SISTIM PENJAJAHAN ZAMAN PASKA RE NAISANCE
Penjajahan satu species terhadap species lain jamak di dunia flora dan fauna di dunia kita ini. Di masyarakat manusia ini juga sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Upaya yang sama dari si penjajah terhadap si terjajah, sejak pertama, yaitu mendapatkan sifat menyerah terhadap dominasi yang menang, dalam menikmati lingkungan hidup dimana keduanya bersama sama hidup. Yang enak buat penjajah yang ndak enak buat si terjajah. Itu saja. Tentu saja penyerahan ini didapat semula dengan kekerasan, kemudian dengan pemeliharaan statusquo , menurut Hukum KOLONIAL, seperti perlindungan terhadap monopoli dan kartel penjajah dan kroninya. PERSIS SEPERTI BATAS STATUSQUO ANTARA PETANI DAN SAPINYA ATAU HEWAN PIARAANNYA YANG LAIN. Itulah kenyataan kejahatan penjajahan di dunia sekarang. Sampai pada tingkat yang paling exstreem, yaitu perlakuan terhadap sapi di Jepang di wilayah Kobe. Si sapi dipiara begitu mewah dengan dipijat secara periodik, diberi makan sangat bergizi membangkitkan selera sapi, demi dagingnya untuk jadi hidangan steak thok.
Lha kok bangsa ini yang pemelihara sapi Kobe, juga melenyapkan satu existensi identitas budaya dari bangsa lain secara kekuatan politik dan fisik maupun budaya terhadap bangsa lain, yang sama sama mendiami kepulauan Jepang, bangsa Ainu, yang hanya dalam dua generasi sudah terintegrasi jadi bangsa Jepang Raya, waktu jepang dibawah rezim militerisme, tanpa sisa secuilpun, kecuali legenda dari mulut ke mulut, yang dengan cepat bungkam, karena tidak ada alasan ekonominya. Itu yang disediakan buat bangsa Asia lain yang dia incar untuk dijajah, sayangnya sudah berjalan 3 tahun 1942-1945 – ribuan inteligensia cetakan Hindia Belanda sudah dilenyapkan, diganti dengan pendidikan horde militeris, yang membuat kejahatan masyarakat bekas jajahan kacau sangat lama kemudian, oleh murid murid ideologi militeris Nippon ini, juga membunuh seniman ludruk Cak Durasim dari Jombang. Tapi lain sekali dengan sistim penjajahan antar ras manusia dilain tempat, terutama sesudah zaman renaissance/ zaman kebangkitan fikiran manusia mengatasi takhayul dan berfikir rasional.
Di Europa lebih cepat sedikit dari di Asia tenggara, terutama dalam menenun kain layar perahu. Di Europa menggunakan rumput flax/linen – Linum sativum dan wool, sedang di tropic menggunakan serat tanaman lain –tanaman tropik basah dari pisang abaca, dari serat agave, rami, kenaf, dan rosela, dengan hasil tenun melainkan untuk decorative saja. Di tropika kering serat kapas bisa sangat panjang dan kuat ( di Mesir, India dan pulau Barbados ) Sedang di iklim dingin untuk mempertahankan hidup, penghangat tubuh, tenda, bersama dengan kulit berbulu dan wool biri biri. Hanya persoalan menenun kain kayar ini, maka perkembangan perahu layar bisa lain antara wilayah tropik dan wilayah sub tropik. Sedangkan sesama iklim sub tropic, di china bisa membuat layar yang ringan dan besar, tidak menyerap air, tapi peleburan besi tidak sampai ke pencetakan “cannon” dengan peluru pejal dari batu atau besi tuang, sampai abad ke 15, sedang jung jung china tidak dilengkapi dengan sederet cannon, sampai abad itu. Cannon yang beratnya bisa dua tiga ton ini bisa sampai ratusan di -broadside-nya (sisi sisi dinding lambung perahu layar tipe galleon Spanyol atau Portugis). Besar kapal kapal mereka tidak dibatasi pada kemampuan luas layarnya, karena layar kanvas dari linen ringan dan kuat sehingga tiang agung layar bisa tinggi tanpa mengganggu stabilitasnya walau dalam keadaan basah, sedangkan jung china begitu juga, lebar layarnya bisa dikembangkan dengan batangan bamboo, sehingga angin lemahpun bisa ditangkap daya dorongnya, waktu dipasang menyerong. Tapi apa lacur keramik yang dibuat di china tidak sampai ke pencetakan batu bata tahan api untuk peleburan logam logam, terutama besi dan baja, melainkan bejana bejana besar semacam vase raksasa dengan tungku terbuka dibawah, sehingga kapasitas melebur logam hanya cukup buat alat rumah tangga bukan untuk mencetak senjata cannon. Termasuk di Jepang yang kesohor dengan katana-nya. Aneh. Jadi selalu ada perang laut yang tidak seimbang caliber cannon-nya, sedangkan tidak ada benteng atu kubu kubu ditengan laut kecualai menuvrebilitas kapalnya nya. Maka dimulailah era penjajahan bangsa Europa terhadap bangsa bangsa lain di dunia, dengan metoda pengetahuan modern. Termasuk penyesatan sejarah bangsa yang terjajah. SEMUA KEJADIAN SEJARAH UMAT MANUSIA SELALU DIRANGSANG DENGAN PERUBAHAN ATAU KEUNGGULAN TEKNOLOGI, YANG SIFAT NYA MATERI. BUKAN BERFSIFAT ADHIKODRATI LENGKAP DENGAN TEKNOLOGINYA DALAM JANGKA SEJARAH YANG PENDEK, PULUHAN ABAD. SEDANGKAN TEKNOLOGI MENGOLAH SIFAT MANUSIA, JUGA DALAM BENTUK MASYARAKATNYA AKAN BERPERAN LEBIH BESAR, TAPI DENGAN JANGKA SANGAT PANJANG, HARUS DISERTAI DENGAN PERKEMBANGAN KECERDASAN BUKAN SAJA OTAKNYA TAPI JUGA DORONGAN RASANYA. MESKIPUN BANYAK PEMIKIR YANG BERKESIMPULAN BAHWA RASA SETIAP INIDVIDU TERGANTUNG DARI KEDAAN JIWA, SENANG DAN KECEWA. TAPI ADA PELAJARAN YANG MENGUPAYAKAN SIFAT MASYARAKAT TIDAK MUDAH TERGONCANG. DALAM BAHASA JAWA “MENEB” ( SEPERTI KEADAAN AIR DALAM WADAH YANG TENANG, MENGENDAPKAN KOTORAN) YANG INI DALAM MASYARAKAT MELAYU SEPERTI WATAK PETANI DI RANAH PAGARRUYUNG DAN SUMATRA BARAT, SEPERTI MALAI PADI BERNAS, DIBANDING DENGAN MASYARAKAT PENAKIK KARET DI JAMBI SUMATRA TIMUR DAN UTARA, TANAH BATAK YANG EMOSIONAL, DANGKAL, TANPA PENAKAR, DENGAN DAYA BELI YANG TINGGI DARI HARGA KARET, BERPONDOK TERPENCAR PENCAR DIHUTAN RIMBA, MEREKA MEMAKAI LEMARI ES SEBAGAI LEMARI PAKAIAN DI ABAD YANG LALU. SEJARAH PERILAKU MASYARAKATNYA PASTI BERBEDA.
Jadi, perubahan dari masyarakat atau agama
sebelumnya, yang berlandaskan produktivitas sawah berpengairan cara subak dengan kemiringan lereng gunung yang
diciptakan oleh para brahmana dan ksatrya,
memang sudah punya dasar kuat tertanam. oleh para wali tanah jawa pasti
terlebih dahulu mengenalkan teknologi padi sawah model lain yang lebih banyak hasilnya untuk mereka penggarapnya, bila perlu jadi milik mereka, petani yang ikut
bersama membangun sawah rawa/pasang
surut, sama produktivitas panennya dua
kali setahun. masih ditambah pupuk
ganggang pada musim banjir, ditambah
dengan sistim transportasi perahu
berlambung nyaris datar dari anyaman bambu di olesi malam tawon atau adukan nafta dan lempung atau kapur, supaya draftnya beberapa jengkal saja sehingga
bisa didorong dengan muatan padinya beberapa koyan sepanjang saluran dirawa
rawa sampai kali besar.( posting di
blog idesubagyo,blogspot.com banyak postingan mengenai ini, antara lain di Matahari terbit di Wilwatiktapura
postingan th 2013 ada 24 seri- ini promosi
untuk baca gratis) . Lho yang ini para jumhur ulama aswaja harus tahu, dan
mengembangkan bukti materinya, artefaknya, bukan dari kharomah melulu tapi PARA WALI menciptakan sarana perdagangan yang lebih maju ( huruf arab gundul,angka huruf Arab untuk neraca
lajur- karena agama sebelumnya melarang kaum bawah belajar membaca kitab sucinya- hukumannya berat), sarana pertanian yang lebih baik. Ini
juga kerjanya para Wali, malah ada yang digelari Sunan Kalijaga – kerjanya mengukur dasar rawa dan kali untuk mengarahkan aliran kanal
pematus rawa dan menurunkan permukaan air dari rawa rawa, sehingga bisa dipetak
petak ditanam padi kayak di Mesopotamia. (alat optik protipe todolit yang ditemukan orang Parsi disempurnkana olah ulama islam Al Haitham)
Persawahan dari sistim saluran pematus untuk mengendalikan permukaan air dirawa rawa sekitar Demak Bintoro mendangkal secara total karena endapan vulcanik letusan gunung berapi, sesudah Kasultanan Islam Demak Bintoro diperintah oleh tiga Sultan. Sultan yang ke empat Sutowijoyo memindah Ibu Kota Kerajaan ke Pajang, dengan sistim pemgairan sawah dari umbul Cokro, dan umbul atau sendang yang lain dilembah antara Gunung Merapi Merbabu dan Gunung Lawu, [pegunungan Kidul dan pegunungan Kendeng, yang merupakan dataran rendah semacam wajan, jadi banyak mengandung sumber air. cukup untuk mengairi sawah 1500 Ha, Mngkin saat itu dipandang jauh lebih mudah daripada memperbaiki sistim saluran pematusan di Demak Bintoro yang mendangkal. secara menyeluruh, sama dengan membuat sistim saluran pematus baru. Sedangkan yang dibuat di muara Bengawan Solo, di Pamotan ( Sekarang Lamongan) pada era Giri Kedaton, malah masih hingga sekarang menjadi sawah-tambak bandeng, ( ditengah petak sawah ditanam padi, disekeliling petak lebih dalam untuk memelihara ikan bandeng - akibat dari pendangkalan oleh aliran lumpur dari bengawan Solo) dan bertambah luas ke timur sampai ke gosong gosong lumpur di selat Madura, utara Gresik, daerah Manyar*)
Dongenya ada di blog ini postingan th 2013 - "Matahari Terbit di Wilwatiktapura" ada 24 seri.
Persawahan dari sistim saluran pematus untuk mengendalikan permukaan air dirawa rawa sekitar Demak Bintoro mendangkal secara total karena endapan vulcanik letusan gunung berapi, sesudah Kasultanan Islam Demak Bintoro diperintah oleh tiga Sultan. Sultan yang ke empat Sutowijoyo memindah Ibu Kota Kerajaan ke Pajang, dengan sistim pemgairan sawah dari umbul Cokro, dan umbul atau sendang yang lain dilembah antara Gunung Merapi Merbabu dan Gunung Lawu, [pegunungan Kidul dan pegunungan Kendeng, yang merupakan dataran rendah semacam wajan, jadi banyak mengandung sumber air. cukup untuk mengairi sawah 1500 Ha, Mngkin saat itu dipandang jauh lebih mudah daripada memperbaiki sistim saluran pematusan di Demak Bintoro yang mendangkal. secara menyeluruh, sama dengan membuat sistim saluran pematus baru. Sedangkan yang dibuat di muara Bengawan Solo, di Pamotan ( Sekarang Lamongan) pada era Giri Kedaton, malah masih hingga sekarang menjadi sawah-tambak bandeng, ( ditengah petak sawah ditanam padi, disekeliling petak lebih dalam untuk memelihara ikan bandeng - akibat dari pendangkalan oleh aliran lumpur dari bengawan Solo) dan bertambah luas ke timur sampai ke gosong gosong lumpur di selat Madura, utara Gresik, daerah Manyar*)
Dongenya ada di blog ini postingan th 2013 - "Matahari Terbit di Wilwatiktapura" ada 24 seri.
0 comments:
Posting Komentar