10:46 AM
IDE SUBAGYO
KEPADA ANAKKU, surat ke II.
PADA DASARNYA ISLAM MENJAUHI FEODALISME DAN MENUJU KE DEMOKRASI.
Terdahulu saya pernah menulis bahwa Islam dari semula secara tersirat terasa
menjauhi feodalime, yang memberi corak susunan masyarakat zama pertengahan,
dalam segala hal.
Watak egaliter islam tersirat dalam cara memimpin sholat berjama’ah, Panggilan
titel yang paling disukai oleh
Rasulullan Salallahu Allaihi Wassallam adalah
Amirul Mukminin, Pemimpin Negara yang dipilih dari para sahabat Nabi (
Khulafa ur rashiddin), bukan disebut Sultan tapi Amirul Mukminin, atau Khalifah (wakil alm. Rasulullah) yang diwaktu itu menimbulkan keguncangan
besar dalam kebiasaan masyarakat feodal.
Toh akhirnya bani Umayah telah
mengembalikan posisi Pimpinan Negara
menjadi sistim feodal , yaitu Sultan masih juga Khalifah dengan kerugian politis yan
sangat minim, karena Pasukan Islam lebih mementingkan keamanan wilayah yang
telah diduduki, sudah mencapai barat Mesir, Syam dan Siria. Keamanan waktu itu
adalah jarak dari kubu musuh.
Terbukti dengan tidak adanya perpecahan yang melemahkan berkembanganya
daulah Islamiyah dari Andalus ke Lembah
Mesopotamia. Beberapa abad kemudian daulah Abbasiah melebarkan lagi dari
Afganistan hingga pantai utara Afrika. Meskipun ada bibit faksi besar yaitu
kaum Sunni dan Sji’ah yang malah bersatu dibawah Salahuddin Al Ayyubi untuk menaklukkan Jerusalem yang spektakuler
Islami, dhormati oleh lawan dan kawan.
Yang sampai sekarang belum pernah dirunut adalah kedekatan Islam ke
demokrasi mederen. Semua upaya yang dilakukan oleh masyarakat bangsa bangsa di
Timur Tengah dan pantai Afrika Utara kini,
sampai ke Bangladesh sekarang, selau kembali ke despotism dari elite capture-nya ( istilah bu Sri Mulyani Indrawati), yang bahkan tyran yang memalukan, product
dari feodalisme yang sangat lama.
Ajaran Islam yang terpateri dalam surah yang pertama diwahyukan oleh
malaikat Jibril kepada Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalallam, adalah Al Alaq, dengan perintah Allah “Bacalah”,
karena Allah mengajari manusia dengan kalam/ pena/ tulisan. Lha membaca itu
sendiri, apalagi wahyu wahyu illahi oleh setiap insan adalah hak azasi demokrasi yang
nyata.
Ndak lewat Pendeta, Brahmana atau siapa saja. Sesudah membaca tentu segala
pikirannya terbuka, entah berapa banyak penerangan yang diterima, pasti lantas dicocokkan dengan kawannya dan minta pendapat dari yang akhli, ini kan wajar. ?
Kewajaran itu juga tersurat dalam surah Wal Asri, yang intinya orang ( yang sudah membaca) akan rugi bila tidak
membicarakan, hal hal mengenai kebenaran dan hal hal
mengenai kesabaran. Ini bisa mengaggu elite capture masa itu.
Dalam masyarakat feodal sesuatunya tergantung pada kemauan despot dan tyran
yang berkuasa. Tentu nyaman dan gampang sekali untuk memperoleh jawaban “enggih kanjeng” kepada sang Dimas Kanjeng, dari anak buahnya Panembahan Ular Sanca, atau Sultan Surakoplak anak buahnya yang diberi titel feodal itu, misalnya
untuk mensukabhumikan (istilahnya inetelijen suharto.) si murid - penagih murtat yang mendesak mana ganda
uang saya, mana ganda uang saya, risih
bah !
Bisa dimengerti seorang muslimin dibawah pengaruh Dimas Kanjeng lebih suka
mengeluarkan diktum mengengai kebenaran yang tidak bisa dibahas, titipan dari Dimas Kenjeng .
Menghadapi situasi yang demikian, sejak Khalafah ur rasyiddin, yang diwarnai
dengan pembunuhan pembunuhan Amirul Mukminin . Gonjan ganjing Pemerintahan,
hingga keempat Khulafaur rosyiddim wafat semua,
diteruskan oleh bani Mu’awiyah
dengan cara yang lazim di jaman itu: feodalisme, dengan diangkatnya anak Abu
Sofyan menjadi Sultan. Kerugian terkecil
di medan peperangan, karena kekuatan masih tetap bersatu.
Mungkin dari saat itu ada sebagian dari kaum ulama yang mengumpulkan argument
dari ahli ahlinya, bahwa orang yang zuhud menunaikan ke-zuhud-an-nya dengan
diam.
Sikap zuhud yang diam itu dipertegas oleh ulama ulama selanjutnya berabad
abad, melewati dinasti dinasti yang timbul tenggelam seperti dinasti Mu’awiyah,
Abbasiah, Fathimiyah, Mamluk di Mesir, Seljuk di Turki, yang penuh dengan
komplotan dan balas dendam yang berdarah darah, dipicu oleh perbedaan persepsi
akibat dari “membaca”(satu perwujudan penting dari ajaran islam), dilain sisi reaksi keras kepada si penanya, sangat merugikan perwujudan kedekatan Islam dengan demokrasi yang tersirat pada ajaran Islam.
Maka makin banyak ulama yang
menganjurkan melakukan kezuhudan disertai diam hingga sekarang, termasuk yang dituruti Ulil, bukan Gus Dur alm. , yang lain banyak yang bersikap mendua.
Sedangkan di zaman ini adalah terlalu mahal untuk mengorbankan demokrasi, yang bisa mengurangi ketergantungan, mengakomodasi segala pebedaan, sebab tipu tipu mudah sekali dideteksi, misalya oleh penerus Yusuf Aditjondro alm, Rizal Ramli, Ahok, dan teman temannya yang makin pintar makin banyak, hidup zuhud, dalam arti sccukupnya, tidak berlebihan.
Jangan lupa juga Pemerintahan lain Negara yang masih menjunjung norma azas pedagangan bebas ( Pemerintah inggris memberi denda berjuta juta poundsterling kepada Roll Royce, gara gara memberi suap Emirsyah Satar lebih 20 miliard kalok dirupiahkan - sebab semua dikerjakan sendiri diluar sana, dengan bank asing , orang asing dinegara asing, lah si Emir sendirian, mungkin dengan satu pramugari khusus, 'hadiah" juga diberikan ke oknum kakap dilain negara untuk pembelian mesin pesawat penumpang Jumbo ini. Kalau bukan geger dari sana, gimana kita bisa tahu. Yang kita heran gimana orang semacam itu kok bisa menaiki jenjang setinggi itu, sampai jadi Dirut Garuda Indonesia ? Siapa mak comblangnya ? Apa elite capture yang sudah menggurita diatas sana, sejak dulu, sampai kapan ?
Kesederhanaan dan kejujuran telah menjadi ideology zaman. Alam mamaksakan itu, demi percepatan teknologi sebelum bahan bakar fosil habis.
Satu masyakat plural seperti masyarakat Indonesia yang terdiri banyak suku,
banyak ras dan banyak agama, tersebar di pulau pulau, yang telah betekad untuk
bersatu memperjuangkan hak azazinya membangun negaranya secara adil, bersama sama. Kendaraan utamanya adalah demokrasi yang sudah menyatu dengan pandangan Panca sila. Ditambah
lagi sebenarnya tidak ada diantara suku suku bangsa ini yang mendendam satu
sama lain sampai berabad abad, yang berbeda cara hidup dan berfikir hingga perlu
membunuh satu sama lain, karena ditiup tiupkan api perpecahan, misalnya karena dilecehkan keyakinannya, Alhamdulillah, seemua ketahuan.
Insya Allah, kecamuk berdarah darah di Timur Tengah
lewat, bangsa ini selamat, amiin *)
Posted in:
0 comments:
Posting Komentar