Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 20 April 2015

BIDANG PENDIDIKAN - IIKHLAS ADALAH BUAH DARI POHON KETULUSAN

IKHLAS ADALAH BUAH DARI POHON KETULUSAN.
Mustahil, apabila orang mengatakan bahwa dirinya ikhlas berjuang menjadi “petugas” apapun, tanpa kelihatan pohonnya yaitu ketulusan ?. 
Ketulusan sebenarnya adalah pohon yang berbuah sesuatu yang sangat penting untuk tumbuh kembangnya watak manusia yang sangat penting yaitu keikhlasan
Sebagai teks nyanyaian “Pahlawan tanpa tada jasa” keikhlasan adalah “hanya memberi didak harap kembali” , bukan hanya harap kembali tapi berfikir pemberiannya akan diapa-in pun tidak terfikir, apalagi apa akan jadi kebaikan bagi si pemberi atau si penerima-pun tidak terfikir, pokoknya lillahi ta’ala. Jadi ibaratnya walau pemberian itu akhirnya dijual juga tidak membuat dia masygul.

Hukum Islam mengatakan bahwa pengangkatan seorang anak, harus dijelaskan nanti pada anak bahwa dia adalah anak angkat, harus diberitahu orang tua biologis dari sang anak, sedini mungkin. Tidak boleh dengan cara lain apapun, kecuali memang si pengangkat anak memang tidak tahu, tapi riwayat pengangkatan itupun harus terbuka. Sebab azasnya adopsi anak adalah demi hari depan anak itu bukan untuk egoisme sang ibu yang mandul.
Sebagai illustrasi kita andaikan seorang balita, sejak kecil dipiara oleh orang tua angkat oleh suatu hal. Apabila pengangkatan anak itu dirahasiakan dari si anak, pasti bocor kepada orang dewasa yang lain. Akhirnya karena dengan satu atau lain jalan, akhirnya si anakpun tahu orang tuanya sebenarnya. Motivasi sangat kuat untuk mencari siapa sebenarnya orang tuanya adalah gossip pembantu rumah tangga yang mengira dia anak pembantu sederajad dengan mereka, sedang si anak sudah tahu dia bukan golongan itu. Pengetahuan itu menjadikan suasana pergaulan diantara mereka menjadi artificial, sangat menyangkut egoisme – sangat mempengaruhi ketulusan perilaku. Pohon ketulusan sudah ternoda dari perilaku egoisme orang tua angkat, bila pohonnya sudah cacat bagaimana bisa membuahkan keikhlasan perilaku pada anak angkatnya ?.
Hukum Islam melarang adopsi anak tanpa memberi tahu anak ini, orang tua biologisnya siapa.
Anak ini dewasanya adalah korban, dia tidak mengerti keikhlasan itu apa, dapat dimengerti, karena tanaman ketulusannya (berpura pura seolah olah tidak mengerti bahwa dia anak angkat) bagaimana kecilnya karena orang tua angkatnya memang berbuat sebaik baiknya dengan tulus, meskipun keegoisannya masih ada, telah menodai pohon ketulusan si anak angkat. Bagaimana pohon ini tumbuh kembang sempurna nanti ?
Dalam membentuk masyarakat, jelas individualisme yang dimiliki sebagai bekal lahir, harus segera disusul dengan kasih sayang ibu bapanya, kemudian lingkungannya sebaik baiknya terutama ketulusan pihak kedua secara terus menerus. Disertai dengan ketegasan yang tidak bisa ditawar,  umpama membuang sampah sembarangan si anak harus segera mengambil dan dibuang ke tempatnya yang sudah disediakan. Penghormatan pada kepentingan umum adalah pendidikan yang harus tuntas dan tertanam erat menjadi ketulusan, berlanjut pada kepentingangan masyarakat luas dan jangka panjang. dalam hal ini saya merasa hormat pada Konfusius yang mneyadari hal ini ribuat tahun yang lalu. Kesetiakawanan sosial diwujudkan dalam iklhas pada negara, ikhlas pada orang tua, ikhlas pada sesama.
Ternyata akar dari watak mendua yang tak terpisahkan rwa binedha  yaitu watak individualis dan watak collegial berbeda, yang pertama dari lahir sedang yang kedua dari pendidikan sesudah lahir. Makanya jauh lebih gampang orang tergelincir jadi egoist koruptor kayak Prof. Aqil Mukhtar, kayak Suryadhama Ali. Daripada merunuti hidup mementingkan masyarakat kayak Ki Hajar Dewantoro, Fadila Faradisa penggerak bank sampah di Tangerang, Drs. Mohammad Hatta alm. Founding father kita, adalah hasil pengaruh lingkungannya yang mendukung kecenderungan hidup mementingkan masyarakatnya. Secara luas ini adalah hasil pendidikan lingkungan yang diterima oleh anak pada saat yang tepat.
Disini dengan sangat terpaksa saya harus mengakui bahwa sifat sosial atau sifat mementingkan masyarakat harus  di- didik-kan  kepada generasi muda dengan sungguh sungguh dan cermat, apabila hendak mengurangi sampai minimum anggauta masyarakat yang egois, giat berkorupsi kolusi dan lain kejahatan terhadap masyarakat. Lain halnya dengan pengajaran mencapai prestasi orang per orang, misalnya kepandaian dan ketrampilan seseorang, yang relatip lebih mudah dicekokkan karena sudah ada “bakat”sejak sebelum dilahirkan.

Yang pantas diingat upaya pendidikan watak sosial sangat erat hubungannya dengan suasana hati yang dibimbing oleh ketulusan, sedangkan pendidikan scholastic hanya dengan disiplin.
Jangan dikira, kelulusan yang dicangkokkan di usia dewasa ini terlambat ada, malah sudah digunakan dalam bidang militer yang penuh dengan disiplin dengan watak yang ditempa dengan "esprit du corps"/ kesetikawanan korps, yang juga membuahkan keikhlasan berkorban demi kelompoknya, malah harus ditakar dengan hati hati, sebab keikhlasan ini menyangkut nyawa, kekuatan fisik dan hukum.
Coba to diingat, makin maraknya Petugas Negara yang pentalitan korupsi kan sejak mereka yang mendapatkan pendidikan Orde Baru selama 32 tahun, ditandai dengan umur merekan kebanyakan kurang dari 40 sampai 60 tahun. !! Dimana pendikannya disusupi dengan watak cari uang yang sama sekali tidak ada ketulusan mendidik. Setelah jadi PNS pejabat pemerintah apa saja, ya langsung cari uang sampingan, dengan alasan gajinya kecil, tanpa peduli yang dirugikan siapa.
Apalagi sesudah guru guru didesa desa dibantai ramai ramai karena termasuk anngauta PGRI non vaksenral di tahun 1965  secara borongan tanpa pilah pilah, yang betul betul anti Tuhan dan anti Panca Sila siapa. Sesudah itu waktu seluruh tingkat pendidikan dibebaskan oleh rezim Orde Baru mencari beaya untuk mereka sendiri. Waktu yang panjang untuk mengabaikan “ketulusan” mendidik, dan berkerumun disekitar pemegang dana di Kabupaten Kabupaten. Periode 32 tahun sangat cukup untuk memporak perandakan pendidikan yang tulus – nah hasilnya ya manusia sekarang yang aneh sekali sangat lekat pada prilaku egois korupsi, saling sikut seperti sekarang, mereka sangat banyak tidak bisa diingat satu persatu lagi. Prilaku buruk menjangkiti bahkan pendidikan Agama, dengan pelecehan sex oleh Uztadz pada ABG,  diberitakan secara royal dimana mana, kekerasan kepada anak usia dini dan sebangsanya.
Generasi korup akan diproduksi terus menerus hingga kita sadar, perilaku ketidak tulusan  sudah menjangkiti mendalam sekali di dunia pendidikan, bukan saja dibidang pengajaran saja.
Lantas dengan dasar apa kita mengharapkan pengabdian pada bangsa dan Negara oleh tentaranya dan PNS nya, anggauta partai pada partainya, pribadi pribadi pada masyarakatnya  dengan iklhas ?
Sedangkan pohon ketulusan sudah kita babat habis tanpa menanam kembali ? *)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More