Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 05 Desember 2016

KEPADA ANAKKAU

KEPADA ANAKKU, JALANI AGAMAMU yang menuntunmu, hidupmu, amalmu, perasaanmu,  SECARA BAIK.

Di Pulau Jawa Islam sudah diperkenalkan kepada penduduk Pulau Jawa yang masih beragama Hindu, oleh yang dikenal sebagai para Wali agama Islam,  jumlahya ada sembilan, hidup sezaman tetapi dari generasi yang berlainan, kemungkinan merupakan Kakek, Anak dan Cucu.  Anak dan Cucu dari Kakek penyiar agama Islam ini ini saling terikat dengan perkawinan. Sehingga keturunan para Wali ini menjadi ahli syi’ar agama Islam. Umumnya diberi julukan para Kiai ( dalam bahasa Jawa atinya “yang dihormati” ) Sebab dalan adat Hindu nama sosok yang dihormati di beri akhiran dengan suku kata “Ji”  seperti Guruji – lantas berubah menjadi awalan “aji”  Seperti Sang Aji Jayabaya.  Guruji Mpu Baradah dsb, jadi “Kiai”   mungkin singkatan dari “Kiaji” sedangkan awalan “ki” merupakan sebutan penghormatan seperti Ki  Hajar Dewantoro, Ki Ronggowarsito dll. Yang ini menjadi Kiaji  Hasjim Ashari atau Kiai Hasjim Ashari dsb.

Dalam syi’ar agama Islam, para Wali ini sangat berkepentingan berinteraksi dengan kaum Brahmana dan ksatrya Hindu Jawa, mesti saja mereka berkomunikasi dibidang bidang ajaran yang mampu dimengerti oleh para Hindu kasta  Brahnama dan Ksatrya ini, karena mereka cukup intelektualitasnya, bisa membaca dan menulis huruf Palawa dan membaca Wedda. Bahwa diskusi Para Wali mengemukakan bahwa banyak Dewa di agama Hindu bisa disingkat jadi Sang Hyang Widiwase, jadi sebenarnya itulah konsep monoteisme.  Banyak kaum Brahmana rendahan, dalam hati kecilnya  bisa menerima  di benak mereka bahwa Ida Sang Hyang Widiwasa.   Allah dengan 99 asma'ul husna,  adalah tunggal tidak beranak dan diperanakkan , bahwa Allah tidak bisa digambarkan oleh manusia, karena diluar jangkauan kemampuan syaraf manusia,  tapi ADAnya dalam jangkauan rasanya.  Satu langkah yang strategis untuk dapat menerima Islam di waktu waktu kedepan dari abad ke 12 dari kala itu. Benar juga, Kerajaan Majapahit yang Jaya dan Hindu setelah dua setengah abad, sesudah abad ke 13 diganti dengan kerajaan Islam Di Demak Bintoro, nyaris tanpa peperangan dan pertumpahan darah.  Karena para Wali telah berhasil mengintroduksi cara mencetak sawah dirawa rawa di Lamongan// /Pamotan dan Sedayu, ribuan hectare, tentu saja dengan izin penguasa Kerajaan Hindu, karena hubungan finansial dan kebudayaan yang sangat baik, dan tanah tersebut adalah tanah terlantar.  Kemudian baru diperluas dan dipraktekkan di rawa yang lebih luas di seputar Demak Kudus sekita 10 000 -15 000 Ha. Ngumpul disatu wilayah "dataran"  rawa dangkal  diseputar kota Demak Bintoro, pekerjaan yang sangat berat, memerlukan stamina dan tekad yang hampir mustahil ada, kemudian jadi Ibu kota Kerajaan Islam di Demak. Percaya atau tidak, para murid Wali Wali ini sebenarnya, saya curiga adalah pesilat tingkat tinggi kebanyakan dari Wu Dang ( Bu Tong) ,  cerita silat menyebutnya aliran Mo Kauw yang mampu mengolah tenaga dalam,  sekarang nyaris punah. Di Babat ada tempat yang namanya "Widang" dekat pondok Langitan. Sehingga tanggul tanggul saluran galian tanah rawa ini, membentuk jaringan saluran, yang berpintu ganda, mampu menaikan dan menurunkan permukaan air petak petak sawah rawa saat mengolah tanah tanam dan panen. 

Lebih dari itu hasil sawah, beras jadi komoditas yang sangat dibutuhkan dalam jumlah banyak di daratan Tiongkok karena perang yang berkepanjangan dan bencana alam, dijemput oleh jung jung raksasa bermuatan ratusan ton, dipelabuhan Trung, Ampel Denta dan Jepara. Dengan mudah beras ini diangkut kesana dengan cara estafet perahu perahu ber-draft pendek sepanjang kanal kanal pengairan dan muara sungai tempat jung jung ini menunggu. Sedangkan Majapahit tidak menangani perdagangan beras, karena transport yang sulit dari persawahan ke pelabuhan jung  jung raksasa ini. Inilah kelebihan infra srukture yang diciptakan para Wali, dengan bismillahirakhmanirakhim. Sebab sawah sangat luas dan perpengairan ini milik yang mengerjakan pembuatan dan bercocok tanam disana, bukan milik kerajaan Demak, hanya pemeliharaan sistim saluran saluran dikerjakan besama sama, dipimpin para Wali pakarnya. Mungkin Sunan Kalijogo. Kerjanya kan meneliti dan merencanakan pembuatan kanal di rawa rawa? Seperti di Mesopotamia. Sayang karya besar para wali dan pengikutnya menggali saluran air dirawa Demak ketimpa bencana alam lahar dingin gunung Merapi,  sistim saluran air mendangkal cepat, sangat sulit dipulihkan kembali. Akibatnya manipulasi ketinggian permukaan air sawah rawa ini sulit dilaksanakan, sehingga produktivtasnya sangat menurun. Ini terjadi pada generasi ke empat kerajaan Demak Bintoro.

 Pindah ke wilayah Pajang.

Kerajaan Pajang didukung oleh sawah berpengairan dari sumber besar umbul Cokro. di daerah Dlanggu  dengan debiet cukup besar untuk mengairi 4 -5 ribu Ha sawah dilembah dataran rendah gunung Merapi sisi timur hingga Bengawan Solo. 

Di dataran rendah ini masih banyak sumber smber kecil yang lain. Sedangkan persawahan rawa d Pamotan ( Lamongan) dan Manyar dekat Gresik, hanya mndangkal karena endapan lumpur, masih ada hingga sekarang menjadi sawah- tambak bandeng, makin melebar kearah laut menjadi dataran mangrove dan tambak pembuatan garam.

Dengan platform ekonomi bersawahan baru,  kerajaan Demak ini,  islam mulai disebarkan dengan dukungan kerajaan Islam Demak Bintoro, lengkap dengan dukungan kawula Negara dan perangkatnya, mendirikan masjid masjid di desa desa dimana penduduk islam bisa melakukan ibadah,  upacara janji kawin, men- sholati mayat dan mengubur Jenazah secara islam, di desa desa seputar Demak Bintoro dan meluas ke seluruh tanah Jawa, terutama jawa tengah dan Jawa timur. Mengadakan pondok pondok pesantren, masih berdampingan dengan asyram Hindu dan Budha. Sehingga sampai kini orang wilayah Pati dan Kudus enggan menyembelih sapi, karena masih dipuja orang Hindu yang bertetangga, meskipun sekarang sudah Islam semua.

Bedanya pondok pesantren lebih mandiri dalam ekonomi mengajari berdagang dengan catatan pembukuan surat pesanan dengan  perjanjian tertulis, dan berkorespondensi. Maka berkembanglah kaum waysia dan kaum sudra menjadi saudagar melek huruf dan melek pembukuan dengan lebih praktis, menggunakan angka Arab,  disegani diseluruh Nusantara, karena perilakunya yang islami.  Sayangnya di-zaman  itu juga dikalahkan oleh Penjelajah dari Europa yang mencari sumber dagangan rempah rempah, dengan perahu layar lebih besar, dan canon berkaliber lebih besar, otomatis jarak tembaknya lebih jauh dari kalantaka/rentaka kita, dengan perahu model madura yang lebih kecil, terbatas oleh besarnya layar yang mempu kita buat, sesuai dengan rentaka bekaliber kecil, dengan jarak tambak kecil saja.

Hampir seluruh tanah Jawa tidak ada orang mememelihara dan makan daging babi, membuat tuak dari nira kelapa maupun  pohon tal dan minum didepan umum. 

Tapi hubungan lelaki-wanita dewasa, cara berpakaian, bentuk masjid, pembagian hak waris, tidak diatur secara  islam dengan semangat adat suku Arab, tapi dengan semangat islami petani sawah basah di Jawa.

Sedangkan di pondok pesantren yang tersebar dimana mana, pelajaran diberikan secara tradisional, oleh Bapak dan Ibu guru ya pengasuh dan penyelenggara pondok secara kekeluargaan disebut oleh santri dan santriwatinya sebagai Kiai dan Nyai Pimpinan Pondok, dan menggantikan bapak ibunya selama mereka mondok disana, untuk mengaji kitab Al Qur’an dan Al Hadist dengan memaknainya menurut rasa Jawa. Dibantu oleh para santri senior. Kemudian kitab kitab penting lainnya  dari mashab Syafei.  Mungkin inilah yang disebut pondok salaf (tradisional) Ya maklum zamannya masih dibayangi dengan kuat feodalisme, jadi keturunan para Wali yang Kiai, disebut dengan panggilan "Gus" hanya dikalangan mereka, untuk membedakan dengan santri biasa, dan mengimbangi para keturunan bangsawan Jawa/priyayi.

Sampai disini, politik ekonomi  kerajaan Jawa sudah diintervensi dan didominasi oleh politik  ekonomi penjajahan orang Europa yang beragama Kristiani, baik Katolik maupun Protestan,  bawaan mereka.

Pada prinsipnya para santri tidak membayar   bulanan, tapi masak sendiri sendiri berkelompok, dan membantu penyelenggaraan rumah tangga sang Kiai/Nyai, seperti menyapu dan membersihkan komplek pondok dan masjidnya. Pekerjaan pertanian di sawah dan tegalan, berjualan di pasar dan masak, kadang sampai puluhan tahun. Pada zaman maraknya “etische politiek” pada abad ke 18, penjajahan mengintroduksikan  sekolah umum Vervolkschool berbasis pelajaran untuk jadi mandor perkebunan dan pagawai kecil pribumi, Tapi di pondok pondok sangat umum diajari oleh Kiai atau Nyai menjahit dengan mesin jahit, ( waktu itu mesin jahit masih langka)  membuat jamu  ramuan jawa, membatik, menenenun, menyogket, menjahit baju koko, kopyah. songkok dan pici dsb, sudah ditanamkan sikap “ "UZLAH” artinya memisahkan diri  dari cara hidup  dan pemikiran Belanda , sebagai bentuk perlawanan terhadap kebudayaan Penjajah dan agamanya, Penjajah mentolerir mereka ini sambil mencibir kekurangan mereka mengerti ilmu hygiene, kebanyakan berpenyakit kulit, Karena mereka juga  sejuk sejuk saja dalam perilaku, tapi  secara ekonomi tidak tergantung. Ada upaya penjajah mengerdilkan perkembangan ekonominya dibatasi oleh suku pendatang, yang lebih pedagang dalam nalurinya, didatangkan dengan sengaja oleh Penjajah, dan diberi  Kampung sendiri, terpisah dari Pribhumi. 

Tanpa diajari mereka mendirikan tong ( di Jawa Timur selama puluhan tahun siapa yang berani menyaingi menawar lebih tinggi dari harga pembelian ikan dari nelayan berhadapan dengan Tong Heng kongsi pada zamannya ? - Atau sekarang seorang magnate tengkulak beras dari Lumajang yang menggurita keseluruh penjuru tanah air dimana ada sawah sawah yang luas? ) dan mendirikan  kartel dengan laluasa, beserta para Kapten dan Mayornya, para pedagang dari China dan Arab, di Sumatra Utara  juga dari India. Guna Penjajah bisa mengandalkan siasat "devide et impera" yang ampuh itu.

Dibalik semua yang nampak, ajaran Islam yang diterima oleh para Brahmana dan Ksatrya Hindu, yang terpaksa menjadi perangkat kekuasaan Raja Raja dan Penjajah,  di masyarakat para priyayi, juga di pondok pondok para santri dajari mengolah “rasa”  untuk mengimbangi  ajaran sincretrisme, dengan ilmu ilmu gaib sempalan Hinduisme, yang terang terangan memuja Bhatari Durga, Bhatara Rudra, lain bentuk syaitaniah yang bersarang dalam nafsu nafsu rendah manusia.  Para itelektual Jawa keturunan para Wali  membangkitkan kembali  gubahan  para wali epik suci Hindu Bhaghawat Gita, dalam wayang purwa (Kulit)  menjadi Sri Kresna yang mengendarai sebagai kusir kereta perang sang Arjuna waktu perang Bharata Yudha, dengan empat kuda yaitu pengandaian  ilmu ilmu yang ditrapkan waktu sholat wajib.  Syari’at, tariqat, hakikat dan ma’rifat, semua dijalankan waktu melakukan ibadah sholat wajib.

Menurut para Wali, bagaimana tidak, gerakan sholat adalah   aturan syari’ah. Ajaran syari’ah juga mengajari aturan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dalam ibadah sholat orang harus sebisa mungkin berkonsentrasi pada ucapan pernyataan, do'a dan surah ummul Qur'an,  dia beribadah sebagai kuwajiban   yang diberikan kepadanya oleh Allah, surah pertama dari Al Qur’an yaitu Al Fatihah dan surah dari Al Qur'an yang pendek pendek.

Menurut para Wali, dalam sholat wajib yang lima waktu ini orang harus selalu menyatukan daya untuk mengerahkan segenap pemikirannya berkonsentrasi, seperti dagambarkan dengan dzikir berulang ulang, orang Hindu juga membaca mantra berulang ulang. Tapi dalam Islam ulangan adalah  alat  berkonsentrasi antara yang diucapkan dan yang difikir. alias mengalahkan fikiran yang menggurita menjalar kemana mana tanpa disadari. Namanya ilmu Tariqat.

Sering disalah artikan oleh mereka yang mengambil keuntungnan dari pemberian Allah Ilmu Laduni, satu kebisaan yang hanya dari Allah tidak bisa diminta tidak bisa diajarkan, hilang sendiri dengan kehendak Allah. Bahkan si Kafir Rasputin juga dikaruniai limu laduni bisa mengobati Tsarevich Kakaisaran Russia, yang menderita haemophilia,  para dokter tidak mampu mengobatinya karena terkait dengan perangkat keturunan ( gene/ untaian DNA) , akhirnya terbunuh karena kurang ajar mengencani putri Pangeran Russia.

Orang yang memiliki ilmu laduni ini lantas mengajari murid muridnya untuk berzikir sampai trans, atau menyuruh berputar putar sampai trans, ini jalan pendekatan kepada sang Khaliq. Ternyata ilmu laduni tidak datang, mahar sudah dibayar.

Menurut para wali, Ilmu Hakikat dalam sholat artinya harus mengerti, memahami, mendalami  makna dari semua ucapan, pernyataan dan do’a yang harus dibaca, tidak kurang tidak lebih. Ini kan  pokok pemahaman atau "hakikat" dalam bahasa Arab, dengan ini ilmu ini orang berserah diri kepada Dzat Yang menguasai segala Alam

Menurut para Wali, bacaan dalam duduk tawarukh, membaca atakhiat akhir, jari telunjuk kanan diluruskan diatas lutut yang lagi bertawarukh, sambil membaca ASHADU ALA ILA HAILULLAH WA ASHADU ANA MUHAMMADARASULULLAH- ITU ADALAH INTI DARI ILMU MA'RIFATULLAH

Inti sari ajaran islam yang menjadi panutan ajaran seluruh manusia tentulah sederhana dan mudah dimengerti, Sejuk untuk seluruh alam.

Jadi dalam menjalankan sholat wajib lima waktu, dan seorang muslim /muslimat, tentu sudah menjalani inti sari dari empat ilmu penting untuk bila disadari menaklukkan nafsu nafsu yang menyertai manusia hidup, yang gunung gunung pun sangat enggan memikulnya. Yaitu nafsu amarah, lauwamah, mutmainah dan supiyah.  Maka apakah mungkin  engkau ya anakku, sebagai muslim yang sejati keturunan para wali, menyimpang dari makna bismillahirakhmanirakhim ?, menyimpang dari kearifan sabar dari ma'rifatullah ?*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More