III UPAYA INTELIGENSIA JAWA MEMOMPA SEMANGAT HIDUP
Terlebih lagi telah dibuka upaya memanfaatan rawa rawa luas dengan sistim yang sama degan wilayah Pamotan, dengan teknologi dari Mesopotamia, sebelum islam dan kekuatan fisik penggali terusan saluran air drainage rawa, berkat latihan menghimpun tenaga metoda Wu Dang dari Singkiang China, dipuncaknya sebagai pimpinan mereka ialah ideology islam. Produksi beras di rawa rawa seluas kurang lebih 20 000 Ha di wilayah Demak Bintoro, lengkap dengan kayu jati di lereng utara gunung Muria guna menyediakan jung jung raksasa di galangan besar kota pelabuhan yang penduduknya pendatang tukang membuat perahu dari China, yang Islam merupakan penududuk mayoritas San Pao lung ( Semarang) apa akhir abad ke 15 - 16 masehi.
Kemudian pada era yang lain menyusul era Kerajaan Demak Bintoro dibawah yang pemerintahan Sultan Islam kturuna China dari Sinkiang, Pangran Jin Bun atau Raden Fatah. Oleh dominasi Belanda sesudah Demak Bintoro pudar karena persawahannya tertimbun abu dan pasir vulkanik, terjadi pendangkalan saluran saluran irigasinya, , kebanyakan penduduk Semarang beralih menjadi beragama Kong Hu Cu, banyak mesjid yang beralih jadi kelenteng ( dokumen Tuanku Rao - menurut Dr Slamet Mulyono) di kota Semarang. Karena hubungan dengan bangsa induk masih sangat kuat dalam perdagangan.
Dari saat itu, kelompok etnis penduduk Nusantara yang ini sangat cenderung untuk membentuk semacam “kartel” dalam perdagangan, dan mudah sekali berkembang di suasana ekonomi agraris di Nsantara.
Hanya kaum pendatang dari China ini tidak pernah menggunakan kekuatan militer maupun jung jung perang dari semula (ecuali di zaman kerajaan singhasari sebad selumnya), selain misi perdamaian seperti yang didemonstraasikan oleh Armada besar Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim, membuat mesjid di Surabaya. Bukan gudang berbenteng seperti di Sunda kelapa.oleh Belanda.
Kebudayaan baru yang menyertai pengembangan Islam, sangat cocok dengan perkembangan pesat kaum waysia Hindu Jawa.
Tanpa reserve kaum waysia Hindu mendekati Islam sebagai cara hidup masyarakat yang egaliatarian, beserta kaum inteligensianya. Sekali lagi keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab dan penyesuaian total terhadap kebudayaan arab yang murni Patriarchat baru terasa merintangi kemurnian ajaran Islam a'la Wahabi sekarang ini.
Kaum Brahmana Hindu sebagai inteligensia yang mengalami kehilangan pegangan, terutama dalam struktur ekonomi, pada mempelajari islam dan menganutnya sebagai makan sebatang tebu, dipilih pangkalnya yang kaya berisi gula, mengabaikan pucuk dan daun daunya yang hanya cocok untuk ternak sapi, dan kebau, itu pendapat mereka.
Semula mulai abad ke 11, inipun dilayanai dengan senang hati oleh para prnyiar agama Islam yang pertama dari daerah Sinkiang, sebelah utara Iran sekarang, karena merekapun belum terserap dalah budaya bangsa Arab sepenuhnya. Begitulah permulaan pengenalan ajaran Islam kepada para Brahmana, dan menjadi cikal bakal konversi besar besaran dari kalangan rakyat pesisir menjadi pemeluk agama islam. Literasi arab dapat dipelajari dengan bebas dan gratis.
Oleh terbukanya pintu kecakapan membaca dan menulis huruf arab, yang angka angkanya sangat memudahkan kaum Waysia mengembangkan pedagangan, surat perjanjian dagang dan pembukuan lajur.
Lain halnya dengan kaum Ksatrya Hindu yang jatuh miskin karena tidak fit in dalam perdagangan dan tidak mengerjakan tanah, tanpa dukungan kerajaan Hindu.
Pandangan makan tebu ini menjadi sumber dari semua aliran kebhatiana di tanah Jawa. Mereka masih menghormati para pitri ( kakek moyang yang sudah makayangan, mentaati ajaran ketulusan dan kejujuran watak para ksatria, hidup bersih, mementingkan keadilan dan kepentingan umum, tapi kekuatan pusatnya kerajaan Hindu sudah kropos) . hingga sekarang aliran kepercayaan ini dilindungi Negara kita yang Panca Sila, karena mengucapksn kalimah syahadad, dan mengakui Islam sebagai agamanya.
Mereka dianggap melakukan sincretisme dari agama Islam dan Hindu, sangat perlu pendekatan intelektual yang khusus kepada golongan ini, hingga sekarang.
Untuk golongan ini, ulama/ inteligensia islam saat itu, merekayasa upacara dengan nasi tumpeng – yaitu satu nyiru yang ditengahnya didirikan kerucut nasi putih atau nasi kuning, lantas dipinggirnya dikelilingi segala lauk pauk dan sayuran yang dimasak untuk mengiringi orang makan nasi. Semua lauknya dimasak dengan bumbu masakan Jawa, bukan bumbu gule daging kambing dengan minyak samin yang biasa di tanah Arab.
Waktu nasi tumpeng atau hidangan selamatan cara ini ditutup dengan do’a Islami, dengan dibagikan makanan hidangan pada para hadirin, puncak tmpeng dan lauknya lengkap diberikan kepada yang dianggap tetua pada upacara itu, sedang bagian tengah dan bawah tumpeng dibagikan kepada hadirin, mesti saja nasinya masih enak sebab tidak kering. Disertai dengan lauk pauk komplit untuk disantap, sama lezatnya dengan puncak tumpeng bagi si yang dituakan. *)
0 comments:
Posting Komentar