Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 17 April 2018

VERSI DI EDIT SABDO PALON NAYA GENGGONG

VERSI DI EDIT, SABDO PALON DAN NAYA GENGGONG

Legenda mengenai dua sosok Punakawan (mungkin sekarang asisten pribadi) dari Baginda Raja Majapahit yang terakhir Baginda Prabhu Brawijaya V, yaitu Sabda Palon dan Naya Genggong.
Nama yang aneh ini nampaknya khusus untuk nama kedua tokoh legenda, tokoh mitos, karena nama ini punya arti yang relevan dengan situasi zaman itu, zaman perubahan. 
Ada yang menerima sosok Sabdo Palon dan Naya Genggong ini sebagai tokoh mistis yang misterius tapi dianggap ada sosoknya.
Amat sedikit yang menerima sebagai tokoh sengaja dikarang, entah berapa lama sesudah kerajaan Majapahit runtuh, kedua tokoh ini sebenarnya adalah 'sanepan' atau semiotika penanda yang melambangkan ke-engganan  menerima  beberapa tata cara Agama Islam yang diajarkan secara dangkal dan disebarkan lewat para Da’i, para Kiai, yang mengajarkan pola hidup agama Islam, dan tata cara  yang bersifat duniawi yang mudah nampak saja,  sedang yang bersifat bathiniah kurang diperhatikan pada waktu itu.

Sabda Palon, sabda berarti “kata-kata” bisa juga “ pesan” atau “suara” sedangkan Palon berarti landasan besi pejal untuk menempa besi pijar oleh Tukang Besi atau Pandai besi dalam bahasa Inggris “anvil”, yang dengan sendirinya bersuara keras bertalu-talu.
Jadi  dia adalah Entitas yang bersuara keras dan bertalu-talu, menyatakan ketidak senangannya dengan para Da’i dan para Pengajar  yang kurang terlatih itu.

Naya Genggong, kata “Naya” juga sering berganti ucapan dengan kata “Nara” seperti dalam kata “Nara Praja” -  “Nara Sumber” berarti orang yang menjabat, atau jadi sumber keterangan.
Jadi Nara atau Naya berarti juga “orang yang menyandang gelar”, atau julukan (dalam kata Narapidana)
Genggong, adalah alat musik kuno, terdiri dari bilah tipis logam bisa dari bilah tipis bambu atau kayu, merupakan bilah-bilah, paling panjang sejengkal digigit erat, digetarkan dengan tangan si pemain alat ini, dibantu dengan gigitan di mulut dan  bentuk bibir, mulut dan pipi,  rongga mulut diubah-ubah guna  mendapat resonansi getaran nada bilah-bilah yang digigit tersebut.
Jelas di sini Naya Genggong adalah ibarat seorang pemain musik dengan alat genggong, jadi suaranya pelan dan audience-nya hanya terbatas orang yang dekat sekali dengan si pemain genggong, mungkin malah untuk didengar sendiri oleh pemainnya saja.
Ini juga sejenis expresi ketidak senangan yang tersembunyi, di expresikan sebagai “kampanye bisik”.
Yang sulit sekali ditangkis dengan sanggahan atau dengan klarifikasi.

Lho kok sampai ada sanggahan dari penyanggah yang mampu membuat tokoh legenda atau tokoh mitos untuk menjadi alat,  tokoh mitos seperti Sabda Palon dan Naya Genggong ?
Karena kritik atau ketidak sesuaian tidak bisa diexpresikan secara terbuka akan menimbulkan murka, tantrum, dan hysteria yang tidak cocok dengan tradisi kaum Brahmana dan Biksu atau sastrawan ksatrya Priyayi jauh sesudah Majapahit runtuh, yang sangat terpelajar dan terlatih dalam mengendalikan diri. Mungkin si Penulis naskah kritik ini juga dari kalangan Islam yang lain approach dakwahnya.
Semua mereka punya motif untuk mengarang tokoh dari dunia mitos ini.

Majapahit telah menciptakan masyarakat yang teratur, hanya keteraturan ini bersumber dari sistem irigasi (pengairan) sawah dengan lereng-lereng landai yang jauh dari pasar export beras, pelabuhan-pelabuhan dengan kapal-kapal besar, untuk memuat beras.
Namun pelabuhan “export commodities” yang diburu para nakhoda pelayaran besar adalah rempah-rempah dan hasil hutan yang sudah sangat berhasil dijamin keberadaan stock pilingnya di pelabuhan-pelabuhan sungai Brantas di bawah jaminan keamanan Majapahit, dari seluruh Nusantara.

Sebaliknya kekuatan Islam didukung oleh pusat baru pengadaan beras, kayu jati, dari wilayah yang dibangun di rawa-rawa raksasa selatan Gunung Muria  (meniru Mesopotamia, dan kayu jati yang “easy available” dari  lereng utara Gunung Muria), bila ditebang langsung diapungkan oleh rakit pelampung di pesisir laut Jawa sedikit ke utara Demak Bintoro yang segera jadi pusat perdagangan yang bisa mengalahkan semua potensi ekonomi Majapahit yang di lereng Komplek Pegunungan Arjuno-Anjasmoro, lereng Semeru di Lamajang, dan lereng pegunungan Hyang di Probolinggo dan di Situbondo dan Blambangan, pegunungan Ijen, dijadikan satu. cuma ngngkutnya yang sangat sulit, dengan dipikul atau dmuat ternak beban bukan gerobak karena jalan yang diperkeras dan jembatan masih sangat kangka.
Pembangunan kekuatan ekonomi yang baru ini tidak bisa tidak membuat perdagangan di pusat-pusat perdagangan pelabuhan Majapahit suram. Membawa runtuh seluruh kerajaan Hindu Jawa itu.

Tidak demikian dengan pusat pusat kebudayaan Hindu Jawa dan Budhisme di daerah pedalaman dan yang ditunjang oleh Ibu Kota Kerajaan dan Ashram-Ashram para Maharshi dan para Mahabikhu dan Bikhuni.
Hindhuisme Jawa dan Budhisme di Majapahit telah mampu melahirkan masyarakat terorganisasi dengan baik, teratur menurut azas-azas yang bisa diterima terutama oleh para Saudagar dari seluruh penjuru mata angin. 
Mereka cukup punya motif untuk mengarang tokoh Sabdo Palon dan kawannya Naya Genggong, anehnya naskah ini tidak ada tersimpan di Balai Kirtya (Perpustakaan museum lontar dan naskah kuno) di Singaraja. Meskipun Bali adalah tempat pengungsian Kekuasaan Majapahit.
Jadi mestinya naskah-naskah kuno seperti 'Serat Darmogandhul dan Gatoloco" yang mengandung dialog (fiktif) antara Brawijaya V yang mau menerima Islam dan Naya Genggong dan Sabdo Palon yang skeptis terhadap tata cara yang berasal dari kebudayaan Arab, begitu pandangan mereka.Buku ini ada, seperti zaman yang lalu, beredar dengan cara diturun dengan tulisan tangan. Sesudah ada percetakan baru dicetak pada zaman penjajahan, antara ada dan tidak ada, sesudah kemerdekaan, menurut pemerintahan yang berkuasa. 
Tentulah pada awal penyebaran Islam di Majapahit, mereka yang skeptis yang menggemari daging (dari asal daging yang tidak halal menurut Islam) dan mengagumi tari tarian adat gadis-gadis a’la Hindu Jawa  di Pura dan Candi mengenakan kain batik atau songket dengan decolette terbuka di bagian atas, juga  menumpulkan segregasi antar gender di sawah-sawah, di mana laki perempuan bekerja sama berbasah- basah dan memfungsikan Dewi Sri secara maximal,  beda dengan yang di India, Dewi Sri mereka yang selalu baik, sedangkan yang di India nganggur.
Mereka pikir mereka telah menciptakan kehidupan masyarakat yang pantas untuk dihidupi, meskipun tidak ada tangan yang harus dipotong, milik seorang  pencuri, hukuman a’la  Islam.

Sebaliknya dalam  pola hidup Islam mengenai gender, mengenai waris, terhadap anak laki-laki dan anak perempuan, mengenai pensiunnya Dewi Sri, yang dikukuhkan dengan akidah, membuat mereka gerah.
Dan ini mungkin menjadi motief yang kuat untuk menyindir Islam yang berkembang di  pulau Jawa.
Mereka juga punya motief untuk mengarang tokoh fiksi Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Menurut Sejarawan  Profesor Doktor Slamet Mulyana :
Islam mashab Hanafi yang berkembang di Jawa, dibawa oleh para Mubaligh dari Yunan China dan sebelumnya dari Parsi dan Asia Tengah ditengarai mulai abad ke 11 Masehi, jauh sebelum mashab Syafei dari Mesir dan Jazeera Arab, dengan nama-nama yang  tidak biasa di wilayah masyhab Syafei, seperti Syekh Jumadil Qubro, Syekh As Samarkandy Satmata (mungkin Satam Atta ?) telah meletakkan dasar syi’ar  Islam secara hati hati,  menyesuaikan budaya setempat yang tidak sangat bertentangan dengan sunnah Islam (akulturasi).

Saya menandai :
Budaya setempat yang masih Hindu Jawa dan Budha antara lain,  upacara “Sradha” yaitu memuja leluhur dijadikan upacara  “Nyadran” sebelum bulan Ramadhlan dengan do’a yang lazim dalam Islam di kuburan Islam. Upacara Bersih Desa, yaitu selamatan di sumber-sumber dan pohon pohon besar masih dilakukan dengan do’a-do’a dari ayat-ayat suci Al Qur’an, yang sama sekali ndak pernah ada dalam Islam, masih diteruskan.
Begitu juga upacara “petik laut” dikalangan nelayan.
Selanjutnya oleh Wali Sanga, pendiri sentra sentra perguruan Islam di pantai utara Jawa dan kerajaan Demak Binoro, masih dari Junan China, pada abad ke 13 dan 14 mendirikan sentra Islam sekaligus kekuatan ekonomi yang baru yaitu sumber beras yang melimpah, dengan angkutan yang gampang lewat kanal-kanal ke pelabuhan Jepara untuk export. Jepara dan Gresik.
 Walau demikian, di wilayah Kudus, kira kira  50 km dari Demak, orang Islam tidak mengkonsumsi daging sapi, karena Sapi adalah binatang suci dari orang Hindu Jawa, agar tidak terjadi saling singgung perasaan  dengan masyarakat Hindu Jawa di sana, yang tidak penting untuk syi’ar Islam selanjutnya.
Lagu dan gending Jawa oleh para Wali dipakai untuk syi’ar Islam sekaligus legenda dari Mahabharata yang diberi nafas Islami beserta wayangnya disempurnakan oleh para Wali.
Hasilnya,  Islam dipeluk oleh seluruh penduduk Jawa kala itu.
Tandanya, tidak ada wanita yang telanjang dada, tidak ada orang yang minum dan membuat arak beras, orang desa-desa tidak lagi memelihara babi, dan semua anak laki-laki dikhitan. Di seluruh  Tanah Jawa.
 Menurut sejarawan Pofesor Doktor Slamet Mulyana : Bahwa sesudah ada kerajaan Demak Bintoro mulai ada pemikiran mashab Syafei, seperti halnya di Sumatra Kerajaan Pasai dan Sumatra Barat, yang semula menggunakan patokan syi’ar mashab Hanafi yang Syi’ah dari Hasan Fansuri digantikan dengan mashab Syafe’i yang Sunni oleh Nurruddin Ar Raniri atas desakan mubaligh dari wangsa Mamluk dikirim dari Mesir, yang pengikut masyhab Syafei dari Mesir, syekh Sulaiman, setelah Penguasa terdahulu bermasyhab Hanafi aliran Fatimiah runtuh.

Selanjutnya Profesor Doktor Slamet Mulyana mengulas di buku yang sama :
Beberapa ratus tahun sesudah dibersihkannya mashab Hanafi yang beraliran Syi' ah dan digantikan dengan aliran Sunni, Seorang sosok Ibn Saud, dari Jazeera Arabia jang merupakan pengagum dari pemikiran Sunni a’la Wahabiah memurnikan sunnah Islamiah secara lugas, dengan jihad berkembang di Seluruh wilayah anti Penjajahan Turki yang bermashab Hanafi, dimenangkan oleh Ibn Saud secara telak.  Gema gerakan Wahabi ini mempengaruhi para Ulama Islam di Pulau Jawa pada akhir abad 18. higga sekarang.
 Kemungkinan besar kedua tokoh legenda ini Sabdo Palon dan Naya Genggong diciptakan pada waktu yang sama dengan berkembangnya mashab Syafei aliran Wahabi, yang  fundamentalist dan lugas di lokasi lokasi pengembangan Islam di Nusantara, tapi masih kurang mendalam pengertiannya di bidang bathiniah, maklum.

Sayangnya waktu tidak berpihak pada mereka, karena akhir abad ke 18 merupakan  abad renaissance dan lahirnya industrialisasi dunia Barat, yang siap membongkar paradigma lama, temasuk sikap otoritarian dibidang pemikiran dan permerintahan. Meskipun  didalam banyak hal Islam menunjukkan jalan populis dan egalitatarian misalnya dalam sholat berjamaah di masjid, secara teoritis semua orang muslim yang sehat akalnya dan berilmu agama Islam, boleh mengimami sholat berjamaah itu, kok pemikir Islam tidak berjalan seiring dengan pemikiran renaissance dengan industrialisasinya.
Pada dasarnya sulit membedakan adat istadat Arab yang otoritarian  dan otomatis terikut  juga dalam sunnah Islamiah. Sebaliknya  trend renaissance dunia Barat yang democratic, mamukau Dunia. Sehingga akhir abad ke 19 sampai akhir abad ke 20, ditandai dengan demokratisasi.
Dunia Arab dengan sisa-sisa adat autoritarian kuno dari suku suku penghuni padang pasir yang merupakan patriarch asli,  sudah tak dikenal dimana-mana di Dunia ini.

Demokrasi, bisa menelorkan Pemimpin dengan mengantongi suara hanya 51 persen, dari pemilihan, tidak langsung menyertai cup d’etat, sedangkan yang tidak jadi pemimpin dapat suara 49 persen, atau kurang, tidak ada yang mensabot tujuan Nasionalnya, asal ada jalan pergantian penguasa secara corrective, sesudah masa jabatan pimpinan berakhir, dan ini secara gentlemen ditaati. 
Di dnia Arab, ternyata si pemenang yang mengantongi suara sehanyak 51 persen tetap bertahan berkuasa hingga 40 tahun, adat istiadat padang pasir wahabi maupun bukan tidak memberikan fatwa apa-apa, paling kutang ya meneladani Abu Dzar.
Baru setelah hampir 40 tahun berkuasa rakyat disulut kemarahannya dan melakukan pemberontakan bersenyata dari Negara Adhi Daya yang terang terangan membela kepentingan minyak buminya.
Rakyat yang 51 persen pemilih si Despot di Middle East kurang lebih 40 yahun  lalu mati-matian berperang dengan si penyanggah yang 49 persen, itu dulu, sekarang tidak ada yang tahu, Mungkin sudah 90 persen, makanya perlu legowo pemilu lagi, malah kekeh ngotot kayak di Mesir, dan Libya, mungkin juga di Suriah - sulitnya disana puak dan suku masih sangat egois, diperkuat dengan ketaatan fanatsme faksi ajaran agama tidak mengerti perlunya ada kepenntingan Nasional.
Fatwa agar adat istiadat dunia Arab yang “adhi luhung” untuk  menghentikan perang saling bantai, tidak mengatakan apa-apa. Kita lihat di TV mereka berperang mati-matian hingga ludas bersama.
Dari Islam, yang dipeluk penduduk mereka hingga 99 persen, dari aliran sunni dari aliran syi’ah dari mashab apapun, terpana diam, tidak memberikan jalan yang sesuai dengan pikiran yang rasional, apalagi kepentingan nasional. Tidak ada fatwa agar saling bunuh dengan senyata caliber besar ini berhenti, apa menunggu hingga kedua belah pihak habis ?. Sekarang malah Amerika dan Rusia saling mengirim roket jarak menengah, yang sama dengan melepas babi di pasar mereka - kan haram ?.

Lha disini, upaya untuk mengembangkan adat istiadat Islami, dijalankan dengan semangat injak gas penuh, tanpa mawas diri, menyelaraskan sunnah melepaskan dari adat setempat,  berprilaku dengan adat istiadat padang pasir, seolah-olah tanpa ada pemikiran lain. Hasilnya saling serbu dengan batu dan golok, pembakaran rumah ibadah dan rumah tinggal, kan mudah diganti dengan senjata caliber besar bila ada kesempatan ?
Sunnah Rasulullah SAW itu sejatinya adalah teladan yang luhur rokhnaiah dan jasmaniah, tapi bukan adat istiadat  Arab yang terpilin dalam jerat adat istiadat jahiliyah yang hanya menyangkut hal jasmaniah, yang ternyata membawa bangsa Arab ke jurang kehancuran, karena sunnah  dari sisi rokhaniah dilupakan.

Lima ratus tahun setelah Sabda Palon dan Naya Genggong menghilang, mereka berdua akan kembali dengan melaksanakan kutukannya,  bahwa perusak adat istiadat tanah Jawa a’la Majapahit dengan azas kebersamaan dan saling menghargai  antar umat beragama, sangat ditaati. Bila fihak luar sudah sangat takut dengan fatwa hukuman mati kayak di Timur Tengah, ganti cari sasaran dari fihak sendiri, siapa saja mengkritik conformisme yang tidak rasional dianggap menista seluruh agamanya.
 Kutukan ini benar terjadi, sekarang malah di dunia Arab, dimana terjadi saling bunuh besar-besaran yang tiada kunjung selesai gara gara diadu domba, memperebutkan kekuasaan oleh fihak yang tidak bertanggung jawab, tanpa bisa apa apa, sunni atau syi’ah, dari mashab apa saja. Hanya terpana, hanyut oleh hati  hangkara. Bila masih terus begitu, ya jangan ngotot, sambil mata melotot, sembari ngajari orang dengan galaknya. (*)


Buku acuan karangan  : Prof. Dr. Slamet Mulyana
                         “Runtuhnya keerajaan Hindu Jawa dan timbulnya kerajaan kerajaan Islam di Nusantara”
                           Penerbit LKIS Jogya.



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More