Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 04 April 2016

SAYA YAKIN TULISAN INI NDAK ADA YANG NAU BACA

 SAYA NDAK YAKIN TULISAN INI ADA YANG MAU MEMBACA.

-PELOPOR REVOLUSI MENTAL -

Hing jaman kena musibat, wong hambeg jatmika kontit, kaliren wekasanipun – serat Jaka Lodhang ( R,Ng, Ronggowarsito, pujangga kraton Surokarto (penghujung 1800 - seperempat pertama 1900)

Kami, kaum veteran generasi pertama, kaum pensiunan generasi pertama, Orang yang didewasakan secara harfiah dengan waktu tumbuhnya Republik Indonesia,  yang dihasilkan dan dibesarkan 100% oleh Republik ini, sedang bergulat dan sedang memenangkan  perjuangan kami, yaitu pergulatan kami mengiringi perjuangan Republik ini, tahukah kamu apa itu  ?

KAMI SEDANG BERUSAHA DAN PASTI BERHASIL DALAM PERJUANGAN KAMI YANG TERAKHIR, ”HIDUP ZUHUD, DALAM KONDISI KE-MENENGAH-AN KAMI, DAN JUGA KE-MENENGAH-AN HIDUPMU, WAHAI ANAK ANAK KAMI”

Bila ini tidak membekas pada hidup kalian, maka sia sialah perjuangan dan pergumulan kami. Maka kepeloporan kami, akan tenggelam dalam lautan individualisme, kaum egois dalam alam feodalisme, PENERUS NALURI RENDAH, membangkrutkan bangsa dengan menggerogoti assetnya,  mengeruk keuntungan dari infra tructurenya yang diperlemah demi keuntungan pengusaha kroninya, pembelian belanja Negara yang di mark up semena mena, pencurian hak rakyat miskin dengan sangat menyakitkan ini, ber-KKN semena mena dengan pengusaha,  dicontohkan oleh Mohamad Sanusi dan kawannya 40% anggauta DPRD Jakarta Raya, mendukung rencana reklamasi pantai dan pulau pulau laut utara teluk Jakarta demi keuntungan pengembang kondominium mewah Agung Podomoro group, dan pasti menimbulkan reaksi dari masyarakat yang terinjak, lebih menyakitkan lagi, bila kita tidak bisa membenahi dominasi mereka yang berkedok berjuang untuk suku ras dan agama ( sara) ini,  atau menyadarkan seniman gaek kedaerahan seperti   Ridwan Saidi.

Kami mendapatkan posisi ekonomi dalam masyarat Republik muda yang baru merdeka ini dengan pendidikan gratis, dan njaris gratis di Perguruan Tinggi Negeri, karena kemauan Revolusi yang masih menyala nyala. Banyak diantara kami yang gagal karena Dosen –Dosen kami, istilahnya bung Karno Pemimpin kami, saat itu menjulukinya dengan julukan Hollands denken- pikiran Belanda, sengaja dibuat  tidak peka, dan masih menggemari adat kebiasaan dan kekuasaan feodal, jadi sarjana adalah jadi Pembesar, maka harus ditebus dengan sekuat tenaga, penyerahan dari idea yang bergolak, ke rust en orde nya mereka,   mahasiswa memprotes– mengetrapkan  perkuliahan dan ujian  dengan seenak udelnya, “hollands denken“ “Kebebasan Mimbar” a’la Continental system dari jaman abad Pertengahan Europa, yang disanapun sudah ditinggalkan.

Waktu itu, Dosen dan Profesor mulai mabok dengan “Kebebasan Mimbar” bagi mereka,  kebebasan tanpa tanggung jawab, apa yang dingomong dalam kuliahnya, pertentangan  derajad manusia antara Dosen-Mahasiswa yang assimetris, tentu saja bagi mahasiswa juga ada senjata– boleh membolos, sebab tanpa diabsen. Sungguh tidak mudah. Kondisi ini menghasilkan genarasi Pengajar muda yang tidak kurang feodalistisnya disertai dengan kekejaman yang terselubung gula, meluluhkan semangat keluar dari sistim feodalistis mereka, kaum menengah yang sangat lembut dalam pergaulan, menimbulkan KKN Perguruan  Tinggi dan Organisasi Mahasiswa dan dikalangan akademisi, saking nikmatnya  sampai menjadi KAHMI.  Serta calon calon akademisi membentuk kelompok feodal   yang sangat nyaman, mesti dapat katabeletje bila nyari pekerjaan.  Disamping kelompok kecil dalam masyarakat yang menjadi kaum mahasiswa abadi sampai tahun 1960..  Kami yang lulus sebagai sarjana sampai tahun itu pasti menjadi birokrat mengepalai Propinsi, atau Direktorat Jendral, atau Derektorat, paling kecil kepala Biro di Propinsi atau Kementrian dan Diektorat Jendral, sebagian kecil jadi Menteri dalam jenjang politik dan birokrasi, atau dosen atau profesor, setara dengan  kehidupan kaum menengah atas yang terhormat dan nyaman. Dan terlahirlah di dunia ini generasi muda baru, ya anda anda ini semua termasuk yang terlahir sekitar tahun 1970 han. Seluruh sistim pendidikan kami tidak mempersiapkan anda anda jadi Pengusaha, karena kami sendiri ya tidak tahu. Ternyata bidang itu telah diambil alih oleh naluri rendah dari "sara" yang tidak kenal naluri yang lebih tinggi, "naluri bernegara" dan "naluri berbangsa" apalagi "naluri manusia"

Pengusaha kita merupakan kelompok etnik diluar sistim, yang secara tradisional dipiara sistim penjajahan menguasai perdagangan eceran, juga merupakan kelompok petani yang terikat dalam persaudaraan bakul dan  juragan diluar sistim, yang sulit dijajaki seberapa jauh jiwanya lekat dengan keberadaan sistim birokrasi Negara Republik ini, karena sistim kekuasaan Negara masih sangat rapuh, mau digunakan untuk kepetingan siapa, rakyat keseluruhan atau penjabat dan Pengusaha ?

Kaum menengah yang tercipta dari akademisi di Republik ini,  kenyataannya  dari asal usul mereka ada yang dari kalangan keluarga “mutihan” artinya kaum santri, ada yang berasal dari keluarga “abangan” artinya kaum priyayi jaman penjajahan yang dijauhkan oleh majikannya dari adat kebudayaan asli setempat ( Admnistrasi birokrasi Kolonial Belanda,  dalam Pemerintahan maupun administrasi swasta termasuk salesmen candu, garam dan mesin jahit, tempat tidur besi bermerek "kero" bed, dll).

Atau dari kebudayaan santri yang jadi juragan hasil bumi dan industri batik. Kemudian di zaman Bung Karno, pedagang dan pengrajin dibesarkan dengan lisensi harga khusus dari Pabrik tenun Pemerintah “Bhatari” membesarkan kekuatan ekonomi kota Ponorogo, Yogyakarta  Surakarta dan Tulungagung sebagai pusat industry bathik.

Bila keluarga baru kaum menengah kini ini,  termasuk dalam kelompok berakar dari para santri, mestinya mereka menjalani hidup secara moderat dan zuhud. Begitu pula yang berakar dari kaum priyayi kejawen yang abangan. Mereka menjadi warga yang jauh dari KKN dan hidup zuhud, akan mudah untuk menyesuaikan diri dengan sistim gaji/income  sekarang, dimanapum mereka bekerja, maupun dari veteran dan pensiunan PNS golongan apapun, mereka mudah mati penyakitan kok, jadi habis perkara.

Sebaliknya, mereka yang berakar dari para santri, tapi juragan beras, pemborong padi disawah dan juragan hasil bumi meskipun keponakan Gus Dur dari puaknya yang sangat banyak, dan sarjana, pemegang tampuk kekuasaan Partai dan Kabinet atau Dirjen, atau Bupati Kepala Daerah, ya sulit menjalani hidup zuhud dan memberi teladan bagi keturunannya yang menjadi kaum menengah atas tapi dengan income yang tidak tentu kecuali sudah dididik jadi Pengusaha beneran, bukan dengan sistim yang  ada, atau mereka harus merambah lembah kenistaan ber-KKN dengan Pengusaha, atau pewngusaha yang berKKN dengan PNS kayak La Nyala, atau merosot jadi kaum miskin.  Dari golongan priyayi yang mengandalkan gaji, ke-menengah-an mereka tidak ada lagi. Ujub dan riya menguasai semua manusia kelas menengah, kecuali yang ingat kapada ALLAH dan sunah RasulNya.

sebab orang yang berkelakuan baik di masyarakat ini, hidupnya akan sulit. ( R.Ng. Ronggowarsoto. Serat Joko Lodhang)

Sudah ditandai oleh mBah- mBah kita, mereka penerima gaji dari Belanda sebab ikut sekolah sampai  HIS, smpai MULO, sampai sekolah guru, sekolah AMS  sekolah kedokteran NIAS di Surabaya dab GH di Betawi yang makan beaya rata rata 40 % gaji orang tuanya, jadi mereka, si orang tua dan aggauta keluarga lainnya hidup zuhud, dan menghindari kemewahan, untuk membeayai sekolah putra putrinya, hanya yang ternyata berprestasi, dengan uang guilder Belanda. Sebab ini merupakan previlegy mereka.  Semua keturunannya merasa tidak nyaman setiap makan di restoran, sangat tidak nyaman ada di kerumunan dansa dan karaoke di Ninght Clubs,  mereka adalah pelopor yang sudah ada sebelum  revolusi mental. Cucuya   yang  nenjadi salesmanpun, meskipun jadi pegawai swasta, tidak mengajak anak istrinya makan di restoran, meskipun dengan  bon yang bisa diganti oleh Perusahaan yang menggaji dia sebagai salesman, dia mempunyai hak proxy memberikan intertainment  kepada langganan pentingnya.  Tidak minta dihormati oleh lingkunganya, tapi memberi cotoh teladan hidup zuhud dan beriman bukan sekedar mengenakan atribut agama, tanpa berbuat demonstratip keleluasaan pengeluarannya, dengan wah dan boros.

 Sangat lain dengan pensiunan PNS generasi ke ke II dan ke III, yang KKN, berputra/putri mereka juga KKN,  yang pensiun malah masih kerja lagi di perusahaan swsta nebeng nama kroninya di  Kantor Dinasnya, hidup mewah ADALAH TJUAN HIDUPNYA. Suka dihormati.  Saya yakin putra putrinya sedang berkutat mencri kesempatan KKN juga, SEBAGAI TANDA BHAKTI KEPADA orang tuanya. 

Anda  sabagai  generasi muda mengerti, Negara ini memerlukan orang yang zuhud, intelligent,  tulus mencintai Negaranya dan jujur, kalian semua  masih mempunyai teladan hidup zuhud, tanpa merasa jadi miskin, meskipun kalah pinter dari para teknokrat Orde Baru,  para veteran generasi pertama dan pensiunan PNS generasi pertama Republik ini, zuhud dan tulus  mencintai Negeri ini,  sebagian kecil hidup dan  disekitar kalian, apabila masih hidup.  Sebab banyak mereka yang dibantai waktu iblis merasuki kaum yang merasa benar sendiri membela agama dan bangsa, mereka orang yang dicekoki obat perangsang  paranoia  tahun 1965, seperti para algojo yang lain*)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More