Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Kamis, 01 Maret 2012

PERJALANAN PANJANG TEKNIK MENAMBUNG TANAMAN DI INDONESIA.

Penguasaan keterampilan menyambung tumbuhan dan hubungannya dengan Pembelajaran Ilmu Pertanian di Indonesia yang saya amati selama ini.
Pengamatan saya mengenai penguasaan teknik okulasi (budding) dan menyambung (grafting ) dalam perkembangan Ilmu Pertanian yang diajarkan th 1957 – 2012  sangat tidak menggembirakan.
Ada dua Institusi Pendidikan Ilmu Pertanian di Indonesia semenjak Kemerdekaan,  yaitu setingkat dengan SMA/SMU sebgai sekolah kejuruan  yang diwarisi dari era sebelumnya yaitu zaman penjajahan,  dan setingkat Akademi D3 maupun setingkat S1 sejak penyerahan kedaulatan RI tahun limapuluhan yang bisa berlanjut hingga S2 dan S3 sejak tahun tujuh puluhan.
Pola pembelajaran Ilmu Pertanian setingkat sekolah kejuruan menengah SMK pada zaman Penjajahan disesuaikan dengan  kebutuhan saat itu, yaitu untuk mendapatkan tenaga Pengawas Lapangan yang mampu menjembatani tujuan Perencana Usaha Pertanian  yang  digodog di Negeri Belanda  dan dilaksanakan penelitiannya di berbagai Proefstation (Stasiun Percobaan) di Hindia Belanda,  dengan Pelaksana yaitu para Mandor dan Kuli.  Perguruan Tinggi Ilmu Pertanian ada di Wageningen, Holland, meskipun sebagian besar titik berat pengembangan Ilmu Pertanian di sana mengenai pertanian iklim tropis yang melulu untuk kepentingan exploitasi tanah jajahan (Indonesia).
Sekarang baru bisa curiga mungkin ada upaya untuk mencegah Pribumi membangun Perkebunan dengan dasar Ilmu yang sama dengan Perkebunan milik Penjajah, jadi Lulusan SMK Pertanian zaman Penjajahan tidak diarahkan untuk meneliti, terampil berexperimen dan berfikir, tetapi dididik untuk patuh pada prosedure kerja karena telah diajarkan untuk mengerti maksudnya dan lancar berbahasa Belanda. 
Peneliti Belanda langsung mengajari tukang sambung, selanjutnya si Tukang ini meneruskan kepada anak-anak dan keponakannya itu saja  tanpa tahu latar belakang Ilmunya.
Lulusan SMK Pertanian zaman Penjajahan dirancang sesuai dengan kebutuhan Perkubunan-perkebunan, baru sesudah tahun 1935 dibentuk Balai Percontohan Pertanian Rakyat mengenai Hortikultura dan  Tanaman Pangan, di sentra-sentra Pertanian Rakyat, dimana lulusan SMK Pertanian juga dipekerjakan.
Tenaga Pengajar SMK Pertanian pada zaman Penjajahan adalah para lulusan Institut Ilmu Pertanian dari Wageningen. Pribumi yang berhasil kuliah dan lulus sebagai sarjana di Wageningen sesudah Kedaulatan RI  tahun 1950,  hanya kurang dari sepuluh orang.
Jadi inilah modal Tenaga Ahli dalam bidang Pertanian sesudah Kemerdekaan RI – Negera yang sebagian besar penduduknya mendapatkan nafkah dari bertani, tenaga terdidik dalam Ilmu Pertanian sebagian besar tingkat menengah  dirancang cocok sebagai Pengawas dan hanya beberapa gelintir Sarjana.
Saat-saat permulaan era kemerdekaan, kekosongan personil  Birokrat di setiap Kantor Kabupaten, Kekosongan Sarjana Peneliti sejak pendudukan Jepang sampai 1945, telah menyerap habis para tenaga Petanian Menengah, di samping kekosongan Personil tingkat Pimpinan di perkebunan Perkebunan yang telah diporak perandakan oleh Bala Tentara Dai Nippon. 
Akibatnya, Pendidikan ilmu Pertanian di tingkat Menengah apalagi di tingkat Akademis sangat tidak memadai, paling tidak sepuluh tahun sesudah Kemerdekaan. Apalagi  Generasi Penerus ini di Lapangan kerja bertemu dengan para Pengawas lulusan SMK zaman Penjajahan yang telah menjabat sebagai Direktur, Kepala Dinas Pertanian tingkat Propinsi, tahun enampuluhan hingga tahun tujuh puluhan, yang dalam pendidikannya ditekankan kepatuhan pada prosedur dan tidak berorientasi pada inovasi,  penelitian dan inisiatif, akibatnya umpan balik dari sisi praktek di lapangan sangat kurang bagi dunia Pendidikan Ilmu Pertanian dan ini sangat memperpanjang kurun waktu terbentuknya para Kader di bidang pertanian trampil, inovative,  gemar berexperimen yang sangat dibutuhkan di alam Kemerdekaan.   
Bisa dimaklumi bahwa puluhan tahun setelah Kemerdekaan, hasil kemajuan Ilmu Pertanian dalam wujud varietas-varietas unggul, kualitas  biji-bijian, sayuran dan buah-buahan, praktek bercocok taman di tanah air tercinta ini sangat jauh  dibelakang dibandingkan dengan Thailand misalnya, yang tidak pernah dijajah dan Ilmu Pertanian dikembangkan dibawah langsung Pengawasan sang Raja selama ratusan tahun.
Yang sangat menyedihkan adalah tidak adanya kesadaran bahwa ketimpangan ini harus segera di tanggulangi.
Efek samping dari  situasi pengkaderan dalam bidang ilmu Pertanian yang seperti ini dapat dirasakan dari kenyataan, bahwa sangat langka diantara lulusan Sarjana S1, S2, S3 hinggga saat ini yang trampil dan menguasai teknik menempel (budding) atau menyambung (grafting) tanaman hortikultura atau tanaman hias,  apalagi  para lulusan SMK Pertanian, yang  saat ini  SMK Pertanian malah sudah banyak yang ditutup karena kekurangan murid.
Jago-jago penelitian kini,  mereka piawai dalan teknik kultur jaringan, ada yang mendalami rekayasa genetik tapi semua ini adalah gema dari Pusat Perkembangan Teknologi dari Negara maju, yang ujung ujungnya harus  beli bahan dari sana yang sangat mahal, alat dan kemikalia, prosede dan alat harus dibeli. Hasilnya  sampai. sekarang belum bisa dinikmati oleh masyarakat tani secara murah dan merata.
Artikel panduan karangan saya ini sengaja  saya tulis untuk kalangan yang  luas, terutama penggemar tanaman  buah-buahan dan tamanan hias.
Saya terguguah oleh keprihatinan, bahwa  Peminat  untuk mempelajari Ilmu Pertanian di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, tahun demi tahun secara drastis menurun. 
Kini tahun 2012  begitu sedikitnya peminatnya sehingga fakultas Pertanian di berbagai universias banyak yang diubah menjadi Fakultas Teknologi Produksi Pangan yang merupakan gabungan pelajaran Ilmu Pertanian, Prikanan dan Perikanan.
Saya prihatin kurikulum yang  dilaksanakan adalah ibarat rangkaian kursus tanpa pendalaman karena kekurangan waktu.
Sebagai Sarjana Ilmu Pertanian yang telah mendapatkan nafkah dan pengalaman yang unik dibidang Pertanian sepanjang hayat hingga tahun 2012  dalam usia 74 tahun, saya tahu benar bahwa selama masih ada orang-orang yang mencintai tanaman dan suka memperhatikan, mencoba-coba  sambil mengumpulkan informasi dan pengalaman untuk kegemaran dan hobby yang baik ini, illmu Pertanian tidak akan punah.
Bagi para Sahabat yang tidak sempat belajar secara formal  Ilmu Pertanian, saya dapat membagikan pengalaman selama mendapatkan pendidikan formal di UGM  Fakultas Kedokteran Hewan dan di Fakultas Pertanian Universitas Persahabatan Bangsa Bangsa di Moskwa, antara 1957 – 1965, dengan maksud agar para Sahabat tetap percaya diri.
Saya  mengalami  diajar oleh Dosen-dosen  yang masih muda-muda di UGM (Universitas Gadjah Mada) pada th 1957 – 1959  para Dosen ini  telah lulus tingkat Propadeus, Bacaloreat, dan Doktoral,  dengan titel kesarjanaan Ir, Drs, Drs Med, Drs Pharmasi, Drs Kedokteran Hewan, semua mendapatkan pengukuhan dari para Profesor yang diangkat oleh Civitas Academica Republik Indonesia yang masih sangat muda, de-jure lulusan  sarjana ini setingkat dengan sarjana dicetak dengan sistim Continental  yang klasik artinya bisa langsung mendaptkan hak untuk memperdalam studi di derajad S3 untuk memperoleh derajad Doktor, ini terjadi   delapan tahun setelah perang kemerdekaan.
Para Dosen muda-muda pada tahun 1950-an ini waktu itu, sangat bersemangat dalam memberikan bahan kuliah, pengalaman  “diajar” oleh para Dosen model ini  dalam wilayah Ilmu-ilmu Dasar  ditingkat “Propadeus”,  yang bila lulus tingkat ini akan berhak  masuk kuliah di  tingkat “Bakaloreat”, dengan kelulusannya bertitel BA  sudah berstatus sosial yang lumayan tinggi. 
Materi isi setiap mata kuliah Ilmu Dasar kebanyakan mengambil dari “Monografi” yang tebal tebal dari para Sarjana dari Jerman dan Belanda,  bukan dari text book begitulah semangat beliau-beliau para Dosen saya dulu di Jogja, banyak diantara mereka yang menguasai Bahasa Belanda dan paham bahasa Inggris, maklum dosen-dosen saya di tahun 1950-an itu masih mengalami sekolah zaman Penjajahan Belanda,  karena beliau-beliau ini adalah bisa dibilang kutu buku  dan kebanyakan “anak mami”, dan anak priyayi, jadi kebanyakan ya tidak ikut bergabung dalam “Tentara Pelajar”, jadinya  punya rasa rendah diri yang yang berat  dan tersembunyi , paska perang Kemeerdekaan. Dulu itu pemuda yang tak bertempur melawan Belanda atau Jepang, dipandang sebelah mata oleh para tetangga dan komunitas warga umumnya.
Jadilah kami para mahasiswa Ilmu Pertanian di Republik yang masih muda ini, saat itu  yang menjadi tumbal kompensasi “ego” beliau-beliau itu, saya merasakan benar.

Sebentar pembaca,... kita tarik nafas dahulu. Kini sekarang di tahun 2012 ini saya sudah berumur 74 tahun saya lahir di tahun 1938, Alhamdulillah saya sebagai saksi hidup perjalanan lahirnya bangsa ini dan saya sudah berkuliah di UGM tahun 1957, dan pada tahun 1959 saya berkesempatan untuk kuliah pertanian di Moskow-Russia.  Ijazah saya masih lengkap hingga magister pertanian yang saya peroleh tahun 1965 di Russia. Jadi, ya sebelum  jenis saya ‘punah’ saya sedapat mungkin aktif menulis berbagai ide dan pengalaman serta pengalaman batin saya di blog saya ini, yang sedang pembaca nikmati sekalian.

Oke kembali pada massa kuliah saya dulu tahun 1957, saat itu pada umumnya  kami mahasiswa UGM  paham bahasa Inggris pasif dan  meski sangat kekurangan vocabulary, selain Bahasa Indonesia, kami belajar dari diktat-diktat para Dosen kami,  yang kandungan materinya  melebihi text book manapun, misalnya dibidang Zoologie (ejaan Bahasa Belanda)  materi berubah setiap tahun semua bisa ditanyakan dalam ujian.  Diktat inipun bukan beliau-beliau dosen kami  yang menerbitkan, tapi Organisasi Mahasiswa Extra Universiter yang didukung oleh para Asisiten Dosen yang juga menjadi  gembong organisasi mahasiswa. Jadi diktat ini tidak ada  penanggung jawab ilmiahnya maupun penanggung jawab hukumnya. Tapi harganya bagi anggauta murah saja.
Materi kuliah ilmu Dasar dijejali padat dalam detail  nama-nama apa saja dalam bahasa Latin, (maklumlah ini Ilmu Dasar)  tapi sangat miskin dengan falsafah Ilmu masing-masing Bidang  Ilmu.  Ini yang membuat setiap ujian adalah “neraka” tingkat kelulusan setiap ujian maksimum 15 % rata-rata hanya 10% per tahun ajaran, lulusan tingkat Doktoralnya tidak ada yang trampil menyambung tanaman.
Karena keterampilan adalah dipandang sebagai bagian para tukang. 
Dari sinilah Ilmu Pertanian di Tanah Air tercinta ini menapaki perkembangannya. 
Saat itu Atribut keilmuan  adalah “derajad” atau status sosial, meskipun uang kuliah murah, hidup sehari hari seputar “sepeda kebo” begitulah murahnya. Sabar pembaca, itu dulu, saat tahun saya kuliah semester awal tahun 1957 di UGM Jogjakarta.

Sebagai antitesa dari Perkuliahan dengan sistim Kontinental  yang klasik  dan kreopos dan pengap ini, saya berpikir pasti di belahan dunia lain Ilmu-ilmu eksakta terutama dasar ilmu biologi yang saya senangi, dipelajari juga dengan cara yang lebih baik.

Alhamdulillah tahun 1959 saya mendapat kesempatan berangkat  kuliah dalam bidang Ilmu Pertanian di Negeri USSR yang bertirai Besi  dengan Negara Uni Sovyet sebagai Penyelenggara Negara yang digambarkan seram oleh media barat, selama hampir lima tahun. Padahal saya saat di Moskow, ya tidak ada yang seram, hanya musim dinginnya sangat menggigit. Saya juga terbiasa menghabiskan sebagain besar waktu saya di perpustakaan melahap buku berhuruf cyrill berbahasa Russia dengan judul apa saja, pokoknya saya  sangat lapar bacaan.

Di Russsia jaman 1950-an itu, pembaca pada era Sosialisme Otoriter, kebebasan  ilmiah  dalam pemilihan focus penelitian tidak leluasa dilakukan akibat slogan “Ilmu untuk Rakyat”.  Perjuangan berat terjadi  pada saat ideologi Negara masih sosialistis otoriter dalam arti untuk mendapatkan skala prioritas  beaya dan tenaga selama rezim yang telah dialami yaitu :  sosialis otoriter ala Stalin, demokrasi sosialis ala Chrusyov (Cruschev), masih gamang  mensponsori penelitian Cromosome lalat buah (Drosophyla ssp) atau mendalami perilaku chromosome  dengan contoh dari bakteri E.coli misalnya, yang dianggap para Penguasa Russia saat itu  sebagai pengembangan  “Ilmu untuk Ilmu”

Namun karena sejarah yang panjang hubungan antara Russia dan Eropa, tradisi keilmuan dari para  Ilmuwan di Negeri-negeri Europa sangat terasa dalam perilaku para Ilmuwan di sana termasuk di Russia, yaitu obyektivitas ilmiah dan penguasaan Falsafah Ilmu yang mereka geluti, dengan gairah kreativitas yang tinggi.  Status  dan gelar kesarjanaan hanya melulu untuk tujuan akademis setara dengan kredibilitas pernyataan ilmiah yang mereka buat dalam kepiawaian memandu perlakuan praktis yang  mereka  ciptakan bersama dengan para Praktisi di bidangnya. 

Jadi para pembaca blog saya yang sangat saya hormati,  gelar akademis kesarjanaan di Eropa dan di Russia yang saya ketahui adalah hanya digunakan di lingkungan akademis saja, misalnya saat memberikan perkuliahan, orasi ilmiah, penelitian.  Sementara di Indonesia gelar akademis berubah menjadi gelar ningrat feodalis gaya baru, bahkan di undangan pernikahan saja harus ditulis gelar religius dan gelar akademis para pengundang dan undangannya. Sekarang ini orang tidak lengkap rasanya kalau tidak memperoleh gelar S1 hingga S3, padahal menurut hemat saya gelar-gelar akademis itu harus dibarengi oleh tanggung jawab sosial yang tinggi, dan bukan hanya semata untuk naik gengsi dan naik pangkat serta naik jabatan saja.

Buktinya, itu walikota Solo-Jokowi juga tidak memamerkan gelar, juga tidak apa-apa. Megawati tidak memamerkan gelarnya juga tetap rakyat hormati. Jadi gelar akademis bukanlah mengembalilkan kita ke era gelar feodalistis era priyayi Raden, Raden Mas dan Raden Roro. Kalau gelar religius, saya melihatnya tidak otomatis membuat penyandang gelarnya menjadi murah hati dan suka menolong orang lain. Itu saja. Sepanjang pengetahuan saya belajar agama, Tuhan Yang Maha Esa tidak memanggil orang dengan didahului  menyebut gelarnya, tapi hanya nama saja, ‘hai fulan’, ‘hai fulanah’ dan nama saja. Kecuali pada Nabi yang dikasihi-Nya.

Jadi janganlah risau dengan gelar yang disebut dan disandang orang, apalagi gelar akademis yang dipergunakan bukan di ranah akademis.


Baiklah, kembali pada bidang Petanian, di Universitas Patricia Lumumba Moskow tempat saya menimba ilmu 1959-1965, ketrampilan menyambung tanaman, mengolah tanah dengan alat mesin pertanian termasuk  know how yang harus dikuasai, sebagai pencerminan “Ilmu untuk rakyat”.
Hubungan para Dosen dan Profesor dengan kami para Mahasiswa di Russia seperti tukang kebun terhadap bibit-bibit yang mereka tanam.

Seperti di tempat lain di negara maju, para Asisten Dosen, Dosen dan Profesor (Kepala Kafedra/ Jurusan) selalu terlibat dalam program penelitian, meskipun banyak Ilmuwan yang khusus menangani program Penelitian di lembaga-lembaga Penelitian.

Para Pengajar di Universitas di Russia tyang saya amati,  di lingkngan itu sudah sangat mengetahui muatan materi kuliah dan ujian Ilmu-ilmu dasar  pada setiap Fakultas,  juga sangat menguasai Falsafah setiap cabang Ilmu yang mereka ajarkan, semua sangat membantu dan memudahkan para Mahasiswa terutama Mahasiswa baru (terutama saya yang asal Indonesia) untuk mengerti apa pati sari subyek yang dikuliahkan pada setiap tatap muka. Tingkat kelulusan setiap tahun untuk setiap tingkat lebih  dari 98 % 
Masyarakat Ilmu Pengetahuan Rusia telah menciptakan  Text Book untuk seluruh cabang ilmu Dasar dengan muatan  materi  disesuaikan dengan  kebutuhan bidang Ilmu yang dipelajari di setiap Fakultas,  dengan kualitas terbaik dari seluruh Lembaga Perguruan Tinggi di Dunia untuk mempersiapkan pembelajaran para calon Sarjana di semua disiplin Ilmu, yang cocok dengan kondisi dan situasi mereka.
Lunturnya  kelekatan  secara langsung antara gengsi, status sosial  dengan symbol-simbol otoritas di bidang Ilmu  berupa gelar kesarjanaan sungguh suatu yang  melegakan  karena  sangat  bertolak belakang  dengan  kesombongan  kebanyakan Ilmuwan tahun lima puluhan di tanah Air Indonesia, dan  kondisi  ini menjadi stimulus yang hebat bagi siapapun yang mulai secara serius menapaki penguasaan ilmu pengetahuan  baik dari upayanya sendiri  sebagai praktisi, maupun dari Perguruan Tinggi mereka. 
Rezim Orde Lama sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir Soekarno saat bertemu kami dua kali selama di Russia, Bung Karno sebagai Presiden menyatakan terus terang bahwa beliau sengaja mengirim mahasiswa Indonesia ke luar negeri guna menyiapkan kami untuk memperkuat think-tank dalam teknologi murni maupun terapan  teknik maupun sosial budaya di Tanah Air tercinta ini.
Namun entah mengapa politik lalu campuri mempengaruhi  ilmu science eksakta seperti biologi dan pertanian, sehingga ilmu eksakta yang kami pelajari di Russia, lulusannya tidak diajak berdebat dalam ilmunya, tapi diburu (to hunted down), kami lulusan Russia dikejar-kejar diburu ke seluruh penjuru negeri oleh Orde Baru. Beberapa kawan saya yang tertangkap langsung mendapat tiket ke Nusakambangan dan Pulau Buru untuk ditempatkan dalam sel dan kamp konsentrasi. Saya sendiri harus berjuang menjelaskan pada aparat kalau kami di Russia hanyalah belajar pertanian. Alhamdulillah saya diberi surat bersih diri di tahun 1966, setelah membuktikan diri tidak tergabung dalam organisasi manapun, kecuali anggota perpustakaan di Russia.
Tapi tetap saja kami lulusan Russia memperoleh hadiah diskriminasi oleh Rezim Orde Baru dengan tidak boleh mengajarkan ilmu pertanian di universitas negeri, tak boleh bekerja di BUMN, dan tak boleh bekerja jadi pegawai negeri sipil. Plus tidak boleh bekerja sebagai jurnalis dan menulis jurnal ilmiah di media manapun. Itulah diskriminasi yang saya ‘nikmati’ dari tahun 1966 hingga tahun 1999. 

Karena tak bisa bekerja di kanal formal,  maka  tahun 1967 saya pun memutuskan berkelana keluar dari Surabaya, tidak mencari pekerjaan di kota-kota besar, (karena memang tidak mungkin), melainkan berkelana dan menyepi di Perkebunan Bayu Lor di area terpencil di Banyuwangi.

Saya yang saat itu belum menikah dan baru pulang dari Russia pun mulai karier dibidang pertanian di kebun kopi swasta kecil yang saat itu dikenal merugi, akibat tidak mampu meng- interpretasi teknologi dan ke- engganan  menanam modal.
Pekerjaan saya di kebun kopi saya tekuni selama hampir empat tahun, dengan kondisi seadanya. Namun karena kondisi sepi dan terpencil di Bayu Lor Banyuwangi, plus saya bujangan pula, maka saya giat belajar yoga, serta meningkatkan sisi positif religiusitas dari berbagai naskah yang pelajari diam-diam di Tashkent dan Bukhara, Russia. Biar didiskrimasi yang penting ada hikmahnya. Untugnya Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah mendiskriminasi manusia, baik manusia yang diciptakannya dengan kondisi sempurna dan yang tidak sempurna. Semua manusia baik yang sempurnadan tidak sempurna mendapat waktu dan kesempatan yang sama, bahkan ada kelebihan dan  kekurangan masig-masing yang diberikan secara Maha Adil, di luar nalar-logika manusia.

Pembaca, saat saya di  ‘remote area’ Banyuwangi tahun 1967 itu, keadaan kebun sudah rusak karena tegakan populasi pohon kopi yang berumur lebih dari 30 tahun telah mengalami penggundulan sehingga tinggal pangkal batangnya, dan pada zaman penjajahan Jepang selama tiga tahun dijadikan ladang jagung.
Tukang sambung di Kebun kopi tersebut tersebut sudah 'punah' maksud saya sudah meninggal semua, kebanyakan gugur akibat terkena kewajiban menjadi Romusha Jepang.
Namun yang menjadi saya tidak benar-benar terputus dari dunia luar saat itu adalah Kebun Kopi Bayu Lor di pedalaman Banyuwangi,  selalu dikunjungi Pelajar SPMA  dan kadang mahasiswa yang membuat Tugas Akhir studinya.   
Di Kebun kopi  th 1967 – 1972  penulis baru menyadari bahwa  para siswa SPMA dan mahasiswa Fakultas Pertanian tidak diajari secara  matang  ilmu dan ketrampilan  menyambung ( grafting)  meng okulasi (budding) tanaman yang ber- cambium, baik secara teori maupun praktek. 
Bahkan Balai Penelitian Kopi dan Karet,  Balai Penelitian Hortikultura hingga 1985, belum menganggap ketrampilan menyambung pempunyai  posisi sangat penting untuk menciptakan produksi buah kuantitatif dan kualitatif, sehingga perlu di teliti metoda-metodenya nya untuk lebih berhasil.

Waktu berlalu, tahun demi tahun saya lewati dengan menggeluti yoga dan pertanian di pedalaman Banyuwangi. Setelah prasangka pada para lulusan Russia berkurang, terutama oleh dunia usaha swasta formal,  saya pun melamar dan bekerja sebagai Agronomist – Pomoter produk-produk Agrokimia pada tahun 1972. Jadi selama 6 tahun itu, saya yang tadinya berasal dari keluarga menengah di Surabaya, ayah saya bekerja di kantor Notaris Belanda,  dan saya sempat berkuliah di Kedokteran Hewan UGM, serta memperoleh magister pertanian Russia, semua derajat itu saya tanggalkan dengan bekerja bertelanjang kaki, menyusuri hutan dan kebu di pedalaman Banyuwangi. Karena Ayah saya juga selalu mengajarkan saya untuk lebih memperkuat sisi bathiniah dan fisik, saya leluasa memperdalam bathiniah, dan mengeksplore nature dengan dukungan sepi dan cuaca hampir selalu berkabut di Perkebunan Tua di Bayu Lor Banyuwangi tersebut tersebut. Ada sebuah gua kecil di pinggran kali bening di Bayu Lor yang kerap saya gunakan untuk merenung dan tidur sambil camping seadanya.
Anehnya meski tak ada kesempatan untuk berinteraksi dengan kolega sesama ilmuwan saking terpencilnya,  ilmu pertanian saya jadi makin mawas dan terasah di Perkebunan Tua tersebut. Kata orang-orang Bayu Lor perkebunan tua itu angker, dan soal bertemu dengan hal-hal di luar dimensi manusia, yaa...saya biasa dan saya paham bahwa Tuhan menciptakan tidak hanya tiga dimensi yang kita diami saja, tapi sudah pasti Kekuasaan Alloh tak terhingga besarnya hingga Alloh sangat berkuasa menciptakan dimensi-dimensi alam yang dikehendaki-Nya.

Situasi Perkebunan Tua di Bayu Lor, pedalaman Banyuwagi  Jawa Timur tahun 1967, saudara pembaca, tidak ada desa yang dekat kecuali 5 kilometer jauhnya itupun harus melewati hutan kecil di sepanjang sungai yang bening. Saya sering ‘digoda’ misalnya saat saya hendak ke desa membeli garam dan keperluan lain untuk membelanjakan gaji (ukuran pembaca tidak besar, tapi ukuran itu saya syukuri), saya kerap melewati lembah sungai kecil dan suatu saat saya surprised karena disapa oleh sepasang petani yang belum pernah saya lihat sebelumnya di bantaran sungai itu, di depan sebuah gubuk tua. Tapi saat saya pulang ya... gubuk tua plus sepasang petani itu sudah tidak ada lagi, bekasnya pun tidak ada padahal baru 3 jam yang lalu. Kalau dalam ilmu psikologi mungkin saya mengalami halusinasi, tapi halusinasi kok jam 12 siang, dan disaat kondisi fisik dan psikis saya tidak ada gangguan?  Juga raut wajah bapak tua dan ibu tua petani itu masih saya ingat hingga sekarang, bajunya pak tani tua itu potongan yang tak lazim, saya kenali dari jenis kainnya yang halus dan bagus, dan yang menarik perhatian saya ibu petani itu pakai kebaya yang saya tak kenali gaya potongannya dari  gaya Jawa apa Timur atau Jawa Tengah, karena pakai sabuk yang besar. Tapi itu kan pengalaman saya tahun 1967, mau dibilang hal yang ghaib di seputar Perkebunan Tua, ya... saya sudah jelaskan diatas bahwa Tuhan memang menciptakan tidak hanya 3 dimensi yang kita diami ini saja, kadang dimensi yang lebih tinggi nampak-nampak sedikit oleh psikis kita.


Alhamdulillah setelah prasangka terhadap lulusan Rusia berkurang di masyarakat tahun-tahun itu, saya mulai betah bekerja di sektor swasta formal, jadi dari tahun 1967 hingga  1997  saya bekerja untuk Hoechst dan kemudian Shell Argrochemical dari Shell Intentional Chemical Company, mendampingi program Bimas  (Bimbingan Intentifikasi masal) dan Inmas (Intensifikasi masal)   oleh  Rezim Orde Baru  dalam rangka Green Revolution  demi ketahanan  produksi pangan, dengan kredit dan subsidi  ratusan trilyun rupiah untuk sarana produksi  pertanian. 
Tugas “detailing” dalam penggunaan dan keselamatan pemakaian Pestisida kepada calon pemakai produk-produk Agrochemicals, dari petani gurem  anggauta Kelompok tani hingga  BUMN Perkebunan dan Balai Penelitian yang terkait untuk wilayah Indonesia bagian Timur dan Jawa Tengah, sangat berguna untuk melakukan pengamatan,  bagaimana Dunia Peertanian berkembang di Tanah Air ini. 

Kemudian pada tahun 1990-an itu saya secara ‘surprised’ diminta pula oleh tetangga saya di Surabaya untuk mengajar pertanian di sebuah universitas swasta di  Surabaya.  Saya tersenyum dalam hati, karena saya kan didiskriminasi tidak boleh mengajar di Universitas Negeri. Tapi mungkin tetangga saya itu tertarik setelah kerap mengbrol pertanian sama saya, dan saya juga tahu bahwa diapun sembari ngobrol juga menimba ilmu sedikit-sedikit, dengan senang hati saya menjelaskan padanya apa yang saya pelajari di Russia.

Dalam pekerjaan saya di swasta  masih dapat disisakan waktu  sekali seminggu mengajar di Fakultas Ilmu Pertanian Swasta di Surabaya selama lebih dari sepuluh tahun dengan mata kulian Tanaman budidaya Kopi, Kapas, Kedelai,  dan apa saja yang pengajarnya  masih sibuk Belajar untuk S 2  Mekanisasi Pertanian, dan menjadi Pembimbing   tugas akhir mahasiswa.

Tugas saya sebagai “Detailer” atau Promoter Agrochemicals memberikan keleluasaan kepada saya untuk bekerja mandiri menyelengarakan pertemuan dan diskusi dengan kalangan Petani gurem,  Petani berdasi,  Paraktisi  Pertanian dan Peneliti maupun Penyuluh Pertanian yang luas  yang tersebar diwilayah yang luas pula, juga  mengunjungi Lembaga-lembaga Penelitian Pertanian  di Jawa Tengah , Jawa Timur, dan  Sulawesi secara berkala, bukan saja mengenai produk-produk Pestisida.
Bekerja sebagi Detailer/Promoter untuk Program Bimas/Inmas memberikan banyak kesempatan untuk menyuluh persoalan pertanian seluas luasnya tanpa  dibatasi oleh kepentingan “menjual” produk-produk yang kita bawa, karena dalam program Bimas/Inmas produk yang kami promosikan sudah dibeli  oleh sistim Bimas /Inmas dan selanjutnya disediakan kepada Petani  dalam bentuk kredit tanpa agunan dan hampir tanpa beaya administrasi dan bunga kredit,  masih dipotong subsidi Pemerintah senilai antara 80 % - untuk Pestisida dan pupuk higga 50 %  kami wajib menjelaskan mengenai penggunaan produk Agrochemical  brand  name yang kita promosi dan sekaligus bahayanya perhadap pengguna dan lingkungannya.
Dari pengalaman ini saya panduan ini tahu betapa sedikitnya masyarakat Pertanian kita mengetahui daya guna dan teknik mengerjakan penyambungan tanaman (grafting)  dan okulasi (budding).
Dari pengamatan di lapangan,  kesadaran akan upaya membiakkan tanaman dengan teknik okulasi/ budding  dan teknik menyambung/ grafting dapat ditengarai  dari  bagaimana  para pelaku usaha tani  tanaman keras (yang berkambium)  menguasai komponen dari teknik ini  digolongkan dalam kategori dibawah ini:
1.    Pengertian bahwa produktivitas dan kualitas tanaman  bisa sesuai dengan      
      harapan apabila  bibit tanaman keras yang ditanam dijamin berasal dari   
      pohon induk yang baik
2.    Mengerti  teori dasar kenapa tanaman bisa disambungkan dan bibit hasil sambungan bisa memenuhi harapan poin 1
3.    Dapat mengerjakan dengan berhasil menyambungkan salah satu jenis atau beberapa jenis tanaman berkambium dengan prosentasi keberhasilan yang baik ( > 50 %)
4.    Berusaha mencoba menyambungkan tanaman berkambium yang belum    
Pernah dikerjakan orang lain dan banyak mengalami kegagalan.      

Kategori 1 :  Masyarakat kita di Indonesia masih banyak yang tinggal di rumah-rumah yang mempunyai  halaman, penggunaan kondominium dan bangunan bertingkat banyak masih sangat langka. Satu kebiasaan yang baik mereka selalu tertarik menanam tanman buah buahan dari varietas unggul yang lagi trendy , kebanyakan dari golongan berbiji keping dua (Dicotyledone) mereka beli bibit okulasi atau bibit cangkokan (marcotting).
Jadi golongan pertama telah  diwakili oleh mereka yang sudah terpelajar di desa atau dikota. 
Mereka dari Kategori 1 inilah yang jadi langganan banyak pedagang bibit yang sudah menguasai teknik okulasi/budding dan mencangkok (marcotting) untuk beberapa jenis buah buahan berkambium
Kategori ini banyak menderita kena tipu, karena untuk menghasilkan bibit secara cangkok maupun sambungan  atau okulasi tidak terlalu mudah.

Kategotri 2 : Kira2 ada   5 % dari kategori 1 diatas, masuk Kategori 2 yaitu mengerti secara sangat permukaan mengenai teknik okulasi dan sambung.
Hampir 100% mengerti akan manfaat upaya mendapatkan bibit hasil upaya okulasi atau menyambung  atau cangkokan dari induk pohon yang unggul.

Kategori 3 :  Hanya diwakili oleh sangat sedikit dari para Profesional
Yang kebanyakan bekerja sebagai Penyedia bibit di sentra2 buah buahan andalan satu wilayah,  Lembaga Penelitian yang terkait,  Perkebunan Karet, Perkebunan Kopi, Perkebunan Coklat , Kina, Seleksi tanaman Hutan

Kategori 4 ;  Sangat sulit diketemukan di Indonesia, lebih sulit dari menemukan  sebutir intan di sumur pendulangan di Martapura.

Menggunakan bibit unggul secara clon  dari satu pohon induk unggul yang dihasilkan oleh pengujian  Seleksi Balai Penelitian  sudah sangat dikuasai oleh Pelaku Usaha Tani, Perkebunan  Karet dan Kopi  juga sebagian kecil Coklat.
Penggunaan teknik okulasi/budding lebih dikuasai terutama pada budidaya karet dan tanaman buah buahan pada umumnya. Teknik menyambung/grafting digunakan  oleh Tukang sambung kopi karena mata tunas kopi ada di ketiak cabang, jadi tidak  dapat dipisahkan dari cabang bahan sambung dari tanaman unggul  hanya bisa menggunakan teknik grafting.
Sayangnya ketrampilan teknik okulasi dan teknik  menyambung/grafting hanya diberikan oleh para Tukang  kepada  pekerja magang.  Sedangkan para Tukang ini nyaris menganggap kebisaannya sebagai  ketrampilan yang mistis,  dalam jenjang status pengupahan sedikit diatas Kuli.
Di Tanah Air yang kita cintai ini  kita tidak bisa mengharapkan banyak bagaimana ketrampilan mendayagunakan clone-clone varietas unggul dalam bentuk okulasi maupun sambungan dari tanaman budidaya Dicotyledonae dapat mengisi pasar secara besar-besaran dan cepat, karena ketrampilan mengokulasi dan menyambungnya dengan batang bawah  yang khusus dipilih untuk  keunggulan perakarannya   sulit dikerjakan karena ketrampilan ini hanya jatah pelaku bidang pertanian yang paling rendah, yaitu para tukang sambung yang nyaris setingkat Pekerja kasar, tanpa dibekali prospek penggunaan hibridisasi vegetatip. (*)

(Semoga tulisan ini memberikan inspirasi, mengingat umur saya sudah 74 tahun, Alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup oleh Alloh Subhana Hu Wa Ta’Alaa.)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More