LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA.(seri 18 ) SERI 1-24 ada di posts th 2013
Uang yang beredar di Wilwatiktapura yang
mulai dibangun sebagian beredar diseputar lokasi pembangunan kota itu hingga
limapuluh yojana, meliputi Kadiri, Kling (Nganjuk), Wirasaba (Mojokerta) bahkan
sekitar Rajeg Wesi ( Bojonegara). Uang ini adalah belanjaan pembelian kayu
bangunan, batu kapur gergajian dengan ukuran kubus yang sehasta rusuk rusuknya,
Batu batu umpak tiang tiang bangunan dan candi candi. Sebagian untuk keperluan
makan, yaitu sembilan bahan pokok, yang bisa disediakan di tempat adalah kayu bakar
untuk masak, yang lain terpaksa didatangkan dari tempat tempat hunian sima dan kota sekitan bangunan kota baru ini. Lurah Bhayangkari harus mengamankan jalur
supply ini.
Ternyata banyak jalur lalu lintas baru,
banyak pemberhentian perahu baru sekitar lokasai pembangunan kota yang harus
diamankan dari kejahatan terutama dari perampokan dan pencurian. Jalan rintisan
dari segala arah menuju ke bekas hutan Maja ini, semakin ramai, warung warung,
gudang tempat barang barang dagangan diturunkan dan berganti pemikul atau
berganti gerobak bila jalanan memungkinkan, Tempat tempat pemberhentian lalu
lintas pemikul atau gerobag ini rawan untuk jadi tempat para penjahat menjadi
raja kecil menarik uang keamanan, sangat menjadi perhatian Lurah Bayangkari.
Semua kedai Tuak dan warung remang remang juga menjadi perhatian lurah
Bhayangkari kota yang baru dibangun ini. Setelah Ranggalawe terbunuh karena
perkelahian dengan Kebo Anabrang, Lurah Bhayangkari sadar bahwa ada yang
mengincar Pimpinan dan Gudang Uang picis emas perak , untuk membangun kota ini.
Dalam hal ini Gajah Gombak dari Mada
mengadakan perundingan dengan Raden Wijaya maka mereka mohon kepada sang Guru
Bagawan Bismasadana dan Rsi Curadharmayogi untuk menghubungi Ketua semua
Perguruan Silat aliran lurus, sampai wilayah Pengging dan Kedhu, bahkan sampai ke Cirebon untuk membantu
dengan mengirimkan muridnya yang terbaik ke Wilwatiktapura untuk menjadi
Pengaman luar dan dalam. Malah perguruan silat khusus pendekar wanita dari
Gunung Jati, Jawa Barat , “ Sekar rinonce” juga diundang. “Sardula Liwung” dari
Gunung Ijen, “Trimurti” dari Lembah Rengganis, “Trisula” dari lereng Gunung
Wilis, perguruan “Gunung Pandan” dari Rajeg wesi, dan masih lima enam lagi
perguruan silat tingkat tinggi yang diundang. Yang aneh lagi munculnya
perguruan silat yang sangat tersembunyi tidak pernah muncul ke permukaan adalah
“Sarapwaja” dari Sidayu, muara Bengawan Solo, yang senjatanya berupa talempak
atau tombak pendek bermata lebar serupa dayung, nama setempatnya sarap, mereka
ini sangat dibenci oleh sakte nyleneh agama Hindu aliran Bhairawa, karena
disamping mengaharamkan semua prilaku anggauta aliran ini, kecuali tidak
mengharamkan memuaskan makan ikan, juga mempunyai kemampuan melawan kekuatan
hitam yang sangat handal yang dimiliki oleh golongan Bhairawa ini. Menurut
pandangan kaum Sarapwaja, memuaskan diri dengan “Ma” lima yaitu “Matsya” makan
ikan, “Ma’argya” (mabok minuman keras), “Mamsya” (makan daging segala
binatang ), “Maudra” (menari nari sampai trance), dan “Maithuna” ( berhubungan
sex secara orgy liar) untuk mencapai kesempurnaan, adalah pembenaran menyesatkan
dan palsu. Karena orang mengendalikan hawa nafsu itu maksudnya supaya
menggunakan energinya untuk mengasihi sesama ciptaan Sang Maha Agung, dan
pemurah kepada mereka, berupaya “mamayu hayuning bhawana” atau membuat
lingkungan hidup menjadi berharga untuk dihidupi. Maka dengan memuaskan hawa
nafsu sekehendak sendiri mengumbar hawa nafsu diri sendiri sehingga puas
dan serta merta mengalami kesadaran yang tertinggi itu bohong, karena
mengorbankan kepentingan orang lain.
Lha bila orang hanya sibuk memuaskan diri
sendiri saja, kan menyusahkan orang lain juga. Mpu Lurah Bhayangkari
sengaja mengundang Kelompok silat yang tidak pernah terkenal di dunia
persilatan ini karena golongan ini selalu bisa menangkal kekuatan kaum Bhairawa
secara wadag maupun memunahkan kekuatan magis hitam nya.
Sebenarnya pandangan perguruan Gunung
Pandan dari Rajeg wesi, yang sangat dipengaruhi Pesilat kaum Bu Tong dari
Negeri China, dan azas panteisme dari Parsi, bertumpu pada ajaran Budha,
menentang pengumbaran hawa nafsu bahkan makan daging dan lain barang
berjiwa saja mereka hindari, pantang minum minuman keras, dan sangat
menghormati kaum Pendeta Budha nya yang harus menjalani brahmacarya atau tidak
melakukan hubungan suami istri (celibate). Anehnya di tingkat yang paling
tinggipun kaum ini masih keder menghadapi kekuatan magis kelas tinggi dari kaum
Bhairawa yang mendatangkan Bhatara Kali silih rangkap dengan Bhatara
Rudra. Iya ini bisa dimengeri, sebab walau di tigkatan yang tinggi dari aliran
yang dipengaruhi Budhisme ini menyandarkan kehidupan wadagnya dari perlindungan
dan pemberian Penguasa dan rakyat termasuk orang orang kaya, jadi mengandung
pamrih, atau maksud agar dijamin kepentingan duniawi mereka Ya seperti yang
sekarang sementara pendeta pendeta Budhis ngebela belain pelindungnya walau
jelas lelas menyuap Penjabat Negara seperti Hartati Murdaya Poo tanpa malu
malu.
Sedangkan kehidupan wadag kelompok
Sarapwaja menyandarkan pada Allah dan berupaya dengan tenaganya sendiri
bekerja mencetak sawah dirawa rawa mencetak sawah tambak dengan kekuatan
sendiri walau perkerjaan ini sangat berat. Pada lingkungan perguruan
silat Sarapwaja/Aswaja yang berdasarkan agama Islam, meskipun mereka kawin
secara wajar dan tidak pernah celibate, mereka makan daging yang disembelih
dengan azas “Atas Nama Allah yang Maha Pemurah dan maha Pengasih”. Dan azas
itulah yang melandasi setiap perbuatannya. Maka wadag mereka seperti dilindungi
oleh tenaga yang tidak nampak dan mampu membakar balik kekuatan magis hitam
andalan kaum Bhairawa apapun,berikut pelakunya.
Ko konon menurut Waliullah, Pemimpin
mereka, Allah Sang Hyang Widiwasa berkenan mengganti segala
petunjukNya yang dibawa oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan Petunjuk
dan Perintah dan larangan yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad Rasulullah. Azas
hidup yang paling alami bagi Manusia dan pasti bisa dilakukan, melandasi
semua perbuatannya dengan mengatas namakan Allah yang Maha Pewmurah dan Maha
Pengasih, Bahkan Allah memberikan sandi asma (pass word) Malaikat untuk
mereka datangkan melawan apapun wujud magic dari Kaum Bhairawa yang
sekuat Bhatara Rudra sekalipun akan terbakar bersama pelakunya. Orang Hindu
menyebut keistimewaan ini sebagai “ajian Cunda Bhairawa”, mirip cermin ga’ib
yang memantulkan dengan kekuatan berlipat lipat energy black magic yang
dicurahkan oleh pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu
aktivitasnya. Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik sang Puntadewa
anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi, kakak dari semua Pandawa.
Sedang ajian Cunda Bhairawa itu sebetulnya hanya sebutan pass word saja,
oleh orang yang beragama Hindu, dikira satu ajian untuk
menghadirkan Malaikat guna menjaga diri dengan mengembalikan segala energi
kembali menghunjamkannya dengan kekuatan berlipat lipat, nama yang
seharusnya adalah “cermin ga’ib”. Sedangkan pimpinan kaum Bhairawa saja, Sang Guruji Rsi Dutanggira yang datang dari Atas Angin dan yang berumur tak
terhitung panjangnya, juga Guru Sang Prabhu Kertanegara yang sudah
makayangan, dia ini segan menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan
Garowisi.
Un undangan kepada Aliran Aliran silat
bersih ini untuk bergabung menjaga keamanan Wilwatiktapura, yang rentan
terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai gantinya
menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama, asalkan mereka saling
menghargai dilingkungan Wilwatiktapura. Ini mendapat sambutan baik dan
Pimpinan, atau Waliullah mereka sehingga datang hadir atau mewakilkan
pada murid tingkat atas mereka. Maka selama seabad kaum Bhairawa tidak menyentuh
Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang) dekat Singhasari,
sebagai kebiasaannya secara exkluisive terbatas pada anggauta dengan sumpah
berat, sambil menunggu waktu, menebar pengaruh di Wilwatiktapura.
Sanggar sanggar latihan didirikan di
Wilwatiktapura secara mandiri masing masing aliran, sedangkan aliran Sarapwaja
bergabung dengan asyram perguruan Agama Islam, dan sama sekali idak mengadakan
gladi fisik di Wilwatiktapura. Ini disebabkan karena gladi fisiknya ada di rawa
rawa luas di muara bengawan Solo, membuat saluran saluran, pintu pintu air,
agar hanya air tawar saja yang bisa masuk ke sawah mereka yang juga panen dua
kali setahun. Kecuali musim banjir, ditanami padi rawa yang malainya bisa
terapung kepermukaan air banjir dari kedalaman sampai sedepa, juga ditebari
ganggang yang menjadi pupuk bila air surut nanti. Pekerjaan yang sangat berat.
Mereka menggali lumpur rawa dengan sarap, linggis yang lebar semacam
dayung perahu, berbobot berat supaya bisa masuk kedalam lumpur dengan mudah,
inilah cara mereka untuk melatih tenaga dalam, melatih tenaga dalam pernapasan
dan pemusatan tenaga dalam mereka di pusar, disertai pemusatan
dzikirullah.
Disinilah teruji kecakapan Mpu Mada, semua
unsur unsur baik dalam masyarakat Wilwatiktapura ikut menjaga keamanan dan
ketertiban diwilayah ini. Malah murid murid senior dari perguruan Sarapwaja
secara bergilir bertugas di Wilwatiktapura secara diam diam, membantu Mpu Mada,
secara sukarela, yang jumlahnya sampai ratusan orang, mereka berkepandaian
tinggi. Dengan mudah mereka menyisipkan dirinya di masyarakat Hindu kebanyakan
dari wangsa waysia dan sudra sebagai Pedagang, sebagai pemilik komplek
persinggahan para pemikul barang semacam “karavan saray”(istilah Turki) nun di
jalan sutra ditengah gurun dan padang rumput Asia Tengah. Warung warung
kebutuhan pokok dan obat obatan, dan bergerak mengajari anak anak kaum waysia
dan sudra membaca dan menulis huruf Arab dan huruf Palawa, terutama etika Islam
dan memberantas kejahatan, dan hidup bersih, dengan secara diam diam
bekerja sama dengan Bhayangkari Praja seluruh Negara, menjadi telik sandi
sukarela, melaporkan berita dengan merpati pos. Maka selama seabad
Wilwatiktapura menjadi pelabuhan singgah dan arena jual beli antara dagangan
dari pulau pulau di Timur dan barang barang dari China dan Atas Angin, India dan
Parsi.
Suasana inilah yang mengilhami para
Dhalang wayang kulit, ratusan tahun kemudian bila menggambarkan satu Negara
yang kaya raya cukup segalanya, aman dan makmur, digambarkan bahwa kerbau sapi
di lapangan penggembalaan sore hari akan pulang sendiri sendiri, tanpa digiring
oleh penggembalanya, tidak ada pencurian ternak atau pencurian apapun.
Pertemuan Guruji Sang Dutanggira dengan Syekh Jumadil Kubro terjadi, karena kebetulan Guruji Rsi Dutanggira berkenan mengunjungi pertemuan besar kaum Bhairawa dari sekitar Wlwatiktapura di tepi Sungai Brantas yang berpasir dan sepi, yaitu di pertemuan dua sungai, Kali Brantas dan Kali Konto, dan ini adalah tempat yang dekat dengan Wilwatikapura, jadi tempat berkumpulnya kaum Bhairawa warga dari Wilwatikapura, dan tepian yang luas berpasir berbentuk cangkang penyu. Tempat ini tepat untuk pertemuan kaun Bhairawa karena pada zaman itu sepi sekali, juga gersang melulu berpasir yang dibawa oleh aliran sungai Konto, sisi barat gunung Anjasmoro.
Semingu sebelumnya dilaporkan di wilayah
itu ada perampasan dan pencurian ternak, penculikan gadis gadis desa yang
muslimah dilakukan secara misterius, yang meresahkan peduduk desa desa
sekitarnya. Merpati pos dilayangkan segera dari telik sandi diwilayah
Kertosono, diterima langsung oleh Lurah Bhayangkari Mpu Mada. biasanya
kejahatan terhadap masyarakat semacam itu dilakukan oleh golongan yang mau
menang sendiri mengandalkan kekuatannya. Mpu Mada menghubungi Asyram
Islam di Wilwatiktapura, dan kebetulan ada Pembimbing yang sangat dihormati
bertamu disana, Waliullah Syekh Jumadil Kubro, Syekh ini sudah lama bermukim di
Sedayu, di asram mbah Pancir, kelana dari Lembah Pansyir dekat Pakistan .(makanya sekarang nama tempat itu adalah Paciran.) Syekh ini linuwih,
manusia luar biasa yang bisa datang dan pergi semaunya, bisa berada dimana mana
satu saat yang perlu, dan mempunyai kehidupan wadag yang hanya melulu demi
mengamalkan rakhman dan rakhim, disamping kehidupan biasa sebagai petani.
Kepadanyalah dibisikkan satu pass word mendatangkan
satu Malaikat dari Allah, satu sandi asma agar bisa menghadirkan Malaikat
ini guna melindungi dirinya seketika, melindungi dari kekuatan apapun
yang bukan dari Allah.
Orang Hindu menamakan aji Cunda Bhairawa (
mungkin kata “cunda” yang hanya ada di sastra Jawa lama jadi asal kata
pe-cunda-ng yang artinya nengalahkan atau merendahkan) , karena kaum Bhairawa sangat
menghindari barang siapa yang memiliki ajian ini. Perlindungan yang
diberikan oleh Malaikat berlaku sebagai cermin, yang memantulkan kekuatan
magi hitam apapun yang menyerang dengan kekuatan pentulan berkali kali lipat.
Disaat rembulan mencapai bulatnya pada
tanggal limabelas bulan “pranata mangsa” (hitungan kalender petani di Jawa)
mangsa kesembilan, ratusan kaum ini menari liar setengah telanjang mabuk dan
memuaskan diri dengan makan daging binatang liar dan ternak curian, hanya
dibakar sekenanya saja, diselingi pesta minuma keras, sungguh meriah dan
menjijikkan disekeliling api unggun yang besar pemuda pemudi gila, oran tua,
orang setengah baya pejabat majapahit yang menyamarkan diri, tapi pengikut setia ilmu Bhairawa, melakukan orgy sex terbuka berserakan dimana mana,
ditengah bunyi tetabuhan gendang dan bedug menderu deru. Sang Bhismasadana
menyertai Shekh Jumadil Kubro yang berpostur tubuh seperti tokoh Semar dari
pewajangan kulit Jawa, mendadak sudah ada di tengah kalangan dekat unggun api yang
besar.
tetabuhan yang berdentang menderu
deru mendadak berhenti. Api unggun mendadak mengecil hampir padam. Sang Rsi
Dutanggira sangat murka, badannya yang hitam itu mendadak nengkilat, rambutnya
yang hitam gimbal itu berdiri berkibar kibar. Dengan suara yang melengking
diakhiri dengan bentakan sebagai geledek membuat api unggun berkobar kembali
dengan api kebiru biruan. “Makhuk apa kalian berani mengharu biru upacara kaum
Bhairawa yang lagi dipimpin oleh Datuknya ? “ Segera cemeti menyala nyala
menyambar nyambar kearah Syekh Jumadil Kubro dan sang Bismasadana. Suara
menggelegar membalikan arah sambaran cemeti disertai kobaran api menyambar Rsi
Dutanggira, mebelitnya tanpa ampun. Kobaran api cemeti melilit siapa saja yang
hadir sehingga mereka sadar dan kalang kabut mencebur sungai sambil menjerit
dan melolong. Sebentar saja tubuh Rsi Dutanggira yang hitam legam menjadi
memerah nanpak meronta ronta, masih dililit oleh api biru dari unggun
yang menyala kembali, akhirnya tubuh Rsi yang tak terhitung umurnya ini
meneteskan lelehan yang berapi api, akhirnya mengecil dan nabis.
Sunyi senyap dipinggiran Sungai,
ratusan anak buah kaum Bhairawa tenggelam di sungai, atau terbakar
menjadi abu. Rsi Dutanggira habis menjadi tetesan api yang menyala nyala sampai
habis semua.
Saat itu Syekh Jumadi Kubro bersabda
kepada Rsi Bismasadana, bahwa setiap tetesan api wadag Dutanggira ini akan
masuk menetes kedalam wadag para Nara Praja Wlwatiktapura pada ratusan tahun
kedua Wilwatiktapura, yang mereka berdua tidak akan menyaksikan. Kini
Wilwatiktapura aman tenteram tanpa gangguan kaum Bhairawa. Mereka yang
bersekutu ketahuan, mereka yang berencana membalas dendam tersapu bersih.
Sedang makin sedikit murid dari
perguruan Sarapwaja yang telah terpilih telah mewarisi pass word mendatangkan
Malaikat untuk melindungi diri dikalangan mereka, dengan sendirinya makin
sangat selektip mewariskan pengetahuannya. Pengetehuan pass word ini akhirnya
akan menjadi malapetaka dikemudain hari, ‘pass word’ ini dinamakan ‘pangilon
jiwa’, yang arti harfiahnya “kaca cermin jiwa”. Salah salah bisa
menyebabkan sikap angkuh yang tak wajar dikalangan santri, oleh karena
salah mengerti. Sampai kini hanya satu dua orang saja yang menyadari adanya
pass word ini.
Selanjutnya abad abad kekuasaan
Wilwatiktapura memasukkan dalam Undang Undangnya bahwa menggunakan magic untuk
mencelakai orang lain dianggap kejahatan yang bisa dihukum berat, dengan barang
bukti berupa boneka yang ditulisi nama orang, rerejahan yang menyebut nama
orang. Akan tetapi ilmu magic hitam tetap sulit dibuktikan.*) Lengkapnya dogeng ini di posting the 2013 blog ini, sedah tersusun 24 seri.
0 comments:
Posting Komentar