pula Kiai dan santri-santrinya (yang biasanya mempunyai lahan sawah hak milik, dengan tenaga kerja para Santrinya – ikut menikmati pengairan teknis ini – tentu saja bercita cita memperluas sawahnya, maunya, tapi tidak mungkin, – lahan tebu tidak diperjual belikan) mereka sama-sama resah, karena bila jatah setoran beras tidak mencapai target, mereka bakal menerima murka dari Balatentara Matahari Terbit, dijadikan Romusha (pekerja paksa untuk keperluan militer yang desposable) atau dimasukkan kamp Tahanan Kenpeitai/ Militer Nazi Jepang, bukan hanya dipenggal tapi disiksa dengan berbagai cara tidak ada yang pulang. Akhirnya Elit Desa ramai-ramai mengambil alih lahan tebu yang melimpah dari para Kuli, membeayai penanaman padi dan membayar para Kuli, hebatnya karena para Elit Desa ini punya rumah yang besar (Sekalian untuk gudang yang tersembunyi), pedati kuda atau sapi dan Pembantu yang setia, hubungan dengan Pedagang di Kota dan para Pangreh Praja dan Polisi Desa (Feld Politie) membantu dengan surat-surat , toh sake juga bisa dibuat dirumah, selir simpanan bagi tuan Nippon bisa disediakan, maka ada saja jalan ke pasar gelap yang relatif aman, dengan harga yang sangat bagus, jadi setoran dan target bisa diatur, bahaya bisa dihindari dan paling penting untung masih ada.
Begitulah selama Peperangan berkecamuk, kelaparan di mana-mana ada kelompok kecil orang-orang cerdik di desa-desa, Pegawai Kecil yang mengabdi Pemerintahan Bergaya Militer ala Jepang mendapat pengalaman baru yakni“ menyuap” sang Despot Kate dengan arak dan perempuan, yang lebih tinggi juga dengan emas dan permata yang bernilai abadi.
Ternyata sumber utama dari business yang terpaksa ini adalah lahan berpengairan teknis yang disediakan buat tebu, milik Pemerintah Hindia Belanda secara de jure, jadi ya milik Dai Nippon.
Para Kuli lebih senang karena kerjanya dibayar dan masih dapat kiriman makan ke sawah selama dipekerjakan seperti adat kebiasaan, dan masih bisa mencuri sedikit sedikit. Para business man dadakan yang semula takut-takut telah tahu jalan dan bisa menikmati untungnya ekonomi peperangan, leganya karena Jepang hanya menduduki Hindia Belanda kurang lebih tiga tahun.
Sebelum Tuan Pebrik Gula datang, Republik Indonesia Merdeka, para Kuli di lahan Tebu belum punya majikan, sebagian dari dua pertiga lahan tebu sudah digarap dan ditanam padi oleh para Elit Desa, juga kuli-kuli lain yang biasanya hanya dalam tiga tahun sekali menanam padi, sekarang semua bebas menanam padi, atau digadaikan jangka panjang pada para business man yang menimba pengalaman pada zaman Jepang si Kuli sudah merasa untung karena toh itu bukan miliknya.
Maka selama Perang Kemerdekaan 1945 – 1950 para Elit Desa, para business man yang sudah merasakan enaknya menguasai lahan berpengairan teknis yang luas, menjadi pemilik de facto dari jenis lahan ini sampai puluhan hectare ! Ini kan asal muasalnya milik Kanjeng Gubermen, yang disediakan buat Pabrik gula yang mereka tidak mungkin ikut memilikinya.
Selama zaman Jepang dan Perang Kemerdekaan hampir 8 tahun, Tuan Pabrik belum datang, jadi para Kuli semua menanam padi, yang sudah terlanjur diserahkan kepada para business man dadakan para Elit Desa pada zaman Jepang ya masih bisa dapat garapan dilahan berpengairan teknis ini, atau mengerjakan tegalan, hasil menggadaikan bagian nya sebagai Kuli, dan masih merasa beruntung karena yang digadaikan bukan miliknya malainkan milik Kanjeng Gubermen, sedang sebagai gantinya dia “beli” tanah yasan berpengairan non teknis atau malah tadah hujan. Sedangkan para Elit Desa, para business man yang menimba pengalaman pada zaman Jepang makin mencintai lahan “miliknya” sawah berpengairan teknis, meskipun dalam hati dia tahu lahan yang dikuasainya adalah milik Negara sebagai pengganti Kanjeng Gubermen.
Ketika Republik mulai menggerakkan roda ekonominya dengan mengambil alih Pabrik-pabrik gula, mulailah ada gejolak di lahan tebu.
Harga gula mengizinkan untuk memberi “ganti rugi” pada para Kuli.
Sayangnya kaena Pabrik sudah dimakan usia dan hancur selama perang, kapasitas dilingnya jauh berkurang, belum memerlukan lahan tebu secara penuh, selalu saja para business man dan Elit Desa bisa lolos dari menderita kerugian larena lahannya harus digilir ditanami tebu !
Sambil menuntut sewa atas nama Rakyat.
Kebetulan ada golongan yang lebih cerdik lagi, kok si Elit Desa dan para business man ini minta sewa itu haknya apa ?
Akhinya seorang Menteri dari PNI atas keputusan Pemerintah tahun 1957 -1959 mengumumkan dilaksanakan land reform, yang artinya tanah Pemerintah yang disediakan buat penanaman tebu bagi Pabrik Gula dan dikerjakan oleh para Kuli atau Gogol yang ada daftarnya di setiap Desa, kepada merekalah tanah itu dibagikan.
Merekalah yang berhak menerima sewa bila mendapatkan giliran lahannya harus ditanami tebu. Padahal banyak antara si Kuli, si Gogol, sudah pernah menyerahkan pekulen-nya, gogolan-nya kepada si Elit Desa, si business man yang ke-enakan tapi tidak punya hak legal apapun untuk lahan tebu yang sudah terlanjur dicintainya dan sudah terlanjur luas puluhan hektar, dan sangat menjanjikan untuk penanaman padi berkat pengairan teknis, di samping jalan penghubung Desa yang sudah mapan untuk mengangkut budidaya sayur dan buah lahan sawah seperti semangka dan terong mentimun yang bisa panen sampai puluhan ton setiap hektar, kok diterimakan kepada sang Kuli, sang Gogol hanya karena namanya tercatat dalam buku leger di Pabrik dan Kelurahan, dan BTI menjadi Penggembira utama pelaksanaan serah terima tanah Pekulen atau tanah Gogolan kapada sang Kuli atau sang Gogol.
Lho yang diserahi kok ya mau dan berani menerima, maka sebelum tahun 1965 sakit hati dan dendam kesumat sudah membakar jiwa mereka, maka tahun 1965 para petani penerima tanah Pekulen dan tanah Gogolan lahan tebu dari UU Land Reform dibantai habis seluruh anak-pinaknya, dengan dalih mereka adalah pendukung PKI dan BTI.
Dengan ini dimulailah era Orde Baru.
Kelompok Jagal manusia ini akhirnya lebih memilih jadi Pemasok Project Pemerintah dan Pemborong, pada bersliweran ke Jakarta bersama Elit Zaman Orde Baru naik pesawat dan Mitsubishi Colt akhirnya mati di jalan dan Hotel-hotel, atau kecewa kalah bersaing dengan Kaum Pedagang Profesional yang jaringan-nya mendunia, bisa memperoleh dukungan dana tanpa agunan dari Triad dan Tong mereka, dalam jumlah yang sangat besar, lebih berani membeli Pejabat Teras.
Tuan Tanah ternyata terlalu lamban untuk diperhitungkan di Era Orde Baru, meskipun Si Cerdik dan si Kuat asal Pedesaan telah mengambil alih lahan tebunya kembali.
Pilar Ekonomi Orde Baru beralih ke Bankir dan Industrialis sulih import dengan putaran cepat yang merupakan industri down stream dari bahan baku import, produk manufacture ini untuk pasar dalam negeri dan export mengandalkan tenaga kerja yang murah dan melimpah. Usaha bermodal raksasa untuk meng export jutaan Ha kayu dari hutan-hutan perawan di Kalimantan dan Sumatra juga Papua.
Usaha padat modal yang memindah pulau pasir dari wilayah Indon untuk perluasan Singapore, dan semua sektor Konstruksi infra struktur yang accountability -nya amburadul, semua pilar Ekonomi Orde Baru ini sangat menguntungkan kroni Presiden Suharto.
Semua pilar itu sirna, karena rakyat dengan LSM nya semakin pintar, mulai bermain mata dengan Despot-despot kecil di Daerah, sehingga setoran dari Pengusaha yang didukung oleh Triad dan Tong ini semakin kecil oleh tarikan punglinya yang semakin banyak.
Hingga runtuhnya kekuasaan Despot Tertinggi Jendral Suharto, persoalan tanah hanya menjadi bahan permainan nya Badan Pertanahan Nasional , karena UU Land Reform sudah dilumpuhkan, sedangkan BPN siap melayani Pemohon apapun dengan beaya.
Sampai sekarang Pabrik Gula hanya menerima upah menggiling tebu jadi gula, konon sering merugi..
Masih soal Tebu dan Pabrik Gula.
Pabrik Gula sudah kehilangan hak istimewanya atas lahan tebu dengan pengairan teknis dan jaringan transportasi yang di-design khusus untuk keperluannya, juga hak untuk mendapatkan tenaga gratis dari para kuli /gogol untuk maintenance jalan tebu dan saluran air, semua diambil alih oleh Pemerintah, demi kepentingan usaha tani rakyat.
Penanaman tebu dikerjakan oleh rakyat berdasarkan prinsip ekonomi.
Budidaya tebu berealih ke lahan tidak berpengairan yang lebih murah.
Padi lebih menguntungkan bagi petani untuk sawah berpengairan teknis , di samping urusan pemasaran yang lebih langsung.
Kisah kawanku A. Sudibyo alm.
Tragedi menimpa temanku A. Sudibyo (almarhum ). Lulusan UDN (Universitas Druzhby Narodov) Moscow tahun 1965 Fakultas Ekonomi. A Sudibyo mengalami ketragisan dalam urusan tebu denga Pabrik Gula.
Tahun 1978 aku pernah mengujungi rumah Orang Tua temanku Dibyo ini di Srengat, Udanawu – Blitar, atas petunjuk sepupunya yang kebetulan jadi tetangga saya. Kisahnya:
Setelah beberapa tahun A. Sudibyo sobatku berhenti bekerja dari salah satu Poject swasta Surabaya, Sudibyo (alm) pulang kampung dan memulai usaha menanam tebu di lahan kering, di lereng bawah Gunung Kelud, tanah pasir lahar dingin dari Gunung Kelud yang kaya kandungan mineral – sangat baik untuk budidaya tebu.
Semula waktu programTRI ( ebu Rakyat Intensifikasi) dicanangkan dengan iming-iming kredit dan harga tebu yang lumayan, uangnya lancar dari Pabrik, banyak Petani yang tertarik menanam tebu.
Begitu semakin banyak tebu dihasilkan oleh Petani dari lahan mereka, maka mulai ada problem giliran menggiling di Pabrik. Pungli di antrian penerimaan tebu mulai menggerogoti kocek, rendement ( kandungan sucrose) dan timbangan mulai dimainkan, dan pembayaran mulai dibebani potongan dari Instansi Pemerintah yang mana saja bersangkutan dengan alasan wilayah, keamanan, pembangunan, apa saja yang terlintas di pikiran para yang Berwenang, di tingkat Kecamatan maupun Kabupaten, biaya ini kan tinggal potong, beres.
Akhirnya temanku Alm. Sudibyo ngambeg dengan sistem ini, karena dia tergolong cerdas tebunya digiling sendiri dimasak jadi gula mangkok (gula merah dari nira tebu yang dicetak di mangkok). A.Sudibyo yang cerdas memasok gulanya ke Usaha Kecil pembuataan kecap manis, rupanya membuat gula sendiri jauh lebih menguntungkan dari urusan dengan Pabrik yang penuh Kecoa dan Preman Kerah kumal maupun kerah putih.
Selang kurang dari dua tahun penggilingan tebu milik temanku A. Sudibyo Alm. tercium oleh oknum-oknum aparat yang tak suka petani mengolah tebunya sendiri, akhirnya usaha itu diserbu, di “pagrom” alias dihancurkan oleh Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan – Camat, Koramil, dan Polsek) salah satu alasannya temanku ini lulusan Russia, menurut Orba orang lulusan Russia membahayakan karena terbiasa berpikir kritis, jadi kami yang terbiasa berpikir kritis ini amat membahayakan-katanya Orba. Sebaliknya, orang-orang yang tidak berpikir, dan emoh berpikir akan sangat menyenangkan bagi Penguasa.
Yah....saudara pembaca, jaman dulu, terfitnah atau tidak, yang penting lulusan Russia halal dikejar- kejar.
Malang nasib sobatku A.Sudibyo Sarjana Ekonomi dari Moscow Russia ini, dia balik ke Indonesia untuk mengamalkan ilmunya, dia wiraswasta gula tebu sendiri, ehh...tapi apa lacur alat-alatnya disita semua secara sewenang-wenang, termasuk mesin giling dan kuali besar, dan motor 16 PK , penggilingan yang lain hanya ditutup alat-alatnya harus dibongkar. "Sudah menurut Peraturan!" kilah mereka para aparat yang tak suka melihat Alm. Sudibyo mampu mengolah gula tebu sendiri. Ini kisah nyata yang tragis.
Beberapa bulan sesudah tragedi penghancuran usaha wiraswasta tebu miliknya itu, temanku itu bangkrut karena modalnya ludes, Sudibyo kawanku makin merana, makin ngenes, tak lama kemudian kawanku ini meninggal dunia, inna lillahi wa innalillahi roji’uun.
Sayangnya dia belum sempat melihat kawan-kawan sesama lulusan Russia lainnya kini sudah tak dikejar-kejar lagi. Bahkan kini banyak anak muda masa kini di tahun 2000-an sudah banyak yang belajar di Russia, Chinna, bahkan mau ke Cuba, atau Kolumbia pun boleh. Pendeknya, kawanku, sekarang anda mau belajar ke negara mana saja boleh, sekarang ini anda mau belajar di negara manapun bebas.
Mau belajar di Libya boleh, di Afghan, atau Pakistan boleh saja. Mesir, boleh. Bahkan bila anda punya uang mau belajar ilmu Geologi di Kutub Utara juga boleh. Saya saja sewaktu di Russia tahun 1960-an pernah menyempatkan diri belajar bahasa Uzbekhistan di Bukhara tempat makam Syeh Bukhari di Uzbekhistan sambil mempelajari teks-teks asli Karya Hadratus Syeh Al Bukhari almarhum. Kini wahai sobat tenanglah engkau di akhirat wahai kawanku A. Sudibyo alumni UDN (Universitet Durzhby Norodov) Moscow Russia tahun 1966. (*)
(Oleh Ir Subagyo, M.Sc, tulisan ini didedikasikan untuk almarhum A Sudibyo 'pejuang wiraswasta gula tebu rumahan', A. Sudibyo merupakan alumni Fakultas Ekonomi UDN ( Universitet Durzhby Norodov) Moscow Russia tahun 1966.)
0 comments:
Posting Komentar