Begini pembaca yang budiman, pekerjaan saya selama 30 tahun lebih adalah memberantas hama tanaman pangan. Yang namanya hama itu ya banyak sekali jenisnya. Bisa jenis wereng, tikus, ulat dll. Perihal ulat, adapun yang ganas adalah jenis ulat Heliotis sp atau ulat yang biasa memangsa tanaman kedelai.
Ulat itu makannya banyak, dan iramanya relatif pelan jika tidak ada gangguan, namun jika ada perubahan iklim maka ulat-ulat itu makin ganas dan makin beringas nan lahap makan tanaman pangan kita.
Adapun koruptor itu kok ya mirip ulat ya ?. Mirip ulat yang makan tanaman pangan bangsa ini, makan tanaman republik ini. Saya hanya concern atau prihatin, terhadap kelakuan ulat-ulat koruptor ini.
Saya bayangkan jika nanti kondisi ekonomi Indonesia makin terasa menghimpit bagi rakyat. Jika nanti harga-harga sudah pada naik, subsidi makin berkurang, subsidi BBM juga berkurang dan BBM akan naik. Kesulitan hidup makin terasa. Maka saya khawatir ulat-ulat koruptor makin ganas.
Kok makin ganas Mbah Bagyo ?
Lha iya tho le, makin ganas makannnya, karena lihat itu ulat jika makan daun atau kedelai, jika dia tidak diganggu saja makannya sudah rakus. Apalagi ada 'perubahan iklim' wah bisa-bisa tambah rakus karena merasa ada gangguan.
Koruptor juga begitu, saya bayangkan, jika dia dalam kondisi normal begini saja sudah makan uang negara, makan uang rakyat trilyunan rupiah. Maka ulat-ulat yang kecil-kecil yang jumlahnya banyak itu jika nanti ada kenaikan BBM kenaikan harga sembako dll, maka akan makin rakus saja makan uang negara.
Batin si ulat-ulat kecil, : "penghasilnnya, gaji resmi tentu tidak cukup lagi atau kualitasya tidak cukup besar lagi setelah kenaikan berbagai harga".
Pengurangan subsidi di berbagai bidang, implikasi pasar bebas, pelambatan ekonomi, akan memicu kenaikan biaya berbagai sektor, maka ulat-ulat yang kecil-kecil yang jumlahnya banyak di setiap instansi akan makin ganas saja makan tanaman negara ini. Makannya sih tak sebanyak ulat-ulat besar, tapi kan kalau jumlahnya buannyak ya repot juga.
Karena tumpuan para ulat-ulat kecil yang jumlahnya buaanyaak ini adalah kesempatan untuk sedikit mengutik anggaran pembelian, anggaran lelang, sedikit makan fee, sedikit nyolet proyek, dan mencari remah-remah dari para ulat besar.
Lho ada ulat besar juga toh mbah ?
Laah dalah ya ada tho le, ulat besar itu mirip ulat Keket (Agrius convolvuli), ulat besar nan gemuk-gemuk, dan karena ukuran besarnya itu ulat-ulat koruptor kelas kakap-tuna ini jadi sasaran empuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
KPK karena sifat size (ukuran lembaganya) dan daya gunanya maka KPK sayangnya hanya sanggup memberantas ulat-ulat besar yang korupsinya dinilai 1 miliar rupiah ke atas. Pun itupun jika sudah amat sangat keterlaluan tingkat korupsinya. Ulat-ulat besar yang ditangkapi KPK ini pun juga mencolok mata karena mereka sang ulat –ulat besar yang nekad karena jabatan. Karena mencolok jumlah korupsi atau dalam fabelnya adalah sang ulat-ulat besar demikian mencolok karena ukuran kerakusan tubuhnya yang mampu menghabiskan mega proyek hingga tak bersisa dan mangkrak menjadi onggokan bangunan tak berguna, maka ulat-ulat besar ini mudah ditangkapi oleh KPK.
Lha kalau ulat-ulat kecil yang panik karena ‘perubahan iklim’ dijumpainya, mungkin saja 'panik' karena perubahan iklim MEA, dirasakan oleh para ulat-ulat kecil ini kondisi republik yang harga segala kebutuhan serba naik, maka ulat-ulat kecil ini akan makin pintar, makin banyak berkembang di instansi tempatnya makan, karena yang tadinya bukan ulat, terpaksa jadi ulat juga karena kebutuhan. Nantinya mereka jadi makin tahan ‘pestisida’ dan mengembangkan evolusi kecerdasan berkorupsinya dengan amat rapi.
Ya Tuhan ku, saya melihat jumlah ulat-ulat kecil ini makin mengerikan banyaknya.
Serasa saya kembali berada di lahan kedelai yang hampir habis di makan ulat. (*)
Ir. Subagyo, M.Sc quote : nanti saya posting foto saya waktu berada di tengah hamparan tanaman, ada cuma belum di scan.
Mbah Bagyo remind :
Sayangnya tidak banyak pembaca mengalami era Republik yang lebih susah dari zaman edan sekarang atau dari sesudah AFTA -MEA dimana subsidi dihararamkan. Yaitu era sebelum penyerahan kedaulatan Repunlik dari Penjajah alias sesudah KMB ditanda tangani. Tujuh tahun sesudah itu era Presiden Sukarno, kita dikepung oleh Nekolim, beras kurang, infra strukture minim, tapi Ir. Sukarno berhasil meyakinkan kita bahwa kita mampu tanpa hutang nyaris dengan tangan telanjang bengunkan bhumi ini Negara ini Negara kami, bangsa ini bangsa kami, dan kami pertekad sesudah selesai studi Pertanian akan mulai dengan tikar dan bantal selembar membuka lahan baru, satu dari Tritura bakal kami raih, kecukupan pangan, korupsi sudah kami tandai kerjaan siapa, penilep uang kami juga tau kerjaan siapa. Tapi waktu itu tidak ada Bupati menjual Hak Guna Usaha seluas 76 ribu Ha seperti yang diterima oleh Hartati Murdaya Poo, Tidak ada HGU yang berubah jadi hak ex teritorial a'la Kolonialisme seperi yang dimiliki oleh Sugar Group yang luasnya ratusan ribu Ha, tidak ada petani plasma sawit yang terkepung Babe Besar didakwa mencuri lahan dan terusir dari lahannya karena sawitnya tidak dibeli oleh Perusahaan inti dengan harga wajar. Jadi mendatang tidak ada akal akalan pemelaratan rakyat seperti itu. Mlarat iya,tapi semua "pemerataan kemelaratan" mungkin iya tapi ada kesetaraan tekad ada kesetaraan Pengorbanan, Korupsi mati, setara dengan piara maut. Jadi jangan kuwatir dan takut pada masa depan, percayalah waktunya tiba satrya Pendawa membangun Indraprastha, bhuta Cakil, Limbuk, Bhuta Terong Lenyap, Ilu ilu Banaspati mati. Salam Pertanian.
0 comments:
Posting Komentar