Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 12 Oktober 2011

KORUPSI KOK SUBUR DI NEGRI INI ?

Dari Kitab Undang-undang sudah jelas definisi korupsi itu apa.

Bayangkan aku berumah di Perumahan Dinas Pegawai Negeri, dan aku tahu bahwa para tetanggaku ya tahu Isteriku (alm.) adalah Pegawai Negeri, dia bekerja untuk Project yang dibeyai oleh Bank Dunia, merupakan salah satu Project dari Departemen. Di Propinsi dimana istri saya bekerja merupakan pelaksana, jadi Kepalanya adalah Pinbagpro, jaman Orde Baru.

Ada TKK (Tunjangan Kompensasi  Kerja) sebagai tambahan sedikit untuk gaji PNSnya. Istriku beruntung, karena tidak mempersoalkan seberapa dia terima pendapatan dari pekerjaannya, pekerjaannya dikerjakan secara tulus, terima seperti apa adanya, karena sebenarnya yang menjadi tulang punggung kebutuhan rumah tangga adalah saya, seorang Pegawai Swasta yang meskipun tidak menerima Pensiun, tapi digaji sebagai Agronomist secara wajar. Pimpinan istriku berkenan mengizinkan kami mendiami rumah Dinas type 50 di belakang kantor istriku setelah saya tambahi atap disana-sini, hingga bisa wajar ditempati.

Aku hidup di lingkungan Pegawai Negeri secara harfiah, mereka adalah tetanggaku selama tigapuluh tahun!

Aku berterima kasih kepada Allah akan pengalaman ini, karena semua tetanggaku yang Pegawai Negeri pada bergaul secara santun, tapi waktu Pemilu zaman Orde Baru, tega juga memaksa memilih Golkar, dan dahulu kala barang siapa yang sekasur, sedapur dan sesumur dengan sang Pegawai Negeri, maksudnya ya aku ini, sebagai orang luar (bukan Pegawai Negeri) maka ya wajib Golkar. Kemudian jaman berganti, Orde Baru diganti  Orde Demokrasi  rutinitas berjalan terus.

Ya, satuan tugas baru dibentuk, formasi dirubah, anggaran turun, harus habis, mirip assimilat dari daun-daun pohon besar turun ke akar, ganti hara naik mirip sedotan akar yang menyerabut banyak, kembali ke dahan ke ranting ke oknum-oknum  yang bercokol di atas sana seperti biasa, apa yang terjadi di Orde yang lalu tidak penting….lupa.

Aku dapat menilai secara objective apa yang sebenarnya terjadi di sekitarku.

Kenapa dalam hal mencermati gejala korupsi yang kata orang sudah membudaya di Negara kita ini,  aku mulai dari lingkungan Pegawai Negeri ?

Atas laporan mereka, si Sekasur Sedapur Sesumur, dia yang mokong, membandel ndak nyoblos Beringin, sang PNS bisa 'dikotak', rizkinya mampet. Kok tahu ? padahal kan luber.  Tapi ini kenangan jaman dulu yang kata orang-orang disekitarku adalah jaman enak.

Menggencet yang lemah adalah anak tangga ke sawah ladang yang lebih luas.Ya tau saja, wong kartu suaranya ditandai, sekarang reformasi, yang itu tidak lagi. Yang sekasur sedapur sesumur sudah lupa.

Sebab lain yang terpenting, di Negara ini, energi terbesar yang memutar roda ekonomi Negeri ini adalah Anggaran Pengeluaran Belanja Negara dan resource alami  primair yang dikuasai Negara, tercantum di UUD 45. 

Kesantunan pergaulan di kalangan Pegawai Negeri yang menjiwai hubungan pergaulan itu sampai ke kehidupan pribadi antar mereka berdasarkan pola yang ditekankan oleh Orde Baru, pinternya memang pola hidup ini sudah ada sebelumnya dimana-mana, adalah Feodalisme, system yang sangat cocok pas sekali  golongan militer, lha Orde Baru juga diciptakan oleh golongan militer. Makanya sebelum naik podium pidato :“…daripada…..aken……yang mana……….”

Musti bersikap tegak tangan lurus mengepal mepet di samping, menghadap kaku sang Atasan dulu, dan kalau salaman dengan yang 'ter-Atas' berpose setengah ruku’ ini foto sakral yang cukup besar dipajang di ruang tamu, yang penuh bunga keramik, bunga kuburan hanya karena Ibu diatas menyukainya.

Feodal Besar Kaisar, atau Tsar dari kata Yunani: Caesar, seorang Despot Agung Yunani. Orang Yunani zaman dulu juga mahir membangun bangunan bangunan megah dengan colonnade-colonnade dan tinggi bertangga banyak, anehnya tidak ada berita atau gambar yang di film-film atau  peninggalan gambar fresco otentik yang menjadi bukti, bahwa penghormatan yang dilakukan oleh jendral, prajurit bahkan oleh budak kepada Caesarnya, dengan cara berjalan mundur sepanjang anak tangga marmer yang banyak itu, saya pikir mereka tahu itu tindakan berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari jalannya Jendral Hideki Tojo sewaktu berjalan dengan langkah kaki kanan thok untuk mengahadap sang Tenno Heika.

Anda akan heran mana masyarakat satu satunya di Dunia yang merancang Pembawa replica Bendera Pusakanya dengan berjalan mundur, pada saat upacara khidmat, demi menghormarti sang Kepala Negara ? Gadis-gadis lagi, padahal seandainya balik kanan dan berjalan membelakangi sang Presiden, menuruni tangga ya tetep cantik dan anggun lho,  paling kurang tidak mengotori pandangan sang Presiden dan yang penting lebih selamat gitu.

Apa bangsa itu bukan berjiwa feodal sampai ke tulang ? Ya kita ini semua berjiwa feodal, ini harus dipahami dulu.

Lagi pula siapa yang masih sungkan atau kikuk memanggil sesamanya (koleganya – colleague Ingg.) dengan nama saja ( first name) ?

Sedangkan Bossnya saja risih dipanggil dengan sebutan “mister”, di setiap kesempatan berbincang-bincang.

Feodalisme adalah hierarchy yang ketat antar mereka (si PNS hampir saja…… bila memulai bicara dengan atasan dengan kata “Mohon izin”….tunggu saja angin bertiup kemana), feodalisme adalah kekuasaan yang mutlak dari Singgasa kepada seluruh rakyatnya. 

Bila Raja menggunakan penghasilan sawah ladang wilayahnya untuk keperluannaya, ya itu haknya, tapi bila Menteri atau Datuk Perpatih menggunakan wewenang sang Raja untuk menggunakan hasil sawah ladang milik sang Raja itu tanpa diperintah untuk keperluannya sendiri, itu namanya korupsi.

Di jaman Pertengahan, di Kesultanan Turki konon bila Koruptor ketahuan sang Sultan, langsung si Koruptor dikirimi kain kaftan hitam dan tali sutra segede jari, maksudnya supaya gantung diri. Itu sudah berlalu, sekarang yang berkuasa Rakyat.

Apakah  tidak menjadi perkara bila masing-masing Menteri menggunakan sawah ladangnya sendiri atau sawah ladang kecil milik pegawai golongan rendah untuk  memeras hasil sawah ladang itu demi keperluan keluarganya, itu dulu, sekarang yang berkuasa Rakyat.

Aku sangat sering mendengar sambil mengangguk-angguk seorang istri Penjabat atau ibu Penjabat Negeri ini besar atau kecil, ungkapan bahwa jabatan yang diemban (bahasa Jawa, artinya digendong) oleh suaminya, isterinya atau putra/putrinaya, atau menantunya, adalah “sawah ladang” milik Penjabat yang bersangkutan, jadi jabatan harus diupayakan maksimal hasilnya, wajar toh ?

O, o, iya pantas…….seluruh kerabat dekat sangat berkepentingan. Pilkada malah diperkuat dengan demo puak dan suku, apalagi bila kalah puaknya ngamuk.

Mangkanya………….tersirat diseluruh jajaran Pegawai Negeri dan ABRI, bawahan harus tanpa syarat tunduk kepada atasannya, sampai anak isrtinya. 

Lha di Negeri kita ini bukan hanya satu Raja yang berperan, tapi ratusan ribu Pegawai Negri, Guru,  Dosen Polisi dan Tentara baik besar dan kecil, ya persoalan sawah ladang yang berarti juga jabatan ini  jadi sumber penghasilan bukan gaji,  jadi langsung saja masyarakat yang beranjak ke Demokrasi ini merasa diperas, jelas jelas ratusan di antara mereka, Pejabat Negara ini dipilih oleh rakyat, sebaliknya mereka yang dipilih rakyat itu malah menganggap jabatannya telah dimilikinya untuk menentukan sendiri berapa luas sawah ladang yang dimenangkannya itu.

Pantas saja saja konon korupsi yang mencapapi 20% Angaran Belanja Negara merupakan beaya Feodalisme kita, dan sayangnya kita mempunyai terlalu buaaanyak Raja-Raja.

Sedangkan bawahannya menganggap wewenang atasannya adalah bagian  dari kekuatan Negara yang mengucurkan rezeki, dan dia sudah lama hidup dalam alam “the might is right”  mendarah daging  sejak zaman “tanam paksa”nya VOC hingga sekarang, jadi ya klop.

Kata kuncinya “Biarlah seperti itu, sekarang giliranmu, besuk mungkin saya yang menjabat”

Sebetulnya Islam yang tersirat itu ya nggak suka dengan Feodalisme, tandanya Sultan-Sultan Negara Islam, mereka dipilih diantara anak dan keponakan Sultan tua, juga di masjid-masjid, ndak ada orang yang mempunyai hak prerogative untuk mengimami sholat, melainkan salah satu diantara mereka yang sehat jasmani dan rohani, dewasa dan cukup mengerti syariat Islam saja, sebab jamaah akan memperingatkan sang Imam apabila keliru tidak menurut aturan syariat yang benar, bahkan menariknya mundur bila kekeliruan itu tidak diperbaiki.
Jadi berantaslah perilaku feodalistic, “soko guru” dari korupsi di Negeri ini. (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More