Ahli Sosiologi dan Sejarah menandai bahwa manusia dilahirkan sebagai individu “tidak sama” dan tidak “bebas”. Dengan menghilangkan prasangka dan berfikiran jenih, semua aliran pemikiran falsafah tidak mempermasalahkan “aksioma” ini. Yang jadi masalah sepanjang zaman adalah interpretasi dari “dalil” ini.
Keaneka ragaman hayati adalah cara alam untuk melestarikan “hidup” ini sendiri.
Setiap hidup mengandung unsur pendukung sistimnya yang bisa dirinci.
Satu Unsur kehidupan organisme adalah “unit” atau satuan yang bisa me-respons lingkungannya secara harmonis dengan unsur-unsur yang lain dalam satu individu, sehinga “hidup” individu tertentu dapat bertahan. Jadi antara hidup individu dan lingkungannya mempunyai hubungan yang tak terpisahkan – seperti dua sisi dari satu mata uang, merupakan satuan hubungan internal.
Hukum Alam menentukan bahwa hubungan internal dari satu sistim – itulah existensi yaitu keberadaan dan sifat dari existensi itu sendiri.
Seorang Stephen William Hawkings sarjana terkemuka Inggris dibidang Astrophysics, tidak bakal mencapai prestasinya yang gemilang di bidangnya, karena sebagai individu dia cacat menderita penyakit genetic yang langka menyebabkan dia lumpuh anggauta badannya dan bahkan kehilangam suaranya, unsur kehidupan yang sangat penting tidak berfungsi, toh dia tetap masih hidup dan berprestasi karena hubungan internal antara dia dan lingkungannya masih bisa berlangsung, sebab individu Stephen William Hawkings ini diwakili oleh umat manusia yang telah menguasai teknologi dalam hubungan internalnya dengan lingkungan hidupnya.
Lha kenapa sosok Stephen William Hawkings ini begitu dibela oleh umat manusia berteknologi untuk memperthankan hubungan internal anatara hidup individu dan alam lingkungannya ? Pada umumnya masyarakat yang tidak kelaparan, berbudaya, cenderung untuk menerapkan rakhman dan rakhim di lingkungannya.
Beruntunglah masyarakat manusia, karena individu Stephen William Hawkings – produk keanekaragaman individu manusia yang kurang “beruntung” secara jasmani dengan lingkungan-nya yang mestinya lenyap sebelum mampu berkembang, kekurangannya di satu atau beberapa unsur “hidup” nya yang seharusnya fatal, dengan kesempatan yang diberikan oleh masyarakatnya ternyata bisa dia kompensasi dengan kelebihan daya fikir otaknya yang cemerlang yang sangat berguna bagi seluruh masyarakat manusia, sebelumnya siapa tahu ?
Manusia berteknologi sudah mampu mengerti dan mengatasi gejala dalam masyarakatnya sendiri, bahwa perkembang biakannya akan mengikuti hitungan deret ukur sedangkan kemempuan masyarakat manusia untuk menghasilkan bahan pokok kehidupan terutama pangan akan menurut hitungan deret hitung dalam satuan waktu yang sama( Hukum Malthus ).
Ternyata dengan perencanaan keluarga dan kemajuan teknologi pangan khusunya dan teknologi pada umumnya, di atas kertas manusia moderen sudah bisa terbebas dari kelaparan, otomatis mudah menjadi berwatak Rakhma dan Rakhim. Kenyataannya tidak demikian.
Lha kenapa di mana-mana bahkan di Negara Adhidaya Amerika Serikat sendiri masih ada gejala malnutrisi pada sekelompok Warga Negaranya ? Apalagi di Negara-negara miskin dan Negara berkembang yang mengekor sistim ekonomi dan budayanya, kelaparan musiman adalah gejala chronis, pada lapisan yang paling bawah.
Akhli Sciences Biology dan Sosiology lupa bahwa “lapar” itu bagi manusia sudah bukan lagi bersifat fisik perut kosong atau kurang gizi yang chronis, tapi menggerogoti jiwa, lapar oleh kekurangan yang diciptakan oleh “hawa nafsu”.
Gejala ini tidak dikenal dalam Biology juga tidak dikenal dengan baik dalam Sociology, dan efeknya memang menciptakan kelaparan fisik beneran bagi masyarakat yang lemah secara aturan Kapitalis.
Memang kemajuan technology dapat mencegah adanya kelaparan dalam masyarakat manusia moderen, (jangankan masyarakan moderen, masyarakat jaman Nabi Yusuf saja sudah mampu menjaga diri dari paceklik panjang selama tujuh tahun atas petunjuk Allah ! ) akan tetapi rasa lapar yang ditimbulkan oleh hawa nafsu, menciptakan hangkara murka – yang efek nya terhadap masyarakat dengan mudah menjadi kelaparan fisik, akan menjauhkan manusia dari harkatnya yaitu watak rakhman dan rakhim malah sebaliknya yaitu menjerumuskan manusia ke watak hangkara murka, yang digambarkan sebagai watak perilaku jahiliyah.
Bagaimana Kapitalisme dapat membuat orang melupakan watak dasarnya yang rakhman dan rakhim ?:
Tidak pelak lagi apabila para Ideologist Kapitalis secara mengherankan, membabi buta sangat membenci ajaran Islam. Kapitalis pecinta riba, Allah membenci riba.
Di mata Islam, Idelology Kapitalisme adalah ideology jahiliyah, karena itu para biang kapitalisme se dunia membenci Islam. mereka sangat khawatir kedoknya
terbuka oleh ajaran Islam
Akan tetapi paradoxal-nya bahwa Islam diwahyukan lewat Nabi Muhammad SAW justru di masyarakat yang sudah mendarah daging berwatak jahiliyah seperti virus yang telah menyatu dengan kaum Quraisy ribuan tahun turun-temurun, ratusan generasi, virus itu masih sering sering mewabah meskipun kini, syari’ah Islam merupakan ritual keseharian masyarakat di sana.
Rekayasa Kapitalis Multi Nasional untuk menguasai deposit minyak bumi di Jazirah Arab dengan menciptakan ancaman terhadap kelestarian Khilafah yang ada, mengunakan tangannya yang amat banyak, telah menggugah virus jahiliyah para penguasa Arab, dan kebetulan sekali para penguasa ini mendapatkan media ideology Kapitalisme sebagai penopang yang sangat cocok dengan virus jahiliyah sang sudah ada, jadilah mereka virus hibrida yang wajar antara kapitalisme alias neo jahiliyah. Sedikit yang menyadari bahwa Gurita Kapitalismelah yang mengerami dan menyebar luaskan penularan virus neo -jahiliyah, virus mutant neo-jahiliyah dan Kapitalisme, musuh Islam sebenarnya adalah perilaku Kapitalis yang juga neo jahiliah yang ditularkan oleh virus ini, yang oleh Orde Baru dibiarkan menelikung Bangsa ini.
Semoga mereka yang masih mengikuti polah tingkah yang tengik dari Kapitalisme ini mendapat tuntunan ke jalan yang benar yaitu menemukan watak dasar manusia yang rakhman dan rakhim, karena Allah. Amin (*)
Keaneka ragaman hayati adalah cara alam untuk melestarikan “hidup” ini sendiri.
Setiap hidup mengandung unsur pendukung sistimnya yang bisa dirinci.
Satu Unsur kehidupan organisme adalah “unit” atau satuan yang bisa me-respons lingkungannya secara harmonis dengan unsur-unsur yang lain dalam satu individu, sehinga “hidup” individu tertentu dapat bertahan. Jadi antara hidup individu dan lingkungannya mempunyai hubungan yang tak terpisahkan – seperti dua sisi dari satu mata uang, merupakan satuan hubungan internal.
Hukum Alam menentukan bahwa hubungan internal dari satu sistim – itulah existensi yaitu keberadaan dan sifat dari existensi itu sendiri.
Seorang Stephen William Hawkings sarjana terkemuka Inggris dibidang Astrophysics, tidak bakal mencapai prestasinya yang gemilang di bidangnya, karena sebagai individu dia cacat menderita penyakit genetic yang langka menyebabkan dia lumpuh anggauta badannya dan bahkan kehilangam suaranya, unsur kehidupan yang sangat penting tidak berfungsi, toh dia tetap masih hidup dan berprestasi karena hubungan internal antara dia dan lingkungannya masih bisa berlangsung, sebab individu Stephen William Hawkings ini diwakili oleh umat manusia yang telah menguasai teknologi dalam hubungan internalnya dengan lingkungan hidupnya.
Lha kenapa sosok Stephen William Hawkings ini begitu dibela oleh umat manusia berteknologi untuk memperthankan hubungan internal anatara hidup individu dan alam lingkungannya ? Pada umumnya masyarakat yang tidak kelaparan, berbudaya, cenderung untuk menerapkan rakhman dan rakhim di lingkungannya.
Beruntunglah masyarakat manusia, karena individu Stephen William Hawkings – produk keanekaragaman individu manusia yang kurang “beruntung” secara jasmani dengan lingkungan-nya yang mestinya lenyap sebelum mampu berkembang, kekurangannya di satu atau beberapa unsur “hidup” nya yang seharusnya fatal, dengan kesempatan yang diberikan oleh masyarakatnya ternyata bisa dia kompensasi dengan kelebihan daya fikir otaknya yang cemerlang yang sangat berguna bagi seluruh masyarakat manusia, sebelumnya siapa tahu ?
Manusia berteknologi sudah mampu mengerti dan mengatasi gejala dalam masyarakatnya sendiri, bahwa perkembang biakannya akan mengikuti hitungan deret ukur sedangkan kemempuan masyarakat manusia untuk menghasilkan bahan pokok kehidupan terutama pangan akan menurut hitungan deret hitung dalam satuan waktu yang sama( Hukum Malthus ).
Ternyata dengan perencanaan keluarga dan kemajuan teknologi pangan khusunya dan teknologi pada umumnya, di atas kertas manusia moderen sudah bisa terbebas dari kelaparan, otomatis mudah menjadi berwatak Rakhma dan Rakhim. Kenyataannya tidak demikian.
Lha kenapa di mana-mana bahkan di Negara Adhidaya Amerika Serikat sendiri masih ada gejala malnutrisi pada sekelompok Warga Negaranya ? Apalagi di Negara-negara miskin dan Negara berkembang yang mengekor sistim ekonomi dan budayanya, kelaparan musiman adalah gejala chronis, pada lapisan yang paling bawah.
Akhli Sciences Biology dan Sosiology lupa bahwa “lapar” itu bagi manusia sudah bukan lagi bersifat fisik perut kosong atau kurang gizi yang chronis, tapi menggerogoti jiwa, lapar oleh kekurangan yang diciptakan oleh “hawa nafsu”.
Gejala ini tidak dikenal dalam Biology juga tidak dikenal dengan baik dalam Sociology, dan efeknya memang menciptakan kelaparan fisik beneran bagi masyarakat yang lemah secara aturan Kapitalis.
Memang kemajuan technology dapat mencegah adanya kelaparan dalam masyarakat manusia moderen, (jangankan masyarakan moderen, masyarakat jaman Nabi Yusuf saja sudah mampu menjaga diri dari paceklik panjang selama tujuh tahun atas petunjuk Allah ! ) akan tetapi rasa lapar yang ditimbulkan oleh hawa nafsu, menciptakan hangkara murka – yang efek nya terhadap masyarakat dengan mudah menjadi kelaparan fisik, akan menjauhkan manusia dari harkatnya yaitu watak rakhman dan rakhim malah sebaliknya yaitu menjerumuskan manusia ke watak hangkara murka, yang digambarkan sebagai watak perilaku jahiliyah.
Bagaimana Kapitalisme dapat membuat orang melupakan watak dasarnya yang rakhman dan rakhim ?:
Tidak pelak lagi apabila para Ideologist Kapitalis secara mengherankan, membabi buta sangat membenci ajaran Islam. Kapitalis pecinta riba, Allah membenci riba.
Di mata Islam, Idelology Kapitalisme adalah ideology jahiliyah, karena itu para biang kapitalisme se dunia membenci Islam. mereka sangat khawatir kedoknya
terbuka oleh ajaran Islam
Akan tetapi paradoxal-nya bahwa Islam diwahyukan lewat Nabi Muhammad SAW justru di masyarakat yang sudah mendarah daging berwatak jahiliyah seperti virus yang telah menyatu dengan kaum Quraisy ribuan tahun turun-temurun, ratusan generasi, virus itu masih sering sering mewabah meskipun kini, syari’ah Islam merupakan ritual keseharian masyarakat di sana.
Rekayasa Kapitalis Multi Nasional untuk menguasai deposit minyak bumi di Jazirah Arab dengan menciptakan ancaman terhadap kelestarian Khilafah yang ada, mengunakan tangannya yang amat banyak, telah menggugah virus jahiliyah para penguasa Arab, dan kebetulan sekali para penguasa ini mendapatkan media ideology Kapitalisme sebagai penopang yang sangat cocok dengan virus jahiliyah sang sudah ada, jadilah mereka virus hibrida yang wajar antara kapitalisme alias neo jahiliyah. Sedikit yang menyadari bahwa Gurita Kapitalismelah yang mengerami dan menyebar luaskan penularan virus neo -jahiliyah, virus mutant neo-jahiliyah dan Kapitalisme, musuh Islam sebenarnya adalah perilaku Kapitalis yang juga neo jahiliah yang ditularkan oleh virus ini, yang oleh Orde Baru dibiarkan menelikung Bangsa ini.
Semoga mereka yang masih mengikuti polah tingkah yang tengik dari Kapitalisme ini mendapat tuntunan ke jalan yang benar yaitu menemukan watak dasar manusia yang rakhman dan rakhim, karena Allah. Amin (*)
0 comments:
Posting Komentar