Pekarangan adalah bagian dari lahan sekitar rumah yang paling penting, biasanya di depan rumah, terusnya ada halaman belakang dan kadang halaman samping.
Kenapa halaman di pedesaan umumnya, atau di pulau Jawa khususnya diangkat dalam tulisan ini disoroti?
Sekilas halaman rumah di kota-kota terutama milik kaum menengah walaupun kecil antara 2 x10 meter persegi, hingga 4x12 meter rata-rata nampak lebih asri dan tanaman buah-buahan yang ditanam di sana lebih bagus, berkelas dan lebat buahnya, sedang halaman di desa-desa yang dinamakan pekarangan, meskipun jauh lebih luas, tapi nampak tidak teratur dan ditanami tanaman sembarangan, meskipun disapu dengan sapu lidi secara rutin, tapi jauh dari asri.
Bila kesan saya ini benar, marilah kita lihat bersama kenapa demikian, dan alangkah besar dampaknya bila pekarangan di desa-desa terutama di Pulau Jawa yang mungkin ratusan ribu jumlahnya, baik untuk estetika maupun untuk perbaikan gizi atau malah tambahan penghasilan.
Ada kelebihan yang nyata pada pekarangan di pedesaan, bahwa luas rata-rata dari pekarangannya lebih besar, dan penghuni pedesaan sebenarnya lebih kenal terhadap pupuk, baik pupuk kandang dan kompos maupun pupuk buatan pabrik.
Ada beberapa contoh bahwa pekarangan dapat meng up-grade tegalan sekitar hunian dan menjadi salah satu pilar penghasilan masyarakat desa khususnya di pulau Jawa dan pulau-pulau lain, misalnya pekarangan di desa-desa disekitar kota Batu – Malang, pekarangan untuk tanaman Apel, bunga-bungaan dan daun sledri (selery leaves/ Apium graveolus L) telah menjadi tiang penyangga seluruh keluarga, di Glagah dan Giri.
Di Kabupaten Banyuwangi penduduk desa memelihara tanaman Kopi yang jauh lebih produktif dari kebun kebun besar swasta yang menanam Kopi. Di Desa Wedi, Kabupaten Bojonegoro semua pekarangan dan bahkan meluas sampai tegalan dijadikan kebun Salak (cultivar setempat “salak wedi” “d” dari dada), sehingga jalan desapun harus mengalah, sempit diantara dedaunan Salak.
Begitu juga desa-desa sekitar Kota Kabupaten Sleman di Jogyakarta seluruhnya ditanami Salak Pondoh, di dekat Padang Sapa di Kabupaten Paloppo, Sulawesi Selatan ada desa yang khusus memelihara Langsat (ndak tau nama latinnya, tapi setiap orang Indonesia tau, sebab ada ungkapan “ kuning Langsat” untuk kulit, terutama kulit gadis cantik) yang manis rasanya, tanamannya di pekarangan meluas ke kebun, di Kabupaten Singaraja Bali, desa-desa sepanjang pantai, tegalan dan sawah berubah jadi lahan yang ditanami anggur cultivar 'Probolinggo Biru'.
Di pekarangan sepanjang jalan antara Wlingi dan Blitar petani merubah pekarangan rumahnya jadi kebun rambutan, bukan hanya itu, tapi dengan cepat mampu merubah dari rambutan cultivar “lebak bulus” menjadi cultivar “ binjai”, dengan menyambungkannya kesetiap cabang si lebak bulus dengan tunas tunas rambutan binjai, itu yang aku tau karena harga Rambutan Binjai lebih mahal, selangkah lebih maju dari desa-desa lain.
Biasanya di desa-desa persawahan, artinya penghasilan pokok desa-desa itu dari persawahan.
Di pulau Jawa, pekarangan mereka kebanyakan amburadul, segala apa ditanam meskipun semua ada gunanya, meskipun pohon Trembesi ( Samanea saman L/ ki hujan) yang dekat dipagar dipiara untuk mengikat kerbau, atau sapi, rumpun pisang tak karuan jenisnya, daun-daun anakannya habis dimakan ayam dan rumpunnya nyaris tidak berbuah, toh dibiarkan hidup, daun-daunnya untuk bungkus makanan kiriman ke sawah, tanaman itu semua ada gunanya, tapi tidak bernilai. Kenapa ?
Karena petani penghuni desa-desa tersebut terlalu sibuk mengurusi tanaman sawahnya, siang malam, siang dari subuh sampai jam sepuluh, pulang untuk mandi dan sore mulai jam tiga sampai senja, malam menunggu giliran air pengairan, waktu hujan nenjaga pematang kalau kalau jebol, atau lubang buangan air yang buntu. Kadang tinggal di dangau atau saung hingga makananpun dikirim dari rumah. halaman depan atau samping untuk mengeringkan gabah, buruh tani rumahnya di pinggiran desa didekat rumpun bamboo menghadap ke sawah, tidak punya halaman, dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya akses ke “rumah”.
Aku lupa menceriterakan bahwa pekarangan itu menurutku adalah lahan seputar rumah, yang tidak pernah ditanami jagung, sedang tegalan itu lahan kering, yang terbuka ditanam segala palawija, dan sayuran, biasanya perluasan dari halaman ke belakang,dan sering masih beri dipagar hidup, sedangkan sawah hanya ada patok batas.
Jadi apapun yang menjadi bagus di pekarangan, mau atau tidak akan merambat di tegalan mereka, semoga. Lain halnya dengan desa-desa di lereng pegunungan yang kadang-kadang keberadaan air pengairan tidak memadai untuk sawah, orang ada waktu buat memelihara tanaman kebun, halamannya penuh dengan tanaman buah-buahan, dan dengan memperlakukan pohon budidaya secara baik, artinya memangkas cabang tanpa merusak, menyiangi benalu, bahkan memangkas untuk memperbaiki percabangan produktif.
Sayangnya dengan gampang orang merusak pepohonan untuk merambatkan tunbuhan merambat yang lebih cepat berbuah, misalnya Pasiflora atau Markisa.
Nah sekarang kita berbicara tentang halaman, menurutku halaman ini khusus lahan di depan atau agak menyamping rumah, biasanya disapu dengan sapu lidi.
Desa-desa di pulau Jawa kini telah berubah.
Kota-kota besar dengan cepat meluas, menelan desa-desa dengan real estates, pinggir jalan antar Propinsi pinggir jalan antar Kabupaten sudah ada listrik, dan Pabrik-Pabrik, hunian pindah ke pinggir jalan antar Kecamatan, dan jalan Desa yang merupakan cul de sac.
Banyak desa-desa yan sudah tertelan pembangunan jalan dan listrik, otomatis pekarangan makin menyempit, bukan saja pekarangan bahkan tegalan dijadikan hunian.
Meskipun demikian luas halaman hingga 300 meter persegi adalah jamak, sedangkan “Pengembang” perumahan di desa yang sama mendirikan bangunan dan jalan untuk ratusan rumah disitu juga dengan luas hanya 100 meter persegi untuk bangunan dan halaman kecil.
Bencana mulai melanda Desa.
Petani yang sawah atau tegalnya dipotong jalan antar Kabupatan, antar Kecamantan, mulai menjual atau terpaksa menjual karena sudah terkepung lahan bakal pabrik, bakal real estate, sawah atau tegalannya dijual karena letaknya, membeli hunian baru di tegalan padalaman dengan uang penjualan sawah atau ladang dikurangi dengan harga sepeda motor anaknya tiga orang, dan untuk mengawinkan anak perempuan satu satunya. Petani di pedalaman mulai ketagihan menjual tanah pekarangan dan tegalan ke tetangga baru sesama petani yang terusir, buat hidup lebih wah.
Nah, fungsi pekarangan dan tegalan yang tertinggal jadi sangat penting, walau tinggal antara 500 sampai 1000 meter persegi. Di sekeliling rumah lama dengan pekarangan yang sudah ditanami tanaman dari kakek-neneknya, yang tentu saja sudah sangat besar dan dari jenis yang meragukan, tentu saja ya berbuah, tapi dulu, jenis (cultivar) apa, ndak ada di pasar lagi, pasti ditanam dari biji, begitu besar besar tanaman yang ada di tempat itu, sehingga pekarangan di desa-desa nampak sempit.
Petani rudin (miskin) ini ikut penyuluhan di Kelurahan, kebetulan diberi bibit tanaman Mangga dan Belimbing mestinya ya dari jenis yang unggul diokulasikan (budding) atau disambungkan (grafting) e..e ternyata batang bawah saja dipotong lantas tunasnya ditumbuhkan lalu digores sedikit dengan pisau serupa jendela di sekitar tunas yang tumbuh, biar nampak seperti bekas luka okulasi.
Ya, sama saja itu okulasi atau sambungan palsu, beli untuk proyek penghijauan, di mark up dan malah palsu, toh untuk dibagikan.
Si Petani rudin nanamnya bibit ya di sisa halamannya. Agak jauh dari pohon nenek-moyang yang sudah besar-besar, di lubang tanam tepat nurut teori, tanpa layu, trus hidup dan tumbuh, tahun ketiga menjadi tinggi kayak pecut dang akhirnya mati (untungnya).
Petani biasanya sayang pada pohon tanaman moyangnya yang dulu pernah baik.
Di perkebunan Kopi orang kenal dengan istilah “rejuvenation” tanaman dan “replanting” dari satu petak besar kebun tua.
Menanam tanaman budi daya beberapa pohon dengan menanam satu perkebunan itu ilmunya sama.
Yakni, harus yakin bahwa bibit dari pohon yang baik artinya “trendy” dan memang lebih enak, bila rambutan ya dari pohon induk cultivar si “Rapiah” atau si “Binjai” misalnya, mestinya diketahui batang bawahnya dari biji jenis apa tapi di sini pertanyaan itu tidak umum.
Menanan bibit baru di bawah tajuk tamanan tua, percuma walau nanti toh si tua harus ditebang, kan cabang cabangnya menjatuhi tanaman pengganti ? Makanya ada istilah replanting, artinya si tua harus didongkel sampai ke akarnya dulu, kayak kejadian di lahan real estate: Tegalan, kuburan, pekarangan semua di buldozer, trus dipotong yang berbukit terjal dan diurug yang telalu berjurang (cut and fill), trus dipotong potong seukuran kavelling sepanjang jalan dan diberi drainage trus didirikan rumah, meskipun halamannya sedikit tapi ditanam jenis yang baik dari Usaha Pembibitan yang professional harganya mahal tapi jaminan mutu, sudah itu dipupuk lagi, tiga tahun dihuni, semua berbuah lebat. Saya tidak tau selang duapuluh tahun lagi, tapi saat ini sangat baik.
Petani akan memilih bertransmigrasi, petani di pulau Jawa sudah gerah, tidak nyaman, apa modal pengetahuan mereka mengenai pertanian ?
Batu loncatan untuk mendapakan pelajaran yang sangat berharga adalan pekarangan mereka, lahan kering, sebab yang disana nanti ya lahan tadah hujan dan tegalan.
Kita sendiri, yang berani mengatakan sebagai ahli pertanian bisa memberi bekal pengetahuan pertanian lahan kering apa ?
Sebenarnya cara penggunaan lahan kering untuk transmigrasi swakarsa dengan kebun Kelapa Sawit Inti dan kebun kelapa Sawit plasma.
Plasma adalah baik, sayangnya selama sepuluh tahun terkhir ini menjadi bungkam, para Penjabat Pusat maupun Daerah lebih senang berhubungan dengan para Investor Besar dengan mengkhianati amanah UUD 45
Pasal 33. Hanya rame sendiri bertengkar sesama buaya, karena cicak-cicak sudah menjelang punah dari dulu.
Kembali kepada bekal pengetahuan apa yang kita bisa berikan untuk mengelola lahan kering adalah pemilihan bibit tanaman perkebunan, dan pemeliharaannya.
Pertama:
Tanaman yang baik sifat sifat nya untuk manusia, misalnya lebih enak, lebih produktip, bisa di “fotocopy” artinya diperoleh tanaman yang persis sama – perkembang biakan vegetative di-stek, di-cangkok (marcottage) di tempel mata tunasnya (okulasi/occulation) atau disambungkan rantingnya ( grafting ).
Batang atas (yang difotocopy) hidup di akarnya sendiri – stek dan cangkokan.
Batang atas hidup dari akar batang bawah – ada dua anggapan mengenai pengaruh batang bawah ini bisa diabaikan ini pendapat yang pertama, dan pendapat yang kedua bahwa ada bukti bahwa batang bawah mempengaruhi batang atas, terutama pengaruhnya pada posture tanaman, dan umur produktif tanaman.
Kedua:
Di satu individu tumbuh bumbuhan setiap bagiannya umurnya tidak sama, umpama satu tumbuhan umurnya sepuluh tahun, artinya pucuknya yang selalu tumbuh umurnya sepuluh tahun, tapi satu mata tunas yang terjadi pada waktu umur tiga tahun dan setelah itu dia tidur sebagai mata tunas, umurnya ya tetep tiga tahun, selisih dengan pucuk yang selalu tumbuh tujuh tahun ! Tentu saja mata tunas yang diambil dari percabangan di atas, dimana tejadi pada waktu tumbuhan itu umurnya tujuh tahun (pernah berbuah) akan segera berbuah bila kondisinya mendukung ( pupuk P, penyinaran cukup karena perbandingan C/N menjadi besar)
Jadi, mestinya hasil okulasi atau sambungan atau cangkok, karena diambil dari mata tunas cabang yang sudah pernah berbuah terletak relatip diatas, pasti lebih cepat berbuah.
Jadi jangan pernah mengambil mata tunas atau cabang yang tumbuh dari bawah, meskipun dia tetep fotocopy, barbuahnya nanti akan lama (kan urusannya pembeli bibit ?)
Ketiga:
Setelah tanaman berasal dari okulasi yang benar atau sambungan yang benar, atau stek atau cangkokan yang benar, individu fotocopy itu nantinya harus ditentukan seberapa besar canopy yang diperbolehkan, konsekwensinya nungkin membatasi produktivitasnya, daripada diumbar tumbuh membesar, tenaga tumbuhnya habis untuk bersaing sendiri mencari sinar Matahari.
Keempat:
Tamanan budidaya fotocopy-an ini tetap mempunyai umur produktip yang bisa diremajakan berkala, atau samasekali diganti karena terlalu tua.(tergantung dari batang bawahnya)
Kelima:
Pangkas tanaman berkala, tentukan cabang mana yang akan produktif, mutlak hilangkan cabang air ( cabang yang mulai dari bawah gemuk dan cepat besar ) bila tidak terpaksa, karena ada cabang yan rusak disektor ini. Bisa juga batang bawah menumbuhkan tunasnya sendiri dan mengalahkan sanbungan atau okulasinya.
Keenam:
Alangkah baiknya bila di desa ada ahli menyambung/ mengokulasi atau mencangkok tanaman, karena ada garansi hasil kerjanya akan menrupakan fotocopy dari tanaman yang benar benar cocok di wilayah tersebut dan baik kualitasnya.
Saya ragu apakah pesan lewat blog ini bisa sampai ke kesadaran petani yang berkepentingan karena mungkin boro-boro buka blog di computer, Koran aja ndak baca, sedangkan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) jumlahnya terlalu sedikit, seorang untuk seluruh Kecamatan, dan itupun bila ada.
Siapa tahu kehendak Allah SWT membantu kita, saya sudah cukup tua, sehingga mengharapkan pembaca blog ini untuk bersimpati dan berdaya, karena sesudah saya tahu respons pembaca blog ini, saya sanggup mengajarkan tekhnik menyanbung dan mengokulasi tanaman dengan tulisan dan gambar, karena di kebun kopi saat saya kerja di kebun Kopi sudah saya ajarkan pada anak anak SD kelas enam. Saya ajari anak-anak SD saat itu, karena satu kebun yang hampir seribu Ha, tukang sambungnya hanya satu sudah tua dan ketrampilannya menyambung dicampur dengan mistik, pelit mengajari yang lain. Dengan pisau-pisau buatan sendiri, batu asah yang khusus untuk pisau sambung, agar nanti ngasahnya tidak keliru lagi (boro-boro beli, merek Victorynox harganya satu pisau lipat khusus ini Rp 300.000,-) dengan alat yang sangat sederhana ini, dengan cepat bisa mengokulasi seluruh naungan Lamtoro (Leuciana glauca L) dengan lamtoro tidak berbiji ( Leuciana cultivar L19), menyambung kopi dengan cultivar unggul.(*)
( Oleh Ir. Subagyo, Msc. Alumni Universitas Patricia Lumumba , Moscow th 1966, setamat dari Russia kembali ke tanah air, pernah bekerja di Kebun Kopi, Supervisi Menanam Kapas di Jawa, dan mengabdikan diri di bidang pertanian untuk Indonesia melalui jalur swasta, yang penting Bagimu Negeri .
Mengapa di Swasta ? Karena untuk jalur pegawai negeri pada tahun itu tertutup total bagi sarjana-sarjana baik insinyur maupun magister lulusan Russia, Chinna, Vietnam, Chekoslovakia, Polandia. Sebagai gantinya tahun dekade itu kesempatan seluas-luasnya bagi sarjanan lulusan Amerika, dan Inggris.
Tapi untunglah sekarang di tahun 2011 ini sarjana Indonesia lulusan dari negara mana saja boleh jadi pegawai negeri asalkan lulus test. Bahkan Negara Chinna yang dulu dilarang-larang sudah bebas membuka pasar di Indonesia dengan ACFTA.)
0 comments:
Posting Komentar