VERSI DI EDIT, SABDO PALON DAN NAYA
GENGGONG
Legenda mengenai dua sosok Punakawan
(mungkin sekarang asisten pribadi) dari Baginda Raja Majapahit yang terakhir
Baginda Prabhu Brawijaya V, yaitu Sabda Palon dan Naya Genggong.
Nama yang aneh ini nampaknya khusus untuk
nama kedua tokoh legenda, tokoh mitos, karena nama ini punya arti yang relevan
dengan situasi zaman itu, zaman perubahan.
Ada yang menerima sosok Sabdo Palon dan
Naya Genggong ini sebagai tokoh mistis yang misterius tapi dianggap ada
sosoknya.
Amat sedikit yang menerima sebagai tokoh
sengaja dikarang, entah berapa lama sesudah kerajaan Majapahit runtuh, kedua
tokoh ini sebenarnya adalah 'sanepan' atau semiotika penanda yang melambangkan
ke-engganan menerima beberapa tata cara Agama Islam yang diajarkan
secara dangkal dan disebarkan lewat para Da’i, para Kiai, yang mengajarkan pola
hidup agama Islam, dan tata cara yang bersifat duniawi yang mudah nampak
saja, sedang yang bersifat bathiniah kurang diperhatikan pada waktu itu.
Sabda Palon, sabda berarti “kata-kata”
bisa juga “ pesan” atau “suara” sedangkan Palon berarti landasan besi pejal
untuk menempa besi pijar oleh Tukang Besi atau Pandai besi dalam bahasa Inggris
“anvil”, yang dengan sendirinya bersuara keras bertalu-talu.
Jadi dia adalah Entitas yang
bersuara keras dan bertalu-talu, menyatakan ketidak senangannya dengan para
Da’i dan para Pengajar yang kurang terlatih itu.
Naya Genggong, kata “Naya” juga sering
berganti ucapan dengan kata “Nara” seperti dalam kata “Nara Praja” -
“Nara Sumber” berarti orang yang menjabat, atau jadi sumber keterangan.
Jadi Nara atau Naya berarti juga “orang
yang menyandang gelar”, atau julukan (dalam kata Narapidana)
Genggong, adalah alat musik kuno, terdiri
dari bilah tipis logam bisa dari bilah tipis bambu atau kayu, merupakan
bilah-bilah, paling panjang sejengkal digigit erat, digetarkan dengan tangan si
pemain alat ini, dibantu dengan gigitan di mulut dan bentuk bibir, mulut
dan pipi, rongga mulut diubah-ubah guna mendapat resonansi getaran
nada bilah-bilah yang digigit tersebut.
Jelas di sini Naya Genggong adalah ibarat
seorang pemain musik dengan alat genggong, jadi suaranya pelan dan audience-nya
hanya terbatas orang yang dekat sekali dengan si pemain genggong, mungkin malah
untuk didengar sendiri oleh pemainnya saja.
Ini juga sejenis expresi ketidak senangan
yang tersembunyi, di expresikan sebagai “kampanye bisik”.
Yang sulit sekali ditangkis dengan
sanggahan atau dengan klarifikasi.
Lho kok sampai ada sanggahan dari
penyanggah yang mampu membuat tokoh legenda atau tokoh mitos untuk menjadi
alat, tokoh mitos seperti Sabda Palon dan Naya Genggong ?
Karena kritik atau ketidak sesuaian tidak
bisa diexpresikan secara terbuka akan menimbulkan murka, tantrum, dan hysteria
yang tidak cocok dengan tradisi kaum Brahmana dan Biksu atau sastrawan ksatrya
Priyayi jauh sesudah Majapahit runtuh, yang sangat terpelajar dan terlatih
dalam mengendalikan diri. Mungkin si Penulis naskah kritik ini juga dari
kalangan Islam yang lain approach dakwahnya.
Semua mereka punya motif untuk mengarang
tokoh dari dunia mitos ini.
Majapahit telah menciptakan masyarakat
yang teratur, hanya keteraturan ini bersumber dari sistem irigasi (pengairan)
sawah dengan lereng-lereng landai yang jauh dari pasar export beras,
pelabuhan-pelabuhan dengan kapal-kapal besar, untuk memuat beras.
Namun pelabuhan “export commodities” yang
diburu para nakhoda pelayaran besar adalah rempah-rempah dan hasil hutan yang
sudah sangat berhasil dijamin keberadaan stock pilingnya di pelabuhan-pelabuhan sungai Brantas di bawah jaminan keamanan Majapahit, dari seluruh Nusantara.
Sebaliknya kekuatan Islam didukung oleh
pusat baru pengadaan beras, kayu jati, dari wilayah yang dibangun di rawa-rawa
raksasa selatan Gunung Muria (meniru Mesopotamia, dan kayu jati yang
“easy available” dari lereng utara Gunung Muria), bila ditebang langsung
diapungkan oleh rakit pelampung di pesisir laut Jawa sedikit ke utara Demak
Bintoro yang segera jadi pusat perdagangan yang bisa mengalahkan semua potensi ekonomi
Majapahit yang di lereng Komplek Pegunungan Arjuno-Anjasmoro, lereng Semeru di
Lamajang, dan lereng pegunungan Hyang di Probolinggo dan di Situbondo dan
Blambangan, pegunungan Ijen, dijadikan satu. cuma ngngkutnya yang sangat sulit, dengan dipikul atau dmuat ternak beban bukan gerobak karena jalan yang diperkeras dan jembatan masih sangat kangka.
Pembangunan kekuatan ekonomi yang baru ini
tidak bisa tidak membuat perdagangan di pusat-pusat perdagangan pelabuhan
Majapahit suram. Membawa runtuh seluruh kerajaan Hindu Jawa itu.
Tidak demikian dengan pusat pusat
kebudayaan Hindu Jawa dan Budhisme di daerah pedalaman dan yang ditunjang oleh
Ibu Kota Kerajaan dan Ashram-Ashram para Maharshi dan para Mahabikhu dan
Bikhuni.
Hindhuisme Jawa dan Budhisme di Majapahit
telah mampu melahirkan masyarakat terorganisasi dengan baik, teratur menurut
azas-azas yang bisa diterima terutama oleh para Saudagar dari seluruh penjuru
mata angin.
Mereka cukup punya motif untuk mengarang
tokoh Sabdo Palon dan kawannya Naya Genggong, anehnya naskah ini tidak ada
tersimpan di Balai Kirtya (Perpustakaan museum lontar dan naskah kuno) di
Singaraja. Meskipun Bali adalah tempat pengungsian Kekuasaan Majapahit.
Jadi mestinya naskah-naskah kuno seperti
'Serat Darmogandhul dan Gatoloco" yang mengandung dialog (fiktif) antara
Brawijaya V yang mau menerima Islam dan Naya Genggong dan Sabdo Palon yang
skeptis terhadap tata cara yang berasal dari kebudayaan Arab, begitu pandangan
mereka.Buku ini ada, seperti zaman yang lalu, beredar dengan cara diturun dengan tulisan tangan. Sesudah ada percetakan baru dicetak pada zaman penjajahan, antara ada dan tidak ada, sesudah kemerdekaan, menurut pemerintahan yang berkuasa.
Tentulah pada awal penyebaran Islam di
Majapahit, mereka yang skeptis yang menggemari daging (dari asal daging yang
tidak halal menurut Islam) dan mengagumi tari tarian adat gadis-gadis a’la
Hindu Jawa di Pura dan Candi mengenakan kain batik atau songket dengan
decolette terbuka di bagian atas, juga menumpulkan segregasi antar gender
di sawah-sawah, di mana laki perempuan bekerja sama berbasah- basah dan
memfungsikan Dewi Sri secara maximal, beda dengan yang di India, Dewi Sri
mereka yang selalu baik, sedangkan yang di India nganggur.
Mereka pikir mereka telah menciptakan
kehidupan masyarakat yang pantas untuk dihidupi, meskipun tidak ada tangan yang
harus dipotong, milik seorang pencuri, hukuman a’la Islam.
Sebaliknya dalam pola hidup Islam
mengenai gender, mengenai waris, terhadap anak laki-laki dan anak perempuan,
mengenai pensiunnya Dewi Sri, yang dikukuhkan dengan akidah, membuat mereka
gerah.
Dan ini mungkin menjadi motief yang kuat
untuk menyindir Islam yang berkembang di pulau Jawa.
Mereka juga punya motief untuk mengarang
tokoh fiksi Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Menurut Sejarawan Profesor Doktor
Slamet Mulyana :
Islam mashab Hanafi yang berkembang di
Jawa, dibawa oleh para Mubaligh dari Yunan China dan sebelumnya dari Parsi dan
Asia Tengah ditengarai mulai abad ke 11 Masehi, jauh sebelum mashab Syafei dari
Mesir dan Jazeera Arab, dengan nama-nama yang tidak biasa di wilayah
masyhab Syafei, seperti Syekh Jumadil Qubro, Syekh As Samarkandy Satmata (mungkin
Satam Atta ?) telah meletakkan dasar syi’ar Islam secara hati hati,
menyesuaikan budaya setempat yang tidak sangat bertentangan dengan sunnah
Islam (akulturasi).
Saya menandai :
Budaya setempat yang masih Hindu Jawa dan
Budha antara lain, upacara “Sradha” yaitu memuja leluhur dijadikan
upacara “Nyadran” sebelum bulan Ramadhlan dengan do’a yang lazim dalam
Islam di kuburan Islam. Upacara Bersih Desa, yaitu selamatan di sumber-sumber
dan pohon pohon besar masih dilakukan dengan do’a-do’a dari ayat-ayat suci Al
Qur’an, yang sama sekali ndak pernah ada dalam Islam, masih diteruskan.
Begitu juga upacara “petik laut”
dikalangan nelayan.
Selanjutnya oleh Wali Sanga, pendiri
sentra sentra perguruan Islam di pantai utara Jawa dan kerajaan Demak Binoro,
masih dari Junan China, pada abad ke 13 dan 14 mendirikan sentra Islam
sekaligus kekuatan ekonomi yang baru yaitu sumber beras yang melimpah, dengan
angkutan yang gampang lewat kanal-kanal ke pelabuhan Jepara untuk export. Jepara dan Gresik.
Walau demikian, di wilayah Kudus,
kira kira 50 km dari Demak, orang Islam tidak mengkonsumsi daging sapi,
karena Sapi adalah binatang suci dari orang Hindu Jawa, agar tidak terjadi
saling singgung perasaan dengan masyarakat Hindu Jawa di sana, yang tidak
penting untuk syi’ar Islam selanjutnya.
Lagu dan gending Jawa oleh para Wali
dipakai untuk syi’ar Islam sekaligus legenda dari Mahabharata yang diberi nafas
Islami beserta wayangnya disempurnakan oleh para Wali.
Hasilnya, Islam dipeluk oleh seluruh
penduduk Jawa kala itu.
Tandanya, tidak ada wanita yang telanjang
dada, tidak ada orang yang minum dan membuat arak beras, orang desa-desa tidak
lagi memelihara babi, dan semua anak laki-laki dikhitan. Di seluruh Tanah
Jawa.
Menurut sejarawan Pofesor Doktor
Slamet Mulyana : Bahwa sesudah ada kerajaan Demak Bintoro mulai ada pemikiran
mashab Syafei, seperti halnya di Sumatra Kerajaan Pasai dan Sumatra Barat, yang
semula menggunakan patokan syi’ar mashab Hanafi yang Syi’ah dari Hasan Fansuri
digantikan dengan mashab Syafe’i yang Sunni oleh Nurruddin Ar Raniri atas
desakan mubaligh dari wangsa Mamluk dikirim dari Mesir, yang pengikut masyhab
Syafei dari Mesir, syekh Sulaiman, setelah Penguasa terdahulu bermasyhab Hanafi
aliran Fatimiah runtuh.
Selanjutnya Profesor Doktor Slamet Mulyana
mengulas di buku yang sama :
Beberapa ratus tahun sesudah
dibersihkannya mashab Hanafi yang beraliran Syi' ah dan digantikan dengan
aliran Sunni, Seorang sosok Ibn Saud, dari Jazeera Arabia jang merupakan
pengagum dari pemikiran Sunni a’la Wahabiah memurnikan sunnah Islamiah secara
lugas, dengan jihad berkembang di Seluruh wilayah anti Penjajahan Turki yang
bermashab Hanafi, dimenangkan oleh Ibn Saud secara telak. Gema gerakan
Wahabi ini mempengaruhi para Ulama Islam di Pulau Jawa pada akhir abad 18.
higga sekarang.
Kemungkinan besar kedua tokoh
legenda ini Sabdo Palon dan Naya Genggong diciptakan pada waktu yang sama
dengan berkembangnya mashab Syafei aliran Wahabi, yang fundamentalist dan
lugas di lokasi lokasi pengembangan Islam di Nusantara, tapi masih kurang
mendalam pengertiannya di bidang bathiniah, maklum.
Sayangnya waktu tidak berpihak pada
mereka, karena akhir abad ke 18 merupakan abad renaissance dan lahirnya
industrialisasi dunia Barat, yang siap membongkar paradigma lama, temasuk sikap
otoritarian dibidang pemikiran dan permerintahan. Meskipun didalam banyak
hal Islam menunjukkan jalan populis dan egalitatarian misalnya dalam sholat
berjamaah di masjid, secara teoritis semua orang muslim yang sehat akalnya dan
berilmu agama Islam, boleh mengimami sholat berjamaah itu, kok pemikir Islam
tidak berjalan seiring dengan pemikiran renaissance dengan industrialisasinya.
Pada dasarnya sulit membedakan adat
istadat Arab yang otoritarian dan otomatis terikut juga dalam
sunnah Islamiah. Sebaliknya trend renaissance dunia Barat yang
democratic, mamukau Dunia. Sehingga akhir abad ke 19 sampai akhir abad ke 20,
ditandai dengan demokratisasi.
Dunia Arab dengan sisa-sisa adat
autoritarian kuno dari suku suku penghuni padang pasir yang merupakan patriarch
asli, sudah tak dikenal dimana-mana di Dunia ini.
Demokrasi, bisa menelorkan Pemimpin dengan
mengantongi suara hanya 51 persen, dari pemilihan, tidak langsung menyertai cup
d’etat, sedangkan yang tidak jadi pemimpin dapat suara
49 persen, atau kurang, tidak ada yang mensabot tujuan Nasionalnya, asal ada
jalan pergantian penguasa secara corrective, sesudah masa jabatan pimpinan
berakhir, dan ini secara gentlemen ditaati.
Di dnia Arab, ternyata si pemenang yang mengantongi
suara sehanyak 51 persen tetap bertahan berkuasa hingga 40 tahun, adat istiadat
padang pasir wahabi maupun bukan tidak memberikan fatwa apa-apa, paling kutang ya meneladani Abu Dzar.
Baru setelah hampir 40 tahun berkuasa
rakyat disulut kemarahannya dan melakukan pemberontakan bersenyata dari Negara
Adhi Daya yang terang terangan membela kepentingan minyak buminya.
Rakyat yang 51 persen pemilih si Despot di
Middle East kurang lebih 40 yahun lalu mati-matian berperang dengan si
penyanggah yang 49 persen, itu dulu, sekarang tidak ada yang tahu, Mungkin
sudah 90 persen, makanya perlu legowo pemilu lagi, malah kekeh ngotot kayak di
Mesir, dan Libya, mungkin juga di Suriah - sulitnya disana puak dan suku masih sangat egois, diperkuat dengan ketaatan fanatsme faksi ajaran agama tidak mengerti perlunya ada kepenntingan Nasional.
Fatwa agar adat istiadat dunia Arab yang
“adhi luhung” untuk menghentikan perang saling bantai, tidak mengatakan
apa-apa. Kita lihat di TV mereka berperang mati-matian hingga ludas bersama.
Dari Islam, yang dipeluk penduduk mereka
hingga 99 persen, dari aliran sunni dari aliran syi’ah dari mashab apapun,
terpana diam, tidak memberikan jalan yang sesuai dengan pikiran yang rasional, apalagi kepentingan nasional. Tidak ada fatwa agar saling bunuh dengan senyata caliber besar ini berhenti,
apa menunggu hingga kedua belah pihak habis ?. Sekarang malah Amerika dan Rusia saling mengirim roket jarak menengah, yang sama dengan melepas babi di pasar mereka - kan haram ?.
Lha disini, upaya untuk mengembangkan adat
istiadat Islami, dijalankan dengan semangat injak gas penuh, tanpa mawas diri,
menyelaraskan sunnah melepaskan dari adat setempat, berprilaku dengan adat istiadat padang pasir,
seolah-olah tanpa ada pemikiran lain. Hasilnya saling serbu dengan batu dan
golok, pembakaran rumah ibadah dan rumah tinggal, kan mudah diganti dengan
senjata caliber besar bila ada kesempatan ?
Sunnah Rasulullah SAW itu sejatinya adalah
teladan yang luhur rokhnaiah dan jasmaniah, tapi bukan adat istiadat Arab
yang terpilin dalam jerat adat istiadat jahiliyah yang hanya menyangkut hal
jasmaniah, yang ternyata membawa bangsa Arab ke jurang kehancuran, karena
sunnah dari sisi rokhaniah dilupakan.
Lima ratus tahun setelah Sabda Palon dan
Naya Genggong menghilang, mereka berdua akan kembali dengan melaksanakan
kutukannya, bahwa perusak adat istiadat tanah Jawa a’la Majapahit dengan
azas kebersamaan dan saling menghargai antar umat beragama, sangat
ditaati. Bila fihak luar sudah sangat takut dengan fatwa hukuman mati kayak di Timur Tengah, ganti cari sasaran dari fihak sendiri, siapa saja mengkritik conformisme yang tidak rasional dianggap menista seluruh agamanya.
Kutukan ini benar terjadi, sekarang
malah di dunia Arab, dimana terjadi saling bunuh besar-besaran yang tiada
kunjung selesai gara gara diadu domba, memperebutkan kekuasaan oleh fihak yang
tidak bertanggung jawab, tanpa bisa apa apa, sunni atau syi’ah, dari mashab apa
saja. Hanya terpana, hanyut oleh hati hangkara. Bila masih terus begitu,
ya jangan ngotot, sambil mata melotot, sembari ngajari orang dengan galaknya.
(*)
Buku acuan karangan : Prof. Dr.
Slamet Mulyana
“Runtuhnya keerajaan Hindu Jawa
dan timbulnya kerajaan kerajaan Islam di Nusantara”
Penerbit LKIS Jogya.
0 comments:
Posting Komentar