Daur ulang artikel th 2013
ECOLOGY TANAMAN TROPIKA
Ecology adalah
ilmu yang mempelajari lingkungan hidup. Adanya teknik bercocok tanam
yang baku sebagian besar tanaman budidya kita karena kebutuhan para
Manager Perkabunan Jaman Penjajahan Balanda untuk meng-exploitasi tanah
perkebunan sebaik mungkin supaya mandapat hasil yang MAKSIMAL.
Sayangnya
para pakar ilmu Pertanian yang pertama ada untuk menanganinya
adalah orang yang terbiasa dengan Ekology wilayah empat musim, jadi
banyak asumsi yang terikut secara tdak sengaja, bahwa tanaman tropik berasal
dari Ekology yang lain dari tempat mereka. Misalnya hutan sub tropic dan
sub arcktic Mempunyai kecenderungan yang sama yaitu tumbuhan yang
hidup dihutan alam ini hanya sejenis, dengan semak dibawahnya yang hanya
beberapa jenis tumbuhan saja.
Disabuk
tropic dataran rendah basah selalu hutan campuran dari ribuan species
tumbuhan. Keserakahan ekonomi penjajahan mendiktekan “cultuurtechniek” (
bahasa Belanda) penanaman secara monocultuur – lahan hanya dipenuhi
tanaman sejenis, karena sesuai dengan azas ekonomi: Buat apa
menghabiskan pupuk, pestisida dan tenaga untuk tumbuhan lain yang tidak
menjadi tujuan produksi ? Setelah ratusan tahun sibuk ber-asumsi bahwa
monocultrure ini wajar di ekologi kita, mulailah kita berpikir,
mungkin tanaman tropis memang membutuhkan multi-culture untuk memenuhi
kebutuhan ecosystimnya dan akan menjadikan cyclus hidup tanaman pokok
yang dibudidayakan menjadi lebih baik, sukur sukur bila campuran tanaman yang
lain adalah tanaman yang pantas dibudidayakan karena nilai ekonominya mungkin
belum di-integrasikan dengan upaya agro-industri .
OK, bila terlalu tinggi, ya guna memnuhi kebutuhan pangan segera, sementara disekitar konsentrasi penduduk perkotaan – kebutuhan pangan harian, misalnya pucuk pucuk dedaunan nyaris tidak terpenuhi.
OK, bila terlalu tinggi, ya guna memnuhi kebutuhan pangan segera, sementara disekitar konsentrasi penduduk perkotaan – kebutuhan pangan harian, misalnya pucuk pucuk dedaunan nyaris tidak terpenuhi.
Harapannya
membuat orang ternggugah mempelajari gejala ini dengan ikut memikir,
kemudian checking dilapangan dengan mengadakan inventarisasi, apa yang bisa
dikerjakan dalam jangka pendek dan penelitian dalam jangka panjang kedepan.
Meng-exploitasi lahan pertanian secara multiculture, malah kita sudah punya
istilah sendiri yaitu “tumpang sari” dan “tmpang gilir”, upaya ini bukan saja
harusnya lebih efektip dari monoculture tapi lebih mendukung ecology yang
dibutuhkan oleh tanaman tropis.Katakan tanaman ulam/kenikir:
Kandungan vitamin yang unik ikut menetralkan bahan bahan additive yang dalam jangka panjang mengganggu kesehatah tubuh bila kemarau begini sulit didapat, apa lagi bagi bakul pecel lah sekarang ditengah kemarau ini cari kenikir (Cosmos caudatus – sebaiknya dicari di google dengan kata kunci “kenikir” saja – di Indonesia banyak informasi dan tanaman ini jadi perhtian untuk dimakan, karena kandungan antioksidan, terpaksa menjual pecel dengan sayur dari rebusan daun tua tua yang dijual di pasar. Celakanya juga daun singkong tua – kecuali liat/alot, juga mestinya singkong ini diharapkan hasil umbi akarya, bila tanaman singkong diambil daun-nya tua maupun muda umbinya jadi tidak bermutu, tidak karuan, ngganyong monyong keras berserat, tidak empuk, jadi kita konsumen yang rugi dua kali. Apa kita perlu import dari Thailand ?
Lha kita ini sekaran lagi mengalami krisis kurang sayur yang berkualitas baik dalam musim kemarau. Mbok dicoba disambungkan kacang tunggak ( Vigna unguiculata ) dengan turi ( Sesbania gandiflora), keduanya bisa disayur tapi turi daharapkan lebih tahan kering karena pohonnya besar asumsinya perakarannya lebih baik, sedangkan kacang tunggak parakarannya lebih pendek untuk mencari air dimusin kemarau.
Ide nya sama,
mencari penerapan multi cultur dengan tanaman jangka pendek , yang
menghasilkan uang cepat, umpama sayur yang berkualitas bagus sebagai
tanaman sela dimusim kemarau yang tidak perlu bersaing mendapatkan air dengan
tanaman pokok. Konon sayur lembayung harus dipetik pucuknya ( seperti sayur
kita yang lain) tapi pucuk kacang tunggak ini harus berkali kali pucuk pucuknya
dipetik, sebab baru baik untuk dimakan bila sudah tumbuh dari tunas yang tumbuh
kembali sesudah dipetik yang ketiga kali, petikan pertama dan petikan
kedua pucuk pucuk ini kasar tidak enak dimakan.
Juga daun ketela
rambat Ipomeia batatas dari
familia Convolvulaceae ), satu familia dengan dia, ada semak di tempat tempat
yang basah, batangnya berdiameter 1-2 cm, daun tunggal setelapak tangan
berbentuk hati, bunga terompet besar diameter 10 cm atau lebih, berwarna ungu
pucat nama setempatnya “krangkongan” konon bisa disambungkan dengan
batang ketela rambat, teknik menyambungkan atau occulasinya penulis tidak
tahu, tapi bila sedikit tua batang ini sudah berlubang di tengahnya.
Taknik menyambungkan tanaman yang umum ya sama saja, jaringan yang
bersangkutan harus komplit ploem maupu xylem, harus meristematis artinya
ada cambium yang aktip, harus rata air bidang kontaknya, ( sel sel yang teriris
harus bersih), harus tebebat erat tanpa digeser geser,
dan harus basah tapi streril. Lho kok pindah topic menyambung
tanaman gimana ??
Maksudnya kan
membuat lahan tumpang sari dengan suyur dedaunan yang
dipanen pucuk pucuknya, jadi asumsinya perakaran tanaman ini
harus kuat sehingga mudah mencari air, lebih cepat bila disambungkan
dengan sebangsanya dari satu familia yang mempunya perakaran kuat, dan
afinitas batang atas terhadap batang bawahnya baik., gitu, dari pada
mengharapkan hasil seleksi yang konvensional, kan lama. Baru kita
bisa menganjurkan untuk mengisi lahan dengan tanaman sela sayuran yang bisa
berproduksi panen cepat, karena diambil pucuknya saja.
Tidak heran,
pencatatan yang secara berkesinambungan sudah dijalankan ratusan tahun terhadap
tanaman Kopi Tembakau dan Teh, kemudian baru tanaman perkebunan yang lain
lain.
Tidak heran bahwa baru setelah Indonesia
Merdeka diadakan penelitian tanaman pangan, belum
tentu menurut dasar ekologi tropic basah.
Banyak pemikiran
yag bisa disumbangkan untuk percobaan menemukan kembali teknik pertanian yang
didasari ekologi hutan tropic basah. Dimana sebagian besar tanaman budi
daya kita masih berbentuk tumbuhan liar, yang tentu saja mempunyai
kebutuhan ekologis yang sama, yaitu multi kultur.
Dan ini pun dosa menteri kehutanan yang bukan akhlinya tapi dari
Partai sudrun pesakitan KPK, Yamkuyamda, entah dari kebinet Presiden siapa, yang tega menjual hutan primer di
pulau pulau sebelum kita tahu apa isinya nungkin calon tanaman budidaya, semoga
partainya diasingkan rakyat, semoga kejahatannya ditelanjangi oleh ulama profesional yang
sudah berubah sadar Ngabalin. sebagai ukti kesadarannya.
Kita telah memberi
tanaman- naungan khusus untuk tanaman kopi kita dengan lamtoro (Leuceana sp)
yang telah diubah jadi tanaman tidak berbiji, cepat tumbuh L19 dean L21
yang sudah diciptakan sebelum Perang Dunia II, tapi kasus yang sama
terjadi pada tanaman jeruk siem dan jeruk pomelo (jeruk bali) kita,
tidak pernah dianjurkan memberi tanaman naungan dan tidak pernah diteliti
kebutuhan penyinaran sesuai dengan siclus pembuahannya. Karena tanaman ini
posturnya relatip pendek dari tanaman hutan yang lain jadi
pasti bentuk liarnya dihutan bila masih ada, masih dibawah naungan
pohon hutan yang lebih tinggi. Taunya hanya di iklim kita.
jeruk yang berasal dari hutan kita selalu kena penyakit virus CPVD (
Citrus Phloem Vein Degeneration desease). Sehingga di situasi
tropis ini kita harus balapan menyambungkan jaringan yang belum
terinfeksi ke batang bawah bibit kita dan melindunginya dari vektor
virus CPVD hama pengisap Diaphorina
citri selama hidupnya. Ini mah bukan jalan keluar yang benar
dan normal.
Kesimpulannya
petanilah yang harus mencari sendiri cara tropis untuk berbudidaya
tanaman tropis. Yang nenek moyangnya tanaman buduaya ini masih hidup liar
dihutan hutan kita mumpung belum digunduli semua, dengan meneliti plasma nuftah
yang tertinggal. ( sayang kok harus Petani sendiri, mencukupi
kebutuhannya saja masih sulit, karena kahan yang terlalu kecil)
Oleh karena sekolah Pertanian tidak laku,
Sarjana Pertanian harus bekerja mandiri (bukannya tidak bisa, tapi membutuhkan
modal yang besar sekali, karena harus terintegrsi dengan konsentrasi
hnnian dan pemrosesan pangan, yang tiada seorangpun yang
mempunyai kemauan politik untuk ini, tidak Pemerintah apalagi
Perbankan, mereka tidak terjangkau ). Menteri dan Bupati yang sudrun
lebih memilih para investor besar /calo untuk memberikan lahan pertaniannya,
yang jutaan hektar, gitu saja trus lahan itu jadi bankable, kalok
ditangani si Raja Tega (yang sedih apa apa tidak boleh- trus nyuap bupati
Buol 7,3 milliard baru jadi raja hutan), seperti yang terjadi pada bekas
lapangan Terbang Kemayoran- 33 Ha ditengah Ibu Kota*)
0 comments:
Posting Komentar