LAHAN PERTANIAN HARUS JADI MILIK PETANI –MEREKA YANG TERBUKTI PENJAGA LAHAN INI YANG PALING SESUAI. TERMASUK LAHAN GAMBUT.
Sedangkan artikel di blog ini yang mengnai lahan gambut tidak diminati oleh pembaca blog ini, saya coba dari segi sejarah, dari segi teknik pertanian, kini saya coba dari segi sociology dan cost –benefit-ratio antara mencegahan kebakaran lahan plus beaya pemadaman dibandingkan dengan penyiapan lahan gambut menjadi lahan pertanian pangan yang jadi milik petani – tentu saja oleh Pemerintah. Karena Pemerintah Pemerintah terdahulu nampaknya kok gamang, dan segera tersirat dalam penyerahan lahan istimewa ini kepada Pengusaha Besar dalam dan luar negeri dijadikan bagian dari HGU Kelapa Sawit. Jadi si Sudrun ini bisa lepas tangan. Tapi lahan ini yang de facto masih diakui oleh adat – tanah ulayat – menurut Pak Herman Saragih – semoga tekanan darahnya tetap normal, pengasuh Editorial di Metro TV jam 730 hari Senin tg 7`/9/2015 tanah ulayat yang jadi tanah hak milik ini bila sudah dibakar harganya menjadi berlipat lipat dari tanah gambut alami !!! Hanya satu kegalauan yang tak knjung padam: SPERTI API GAMBUT YANG TAK GAMPANG DIPADAMKAN, KARENA GAMBUT ADALA SPONGE BAHAN CARBOHIDRATE YANG KERING BILA KEMARAU PANJANG KARENA DITINGALKAN OLEH ISINYA YAITU AIR, YANG pH NYA SANGAT ASAM, JADI TIDAK BISA SERTA MERTA JADI LAHAN PERTANIAN. (SELANJANTUTNYA BACA DI BLOG INI DENGAN KATA KUNCI “LAHAN GAMBUT” ATAU DI GOOGLE SANGAT LENGKAP)
Pencanangan saya mengenai pemanfaatan lahan istimewa ini. Saya kini sudah 77 tahun, kegalauan ini sangat menggerus daya hidup saya . Saya masih beruntung bisa berteriak menggunakan blog ini. Tanah, pada dasarnya milik pemerintah Republik Indonesia, tapi menurut UUD th 1945 dimanfaatkan untuk sebesar besarnya demi kepentingan rakyat Indonesia. – (sampai di bahan tambang dibawahnya)
Apabila Pemerintah memfasilitasi pembangunan lahan gambut ini dijadikan milik petani bukan perkebunan modal besar yang penuh tipu daya seperti biasanya, ,akan saya jamin petani bakal menjaga lahannya supaya spons ini cukup air untuk musim hujan dan musim kemarau, penuh dengan tanaman budi daya, terjaga kesuburannya den kelstariannya, malah jauh lebih banyak menyumbang Negara dari pada sekarang, menggerogoti kesehatan saya, menyewa helipopter, pesawat membom air dari Australia dan beaya kunjungan penjabat, beaya rapat dan seterusnya, coba pikiiiir.
Andaikata tanah ini dibuka menurut metoda kakek moyang kita di Pulau Jawa – para Wliullah – dirawa rawa muara sungai Brantas dan bengawan Solo- Negara harus mengeluarkan beaya misalnya hingga 100 Juta rupiah per Ha, lengkap dengan pendukung kegiatan ekonominya, antara lain transportasi dan hunian, menggunakan alat alat berat dan bahan semen prefabricated, beton prestressed yang ringan dan perencanaan yang teliti mengenai arah saluran pematus dan pengisi, pompa pompa air dan pipa pipanya. Maka beaya ini akan jauh lebih murah dalam jangka pajang dari menjaga dan memadamkan pembakarannya yang sangat sulit dipadamkan berulang setiap musim kemarau panjang, kerugian ekonomi seluruh pulau Sumatra dan Kalimantan terganggu selama berbulan bulan, termasuk sangat mungkin harus membayar ganti rugi untuk Kerugian Negara Singapura dan Negara Malaysia yang pasti rewel, selama puluhan tahun mendatang, tidak dihitung kerugiasn Rakyat dan Negara kaena tidak dapat mengambil manfaatnya sebagai lahan produktip – yang mestinya malah menyunbang komoditas pertanian yang berdaya tukar baik dengan produk produk pangan yang mesti di import kayak bawang putih dan kedelai. ( sudah ada di blog saya dengan kata kunci Ketela Pohon (Ketela pohon - Manihot utilisima, Budi daya Kedelai dll sampai saya lupa)*)
0 comments:
Posting Komentar