Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Jumat, 07 Juli 2017

KIDUNG PANGILONING JIWA

 LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA.(seri 18 ) SERI 1-24 ada di posts th 2013 


Uang yang beredar di Wilwatiktapura yang mulai dibangun sebagian beredar diseputar lokasi pembangunan kota itu hingga limapuluh yojana, meliputi Kadiri, Kling (Nganjuk), Wirasaba (Mojokerta) bahkan sekitar Rajeg Wesi ( Bojonegara). Uang ini adalah belanjaan pembelian kayu bangunan, batu kapur gergajian dengan ukuran kubus yang sehasta rusuk rusuknya, Batu batu umpak tiang tiang bangunan dan candi candi. Sebagian untuk keperluan makan, yaitu sembilan bahan pokok, yang bisa disediakan di tempat adalah kayu bakar  untuk masak, yang lain terpaksa didatangkan dari tempat tempat hunian sima dan kota sekitan bangunan kota baru ini. Lurah Bhayangkari harus mengamankan jalur supply ini.
Ternyata banyak jalur lalu lintas baru, banyak pemberhentian perahu baru sekitar lokasai pembangunan kota yang harus diamankan dari kejahatan terutama dari perampokan dan pencurian. Jalan rintisan dari segala arah menuju ke bekas hutan Maja ini, semakin ramai, warung warung, gudang  tempat barang barang dagangan diturunkan dan berganti pemikul atau berganti gerobak bila jalanan memungkinkan, Tempat tempat pemberhentian lalu lintas pemikul atau gerobag ini rawan untuk jadi tempat para penjahat menjadi raja kecil menarik uang keamanan, sangat menjadi perhatian Lurah Bayangkari. Semua kedai Tuak dan warung remang remang juga menjadi perhatian lurah Bhayangkari kota yang baru dibangun ini. Setelah Ranggalawe terbunuh karena perkelahian dengan Kebo Anabrang, Lurah Bhayangkari sadar bahwa ada yang mengincar Pimpinan dan Gudang Uang picis emas perak , untuk membangun kota ini.  
Dalam hal ini Gajah Gombak dari Mada mengadakan perundingan dengan Raden Wijaya maka mereka mohon kepada sang Guru Bagawan Bismasadana dan Rsi Curadharmayogi untuk menghubungi Ketua semua Perguruan Silat aliran lurus, sampai wilayah Pengging dan Kedhu, bahkan sampai ke Cirebon untuk membantu dengan mengirimkan muridnya yang terbaik ke Wilwatiktapura untuk menjadi Pengaman luar dan dalam. Malah perguruan silat khusus pendekar wanita dari Gunung Jati, Jawa Barat , “ Sekar rinonce” juga diundang. “Sardula Liwung” dari Gunung Ijen, “Trimurti” dari Lembah Rengganis, “Trisula” dari lereng Gunung Wilis, perguruan “Gunung Pandan” dari Rajeg wesi, dan masih lima enam lagi perguruan silat tingkat tinggi yang diundang. Yang aneh lagi munculnya perguruan silat yang sangat tersembunyi tidak pernah muncul ke permukaan adalah “Sarapwaja” dari Sidayu, muara Bengawan Solo, yang senjatanya berupa talempak atau tombak pendek bermata lebar serupa dayung, nama setempatnya sarap, mereka ini sangat dibenci oleh sakte nyleneh agama Hindu aliran Bhairawa, karena disamping mengaharamkan semua prilaku anggauta aliran ini, kecuali tidak mengharamkan memuaskan makan ikan, juga mempunyai kemampuan melawan kekuatan hitam yang sangat handal yang  dimiliki oleh golongan Bhairawa ini. Menurut pandangan kaum Sarapwaja, memuaskan diri dengan “Ma” lima yaitu “Matsya” makan ikan, “Ma’argya” (mabok minuman keras), “Mamsya” (makan  daging segala binatang ), “Maudra” (menari nari sampai trance), dan “Maithuna” ( berhubungan sex secara orgy liar) untuk mencapai kesempurnaan, adalah pembenaran menyesatkan dan palsu. Karena orang mengendalikan hawa nafsu itu maksudnya supaya menggunakan energinya untuk mengasihi sesama ciptaan Sang Maha Agung, dan pemurah kepada mereka, berupaya “mamayu hayuning bhawana” atau membuat lingkungan hidup menjadi berharga untuk dihidupi. Maka dengan memuaskan hawa nafsu sekehendak sendiri  mengumbar hawa nafsu diri sendiri sehingga puas dan serta merta mengalami kesadaran yang tertinggi itu bohong, karena mengorbankan kepentingan orang lain.  
Lha bila orang hanya sibuk memuaskan diri sendiri saja,  kan menyusahkan orang lain juga. Mpu Lurah Bhayangkari sengaja mengundang Kelompok silat yang tidak pernah terkenal di dunia persilatan ini karena golongan ini selalu bisa menangkal kekuatan kaum Bhairawa secara wadag maupun memunahkan kekuatan magis hitam nya.
Sebenarnya pandangan perguruan Gunung Pandan dari Rajeg wesi, yang sangat dipengaruhi Pesilat kaum Bu Tong dari Negeri China, dan azas panteisme dari Parsi, bertumpu pada ajaran Budha, menentang pengumbaran hawa nafsu bahkan makan daging dan  lain barang berjiwa saja mereka hindari,  pantang minum minuman keras, dan sangat menghormati kaum Pendeta Budha nya yang harus menjalani brahmacarya atau tidak melakukan hubungan suami istri (celibate). Anehnya di tingkat yang paling tinggipun kaum ini masih keder menghadapi kekuatan magis kelas tinggi dari kaum Bhairawa  yang mendatangkan Bhatara Kali silih rangkap dengan Bhatara Rudra. Iya ini bisa dimengeri, sebab walau di tigkatan yang tinggi dari aliran yang dipengaruhi Budhisme ini menyandarkan kehidupan wadagnya dari perlindungan dan pemberian Penguasa dan rakyat termasuk orang orang kaya, jadi mengandung pamrih, atau maksud agar dijamin kepentingan duniawi mereka Ya seperti yang sekarang sementara pendeta pendeta Budhis ngebela belain pelindungnya walau jelas lelas menyuap Penjabat Negara seperti Hartati Murdaya Poo tanpa malu malu.  
Sedangkan kehidupan wadag kelompok Sarapwaja menyandarkan  pada Allah dan berupaya dengan tenaganya sendiri bekerja mencetak sawah dirawa rawa mencetak  sawah tambak dengan kekuatan sendiri walau perkerjaan ini  sangat berat. Pada lingkungan perguruan silat Sarapwaja/Aswaja yang berdasarkan agama Islam, meskipun mereka kawin secara wajar dan tidak pernah celibate, mereka makan daging yang disembelih dengan azas “Atas Nama Allah yang Maha Pemurah dan maha Pengasih”. Dan azas itulah yang melandasi setiap perbuatannya. Maka wadag mereka seperti dilindungi oleh tenaga yang tidak nampak dan mampu membakar balik kekuatan magis hitam andalan kaum Bhairawa apapun,berikut pelakunya.
Ko  konon menurut Waliullah, Pemimpin  mereka,  Allah Sang Hyang Widiwasa berkenan mengganti segala petunjukNya yang dibawa oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan Petunjuk dan Perintah dan larangan yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad Rasulullah. Azas hidup yang paling alami bagi Manusia  dan pasti bisa dilakukan, melandasi semua perbuatannya dengan mengatas namakan Allah yang Maha Pewmurah dan Maha Pengasih, Bahkan Allah memberikan sandi asma (pass word)  Malaikat untuk mereka datangkan  melawan apapun wujud magic  dari Kaum Bhairawa yang sekuat Bhatara Rudra sekalipun akan terbakar bersama pelakunya. Orang Hindu menyebut keistimewaan ini sebagai “ajian Cunda Bhairawa”, mirip cermin ga’ib yang memantulkan dengan kekuatan berlipat lipat  energy black magic yang dicurahkan oleh pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu aktivitasnya.  Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik sang Puntadewa anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi, kakak dari semua Pandawa. Sedang  ajian Cunda Bhairawa itu sebetulnya hanya sebutan pass word saja,  oleh orang yang beragama Hindu, dikira satu ajian  untuk menghadirkan Malaikat guna menjaga diri dengan mengembalikan segala energi kembali menghunjamkannya dengan kekuatan berlipat lipat,  nama yang seharusnya adalah “cermin ga’ib”.  Sedangkan pimpinan kaum Bhairawa saja,  Sang Guruji Rsi Dutanggira yang datang dari Atas Angin dan yang berumur tak terhitung panjangnya, juga Guru  Sang Prabhu Kertanegara yang sudah makayangan, dia ini segan menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan Garowisi.
Un  undangan kepada Aliran Aliran silat  bersih ini untuk bergabung menjaga keamanan Wilwatiktapura, yang rentan terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai gantinya menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama, asalkan mereka saling menghargai dilingkungan Wilwatiktapura.  Ini mendapat sambutan baik dan Pimpinan, atau Waliullah mereka sehingga datang hadir  atau mewakilkan pada murid tingkat atas mereka. Maka selama seabad kaum Bhairawa tidak menyentuh Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang) dekat Singhasari, sebagai kebiasaannya secara exkluisive terbatas pada anggauta dengan sumpah berat, sambil menunggu waktu, menebar pengaruh di Wilwatiktapura.
 Sanggar sanggar latihan didirikan di Wilwatiktapura secara mandiri masing masing aliran, sedangkan aliran Sarapwaja bergabung dengan asyram perguruan Agama Islam, dan sama sekali idak mengadakan gladi fisik di Wilwatiktapura. Ini disebabkan karena gladi fisiknya ada di rawa rawa luas di muara bengawan Solo, membuat saluran saluran, pintu pintu air, agar hanya air tawar saja yang bisa masuk ke sawah mereka yang juga panen dua kali setahun. Kecuali musim banjir,  ditanami padi rawa yang malainya bisa terapung kepermukaan air banjir dari kedalaman sampai sedepa, juga ditebari ganggang yang menjadi pupuk bila air surut nanti. Pekerjaan yang sangat berat. Mereka menggali lumpur  rawa dengan sarap, linggis yang lebar semacam dayung perahu, berbobot berat supaya bisa masuk kedalam lumpur dengan mudah, inilah cara mereka untuk melatih tenaga dalam, melatih tenaga dalam pernapasan dan pemusatan tenaga dalam mereka di pusar, disertai  pemusatan dzikirullah. 
Disinilah teruji kecakapan Mpu Mada, semua unsur unsur baik dalam masyarakat Wilwatiktapura ikut menjaga keamanan dan ketertiban diwilayah ini. Malah murid murid senior dari perguruan Sarapwaja secara bergilir bertugas di Wilwatiktapura secara diam diam, membantu Mpu Mada, secara sukarela, yang jumlahnya sampai ratusan orang, mereka berkepandaian tinggi. Dengan mudah mereka menyisipkan dirinya di masyarakat Hindu kebanyakan dari wangsa waysia dan sudra  sebagai Pedagang, sebagai pemilik komplek persinggahan para pemikul barang semacam “karavan saray”(istilah Turki) nun di jalan sutra ditengah gurun dan padang rumput  Asia Tengah. Warung warung kebutuhan pokok dan obat obatan, dan bergerak mengajari anak anak kaum waysia dan sudra membaca dan menulis huruf Arab dan huruf Palawa, terutama etika Islam dan memberantas kejahatan, dan hidup bersih, dengan  secara diam diam bekerja sama dengan Bhayangkari Praja seluruh Negara,  menjadi telik sandi sukarela,  melaporkan berita dengan merpati pos.  Maka selama seabad Wilwatiktapura menjadi pelabuhan singgah dan arena jual beli antara dagangan dari pulau pulau di Timur dan barang barang dari China dan Atas Angin, India dan Parsi. 
Suasana inilah yang mengilhami para Dhalang wayang kulit, ratusan tahun kemudian bila menggambarkan satu Negara yang kaya raya cukup segalanya, aman dan makmur, digambarkan bahwa kerbau sapi di lapangan penggembalaan sore hari akan pulang sendiri sendiri, tanpa digiring oleh penggembalanya, tidak ada pencurian ternak atau pencurian apapun.

Pertemuan Guruji Sang Dutanggira dengan Syekh Jumadil Kubro terjadi, karena kebetulan Guruji Rsi Dutanggira berkenan mengunjungi pertemuan besar kaum Bhairawa dari sekitar Wlwatiktapura di tepi Sungai Brantas yang berpasir dan sepi, yaitu di pertemuan dua sungai, Kali Brantas dan Kali Konto, dan ini adalah tempat yang dekat dengan Wilwatikapura, jadi tempat berkumpulnya kaum Bhairawa warga dari Wilwatikapura, dan tepian yang  luas berpasir  berbentuk cangkang penyu. Tempat ini tepat untuk pertemuan kaun Bhairawa karena  pada zaman itu sepi sekali, juga gersang  melulu berpasir yang dibawa oleh aliran sungai Konto, sisi barat gunung Anjasmoro.
Semingu sebelumnya dilaporkan di wilayah itu ada perampasan dan pencurian ternak, penculikan gadis gadis desa yang muslimah dilakukan secara misterius, yang meresahkan peduduk desa desa sekitarnya. Merpati pos dilayangkan segera dari telik sandi diwilayah Kertosono, diterima langsung oleh Lurah Bhayangkari Mpu Mada. biasanya kejahatan terhadap masyarakat semacam itu dilakukan oleh golongan yang mau menang sendiri mengandalkan kekuatannya.  Mpu Mada menghubungi Asyram Islam di Wilwatiktapura, dan kebetulan ada Pembimbing yang sangat dihormati bertamu disana, Waliullah Syekh Jumadil Kubro, Syekh ini sudah lama bermukim di Sedayu, di asram mbah Pancir, kelana dari Lembah Pansyir dekat Pakistan .(makanya sekarang nama tempat itu adalah Paciran.) Syekh ini linuwih, manusia luar biasa yang bisa datang dan pergi semaunya, bisa berada dimana mana satu saat yang perlu, dan mempunyai kehidupan wadag yang hanya melulu demi mengamalkan rakhman dan rakhim, disamping kehidupan biasa sebagai petani.  Kepadanyalah  dibisikkan satu pass word  mendatangkan satu  Malaikat dari Allah, satu sandi asma agar bisa menghadirkan Malaikat ini guna melindungi  dirinya seketika, melindungi dari kekuatan apapun yang bukan dari Allah. 
Orang Hindu menamakan aji Cunda Bhairawa ( mungkin kata “cunda” yang hanya ada di sastra Jawa lama jadi asal kata pe-cunda-ng yang artinya nengalahkan atau merendahkan) , karena kaum Bhairawa sangat menghindari barang siapa yang memiliki ajian ini.  Perlindungan yang diberikan oleh Malaikat  berlaku sebagai cermin, yang memantulkan kekuatan magi hitam apapun yang menyerang dengan kekuatan pentulan berkali kali lipat.
Disaat rembulan mencapai bulatnya pada tanggal limabelas bulan “pranata mangsa” (hitungan kalender petani di Jawa) mangsa kesembilan, ratusan kaum ini menari liar setengah telanjang mabuk dan memuaskan diri dengan makan daging binatang liar dan ternak curian, hanya dibakar sekenanya saja, diselingi pesta minuma keras, sungguh meriah dan menjijikkan disekeliling api unggun yang besar pemuda pemudi gila, oran tua, orang setengah baya pejabat majapahit yang menyamarkan diri, tapi pengikut setia ilmu Bhairawa, melakukan orgy sex terbuka berserakan dimana mana, ditengah bunyi tetabuhan gendang dan bedug menderu deru. Sang Bhismasadana menyertai Shekh Jumadil Kubro yang berpostur tubuh seperti tokoh Semar dari pewajangan kulit Jawa, mendadak sudah ada di tengah kalangan dekat unggun api yang besar. 
     tetabuhan  yang berdentang menderu deru mendadak berhenti. Api unggun mendadak mengecil hampir padam. Sang Rsi Dutanggira sangat murka, badannya yang hitam itu mendadak nengkilat, rambutnya yang hitam gimbal itu berdiri berkibar kibar. Dengan suara yang melengking diakhiri dengan bentakan sebagai geledek membuat api unggun berkobar kembali dengan api kebiru biruan. “Makhuk apa kalian berani mengharu biru upacara kaum Bhairawa yang lagi dipimpin oleh Datuknya ? “ Segera cemeti menyala nyala menyambar nyambar kearah Syekh Jumadil Kubro dan sang Bismasadana. Suara menggelegar membalikan arah sambaran cemeti disertai kobaran api menyambar Rsi Dutanggira, mebelitnya tanpa ampun. Kobaran api cemeti melilit siapa saja yang hadir sehingga mereka sadar dan kalang kabut mencebur sungai sambil menjerit dan melolong. Sebentar saja tubuh Rsi Dutanggira yang hitam legam menjadi memerah nanpak meronta ronta,  masih dililit oleh api biru dari unggun yang menyala kembali, akhirnya tubuh Rsi yang tak terhitung umurnya ini  meneteskan lelehan yang berapi api, akhirnya mengecil dan nabis.   
Sunyi senyap dipinggiran Sungai, ratusan  anak buah kaum Bhairawa tenggelam di sungai, atau terbakar menjadi abu. Rsi Dutanggira habis menjadi tetesan api yang menyala nyala sampai habis semua. 
Saat itu Syekh Jumadi Kubro bersabda kepada Rsi Bismasadana, bahwa setiap tetesan api wadag Dutanggira ini akan masuk menetes kedalam wadag para Nara Praja Wlwatiktapura pada ratusan tahun kedua Wilwatiktapura, yang mereka berdua tidak akan menyaksikan. Kini Wilwatiktapura aman tenteram tanpa gangguan kaum Bhairawa. Mereka yang bersekutu ketahuan, mereka yang berencana membalas dendam tersapu bersih. 
Sedang makin  sedikit murid dari perguruan Sarapwaja yang telah terpilih telah mewarisi pass word mendatangkan Malaikat untuk melindungi diri dikalangan mereka,  dengan sendirinya makin sangat selektip mewariskan pengetahuannya. Pengetehuan pass word ini akhirnya akan menjadi malapetaka dikemudain hari, ‘pass word’ ini dinamakan ‘pangilon jiwa’, yang arti harfiahnya “kaca cermin jiwa”. Salah salah bisa  menyebabkan sikap angkuh yang tak wajar dikalangan santri, oleh karena salah mengerti. Sampai kini hanya satu dua orang saja yang menyadari adanya pass word ini.
Selanjutnya abad abad kekuasaan Wilwatiktapura memasukkan dalam Undang Undangnya bahwa menggunakan magic untuk mencelakai orang lain dianggap kejahatan yang bisa dihukum berat, dengan barang bukti berupa boneka yang ditulisi nama orang, rerejahan yang menyebut nama orang. Akan tetapi ilmu magic hitam tetap sulit dibuktikan.*) Lengkapnya dogeng ini di posting the 2013 blog ini, sedah tersusun 24 seri.







0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More