Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 23 Agustus 2017

DEMOKRATIK VERSUS AUTORITARIAN DISPOTISME

DEMOKRASI VERSUS OTORITER DISPOTIK

Memang sangat sulit untuk mengubah sifat yang dispotik dan otoriter menjadi    sikap demokratik dan  mendidik.

Masyarakat Negara ini telah dikuasai oleh kekuasaan despotic dan otoriter hingga 32 tahun. Tentu saja waktu ini sangat lama, sehingga menimbulkan efek pada setiap individu yang memegang Kekuasaan,  Lembaga yang menjalankan Kekuasaan, sipil maupun Militer, sangat parah  kejangkitan  “penyakit”  pokok,   yaitu pengetrapan kekuasaan otoritarian dan efek sampingnya,   penyalah gunaan kekuasaan   merugikan kepentingan umum.    Langsung dan yang tidak langsung.                                                                                                                       

Penyalah gunaan kekuasaan yang langsung merugikan kepentingan umum:  Dari situasi ini yang menderita paling  parah adalah masyarakat umum, rakyat, yang dibawah kekuasaannya  dalam bidang politik, yang paling parah bidang ekonomi.  Baik exsploitasi alam maupun exsploitasi perdagangan barang. Secara politis  terjadinya  the wrong men in the wrong pleces, salah urus. Sedang ekonomi menuju ke KKN, monopoli dan kertelisme, dengan manipulasi stock  barang kebutuhan. Exsploitasi alam yang ngawur, a’la Barito Pacific Bob Hasan, asal babat, asal keruk, menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki.                              Malah dijejalkan jadi "pahlawan nasional" ya ya sambil menyorot mata wibawa,mata nyalang  menyala rahang mengatup mengadu geraham, dalam diam mengunyah makna - kamu  cacing apa mau ikut becara?( di TV, JLC nya bang Karni 30/8/2017) biasaaa.....sikap yang punya Negara.

Penyalah gunaan kekuasaan yang merugikan secara tidak lansung : Pendidikan masyarakat yang amburadul, hanya mengejar jangka pendek.  Penduduk dewasa tidak terkotak kotak tapi sudah masuk satu kotak, para mudanya siap kerja srabutan, tidak peduli urusan . Negara dengan kedua golongan penyalah gunaan kekuasaan  semacam ini adalah Negara yang gagal. Biarpun diperintah oleh seribu pahlawan nasional, atas pilihannya

 Penyalahgunaan yang pertama sudah jelas nampak didepan mata, rakyat kalut dan takut karena pendukung diktator, ini menggunakan hukum terror, dan pasukan intelijen yang bisa mendengar setiap daun jatuh.  Begitu si "pahlawan nasional" ndak dibantu dollar, Bubar.                                                                          Menteri Penerangan yang bisa menyuramkan matahari, karena propaganda yang memalukan, saking kentaranya  menipu.                                                                                                                                Penyalahgunaan kekuasaan yang kedua, membiarkan pendidikan masyarakat yang amburadul menurut jalannya sendiri – sambil disodori sejarah bangsa yang sudah dirubah, menjadikan sang Despot  seharum bunga dan sebersih embun pagi,  bagai sang surya menerangi negara. Diajarkan di setiap sekolah dari Sekolah Dasar sampai  Peguruan Tinggi, Negeri maupun  Swasta. Maklum, gurunya militeris Nippon.  Sementara itu  Organisasi mahasiswa pendukung Horde Kekuatan senjata dan Organisasi monolit  dibawah satu komando, membagikan gelar gelar ilmiah segara  royal pada anggautanya.                         : Seorang Professor cukup diangkat oleh Presiden, sang despot hanya lulusan SD                         

  Kurikulum utama setiap  Pendidikan  Kader Kedinasan, setiap Kementerian. Panca Sila  yang P4 nya hanya boleh ditafsir oleh Kroni sang jendral.                                                                           Sebagai contoh . di dunia pendidikan dan Pengajaran kita  sekarang.  Kerusakan parah nampak pada gejala tawuran antar sekolahan, bullying kepada yang lemah, sangat mengukuhi  conformisme dalam segala bidang meledak menjadi tindakan  tidak toleran yang menggunakan kekerasan horde liar. Sayang, menterinya bukan  jenisnya Omar Mohtar ( google)                                                                                          Pokoknya  menindas pada yang lebih lemah dengan kekuatan. Kalok ada penindasan pasti disponsosi oleh yang lebih kuat dibelakang  layar.  Kena  apa para sponsor ada dibelakang layar ?  Ya seperti Ketua Partai sambil jadi Ketua DPR nya.   Jelas lebih menguntungkan karena bisa selalu ingkar mengelak dan berkompromi satu sama lain. Seperti sponsornya korupsi 2,5 trilliun program  e-KTP di DPR RI, sponsor dan perencananya dari beaya sampai pemenang tendernya, yang lain sudah jadi menteri yang ketahuan  over budget   tidak jadi dibayarkan 32 triliun oleh Bu Srimulyani, tahun sebelumnya embuh, padahan menterinya alim ilmiah, ngerti setinggi apa harganya duit gampang,  sekarang jadi Gupernur.  Lalu sang super fixer,  ingkar dengan mudah,  kalau perlu ya melenyapkan saksi walau  dengan sangat terselubung.                                                                                                                                   

Lebih dekat dengan sasaran tulisan ini. Di Lembaga Pendidikan Kedinasan,

 Kekuasaan  para Trainer, dan Pelatih dari mereka yang lebih senior,  para Meister  istilah tukang yang sudah menjadi Empu.  Kena apa tidak sebut Pengajar ?   LAIN SEKALI ANTARA  TRAINER,  EMPU. MEISTER  dengan  PENGAJAR ATAU PENDIDIK.                                                                        Pendidik atau Pengajar, menghasilkan manusia Terpelajar atau manusia Berpendidikan, berbudaya yang secara universal dapat menjadi teladan, member nilai tambah kepada jasa juga menguasai satu keahlian yang perlu dikembangkan dengan akal dan budi, untuk kepentingan masyarakat.                                                                      Sedangkan Trainer, Pelatih, Meister, Empu menghasikan entitas  yang trampil dan recourceful untuk menjalankan satu tugas. Tentu saja yang mampu menciptakan nilai tambah untuk kepentingan Kekuasaan, dan untuk memperoleh imbalan materi  para lulusannya, tidak diragukan. Begitulah posisi Trainer, Pelatih, Meister, Empu menghasilkan individu yang handal dalam suatu tugas mengatur warga negara. Seperti Gayus Tambunan, yang lulus dari Lembaga Pendidikan kementerian Keuangan, STAN yang seleksi   sangat ketat hanya bagi yang berbakat.    Trainer, Empu, Meister, sebagai pelatih Sekolah Tinggi Kedinasan ini, disatu sisi harus mencetak kader yang ahli dan trampil, berdedikasi tinggi kepada tugasnya, dengan standard attititude yng tinggi, juga harus dididik menjadi magang pada Penguasa di Departemen masing masing, yang sayangnya masih dalam alam orde otoriter yang sangat koruptive dan menjilat.  Masih dilaksanakan dengan bersemangat, Lupa bahwa alam kekuasaan sudah direformasi, berganti dengan alam demokrasi dan keterbukaan, mereka harus mendidik Tarunanya mengemban amanat Reformasi.         

  1. Secetek itukah attirude mereka sang Empu, Meister dan Trainer?.
    Lha sampai sekarang, entah karena apa, kok masih terjadi penerapan otoriter dari Direktur, Pengajar, Trainer sampai siswa senior, nun di Jatinangor, sampai menyiksa memukuli siswanya yang dianggap salah sampai mati. Dan kejadian itu bukan untuk yang pertama kali, sebab di ujung tersembunyi dikomplek APDN masih ada puluhan kuburan. Otoritas sebagai penyelenggara membentuk manusia, jadi sarang penyiksa yang menghasilkan camat di Pasirian membawahi Lurah Tanjung Awar awar, Pembunuh Petani pak Kancil, ditangan horde kroninya. Juga di STIP jakarta, horde senior memukul ramai ramai sampai mati yuniornya yang sudah dipojokkan oleh kelompoknya, sebab suatu kesalahan waktu latihan marching band. Dia dilatih untuk jadi manusia nautika laut dan segala perangkatnya, bukan sebagai penari balet, diapun ndak perlu dipukuli. Sampai sekarang segala praktek menunjukkan otoritarian kekuasaan despotik masih dilaksanakan dengan sembunyi sembunyi di pelosok tanah air ini sampai di Gunung Lawu Karang Anyar Solo. Sampai di pelosok Kabupaten Bandung, tersembunyi dari mata publik dan pers. Kalau satu upaya yang yang sifatnya mengancam saja, masak disembunyikan sampai di Pelosok jauh jauh di desa Kabupaten Bandung, padahal yang ada disana, hanya  gang gang semi penjahat saja yang melakukan, bukan pendidikan yang mengetengahkan transparancy dari masyarakat demokrasi. Apa gerangan yang anda ajarkan ? Begitu nikmatnya kah menggunaan kekuasaan otoriter ini ?
    Sampai di praktekkan pada bagian terlemah dari masyarakat kita yang masih miskin, yaitu di Pendidikan Kedinasan semua Kementerian.
    Karena rangkaian testnya yang harus menerima hanya dibawah 10% Peminat ? Kalaupun peminat harus bayar itu semua dari kantong sendiri, posisi Lembaga Pemberi Certificates tenaga kerja terlatih dari kementerian ini, berapapun semester program anda, apalagi ongkosnya masih jauh dari kemampuan Masyarakat. Jadi hargailah jerih payah orang tua siswa dan siswanya sendiri, wajib diimbangi dengan trasparancy dan demokrasi. Apa hubungannya antara nautica sekarang sudah ada GPS, ramalan badai dan ramalan gempa, mesin mesin turbin uap super panas, pelabuhan container super canggih, penggemar berat marcing band sudah repot mengatur pembelaan di Pengadilan, terus untuk apa marching band yang mengorbankan jiwa, pikir, ini horde apa ?  Mencetak siswa, emangnya Dalai Lama digunung Himalaya, kayak ilmunya ilmu apa.  Kalok Dirjennya kena OTT terima pungli ratusan miliar, mau bicara apa ?  Semua anak buahnya OTM (Operasi Tutup Mulut) itukan hasilnya ?                                                 
  2. Jiwa warisan orde otoritarian despotis ya masih dominan tanpa check and balance dari Kementeriannya, kami bisa maklum. Menteri yang ngurusi ini ya masih sibuk memberi remisi pada panjahat, memberi remisi pada Gayus Tembunan, Akil mohtar, Suryadharma Ali, belum sempat memelototi praktek pencetakan zombie Kementerian. Bila perlu latihan kemiliteran, serahkan saja pada ahlinya, Kopasus, ato Marinir, disana para Gatotkaca tidak perlu mati sebelum waktunya. 
  3. Tapi belum adanya perubahan yang seharusnya, yaitu pembentukan manusia unggul trampil, handal dan berkemauan baik terhadap bangsanya, harus membentuk manusia demokratik dan Panca Silais, mengabdi pada kepentingan bangsanya, ditampakkan secara transparan, apa kesulitannya, wong orang tuanya yang membeayai sepenuhnya. Mulai dengan Dirjennya, sebab Menterinya sudah ditangan pak jokowi, pengemban  revolusi mental.
    O ternyata, dimana Kementrian yang penuh pungli dan KKN, pendidikan kadernya di lembaga Pendidikan Kedinasannya pasti sadis dengan menekankan otoritarian atasannya, supaya takut bertanya mengenai kejanggalan kejanggalan, terbungkam oleh disiplin.
    Lha itu, di Direktorat Jendral Hubla ? (publikasi TV 25/8/2017), masih mnta maaf pada publik, padaha ciritnya ada dimana mana, membuat suran Sekolah Tinggi Ilmu, Kedinasan.
    kader kadernya yang lulusan STIP Jakarta, Ujung pandang, Semarang, Cirebon, Papua, dimana mana penuh dengan pendidikan disiplin dengan kekerasan, tidak bakal ditulis disini, apabila belum sampai ke ranah publik kemarin kemarin, kayak di APDN Jatinangor, sesudah kena OTT Despotnya, ya pasti sembuh dari kebutaan hatinya. tapi bukan bulan kemarin  masih nekad.... toh menterinya tidak tahu.  
    Kuwalat orang tua yang penuh tirakat. kena OTT. baru nanti kapok                                   Yang mestinya, harusnya, menjadi pelopor Demokrasi dengan mendidik dan mengajar generasi muda kita menjadi manusia yang unggul dengan jiwa Panca Sila ? *) 



 

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More