Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 11 Oktober 2014

KESINAMBUNGAN DAN BERTUMBUHNYA RIDHLO DARI KARUNIA NIKMAT ALLAH YANG MENJADI MOTIEF KESALEHANNYA , ATAU KASIH SAYANG MAKHLUQ KEPADA KHALIQNYA MENJADIKANNYA SALEH ?

 Sudah di edit :KESINAMBUNGAN DAN  BERTUMBUHNYA  RIDHLO  DARI  KARUNIA  NIKMAT  ALLAH  YANG MENJADI MOTIEF KESALEHANNYA , ATAU  KASIH SAYANG MAKHLUQ KEPADA KHALIQNYA  MENJADIKANNYA SALEH ? 

Judul panjang tulisan   pendek  ini memang menggelitik perasaan saya,  karena sikap  ini memang ada dikalangan kaum Muslimin, atau Agama lain.  Apakah dua pola pikir ini merukapan dua hal yang  berjenjang atau dua hal dari hasil percabangan, mari kita  bahas.

Yang pertama rasanya memang  mengena dalam kehidupan manusia sehari hari  berupa harapan mendapat nikmat Allah yang banyak yang dilimpahkanNya kapada makhluqnya  agar berkesinambungan dan banyak , dan ini ada buktinya, karena banyak yang bersifat materi jadi “tangible”, bisa dilihat, bisa nyata.  Tidak kurang dan tidak lebih kerabat dekat saya sendiri yang menyatakan hal itu kepadaku.
Saya mengamini dengan enteng mengatakan  alhamdulillah baik sekali. Jadi saya baru pikir kok   mengimani juga pernyataan itu,  karena bukti buktiya ada.  Lho sejenak agak ngganjal diperasaan saya, hampir saja  terucap oleh saya bahwa dunia ini sebagai roda pedati sekali diatas dan sekali dibawah, tapi itu masih tidak saya ucapkan,  tidak etik  rasanya  bila saya tidak ikut bersyukur,  orang menerima ganjarannya, barokah yang dirasa makin meningkat, tapi  sedikit kok masih merasa terganjal dalam alam pikir saya dan rasa  ini kok kurang pas, kenapa ?. Apa iri ?  Sebagai muslim yang barusan saja menjalani ibadah sholat dan mengamalkan sholat secara  mendekati yang diperntahkan ,  saya bertanya apa itu yang saya cari ?
Pengertian bagian yang pertama mungkin  kelimpahan materi,  kabebasan  menjalani  seluruh waktu  hidupnya  sudah  menyenangkan jasmani dan rokhani  ini juga tujuan nafsu saya yang belum tercapai ?  Pada detik lain saya pikir kelimpahan materi  bila ini merupakan tujuan, cocok dengan kuwajibannya sebagai Khalifah Allah di Bhumi ( al Baqarah  30), menjadi lebih leluasa untuk berbuat apa saja,  tentu saja yang meluaskan jalan  yang benar, yang saban hari kumohon kepadaNya ?  Begitulah  pikiran untuk  menghibur dan meluruskan bathinku sendiri. 
Padahal  saya tahu benar  bahwa kelimpahan materi ini  yang kemudian kadang menimbulkan ujub dan riya bahkan kibir,  yang membuat risih parasaan orang  yang mendengar.
Rasanya untuk mengatasi deraan fatwa dari kerabat saya  ini, dari  sesama muslim, tiada lain adalah sabar  dan berdo’a  demi keselamatan  manusia  beruntung ini,  inilah saya rasa petunjuk  bagi yang mengeti. Tidak perlu masygul lalu  mengingatkannya secara lugas, ataupun hanya menyindir,  malah akan  menyulut api  amarahnya saja, alangkah terperengahnya kita mengamini fatwanya lebih lanjut, bahwa kita harus memperbanyak amalan  ibadah lita mengambil teladan dari yang sudah berhasil, meskipun benar sekali. ?
karena  Allah pasti ada cara untuk memelihara makhluknya. Antara lain pasti dengan prantaraan kesalehan sosial dari makhluknya yang terpilih, dikaruniai rezeki lang melimpah.
Pengertian bagian yang kedua,  tidak  nampak dengan mudah karena memang tidak bersifat materi, tapi bathin, mentalitas, meskipun lebih  merupakan perbuatan  baik (paling kurang ya sabar) yang pasti sulit dinilai  dengan materi.   Sesuai dengan perwujudan rasa terima kasih atas karunia  nikmat Allah  yang tak terhitung  telah dilimpahkan kepada Manusia.  Sebagai Khalifah Allah di Dunia ini, Manusia menjadi saleh dan saleha dalam keadaan apapun, karena mengerti. Bahwa dalam surah Al Fatihah sengaja ajat kedua alhamdulilliahirabbilalamin, ayat ketiga arakhmanirrakhim enak, tapi deteruskan dengan ayat ke empat ingat, "Malikiumiddin" hanya Englaukan yang menguasai hari qiyamat ( hari perubahan yang pasti terjadi), jadi yang enak enak itu nanti pasti berubah.

Keduanya ada sandungannya, yang partama menjadi  “pamer”  merasa benar sendiri sampai menjadi ujub, kibir dan ria, yang kedua menjadi mengabaikan nilai duniawi, hubungan ukhrowi yang memabokkan  melupakan azas hidupnya sebagai khalifah dimuka Bhumi, yang masih perlu materi,  dan su'udhlon terhadap Allah.
Kepada suku bangsa terdahulu, misalnya  suku Yahudi,  suku Qurais  yan sangat rasional tentu saja petunjuk Allah juga rasional dan berkali kali, misalnya soal motifasi  mengerjakan  perbuatan yang dikehendaki Allah dan menjauhi  yang tidak disukai Allah.  Perintah Allah lugas dan berulang kali. Semua kehendak Allah adalah demi kebaikan manusia,  Masak kamu sudah AKU jadikan KhalifahKu  di Bhumi  ini tidak merasa kasih sayang dengan cara  bertanggung jawab atas perbuatanmu  kepadaKu? Permohonanmu dituntun ke jalan yang benar, jadi ya taatilah.
Kepada suku suku Arab yang keras kepala dan keminter/sok pinter,  semua perintah Allah  memang membuat mereka lebih sehat dan lebih cerdas, jalani saja, jadi dibuat aturan  dengan perhitungan agar dilaksanakan dengan karunia  kuantita dan kualita yang exact secuil demi secuil, dan dihargai menurut nilai yang pasti, dipastikan mereka  jadi cerdas dan sehat setiap muncul generasi  demi generasi mereka yang baru.  Sesudah cerdas bisa diajari bisa mengerti yang lebih tinggi yaitu rasa tanggung jawab  terhadap perbuatannya- taat pada perintah Allah dan menjauhi laranganNya  karena kasih sayang kepada Allah yang mereka sembah, menjadikannya Khalifah Allah di Bhumi jauh lebih leluasa,  tanah airnya sudah mengapng diatas minyak, bayangkan ini berkah apa cobaan ?
Bila dikatakan sudah kuwajibannya menjalani amal ibadah itu jadi tidak usah dihubungkan dengan upah apa yang didapat nanti. Seperti sikap semua orang tua kepada anak anaknya bagai matahari yang member tidak mengharap kembalinya. Aka tetapi sikap orang tua ini dilain sisi pasti dilandasi dengan sesuatu yang idealistic sehangga  setiap orang tua mampu berkorban dengan sukarela terhadap kepentingan anaknya,  begitulah anak terhadap orangtuanya. Bukan hanya kuwjiban saja.  lha ini ditandai  dengan nama kasih sayang.  Apa ada kekusutan pola pikir bila hal ini di analogikan dengan sikap kasih makhluk kapada Khaliqnya ?
Jadi untuk menjalani hidup berinterkasi dengan sesama diharuskan memulainya dengan azas "Bismillahirakhmairakhim" menjadi pedoman hidup dan penahan nafsu amarah alias modal dari sabar

 Kedua metoda ini bisa saling mengisi untuk  membuahkan produk yang sama  demi mencetak  manusia   menjadi Khalifah  Allah di Bhumi yang dikehendaki Allah,  sebagi landasan  berbuat  sesuatunya  “ Dengan nama Allah yang maha pemurah dan maha pengasih” – Bismillahirakhnirakhim, maka kuwajiban berubah menjadi kasih sayang.
Si Rasional  keras kepala maupun si Keras Kepala yang keminter/sok pinter   akhirnya membelakangi perintah, Lho kok ? 
Berniat atau berazas  Bismillahirakhnanirakhin, malah  untuk memulai pertengkarannya satu sama lain.   Bila  kenyataannya demikian,  pasti berbuat apapun tidak membuahkan berkah  karena  melupakan azas yang mereka sebutkan tidak terhitung  berkali kali selama hidupnya. Saling bunuh sesama  saudaranya muslim dengan senjata berat. Karena belum sampai ke kasih sayang kepada sang Khaliq dengan  segala ciptaanNya.  Bahkan menghalalkan darah mereka yang dianggap kufur dan murtad, untuk ditumpahkan.
Deretan Nabiullah  dari Nabi Adam alaihi salam  sampai  Muhammad  rasulullah salallahu allaihi wassalam,  Nabi dan Rasul penutup mengenal Tuhan yang satu satunya Allah,  yang tertera tegas dalan surah al Ikhlas dan  Nabi yang diturunkan  menyusul  Nabi yang lainnya  memberikan kebenaran dan kemaslahatan kepada umat manusia. Mahkota dari segala wahyu  Allah  adalah surah  Al Fathihah ummul Qur’an  induk dari segala surah dalam al Qur’an, yang belum ada pada petunjuk terdahulu,  disana dcantumkan dua kali  kalimat bahwa Allah itu rakhman dan Rakhim , yaitu dalam Basmallah ayat yang pertama dimana kita mengatas namakan Dia dan dalam ayat yang  ketiga menegaskan meskipun Dia menguasai saat Qiyamat kecil atau besar tetap rakhman dan Rakhim *)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More