Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 30 Desember 2018

1.   INTERMEZZO,  INTERPRETASI SEJAR  
Daur ulang posting lama

Diberitakan dalam sejarah tanah Jawa yang secara resmi  lolos dari incaran  mesin Penjajahan, bahwa Sinuwun PAKUBUWONO  ke V  (memerintah 1820 -1823 ) dari Surakarta sangat terpelajar dalam sastra Jawa yang memerintahkan menghimpun buku “Serat Centini ” dan mestinya mempunyai waktu yang banyak untuk meneliti  peninggalan sejarah autentik dari kerajaan kerajaan Jawa sebelumnya  ( beliau lahir th 1765 dan wafat th 1823)  dalam jangkauannya sebagai Pusaka kerajaan yang bisa dia pelajari. 
Beliau terbukti telah mumpuni menjadi empu keris, artinya bisa membedakan keris keris buatan zaman apa. 
Anehnya beluau mengambil bahan dari serpihan meriam kecil yang telah rusak pecah, entah dari mana namanya Kiai Guntur Geni ( Konon meriam kecil ini dipakai untuk berperang melawan pemberontakan China di Kartasura tahun 1740 dan pecah, sisanya masih disimpan di khazanah pusaka keraton.)  google kata kunci Pakubuwono V.
Karya sang Sinuwun berasaldari sepihan pecahan meriam kecil ini bisa sangat dikagumi dikalangan empu Istana, diberi nama keris Kiai Kaget, mengherankan karena eloknya ( tabir sejarah yang dibukanya ?).  Menurut saya, adalah asal usul sejarah  keris ini, hasil daur ulang dari pusaka yang asal usulnya sangat misterius ini bisa tersingkap,  kok sang kiai kaget ini mirip dengan keris bikinan Majapahit. jadi pencetak meiam kecil yang besi serpihannya mirip sekali degan besi meriam  dari pembuatan pusaka istimewa “meriam kalantakan” ( mungkin nama asli dari meriam adalah kalantaka) peninggalan kerajaan yang telah lama lampau ini, mungkin tinggal satu satunya.
Kecurigaan beliau,  yang inipun akan didaur ulang Belanda sebagai senjata dari sana, untuk menghapus sejarah kebanggaan bangsa ini.
 Adapun nama guntur Geni sebagai meriam kecil dari besi tuang, telah  muncul paling sedikit sekali dalam legenda  atau dongeng yang dikutip juga oleh sejarah yang telah ditukangi oleg Belandai "sejarah tanah Jawa" dalam tulisn latin dan  dalam Babad Nitik Pangeran Kajoran, atau babad Kajoran. Bahwa Pangeran Kajoran Putra Pembahan Romo, berakar dari keturunan Kiageng Giring, sosok yang bermunajad kepada Allah agar keturunanannya dapat menjadi Raja di Tanah Jawa, dua generasi diatas  Panembahan Senopati. 
Sekali lagi legenda ini menjadi benang merah legalitas suksesi raja dikala itu, karena kekuatan fisik “tokoh”menurut kharismanya sudah tidak bisa mutlak diandalkan, karean ketokohannya selalu dibarengi dengan dukungan keuangan dan senjata dari Kompeni,  Kiageng Giring yang menetap  bumi perdikan majapahit kajoran, adalah tanah yang yang dijadikan nafkah keluraga besarnya mestinya dari bhumi perdikan prmberian pemerintahan Majapahit, dekat Klaten. Konon salah satu keturunan dari sini  berani menerima tantangaan Sultan  dari  Mataram untuk menerima  bhumi sesigar semangka asal berhasil  menadahi dengan dadanya tembakan meriam tersebut.  ( Apa ini bukan kiasan bahwa Kajoran harus membuktikan mendapatkan legalitas hak turun temurun tanah tersebut dari Majapahit ? ) Jadi meriamnya di Zamana Mataram Peniggalan Sultan Agung  sudah menjadi pusaka kraton dan masih berfungsi.
Apakah ini dongeng  menyembunyikan cerita yang sebenarnya ? bahwa Meriam itu sebenarnya memang pusaka dari peninggalan  zaman Majapahit, yang diwariskan kepada kerajaan Tanah Jawa untuk legalitas kekuasaan berturut turut Demak ,Pajang, Mataram dengan ibu kota Plered, dimana dan kapan peristiwa sayembara ini terjadi.
Ada seutas benang merah yang panjang direntang guna mempertegas  legalitas suksesi kekuasaan mulai dari Majapahit, ke Demak Bintoronya Raden Fatah yang konon adalah Putra Brawijaya yang Islam.  
Persoalannya adalah, Pemindahan kekuasaan Sultan Tranggono sultan ke III Demak Bintoro, ke Sultan Hadiwijoyo, yang hanya menantunya. Bahkan kemudian memindah Kota Raja ke Pajang. Akar sultan Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir,  memperkuat benang merah suksesi kekuasaan ini dengan hubungan ketururunan dari Majapahit juga, lewat  Ki Kebo Kenongo yang memeluk Islam esoteric,  sudah ada sejak zaman Majapahit.  
Termasuk penggantinya Sutowijoyo anak angkat dari Joko Tingkir,yang telah membunuh Ario Penangsang, dalam perang tanding ditepi bengawan Sore, Sutowijoyo ini keeturunan Kebo Kenongo, juga keturunan Majapahit -atau Panembahan Senopati. Sebab sosok Penembahan Senopati ini mendapatkan bumi hutan Mentaok ( wilayah Jogjakarta) dari Sultan Hadiwijoyo ya karena kemenangan ini, sedang wilayah tersebut juga telah jadi Wilayah kekuasaan nenek moyang Kiageng Mangir sejak zaman Majapahit, dan terjadi sengketa antara Panembahan Senopati denga Kiageng Mangir, berakhir dengan kematian kiageng Mangir, konon kepalanya dibenturkan pada batu tempat duduk Panembahan Senopati, sewaktu menerima sembah sang Kiageng Mangir, karena sudah jadi menantunya).
Mulai dari sinilah setiap sosok yang menganggap dirinya mempunyai hubungan benang merah dengan Brawijaya dari Majapahit mengukuhi haknya atas suksesi raja tanah Jawa atau hanya hanya secuil wilayah tanah Jawa.   
Kekalahan Demak, Mataram dan Kartasura dari penjajah Portugis, Inggris maupun Belanda adalah dari keunggulan dukungan meriam yang dimiliki kaum penjajah ini. Sedangkan Majapahit telah berdiri megah di Nusantara untuk mewujudkan Sumpah Palapa dari Mpu Mahapatih Gajah Mada, tidak pernah disebut dengan jelas oleh kelebihan apa ?
 Apakah sosok intelek seperti Adipati anom R. Sugandi yang sebelum jadi Pakubuwono V , menghimpun almanac pertama Jawa “Serat Centini” tidak penasaran ?
Pakubuwono V meneliti pecahan meriam misterius ini dengan memanasi dan membakarnya layaknya membuat keris, bila ternyata hasil keris teresebut sama dengan keris dari Majapahit yang ada di gudang senjata kraton, maka dapat dipastikan si pembuat keris Majapahit pada jamannya juga mencetak “lantak” atau “kalantaka” (kata kari suluk pedhalangan wayang purwo – yang diperkirakan diciptakan pada zaman kesultanan Demak),  Kalantaka ini sebagai senjata, yang di sejarah Melayu oleh penulis Malaysia disebut “rentaka”. Konon keris Makapahit dibuat dengan mencetak bentuk keris secara masal dari peleburan pig iron, kemudian baru dikikir dan disempurnakan diberi ornament, banyak yang bilah keris jaman ini  jadi satu dengan gagangnya. Juga telah mencetak kalantaka untuk mwempersenjatai perahu armada perang perahu model Madura. perahu berukuran kecil ini  dibuat bukan karena kekurangan kayu dan teknologi rancang bangun perahu besar, tapi ketiadaan layar yang cukup kuat unutk mendorongnya....... kecuali dengan layar sutera yang sangat mahal. Kapas kita serat pendek hanya bisa dipintal jadi benang besar supaya cukup kuat untuk detenun sebagai kain yang tebal dan berat, membuat kapal tidak stabil.
Dia pasti meneliti peninggalan pusaka lama yang kemungkinan dari kerajaan Majapahit yang masih dihormati Keraton dari zaman itu ada naumpamanya pecahan “meriam” Majapahit Kiai Guntur Geni, yang mestinya ma  sendiri yang umum untuk senjata itu pada jamannya ? Kan tulisa suluk pdealangan wayang purwo - dapat didengarkan di yout tube, denganan ini sudah menemukan namanya kalantaka bukan meriam dari khazanah  suluk dhalang Ki Hadi Suwarno - suluk yang menggambarkan geger di Suralaya, bisa tenang kembali setelah ada suara gemuruh dari  meriam kalantaka - pak Dhalang tepaksa menambah kata meriam" supaya pendengan jaman now tahu maksudnya -suara kalantaka.... kan terlalu to....... saking rapatnya merahasiakan nama kalantaka ini.
Sebab sampai sekarang kata “ meriam” itu dipinjam dari mana dari kata apa,  nama senjata ini semakin gelap saja. Sampai Alm. Pramudya Ananta Tur penasaran, kenapa ahli bahasa kita dan ahli sejarah kita sekalas  Prof Purbocaroko, sekelas Nugroho Notosudanto  tidak tahu.  
Nama Jawa untuk meriam model dulu, yang diisi dari mancongnya adalah “meriam lantakan” juga “bedil lantakan” , untuk membedakan dengan bedil karabin. Emas yang dijual langsung dari peleburan adalah “emas lantakan” yang bentuknya silindris. Jadi emas lantakan ada hubungan langsung dengan bentuk silindris dari peleburan logam. Jadi kata lantakan hidup, dan artinya dalam perdagangan logam yang dicetak dari peleburan yang bentuknyua silindris. Jadi tanpa kata “meriam”,  lantakan ini bisa dimengerti sebagai barang yang dilebur dari logam yang dicetak silinidris, diisi mesiu dari moncongnya. Kamungkina besar di indentifikasi dari nama “Kalantaka” atau “lela” saja.  Belum diperkuat dengan akar kata “be-rantak-an” dan kata “luluh lantak” yang mengandung maksud yang sama, mengandung sylabel “rantaka” dan ka-“lantak”-an. yang tidak bisa dihubungkan dengan kata meriam,  nama yang dipakai pada zaman berikutnya . Begitu juga istilah “merajalela” yang ada hubungannya dengan “lela” yang menguasai medan perang lautarmada majapahit.
Semoga tulisan ini dapat jadi perangsang bagi Sejarawan kita untuk mengggali kembali, sejak kapan kita punya kalantaka, atau rentaka untuk perang ini, bukan “meriam” dari orang Europa.
Penulis dari Malaysia, sangat mencurigai benda senjata ini juga sudah dipunyai oleh lasykar kerajaan Melayu untuk menghadapi Gubernur Inggris, sampai sang Gupernur terheran heran.
Di sejarah kerajaan Melayu nama meriam adalah “Rentaka” jenis yang mudah di bawa kemana mana, apalagi dengan perahu dagang. Era dominasi Penjajah dari Eropa, senjata jenis rentaka , “meriam” lantakan yang buatan pribumi makin jarang, karena sengaja dihapuskan keberadaannya untuk menipiskan kepercayaan diri dari bangsa yang dikalahkan. Bila kalah dalam pertempuran dirampas oleh penjajah dan dilebur menurut bentuk senjata mereka, beberapa dujadikan satu, otomatis caliber nya lebih besar. Semakin lama semakin habis bahkan cara membuatnya juga tidak pernah diwariskan, karena tidak ada order. Mudah kan ?  Menghapuskan sejarah setelah empat ratus tahun ? *)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More