Conformisme (konformisme) adalah perilaku manusia atau kelompok manusia yang artinya : menurut saja pada kebiasaan, aturan, atau cara berfikir yang dianut oleh kebanyakan anggauta masyarakat itu, tanpa difikir panjang. Biasanya conformisme ini dianut oleh individu-individu yang mencari kemapanan hanya dari lingkup sempit masyarakatnya saja.
Biasanya budaya konformisme ada pada masyarakat yang kurang berpendidikan, atau masyarakat yang tidak memerlukan olah pikir yang dalam untuk mendapatkan nafkahnya – misalnya masyarakat di pedesaan.
Memenangkannya dengan rasionalitas yang konsisten dan kasih.
Pernah masyarakat kita tergerak dalam hysteria massa karena semangat mempunyai ideology Negara yang dikumandangkan oleh Bung Karno, ialah ideologi Panca Sila dan Bhineka Tunggal Ika, beraneka ragam suku bangsa dan Agama, namun bersatu dalam NKRI. Serta Berdikari atau berdiri di kaki sendiri.
Biasanya budaya konformisme ada pada masyarakat yang kurang berpendidikan, atau masyarakat yang tidak memerlukan olah pikir yang dalam untuk mendapatkan nafkahnya – misalnya masyarakat di pedesaan.
Memenangkannya dengan rasionalitas yang konsisten dan kasih.
Pernah masyarakat kita tergerak dalam hysteria massa karena semangat mempunyai ideology Negara yang dikumandangkan oleh Bung Karno, ialah ideologi Panca Sila dan Bhineka Tunggal Ika, beraneka ragam suku bangsa dan Agama, namun bersatu dalam NKRI. Serta Berdikari atau berdiri di kaki sendiri.
Inilah yang Negara Super Power sangat tidak suka, karena mengganggap ini negara dunia ketiga terlalu banyak yang diharapkan dari kemerdekaannya.
Karena resource alami yang begitu potensial di Negeri ini tidak boleh untuk membiayai infra structure yang sangat colossal diperlukan untuk benar-benar menjadi negara merdeka.
Saya dulu tidak merasa jadi conformist, menerima ikrar setia pada ideology negara ini dan sampai sekarang, wong semuanya sudah saya pertimbangkan dan difikir untung ruginya bagi bangsa ini dalam jangka panjang.
Sebaliknya di Zaman Orde Lama-nya Presiden Sukarno, bukannya tidak ada korupsi, manipulasi uang Negara maupun pemasukan pajak terutama bea masuk, hal-hal kejahatan semacam itu ya banyak, di seputar sektor Bea Cukai dan Perusahaan Negara hasil nasionalisasi perusahaan Asing yang tidak kooperatif dengan Pemerintahan Sukarno. Tapi the rule of law masih bagus, memang, kejahatan terang-terangan macam Bank Century belum ada.
Kepentingan pribadi-pribadi dan mereka yang ndak punya selera untuk mendukung ideology Negara terutama dalam Berdikari meskipun telah jadi Direktur Perusahaan hasil Nasionalisasi Perusahaan Belanda), sebab mereka yakin bisa ikut lebih “mukti” ( bahasa Jawa artinya menikmati kekayaan dan wibawa) dengan uang dan kerja bangsa lain di Negeri kita ini, menjadikan mereka berkhianat. (Anehnya setelah berkuasa puluhan tahun pun masih harus hutang.)
Senyampang seluruh lapisan masyarakat lagi menderita kekurangan pangan dan sandang.
Setelah masyarakat dibikin bingung dan keder oleh pembalasan terhadap pembunuhan Jenderal-Jenderal Pahlawan Revolusi dengan dakwaan si pembunuh adalah PKI, maka hampir 2 juta rakyat, kebanyakan adalah pengikut setia Bung Karno dihabisi, tak ayal ide Berdikari dan rezim Presiden Sukarno pun ikut longsor.
Pada saat itu segera ide Berdikari kalah, dan masyarakat menganut ide Pasar Bebas, bukan hanya itu, seluruh arah “pembangunan” Orde Baru di-design oleh Konsorsium Negara Donor yang sudah pasti cari untung dan tidak bakal memperkut otot-otot kemerdekaan, misalnya untuk pemerataan dan keseimbangan penduduk Negeri Kepulauan ini, diganti dengan Intensifikasi massal di bidang pertanian.
Saya percaya bahwa rakyat yang lagi shock berat ini kehilangan kepercayaan diri, (boro-boro untuk berdikari, menjadi golongan yang 'ndak diburu untuk ditawan saja sulit), mereka kembali pada conformisme, mereka tidak terkotak-kotak, dan satu kotak saja Golkar, pembangunan yes dan politik no.
Mayoritas rakyat tidak berani berfikir, kembali ke konformisme, tentu saja mulai dari tentara, polisi kemudian hansip dan satpam kemudian anak sekolah sampai pegawai negeri, juga pengikut partai dan organisasi massa termasuk organisasi extra Universiter ini yang terakhir, sesuai dengan predikat kumpulan para “student”.
Sebab ternyata dalam masyarakat manusia, stimuli dari luar mempunyai dua jalur untuk direspon, jalur langsung namanya refleks atau instinct, dan jalur kedua lewat otak dengan dipikir sebelum merespon.
Saya dulu tidak merasa jadi conformist, menerima ikrar setia pada ideology negara ini dan sampai sekarang, wong semuanya sudah saya pertimbangkan dan difikir untung ruginya bagi bangsa ini dalam jangka panjang.
Sebaliknya di Zaman Orde Lama-nya Presiden Sukarno, bukannya tidak ada korupsi, manipulasi uang Negara maupun pemasukan pajak terutama bea masuk, hal-hal kejahatan semacam itu ya banyak, di seputar sektor Bea Cukai dan Perusahaan Negara hasil nasionalisasi perusahaan Asing yang tidak kooperatif dengan Pemerintahan Sukarno. Tapi the rule of law masih bagus, memang, kejahatan terang-terangan macam Bank Century belum ada.
Kepentingan pribadi-pribadi dan mereka yang ndak punya selera untuk mendukung ideology Negara terutama dalam Berdikari meskipun telah jadi Direktur Perusahaan hasil Nasionalisasi Perusahaan Belanda), sebab mereka yakin bisa ikut lebih “mukti” ( bahasa Jawa artinya menikmati kekayaan dan wibawa) dengan uang dan kerja bangsa lain di Negeri kita ini, menjadikan mereka berkhianat. (Anehnya setelah berkuasa puluhan tahun pun masih harus hutang.)
Senyampang seluruh lapisan masyarakat lagi menderita kekurangan pangan dan sandang.
Setelah masyarakat dibikin bingung dan keder oleh pembalasan terhadap pembunuhan Jenderal-Jenderal Pahlawan Revolusi dengan dakwaan si pembunuh adalah PKI, maka hampir 2 juta rakyat, kebanyakan adalah pengikut setia Bung Karno dihabisi, tak ayal ide Berdikari dan rezim Presiden Sukarno pun ikut longsor.
Pada saat itu segera ide Berdikari kalah, dan masyarakat menganut ide Pasar Bebas, bukan hanya itu, seluruh arah “pembangunan” Orde Baru di-design oleh Konsorsium Negara Donor yang sudah pasti cari untung dan tidak bakal memperkut otot-otot kemerdekaan, misalnya untuk pemerataan dan keseimbangan penduduk Negeri Kepulauan ini, diganti dengan Intensifikasi massal di bidang pertanian.
Saya percaya bahwa rakyat yang lagi shock berat ini kehilangan kepercayaan diri, (boro-boro untuk berdikari, menjadi golongan yang 'ndak diburu untuk ditawan saja sulit), mereka kembali pada conformisme, mereka tidak terkotak-kotak, dan satu kotak saja Golkar, pembangunan yes dan politik no.
Mayoritas rakyat tidak berani berfikir, kembali ke konformisme, tentu saja mulai dari tentara, polisi kemudian hansip dan satpam kemudian anak sekolah sampai pegawai negeri, juga pengikut partai dan organisasi massa termasuk organisasi extra Universiter ini yang terakhir, sesuai dengan predikat kumpulan para “student”.
Sebab ternyata dalam masyarakat manusia, stimuli dari luar mempunyai dua jalur untuk direspon, jalur langsung namanya refleks atau instinct, dan jalur kedua lewat otak dengan dipikir sebelum merespon.
Jalur refleks dan instinct adalah sebab dari sikap conformist (pokoknya sama dengan orang banyak, atau penguasa, habis perkara.)
Makanya, zaman penjajahan Belanda, zaman militerisme Jepang, zaman Orde Baru semua masyarakat diteror dengan hukum dan hukuman di bawah todongan senjata. Umumnya di banyak Pemerintahan Totaliter rezim menteror rakyatnya secara sitematis untuk memudahkan terbentuknya watak conformisme dari rakyat banyak.
Jadi pada era Orde Baru, Partai dan organisasi massa terjangkit konformisme berat, dan para elite-nya, pemimpin-pemimpinnya di alam conformisme ini, tidak mampu untuk mencetak kader-kader yang berfikir, wong mereka sendiri enggak. Intinya conformisme ini membuat orang jadi ndak berpikir karena takut untuk berpikir, jadinya yah menurut sajalah asal selamat.
Yang pintar malah berfikir untuk ABS (asal bapak senang) dan lemah lembut (dengan maksud tertentu) cepat menanjak ke atas berkat dorongan para seniornya, dan dikaderkan hanya mengumpulkan uang dan membuat pengikutnya yang akar rumput menjadi golongan yang conformist yang ganas nyaris kayak Ku Klux Klan, atau Hitler Jugens atau Komsomol.
Saat itulah conformisme mereka mencari musuh, yaitu orang yang berfikir, dan orang yang suka berfikir, ini mungkin karena orang yang berfikir dapat dengan mudah menganalisa hal-hal politik dan ekonomi yang terjadi, termasuk dengan mudah menganalisa adanya kesalahan dan adanya kebenaran dalam bidang politik dan ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Sedangkan di sisi lain kalau sikap ganas dan beringas kan bisa menghancurkan dan membakar dengan sangat mudah, tidak perlu panjang berfikir.
Karena akhirnya memang rasio itu lawannya ya conformisme, bukan “perasaan” sebab “perasaan” masih dipikir atau rasional yang banyak subjective-nya, gitu.
Makanya, di seluruh dunia ada organisasi pemuda dan mahasiswa, golongan akar rumputnya garang, berlandaskan conformisme, sampai di teras Nasional hampir semua kadernya mengumbar korupsi, manipulasi, tanpa kendali. Termasuk di Indonesia, di era Orde Baru sesudah, sudah nyaris tiga generasi ! (*)
Makanya, zaman penjajahan Belanda, zaman militerisme Jepang, zaman Orde Baru semua masyarakat diteror dengan hukum dan hukuman di bawah todongan senjata. Umumnya di banyak Pemerintahan Totaliter rezim menteror rakyatnya secara sitematis untuk memudahkan terbentuknya watak conformisme dari rakyat banyak.
Jadi pada era Orde Baru, Partai dan organisasi massa terjangkit konformisme berat, dan para elite-nya, pemimpin-pemimpinnya di alam conformisme ini, tidak mampu untuk mencetak kader-kader yang berfikir, wong mereka sendiri enggak. Intinya conformisme ini membuat orang jadi ndak berpikir karena takut untuk berpikir, jadinya yah menurut sajalah asal selamat.
Yang pintar malah berfikir untuk ABS (asal bapak senang) dan lemah lembut (dengan maksud tertentu) cepat menanjak ke atas berkat dorongan para seniornya, dan dikaderkan hanya mengumpulkan uang dan membuat pengikutnya yang akar rumput menjadi golongan yang conformist yang ganas nyaris kayak Ku Klux Klan, atau Hitler Jugens atau Komsomol.
Saat itulah conformisme mereka mencari musuh, yaitu orang yang berfikir, dan orang yang suka berfikir, ini mungkin karena orang yang berfikir dapat dengan mudah menganalisa hal-hal politik dan ekonomi yang terjadi, termasuk dengan mudah menganalisa adanya kesalahan dan adanya kebenaran dalam bidang politik dan ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Sedangkan di sisi lain kalau sikap ganas dan beringas kan bisa menghancurkan dan membakar dengan sangat mudah, tidak perlu panjang berfikir.
Karena akhirnya memang rasio itu lawannya ya conformisme, bukan “perasaan” sebab “perasaan” masih dipikir atau rasional yang banyak subjective-nya, gitu.
Makanya, di seluruh dunia ada organisasi pemuda dan mahasiswa, golongan akar rumputnya garang, berlandaskan conformisme, sampai di teras Nasional hampir semua kadernya mengumbar korupsi, manipulasi, tanpa kendali. Termasuk di Indonesia, di era Orde Baru sesudah, sudah nyaris tiga generasi ! (*)
0 comments:
Posting Komentar