ECOLOGY TANAMAN TROPIKA
Ecology adalah ilmu yang mempelajari lingkungan hidup. Adanya teknik bercocok tanam yang baku sebagian besar tanaman budidya kita karena kebutuhan para Manager Perkabunan Jaman Penjajahan Balanda untuk meng-exploitasi tanah perkebunan sebaik mungkin supaya mandapat hasil yang optimal.
Sayangnya para pakar ilmu Pertanian yang pertama ada untuk menanganinya adalah orang yang terbiasa dengan Ekology wilayah empat musim, jadi banyak asumsi yang terikut secara tdak sengaja, bahwa tanaman tropik berasal dari Ekology yang lain dari tempat mereka. Misalnya hutan sub tropic dan sub arcktic Mempunyai kecenderungan yang sama yaitu tumbuhan yang hidup dihutan alam ini hanya sejenis, dengan semak dibawahnya yang hanya beberapa jenis tumbuhan saja.
Disabuk tropic dataran rendah basah selalu hutan campuran dari ribuan species tumbuhan. Keserakahan ekonomi penjajahan mendiktekan “cultuurtechniek” ( bahasa Belanda) penanaman secara monocultuur – lahan hanya dipenuhi tanaman sejenis, karena sesuai dengan azas ekonomi: Buat apa menghabiskan pupuk, pestisida dan tenaga untuk tumbuhan lain yang tidak menjadi tujuan produksi ? Setelah ratusan tahun sibuk ber-asumsi bahwa monocultrure ini wajar di ekologi kita, mulailah kita berpikir, mungkin tanaman tropis memang membutuhkan multi-culture untuk memenuhi kebutuhan ecosystimnya dan akan menjadikan cyclus hidup tanaman pokok yang dibudidayakan menjadi lebih baik, sukur sukur bila campuran tanaman yang lain adalah tanaman yang pantas dibudidayakan karena nilai ekonominya mungkin belum di-integrasikan dengan upaya agro-industri . OK, bila kejauhan, ya kebutuhan pangan segera, sementara disekitar konsentrasi penduduk – kebutuhan pangan harian, misalnya pucuk pucuk dedaunan nyaris tidak terpenuhi.
Harapannya membuat orang menggugah mempelajari gejala ini dengan ikut memikir, kemudian checking dilapangan dengan mengadakan inventarisasi, apa yang bisa dikerjakan dalam jangka pendek dan penelitian dalam jangka panjang kedepan. Meng-exploitasi lahan pertanian secara multiculture, malah kita sudah punya istilah sendiri yaitu “tumpang sari” dan “tmpang gilir”, upaya ini bukan saja harusnya lebih efektip dari monoculture tapi lebih mendukung ecology yang dibutuhkan oleh tanaman tropis.
Lho lah sekarang ditengah kemarau ini cari kenikir (Cosmos caudatus – sebaiknya dicari di google dengan kata kunci “kenikir” saja – di Indonesia banyak informasi dan tanaman ini jadi perhatian untuk dimakan, karena kandungan antioksidan dan vitamin yang unik ikut menetralkan bahan bahan additive ( yang dalam jangka panjang mengganggu kesehatah tubuh) bila kemarau begini sulit didapat, apa lagi bagi bakul pecel, terpaksa menjual pecel dengan sayur dari rebusan daun tua tua yang dijual di pasar. Celakanya juga daun singkong tua – kecuali liat/alot, juga mestinya singkong ini diharapkan hasil umbi akarya, bila tanaman singkong diambil daun-nya tua maupun muda umbinya jadi tidak bermutu, tidak karuan, ngganyong monyong keras berserat, tidak empuk, jadi kita konsumen yang rugi dua kali. Apa kita perlu import dari Thailand ?
Lha kita ini sekaran lagi mengalami krisis kurang sayur yang berkualitas baik dalam musim kemarau. Mbok dicoba disambungkan kacang tunggak ( Vigna unguiculata ) dengan turi ( Sesbania gandiflora), keduanya bisa disayur tapi turi daharapkan lebih tahan kering karena pohonnya besar asumsinya perakarannya lebih baik, sedangkan kacang tunggak parakarannya lebih pendek untuk mencari air dimusin kemarau.
Ide nya sama, mencari penerapan multi cultur dengan tanaman jangka pendek , yang menghasilkan uang cepat, umpama sayur yang berkualitas bagus sebagai tanaman sela dimusim kemarau yang tidak perlu bersaing mendapatkan air dengan tanaman pokok. Konon sayur lembayung harus dipetik pucuknya ( seperti sayur kita yang lain) tapi pucuk kacang tunggak ini harus berkali kali pucuk pucuknya dipetik, sebab baru baik untuk dimakan bila sudah tumbuh dari tunas yang tumbuh kembali sesudah dipetik yang ketiga kali, petikan pertama dan petikan kedua pucuk pucuk ini kasar tidak enak dimakan.
Juga daun ketela rambat ( dari familia Convolvulaceae ), satu familia dengan dia, ada semak di tempat tempat yang basah, batangnya berdiameter 1-2 cm, daun tunggal setelapak tangan berbentuk hati, bunga terompet besar diameter 10 cm atau lebih, berwarna ungu pucat nama setempatnya “krangkongan” konon bisa disambungkan dengan batang ketela rambat, teknik menyambungkan atau occulasinya penulis tidak tahu, tapi bila sedikit tua batang ini sudah berlubang di tengahnya. Taknik menyambungkan tanaman yang umum ya sama saja, jaringan yang bersangkutan harus komplit ploem maupu xylem, harus meristematis artinya ada cambium yang aktip, harus rata air bidang kontaknya, ( sel sel yang teriris harus bersih), harus tebebat erat tanpa digeser geser, dan harus basah tapi streril. Lho kok pindah topic menyambung tanaman gimana ??
Maksudnya kan membuat lahan tumpang sari dengan suyur dedaunan yang dipanen pucuk pucuknya, jadi asumsinya perakaran tanaman ini harus kuat sehingga mudah mencari air, lebih cepat bila disambungkan dengan sebangsanya dari satu familia yang mempunya perakaran kuat, dan afinitas batang atas terhadap batang bawahnya baik., gitu, dari pada mengharapkan hasil seleksi yang konvensional, kan lama. Baru kita bisa menganjurkan untuk mengisi lahan dengan tanaman sela sayuran yang bisa berproduksi panen cepat, karena diambil pucuknya saja.
Tidak heran, pencatatan yang secara berkesinambungan sudah dijalankan ratusan tahun terhadap tanaman Kopi Tembakau dan Teh, kemudian baru tanaman perkebunan yang lain lain. Tidak heran bahwa baru setelah Indonesia Merdeka diadakan penelitian tanaman pangan, belum tentu menurut dasar ekologi tropic basah.
Banyak pemikiran yag bisa disumbangkan untuk percobaan menemukan kembali teknik pertanian yang didasari ekologi hutan tropic basah. Dimana sebagian besar tanaman budi daya kita masih berbentuk tumbuhan liar, yang tentu saja mempunyai kebutuhan ekologis yang sama, yaitu multi kultur. Dan ini pun dosa menteri kehutanan yang bukan akhlinya tapi dari Partai sudrun seperti pesakitan KPK Yamkuyamda, yang tega menjual hutan primer di pulau pulau sebelum kta tahu apa isinya nungki calon tanaman busdidaya?
Kita telah memberi tanaman- naungan khusus untuk tanaman kopi kita dengan lamtoro (Leuceana sp) yang telah diubah jadi tanaman tidak berbiji, cepat tumbuh L19 dean L21 yang sudah diciptakan sebelum Perang Dunia II, tapi kasus yang sama terjadi pada tanaman jeruk siem dan jeruk pomelo (jeruk bali) kita, tidak pernah dianjurkan memberi tanaman naungan dan tidak pernah diteliti kebutuhan penyinaran sesuai dengan siclus pembuahannya. Karena tanaman ini posturnya relatip pendek dari tanaman hutan yang lain jadi pasti bentuk liarnya dihutan bila masih ada, masih dibawah naungan pohon hutan yang lebih tinggi. Taunya hanya di iklim kita. jeruk yang berasal dari hutan kita selalu kena penyakit virus CPVD ( Citrus Phloem Vein Degeneration desease). Sehingga di situasi tropis ini kita harus balapan menyambungkan jaringan yang belum terinfeksi ke batang bawah bibit kita dan melindunginya dari vektor virus CPVD hama pengisap Diaphorina citri selama hidupnya. Ini mah bukan jalan keluar yang benar dan normal.
Kesimpulannya petanilah yang harus mencari sendiri cara tropis untuk berbudidaya tanaman tropis, Yang nenek moyangnya masih hidup liar dihutan hutan kita mumpung belum digunduli semua, dengan meneliti plasma nuftah yang tertinggal. ( sayang kok harus Petani sendiri, mencukupi kebutuhannya saja masih sulit, karena kahan yang terlalu kecil)
Oleh karena sekolah Pertanian tidak laku, Sarjana Pertanian harus bekerja mandiri (bukannya tidak bisa, tapi membutuhkan modal yang besar sekali, karena harus terintegrasi dengan konsentrasi hnnian dan pemrosesan pangan, yang tiada seorangpun yang mempunyai kemauan politik untuk ini, tidak Pemerintah apalagi Perbankan, mereka tidak terjangkau ). Mentri dan Bupati yang sudrun lebih memilih para investor besar /calo untuk memberikan lahan pertaniannya, yang jutaan hektar, gitu saja trus lahan itu jadi bankable, kalok ditangani si Raja Tega (yang sedih apa apa tidak boleh- trus nyuap bupati Buol 7,3 milliard baru jadi raja hutan), seperti yang terjadi pada bekas lapangan Terbang Kemayoran- 33 Ha ditengah Ibu Kota*)
Ecology adalah ilmu yang mempelajari lingkungan hidup. Adanya teknik bercocok tanam yang baku sebagian besar tanaman budidya kita karena kebutuhan para Manager Perkabunan Jaman Penjajahan Balanda untuk meng-exploitasi tanah perkebunan sebaik mungkin supaya mandapat hasil yang optimal.
Sayangnya para pakar ilmu Pertanian yang pertama ada untuk menanganinya adalah orang yang terbiasa dengan Ekology wilayah empat musim, jadi banyak asumsi yang terikut secara tdak sengaja, bahwa tanaman tropik berasal dari Ekology yang lain dari tempat mereka. Misalnya hutan sub tropic dan sub arcktic Mempunyai kecenderungan yang sama yaitu tumbuhan yang hidup dihutan alam ini hanya sejenis, dengan semak dibawahnya yang hanya beberapa jenis tumbuhan saja.
Disabuk tropic dataran rendah basah selalu hutan campuran dari ribuan species tumbuhan. Keserakahan ekonomi penjajahan mendiktekan “cultuurtechniek” ( bahasa Belanda) penanaman secara monocultuur – lahan hanya dipenuhi tanaman sejenis, karena sesuai dengan azas ekonomi: Buat apa menghabiskan pupuk, pestisida dan tenaga untuk tumbuhan lain yang tidak menjadi tujuan produksi ? Setelah ratusan tahun sibuk ber-asumsi bahwa monocultrure ini wajar di ekologi kita, mulailah kita berpikir, mungkin tanaman tropis memang membutuhkan multi-culture untuk memenuhi kebutuhan ecosystimnya dan akan menjadikan cyclus hidup tanaman pokok yang dibudidayakan menjadi lebih baik, sukur sukur bila campuran tanaman yang lain adalah tanaman yang pantas dibudidayakan karena nilai ekonominya mungkin belum di-integrasikan dengan upaya agro-industri . OK, bila kejauhan, ya kebutuhan pangan segera, sementara disekitar konsentrasi penduduk – kebutuhan pangan harian, misalnya pucuk pucuk dedaunan nyaris tidak terpenuhi.
Harapannya membuat orang menggugah mempelajari gejala ini dengan ikut memikir, kemudian checking dilapangan dengan mengadakan inventarisasi, apa yang bisa dikerjakan dalam jangka pendek dan penelitian dalam jangka panjang kedepan. Meng-exploitasi lahan pertanian secara multiculture, malah kita sudah punya istilah sendiri yaitu “tumpang sari” dan “tmpang gilir”, upaya ini bukan saja harusnya lebih efektip dari monoculture tapi lebih mendukung ecology yang dibutuhkan oleh tanaman tropis.
Lho lah sekarang ditengah kemarau ini cari kenikir (Cosmos caudatus – sebaiknya dicari di google dengan kata kunci “kenikir” saja – di Indonesia banyak informasi dan tanaman ini jadi perhatian untuk dimakan, karena kandungan antioksidan dan vitamin yang unik ikut menetralkan bahan bahan additive ( yang dalam jangka panjang mengganggu kesehatah tubuh) bila kemarau begini sulit didapat, apa lagi bagi bakul pecel, terpaksa menjual pecel dengan sayur dari rebusan daun tua tua yang dijual di pasar. Celakanya juga daun singkong tua – kecuali liat/alot, juga mestinya singkong ini diharapkan hasil umbi akarya, bila tanaman singkong diambil daun-nya tua maupun muda umbinya jadi tidak bermutu, tidak karuan, ngganyong monyong keras berserat, tidak empuk, jadi kita konsumen yang rugi dua kali. Apa kita perlu import dari Thailand ?
Lha kita ini sekaran lagi mengalami krisis kurang sayur yang berkualitas baik dalam musim kemarau. Mbok dicoba disambungkan kacang tunggak ( Vigna unguiculata ) dengan turi ( Sesbania gandiflora), keduanya bisa disayur tapi turi daharapkan lebih tahan kering karena pohonnya besar asumsinya perakarannya lebih baik, sedangkan kacang tunggak parakarannya lebih pendek untuk mencari air dimusin kemarau.
Ide nya sama, mencari penerapan multi cultur dengan tanaman jangka pendek , yang menghasilkan uang cepat, umpama sayur yang berkualitas bagus sebagai tanaman sela dimusim kemarau yang tidak perlu bersaing mendapatkan air dengan tanaman pokok. Konon sayur lembayung harus dipetik pucuknya ( seperti sayur kita yang lain) tapi pucuk kacang tunggak ini harus berkali kali pucuk pucuknya dipetik, sebab baru baik untuk dimakan bila sudah tumbuh dari tunas yang tumbuh kembali sesudah dipetik yang ketiga kali, petikan pertama dan petikan kedua pucuk pucuk ini kasar tidak enak dimakan.
Juga daun ketela rambat ( dari familia Convolvulaceae ), satu familia dengan dia, ada semak di tempat tempat yang basah, batangnya berdiameter 1-2 cm, daun tunggal setelapak tangan berbentuk hati, bunga terompet besar diameter 10 cm atau lebih, berwarna ungu pucat nama setempatnya “krangkongan” konon bisa disambungkan dengan batang ketela rambat, teknik menyambungkan atau occulasinya penulis tidak tahu, tapi bila sedikit tua batang ini sudah berlubang di tengahnya. Taknik menyambungkan tanaman yang umum ya sama saja, jaringan yang bersangkutan harus komplit ploem maupu xylem, harus meristematis artinya ada cambium yang aktip, harus rata air bidang kontaknya, ( sel sel yang teriris harus bersih), harus tebebat erat tanpa digeser geser, dan harus basah tapi streril. Lho kok pindah topic menyambung tanaman gimana ??
Maksudnya kan membuat lahan tumpang sari dengan suyur dedaunan yang dipanen pucuk pucuknya, jadi asumsinya perakaran tanaman ini harus kuat sehingga mudah mencari air, lebih cepat bila disambungkan dengan sebangsanya dari satu familia yang mempunya perakaran kuat, dan afinitas batang atas terhadap batang bawahnya baik., gitu, dari pada mengharapkan hasil seleksi yang konvensional, kan lama. Baru kita bisa menganjurkan untuk mengisi lahan dengan tanaman sela sayuran yang bisa berproduksi panen cepat, karena diambil pucuknya saja.
Tidak heran, pencatatan yang secara berkesinambungan sudah dijalankan ratusan tahun terhadap tanaman Kopi Tembakau dan Teh, kemudian baru tanaman perkebunan yang lain lain. Tidak heran bahwa baru setelah Indonesia Merdeka diadakan penelitian tanaman pangan, belum tentu menurut dasar ekologi tropic basah.
Banyak pemikiran yag bisa disumbangkan untuk percobaan menemukan kembali teknik pertanian yang didasari ekologi hutan tropic basah. Dimana sebagian besar tanaman budi daya kita masih berbentuk tumbuhan liar, yang tentu saja mempunyai kebutuhan ekologis yang sama, yaitu multi kultur. Dan ini pun dosa menteri kehutanan yang bukan akhlinya tapi dari Partai sudrun seperti pesakitan KPK Yamkuyamda, yang tega menjual hutan primer di pulau pulau sebelum kta tahu apa isinya nungki calon tanaman busdidaya?
Kita telah memberi tanaman- naungan khusus untuk tanaman kopi kita dengan lamtoro (Leuceana sp) yang telah diubah jadi tanaman tidak berbiji, cepat tumbuh L19 dean L21 yang sudah diciptakan sebelum Perang Dunia II, tapi kasus yang sama terjadi pada tanaman jeruk siem dan jeruk pomelo (jeruk bali) kita, tidak pernah dianjurkan memberi tanaman naungan dan tidak pernah diteliti kebutuhan penyinaran sesuai dengan siclus pembuahannya. Karena tanaman ini posturnya relatip pendek dari tanaman hutan yang lain jadi pasti bentuk liarnya dihutan bila masih ada, masih dibawah naungan pohon hutan yang lebih tinggi. Taunya hanya di iklim kita. jeruk yang berasal dari hutan kita selalu kena penyakit virus CPVD ( Citrus Phloem Vein Degeneration desease). Sehingga di situasi tropis ini kita harus balapan menyambungkan jaringan yang belum terinfeksi ke batang bawah bibit kita dan melindunginya dari vektor virus CPVD hama pengisap Diaphorina citri selama hidupnya. Ini mah bukan jalan keluar yang benar dan normal.
Kesimpulannya petanilah yang harus mencari sendiri cara tropis untuk berbudidaya tanaman tropis, Yang nenek moyangnya masih hidup liar dihutan hutan kita mumpung belum digunduli semua, dengan meneliti plasma nuftah yang tertinggal. ( sayang kok harus Petani sendiri, mencukupi kebutuhannya saja masih sulit, karena kahan yang terlalu kecil)
Oleh karena sekolah Pertanian tidak laku, Sarjana Pertanian harus bekerja mandiri (bukannya tidak bisa, tapi membutuhkan modal yang besar sekali, karena harus terintegrasi dengan konsentrasi hnnian dan pemrosesan pangan, yang tiada seorangpun yang mempunyai kemauan politik untuk ini, tidak Pemerintah apalagi Perbankan, mereka tidak terjangkau ). Mentri dan Bupati yang sudrun lebih memilih para investor besar /calo untuk memberikan lahan pertaniannya, yang jutaan hektar, gitu saja trus lahan itu jadi bankable, kalok ditangani si Raja Tega (yang sedih apa apa tidak boleh- trus nyuap bupati Buol 7,3 milliard baru jadi raja hutan), seperti yang terjadi pada bekas lapangan Terbang Kemayoran- 33 Ha ditengah Ibu Kota*)