Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 05 Oktober 2014

1. VERSI I EDIT: BAGAIMANA SEJARAH BERULANG DITEMPAT LAIN.

EDIT : BAGAIANA SEJARAH BERULANG DITEMPAT LAIN.

Yang saya maksudkan adalah sejarah bangsa dan Negara Mesir di nun disana, di tanah gurun pasir yang dibelah oleh sungai Nil  yang terkenal itu. Pedagang itu tidak bisa campur hidup  bersama dengan Petani, hukum yang dianut beda. Petani diatur cuaca ditangan Tuhan, Pedagang diatur kunci pintu gudang dikantong sendiri.
Pengalaman mereka membina masyarakat yang tumbuh dan berkembang ribuan tahun membuahkan satu dalil bahwa: Barang siapa tidak sayang pada hidupnya, artinya berani mati, akhirnya akan hidup dimulyakan oleh marganya, tapi barang siapa yang takut mati akhirnya akan hidup sengsara, layaknya lalat, dan mati dalam kesengsaraan
Negeri Mesir diberkahi oleh banjir tahunan sungai Nil, yang membawa kesuburan dan daya hidup yang berlimpah di gurun yang jarang hujan, mampu menumbuhkan kapas yang sangat berharga karena seratnya yang panjang dan kuat, buah korma, zaitun dan anggur, dan segala macan serealia yang dibutuhkan untuk penunjang hidup mereka yang menanamnya.
Selama ribuan tahun bangsa Mesir tentu saja berjuang agar wilayah tempat hunian mereka ini selalu diancam akan diduduki oleh bangsa lain, yang sangat mengincar kesuburan tanah dialiran sungai Nil ini.
Puak puak golongan yang takut mati, miskin pengalaman perang takut darah mengalir  jadi petani menampung berkah sungai Nil dan sinar matahari gurun yang memberikan panen bagus, dan puak puak yang berani mati menjadi kaum militer, yang beruntung jadi Despot dan Tyran.
Yang lemah dibawah Despot dan Tyran  dari bangsanya sendiri ini jadi korban komplotan keserakahan bahkan sering sampai pembunuhan untuk memberi kesan menakutkan pada yang lain. Mereka kaum militer, yang juga sudah turun temurun menjadi satu kasta tersendiri di Negera Mesir ini. Masih se bangsa dengan kaum taninya yaitu bangsa Hamid, kemudian ribuan tahun sudah bercampur dengan bangsa Nubia dari Sudan, dan suku suku kecil dari Abesinia. Mereka menjadi bangsa yang mendiami lembah sungai Nil dengan upayanya sendiri, berhasil membentuk masyarakat yang berkebudayaan tinggi dalam waktu yang berabad abad, membangun pyramida piramida yang mengagumkan sampai sekarang. Mengawetkan raganya sesudah mati beserta kemewahan yang mereka punya, selir selir dan budak budaknya yang dimiliki, mungkin saking nikmatnya hidup didunia ini sehigga arwahnya masih akan dapat menikmati kenikmatan ragawi seperti itu dialam sana dengan bekal dari sini yang melimpah.
Apakah prilaku semacam itu  dilakukan oleh bangsa pendatang lain ditempat lain, bila dibahas beserta buktinya yang tidak mewakiki kereluruhan mereka,  disini  akan menjadi presedent rasialisme
Sebab generalisisa satu kelompok atas daras stereotype atau dasar apa saja tentulah salah.

Generalisasi, sebagai  nacar ancar watak kelompok profesi atas dasar "naluri"  masih bisa berlaku, meskpun bukan tanpa perkecualian.

Ada lagi golongan kecil yang mewakili Cendekiawan, mengukuhkan kekuasaan golongan Dispot ini dengan dunia supra natural yang mereka rekayasa sendiri, menghubungkannya dengan kekuatan Alam, mengadakan prediksi prediksi dengan intelektualitas  mereka, untuk bukti kedudukan istimewanya dihadapan khalayak dibawahnya, karena hanya mereka yang mempunyai hubungan dengan dunia supranatural ini, sudah turun temurun selalu mendampingi golongan yang selalu menyiagakan diri dalam kekuatan fisik yang nyata di pertempuran. Apa di anak benua India, di tanah Kanaan  dikalangan kerajaan bangsa Semit suku Yahudi yang tercatat di kitab suci-nya Pejanjaian Lama,  tidakkah diceritakan kejadian yang sama, cendikia ini mereka anggap sebagai Nabi.
Islam datang dari Arab sejak paling awal wahyu illahi ini diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, zaman Khalifaur rasyiddin sudah sedikit menggoncangkan susunan masyarakat yang sudah mapan sangat kuno di Mesir ini.
Akan tetapi gerombolan dari penggembala oasis dengan  dasar penggembalan pencari rumput buat hewan ternaknya unta domba kambing  tidak terlalu ahli dalam pertanian budidaya macam macam tanaman buah dan biji bijian, kebanyakan mereka pengembara dan membawa dagangan kelebihan produk disatu tempat ke tempat yang lain, dimana barang barang yang dibawa menjadi barang kebutuhan seperti gandum, minyak zaitun, biji bijian dan  kurma.
Semula selama berabad abad perdagangan semacam ini dipraktekkan tanpa menimbulkan ekses apa apa kecuali menukar panen yang lebih untuk dipakai sukunya atau dijual/ditukar ditempat lain yang mendapat nilai baik tanpa siasat dagang apa apa.
Lama kalamaan karena kontak yang tetap sampai berabad abad dengn susunan masyarakat suku Hamid di Mesir,  suku Semit dari Jazirah Arab mendapat nafas baru dalam pola berpikir  dan berbudaya dari Agama Islam, golongan baru penduduk Mesir dari suku Semit ini  menikmati beli hasil bumi setelah panen dan menjualnya kembali sesudah musim paceklik,  tapi mereka hanya menuruti kemauan pasar.  Apa boleh buat ini garis pemisah antara petani, dengan  penguasa tanah dan pedagang memang sejak  sebelum mereka bebas bekeliaran di Mesir memang demikian. Disamping pergantian generasi alami setiap keluarga petani akan mewariskan tanah kepada anak anaknya semakin lama semakin sempit, sedangkan keluarga pedagang tidak ada gejala ini selain pengumpulan kekayaan dari generasi ke generasi. Maskipun suku Semit dari oasis padang pasir berbondong bondong datang kelembah sungai Nil ini, dengan semangat baru yang ajarannya tanpa cacat yaitu Islam, semangat dari memulai perkerjaan apa saja adalah bismillahirakhmannirrakhim – hanya dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, maka selama Khalifah Islam yang sahabat Nabi, Khalifaur Rasyiddin,  credo ini dipertahankan dengan baik, sehingga suku petani yang mendiamai lembah sungai Nil pindah dari kepercayaannya sendiri jadi penganut ajaran Islam yang bersemangat. Kebijakan Nabi dan Khalifataur Rasyiddin  sudah jauh dari keterbatasan kebijakan diskriminasi suku ras dan Agama, sebab beliau adalah Rasulullah dia
 Utusan Allah dengan wahyuNya dari Agama yang terakhir, yang semboyannya  adalah bismillahirakhmanirakhim. Jadi mungkin pada awalnya penjualan gandum pada musim tanam ya wajar wajar saja. Tapi memang permulaan musim tanam persediaan pangan dari musim yang lalu sudah tahun demi tahun semakin tipis,  jadi otomatis harga akan naik. Maka azas bismillahirkhmanirakhin membedakan pedagang setempat yang menambah “keuntungan” dari kelangkaan ini,  dengan pedagang  Islam yang berdagang dengan azas yang lebih baik, tentu saja dimenangkan oleh padagang pendatang dengan azas yang lebih baik.  Malah beberapa generasi sesudah Khlifaur Rasyidin, Islam, masih perlu tentara yang besar untuk menaklukkan wilayah sampai ke Mgribi ( Spanyol) Tenara penakluk terbanyak dari suku Arab (Semiet) dilarang untuk menetap bertani dengan  membagi tanah rakyat, maupuin tana negara yang sangat laus ( dikuasai administrasi Fir'aun) tanah milik taklukan diantara mereka, selama berabad abad. Hingga abad ke 19 didaerah Sultan Muhammad Ali, malah menghadiahi para syaikh syaikh  kaum penggembala Beduin dengan tanah yang luas, dengan syarat harus  tinggal menetap didesa desa - mulai saat itu jelas - ada alasan untuk kaum Islam jadi Tuan tanah -dari Google kata Kunci Egypt; Rural Society - tertera dari Librarary of Congers US
Kita disini tidak membicarakan kaum beduin yang mengembara sampai di Nudantara sesudah terusan Syez dibuka. Mereka tanpa bimbingan apapun meskipn masih Islam, jadi apa yang jadi kebiasaan perdagangan oleh orang China ya mereka ikuti. misalnya mindring dan jadi tuan tanah. baru sesudah mereka kaya pada generasi ke 5 samai ke 7 baru mereka kembali belajar Islam dan jadi pengikut Wahabi, yang kurang mengerti process bagaimana Nusantara terutama pulau Jawa menjadi Islam.

Tapi sesudah berabad abad kejahiliahan menaikkan harga gandum dengan sengaja memang menjangkiti pasar termasuk pedagang yang mana saja. Ikut nimbrung kedalam pasar gandum para pedagang dari Inggris, yang mendapat supply besar besaran dari Canada dan Amerika Serikat, bisa menggangu pasar pangan setempat. Dengan ini Ikhwanul Muslimin baru sadar, bahwa kekuatan yang lebih besar memainkan peranan yang sama dalam dalam perdagangan pangan seperti mereka dulu, dan mereka sudah merasa jadi orang Mesir yang terdholimi, sambil masih melupakan nasib petani langganannya dari dulu akibat prasangka agama. Artinya para fellahin ini bukan pengikut Islam yang kaffah, karena dari kakek moyangnya sudah mencampur adukkan syariat Islam dengan kepercayaan mereka sendiri dari peradaban Mesir kuno yang  menurut ajaran kaum Wahabi dari jazirah Arabiya  lahir di penghujung era itu. Jadi lebih menjauhkan kepentingan kaum pedagang Semit yang didholimi sekalian dengan  kaum fellahin yang bangsanya sendiri. Bahkan hubungan antara Ikhwanul Muslimin dan fellahin Mesir masih kurang erat dan mendalam bila dibandingkan dengan hubungan emosional antara mereka dan masyarakat kerabatnya sesuku dan sealiran agama dari Syria Libanon dn jalur Gaza, bagi Negara modern sekarang agak aneh. Maka land reform di Mesir dimotori oleh kaum Militer Muda dari zamannya Gamal Abdul Nasir, bukan dari Ikhwanul Muslimin. Lha bila dalam percaturan Ekonomi dan percaturan Nasionalisme Mesir, kaum Ikhanul Muslimin dinegaranya masih kedodoran, lha Partai Islam di Indonesia yang bekiblat kesana karena belajar Agama di Univesitas Al Ashar yang mayoritas Uztadz dan Lecturernya adalah dari Ikhahul Muslimin ya tidak mendapat pengalaman apa apa. Di Indonesia akan tetap jadi gurem, tapi dengan kekerasan hati sepeti harimau terhadap yang tidak kaffah*)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More