VPENDIDIKAN TINGGI DI BEKAS NEGARA PARA
BEDEBAH
Pada akhir kakuasaan Orde Baru,
tahun ‘ 1990 yang lalu, ada ratusan Perguruan tinggi
Negeri dan Swasta bermunculan seperti jamur dimusim hujan.
Azas ekonomi merespon kesempatan mengisi
kebutuhan lanjutan dari pendidikan menengah atas, sebagai reaksi terhadap
sistim pembangunan pendidikan yang tidak sinchron dengan penyediaan kebutuhan
tenaga pemutar roda ekonomi. Baik jenis keahlian maupun jumlahnya..
Lha ekonominya sendiri pada era
Orde Baru dibangun acak acakan oleh para teknokratnya. Asal mencari keuntungan secepat cepatnya saja.
Karena itu tidak cukup lapangan
kerja buat lulusan Sekolah Menengah Atas, sedangkan sekolah kejuruan mahal dan
langka ( sekarang mulai disadari) atau
sudah punah sampai sekarang di-era Reformasi, seperti Sekolah Pertanian
Menengah Atas (SPMA)
Sistim pembangunan Negara ini
adalah memerataan pertumbuhan ekonomi diantara rimba raya business diluar
sistim yang sudah menciptakan kekuasaan bayangan dengan organisasi semacam
kartel diluar hukum disemua bidang, kekuasannya dibidang ekonomi terapan sangatlah
besar.
Sedangkan cara diluar sistim ternyata hanya merunut hilir industri Negara Maju
stry Negara Maju, hilir idustrinya adalah serat sintetis/filament dan
plastic yang sangat banyak macamnya, Pemodal lantas mendirikan ratusan pemintalan Pertenunan dan
pencetakan barang plastic, ( dengan exstruder dan casting) dan berbagai alas
kaki, sepatu. terdukung oleh instink “me
too” dari Pemodal.
Begitu harga bahan baku dari serat sintetis
dan plastic, minyak bumi meroket sampai 130 US dollar/barrel lebih. Dalam jangka beberapa
lama semua industri hilirnya sangat kesulitan menjual produk jadi.. Ekonomi tanpa perencanaan sangat tidak cocok dengan ekonomi
pemerataan dalam sistim.
Satu upaya pemerataan
pembangunan Orde Baru yang tanpa pola, tanpa keberpihak-an kepada kepentingan
umum, tanpa rencana penyerapan dan penempatan tenaga kerja yang tumbuh
dengan cepat, karena hanya menuruti
trend pemodal, yang juga sangat nengandalkan guangxi, hubungan kolusi dengan
bank Pemerintah, Penjabat politik dan duit dbawah bantal.
Itulah sebabnya products
pendidikan dan pengajaran generasi muda jadi berantakan. Mereka tidak
mendapatkan lapangan kerja yang semestinya, yang dapat menjamin kehidupan mandiri.
Maka untuk menampung lulusan SMU yang mbludak, dibukalah
kesempatan swasta mendirikan Perguruan Tinggi dengan segenap Fakultasnya dari
D2, D3, S1, S2, sampai S3. Jangan sampai pelajar lulusan SMU mbludak jadi
pengangguran yang explosive.
Penyimpangan upaya Orde Baru ini
menjadi nyata, melihat para Bangkir dengan dorongan bank Central dengan royal
memberikan kredit buat mendirikan Perguruan Tinggi, lanjutan dari SMU.
Gedung megah mahasiwa berjubel, meskipun ROI( returm on
investment) gedung dan peralatan kuliah harus dibayar standard 20 %.( atau lima
tahun uang kembali ke bank dengan bunganya). Berhenti sampai gedung saja bangku
dan papan tulis, malah OHP, alat alat audio- video ya tidak optimum
dipergunakan.
Laboratorium
laboratorium hanya ditingkat pengenalan ilmu dasar yang sering di foto promosi,
buat mahasiswa baru.
Digunakan juga untuk pembenaran
“mark up” beaya pembangunan seluruh Universitas dari bank, uangnya untuk tujuan
lain, dengan keuntungan yang instant dibidang perdagangan, kan otoritas Yayasan
?
Saya juga pernah jadi pengajar di
fakultas Pertanian satu Universitas Swasta, ternyata membangun Laboratorium
penunjang ilmu ilmu lanjutan, misalnya ilmu Geology, juga memerlukan asisten
dan Pimpinan Lab yang kreatip dan profesional, mengoleksi mineral dan bebatuan,
perlu beaya dan waktu.. Lab, Mekanisasi Pertanian, perlu contoh mesin penggerak
listrik, mesin internal combustion dengan BBM bensin dan diesel, yang khusus
buat mempertontonkan mekanismenya. Belum implement untuk pengolahan tanah,
pegendalian gulma, managemen kebasahan tanah dan panen. Kenyataannya ya tidak
ada, begitu pula alat peragaan motor listrik, macam macam pompa air dan
penggunaannya, seharusnya dikoleksi oleh kafedra Mekanisasi, meskipun barang
rusak dari pembuangan.
Kenyataannya, beaya dikeluarkan
untuk mendirikan satu Fakultas, sebagian besar ya yayasan yang memutar dilain
usaha keuangan..
Apa yang terjadi, beaya kuliah
berlomba tinggi, pembayaran para lecturers, dosen dan asisten sangat minim,
karena cicilan GEDUNG dan KEMAKMURAN YAYASAN MENJADI TUJUAN NOMER
SATU, karena sebenarnya ya itulah tujuannya.
Tidak ada idealisme sama sekali. Unversitas dimana saya mengajar ( saya M Sc yang diakui sebagai Insinyur Petanian oleh Departemen PTIP tahun 1965), Universitas dimana saya mengajar didirikan oleh seorang Kolonel purnawirawan, Ketua Golkar Propinsi, saban bulan ke Jakarta untuk jaga kontak dengan para boss, plane ticket dan hotel berbintang mengambil dana Unversitas, sedang honor saya hanya 80 ribu rupiah karena ngajar sekali seminggu, semester ganjil, hitung hitung pengabdian. Saya dapat gaji dari Perusahaan swasta, produsen pestisida, sebagai petugas promoter dan after sales service, produk insektisidanya di Bimas/Inmas tanaman pangan dan perkebunan.
Sekarang, jamannya reformasi ya
masih tetap begitu.
Masak satu lecturer lulusan S2
menjabat jadi Pembantu Dekan 3, rumahnya di Bogor, memberikan kuliah di
Universitas dengan gedung megah dan mahasiswanya banyak bermobil,
kok honornya hanya 1.juta 500 ribu rupiah saja per bulan (waktu mengajar thok)? Lebih rendah dari
gaji Pembantu rumah tangga. Alasannya dia toh tidak memberi kuliah setiap hari
di Universitas yang sama ?
Ini kan sangat konyol, karena
sekarang satu Dosen. Lecturer harus punya laptop/ computer dengan server yang
handal, yang harga langganannya Rp 400 000 rupiah per bulan, supaya mudah
mendapat akses di internet.
Apa saya di sini harus menerangkan
gunanya internet bagi seorang Dosen ?
Honorarium yang besar hanya
dikonsentrasikan untuk Profesor yang diangkat oleh Presiden Orde Baru, Jendral
Suharto, dan selanjutnya untuk meningkatkan gengsi Universitas. Juga
lambang kepercayaan Orde Baru, pada Universitas ini. Apa sekarang masih
diperlukan ?
Konyolnya, sampaii sekarang
orang kepercayaan Orde Baru yang berguna untuk mengendalikan mahasiswa masih
becokol sebagai lecturers (jamak), bukan menjabarkan idealisme dan kejujuran
ilmiah., sebagai falsafah bertatatap muka dengan mahasiswanya, bila yang ditangani
ilmu social, tugas dari Orde Baru bekas Bossnya masih bisa disamarkan, tapi bila dia mengajar ilmu ilmu exacta, mereka kehilangan arah, kayak pedagang kaki lima,
lantas membuka semua jurusan yang aneh aneh.
Masakan konon, Institut Pendidikan
yang paling tua di Indonesia, didirikan semenjak zaman Penjajahan, alumninya
telah membuka Perkebunan perkebuna besar di Indonesia, mendukung pertanian
rakyat, jadi PNS shingga mampu panen yang menguntungkan dan jadi sumber pangan
seluruh Negara, seleksionisnya telah menciptakan cultivar cultivar unggul semua jenis tanaman budidaya kita. Sosiologistnya telah menciptakan sistim bimas/Inmas, selama lebih dari 20 tahun pemerintaha Jendral Suharto. Sayang untuk
jenis budidaya sayuran dan buah buahan yang sangat dinamis, cultivar cultivar ciptaan
mereka selalu kalah dengan benih atau
bibit dari Thailand !!. Profesornya langganan diundang ke Amerika, e. e
kok malah membuka jurusan Komunikasi, mungkin mendatang juga Sinematografi,
hanya untuk menanggok uang pemasukan dari mahasiswa baru. Kapan berakhirnya
kegaluan ini ? ( kegalauan atu kegilaan ?)
Supaya tahu saja, banyak karya
ilmiah mahasiswanya yang hanya copy paste dari sumber sumber di internet
yang disembunyikan, disambung sambung begitu saja sampai setebal ratusan
halaman, alangkah fatalnya bila mahasiswa ini lulus dengan predikat plagiat ini
ketahuan ? Sedang computer Dosen pembimbingnya lagi ngadat tidak sempurna
koneksinya dengan internet karena hanya membayar Rp 100. 000 per bulan,
rumahnya di desa, tidak dilewatan signal ? dari gaji yang hanya sebesar gaji
pembantu rumah tangga. Bila dia rajin lebih baik ngeteng ke Universitas lain
sepanjang jalur KA dan bus Bogor Jakarta, lha kapan checking pekerjaan
mahasiswanya ? Pikir. Ternyata satu Universitas yang menyandang brand name Founding
Father dari Negeri ini, soal uang hanya diatur oleh geng Yayasan,
bersekongkol dengan Penjabat yang berwenang untuk menggencet Pengajar,
naudzubillah minzalik !!!
Jadi kualitas mahasiswa dan
kuliahnya ya sangat tergantung dari nurani Dosennya, seperti Perguruan Taman
Siswa jaman Penjajahan Belanda dulu, bisa dimengerti banyak Dosen dan Lecturer
yang tidak kuat.
Kalaupun ada lecturer yang kuat
pasti idealismenya sangat tinggi, atau sebaliknya. Dan ini merata diseluruh
dunia pendidikan tinggi, Akibatnya silahkan menduga sendiri. Bahwa idealismelah
yang sangat ditakuti oleh rezim Orde Baru, pingsan, maka kloplah dengan
keinginan Orde Baru., sampai sekarang Orde Reformasi ya begitu..
Ternyata yang mereformasi diri
hanya tingkat Menteri dan Dirjen, banyak memakai hem putih itu saja, bahkan
sampai tingkat Direktur saja masih diragukan, apalagi bawahannya sampai ke
tingkat Propinsi sampai lurah Desa, apa sistim yang mapan yang mereka pakai dari
zaman Orde Baru yang nikmat ini mereka dengan sukarela mau mengganti dengan
sistim pelayanan kepada umum ? Dengan semangat idealisme bernegara ? Mereka toh dididik dalam suasana
phragmatisme Orde baru, hanya cari uang ?
Pikir/
Dan apa gunanya gedung megah,
jadi tempat singgah alien dengan piring terbangnya ? Masyarakat nanti
kecuali membayar cicilan gedung megah, mengeluaran siluman itu saja. Apa
lagi para Profesornya bekas Pejabat tinggi Orde Baru yang dengan royal
dihadiahkan titel Profesor oleh Presiden Orde Baru, Jendral Suharto, sedangkan
dia hanya membayar untuk karya ilmiahnya tidak seberapa ?
0 comments:
Posting Komentar