Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 11 Agustus 2014

SEKALI LAGI PROFESI DOKTER, PERSOALAN PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN

SEKALI LAGI PROFESI DOKTER PERSOALAN  PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN.

Kegelisahan  dan kekecewaan  menyangkut hasil pengajaran dan pendidikan kita sekarang,  ditengarai paling mudah bagi  kita, adalah  melihat kualitas sumber daya manusia kita dibandingkan dengan kualitas sumber daya  yang dihasilkan oleh tetangga kta di luar negeri.
Demi meninjau kualitas pendidikan kita secara menyeluruh dan rencana apa kedepan nanti. Pembahasan ini harus dimulai dari factor  pendidikan itu senndiri jaitu Pendidik dan murid murid, yang mau atau tidak mau mewakili generasi yang  sedang  berperan mengelola masyarakat kini disatu sisi dan generasi yang akan menggantikannya dilain sisi.
Tujuan Pendidikan itu sendiri  adalah  memberikan tongkat estafet,  dengan harapan  terselenggaranya hidup masyaraakat  yang lebih bermutu  nanti yang tentu saja dipola oleh idealisme generasi sebelumnya.

Adil bila kita ambil sebagai contoh pengajaran dan pendidikan  profesi Kedokteran, karena ilmu ini harus  disampaikan oleh expertnya  di semua bidang ilmu Kedoteran dengan standard mutakhir- itu yang pertama dan kedua kualitasnya sebagai manusia Dokter terhadap clientnya.  Didapat dari pendidikan bermasyarakat   sebelum mendapatkan pengajaran ilmu  Kedokteran  yaitu watak  yang ideal sebagai  manusia Berpanca Sila . Begitulah watak standard ini  diharapkan juga didapat dari  interaksi dengan Professor Professornya , diharapkan idealisme beliau beliau sedikit banyak juga berpengaruh terhadap watak profesionisme anak didiknya sebagai Dokter dalam masyarakatnya.

Bahan baku, artinya calon siswa  Ilmu Kedokteran pasti diambil dari segmen yang terbaik dari murid murid SMU, karena prospek hari depan yang bergensi dan mahalnya segala sesuatu yang menyangkut  ilmu Kedokteran. Jadi  sesuai dengan harga yang harus disediakan untuk  pengajaran  keahlian mengenai Kedokteran ini sendiri, karena  selalu berhubungan dengan harga nyawa orang.

Disamping itu seorang calon dokter diharuskan mengerti secara mendalam  proses hidup sampai ke tingkat yang paling dalam  ( proces molekuler)  tidak hanya mengerti tapi mendalami sebagai peneliti  hal itu sendiri, supaya tetap bisa update upaya mutakhir menyehatkan orang sakit.  Disamping teknik  memberi stimulasi   jiwa pasien  supaya mempertinggi daya tahan tubuhnya. Nyata untuk dokter  Kulit dan kecantikan, bahwa jiwa yang galau akan mempercepat kerusakan kulit  wajah,  yang bewujud ketuaan, begitu juga bagi akhli penyakit yang sampai sekarang  jadi  pembunuh yang pasti bagi penderitanya,  cancer.
Ketegaran jiwa penderita sering sangat mengagumkan dan  bisa mengalahkan perkembangan cel cel kancer,  bahwa dengan  interaksi serta sinergi bersama upaya upaya medis yang diberikan.

Mulai dari  titik  permulaan ini, maka berbedalah hasil akhir dari upaya pengajaran dan pendidikan ilmu Kedokteran antara lulusan Lembaga Pencetak Dokter  di Indonesia dan di Singapore misalnya.

Dinegara sekecil Singapore  Negara benar bernar hanya mengandalkan  pajak dari perputaran modal dan kualitas human resources. Human resource yang membidangi Ilmu Kedoteran sementara mengerahkan fond and foce nya untuk mencangkok ilmu dan  memborong  taknology mutakhir pendukung  praktek kedokteran menggunakan taknology mutakhir untuk diagnosa sebagai  strategi  perjuangan mereka.

Sementara belum melebarkan sayap ke pencetakan Dokter tapi  pelaku pelaku bidang Kedokteran menimba ilmu di Luar Negeri  dan mengerahkan fund ang force-nya  dibidang bidang kedokteran yang strategis   seperti onkology ilmu mengenai cancer,   mencegah penuaan dini dan kecantikan,  penyakit dari orang kaya  penimbunan lemak dijaringan mana saja, Mungkin juga secara sangat rahasia  bersinggungan dengan senjata biology dan teknology penangkalnya.
Mungkin lobby dunia kedokteran  mereka telah sepakat dengan dunia  finance disana menyediakan dana untuk alat alat canggih diagnosa dan therphy dengan “Return on Infestment”(ROI) yang sangat fleksibel mengingat Negara Negara tetangganya yang berpenduduk banyak.  Terutama Indonesia, Malaysia Thailand  selalu kekurangan dana  karena  syarat ROI  sama rata dengan jenis investment yang lain  khas Negara Berkembang, tidak punya uang.
Modal ini khusus menyediakan waktu buat  menjuarai di level Dunia aplikasi technology diagnose dan theraphy kdokteran di bidang bidang strategis yang jadi langganan orang  kaya di  Dunia dengan informasi dari mulut ke mulut dan kamapanye terbuka.
Jadi Negara sekecil ini telah mengambil  aplikasi ilmu kedokteran dari  pharmaceutical products  dan alat alat bantu diagnose - theraphy  yang super mahal dan super canggih jadi "centre of  exscellence"  Negara  ini di tingkat Dunia, dan akhirnya  toh menaggok  uang besar sekali.

Sebaliknya di Indonesia,  sejarah dan tradisi Ilmu Kedoktern dan Pembelajarannya sangat berbeda.
Posisi sebagai Dokter di  zaman Kolonial Balanda , mulai dari “Dokter Jawa” yang dididik dari Sekolah Dasar selama lebih dari tujuh  tahun seabad yang lalu.   Dteruskan kemudian dengan  Institute  NIAS  di Suabaia dab STOVIA di Batavia yang  hanya menerima lulusan AMS dan HBS (Sekolah Menengah Atas jaman Penjajahan),
Konon, dalam  pergaulan elit  Binnenlands Bestuur (BB) amtenaar,  kaum Dokter disejajarkan dengan Bupati malah selalu disapa dulu oleh Kanjeng  Tuan Residen dan disilahkan mendampingi Tuan Resident yang Belanda totok, karena Belanda tahu persis, jumlah mereka hanya sedikit di sini,  dan apa yang mereka perlukan  sebagai  teman yang handal dalam kesulitan adalah kaum Dokter, jadi secara tradisi, dokter  menjalani kehidupan elit feodal baru dalam masyarakat dan dalam kedinasannya.
Lihat betapa besar gap antara Dokter dan Mantri Kesehatan dan Bidan/Peraji dinegeri ini,  Lihat betapa mereka sangat erat  keterikatannya dengan hidup mewah dan wah sampai saat ini, karena dulu adalah sekutu Tuan Tuan Belanda.

Lha untuk apa bicara sebenarnya dengan client dan untuk apa technology yang super mahal, wong client nya rata rata hanya sekolah dasar yang jadi parvenu. Mending untuk beli Alfard atau Fortuner beberapa biji.  Toh hidup atau mati di  tangan Allah ?,
Dan nyawa tetap saja tak ternilai  bila dinilai dengan uang.
Bila Negara bermaksud baik membeli alat alat kesehatan  meskipun yang sudah  kuno dan rudimenter senilai trilyunan rupiah toh hanya  jadi bancakan Gubernur dan jajarannya seperti  Ratu Atut Chosiah  al Jahiliayah  ya malah didiemin saja   oleh para Dokter ( mungkin kerja sama),  toh  dihukum sangat ringan.

Jadi prinsip beaya sekecil kecilnya dan hasil sebesar besarnya seperti hak feudal-lah yang dipegang erat erat untuk kemakmurannya.  Klop dengan siswa siswanya  yang merebut posisinya  sebagai  siswa  dengan uang  banyak sekali  masuk dalam   lingkarannya para Sudrun dengan Organisasi Mahasiswanya yang alumninya memdominasi Kementrian Kementrian,  meskipun Pemerintahan ganti barganti.

Jadi ya jangan heran, 5% golongan atas yang menguasai 70% kekayaan dan potensi kekayaan Negeri ini, bila ada problem kesehatan mereka , mengenai penyakit mereka,  mereka lebih suka berobat di Singapore, meskipun beayanya ya "sky is the limit." Wajar saja. bila tidak siapa yang bakal membayar Dokter yang dididik di Amerika, teknology diagnosa dan theraphy mutakhir yang hetrganya selangit ? Wong Nyonya Hillery Clinton yang pernah kena stroke bisa pulih total berkat treknologi mereka, cuma bayanya ya jangan tanya. Nyatasnya si Nyonya ini malah tambah pintar mencalokan jadi Presiden AS sekarang ini.

Lain halnya dengan Pengajaran dan Pendidikan tingkat Dasar dan tingkat menengah.  Mungkin  penalaman di SD- SMP- SMU  ini yang  memodali para  calon dokter  di Indonesia  untuk membebaskan diri dari  sejarah tradisinya,  membentuk  pribadinya, kecintaan pada Negara dan Bangsanya
Apakah tujuan masyarakat ini menyelenggarakan pendidikan dasar sampai Perguruan Tinggi tidak menjadikan para siswanya hidup sederhana, anti korupsi dan menjadi Pandu Ibu Pertiwi *)




0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More