Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 10 November 2015

BINTARO - TUMBUHAN BERACUN

BINTARO, TERNYATA TUMBUHAN BERACUN.
BINTARO  ( Carbera manghas L , atau Carbera odollam Gaertz) satu tumbuhan  pohon yang beracun, salah satu dari banyak tumbuhan  yang kita dekatkan ke hunian kita, mngkin tanpa kita sadari.
Sebab saya banyak nganggur, watku  saya pergunakan browsing, sekedar pengembra di dunioa maya, setelah nonton Metro TV siaran jam 5 30 pagi tanggal 5/10/2015 mengenai pecobaan dan penelitian oleh siswa siswa  SD. pembuatan racun  untuk memberantas rayap dari buah pohon Bintaro, lengkapnya dari
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas: Asteraceae
Ordo  : Gantionales
Familia:     Apocynacease  Species : Carbera mangas L
Karena penasaran, browsing saya lenjutkan, mengenai pohon racun ini, dn ternyata sudah banyak penelitian mengenai Binatro ini, antara lain  sebagai bahan penelitan tugas akhir untuk persyaratan ujian akhir S 1. Antara lain penelitian dari Utami, Laola Samira Noor Farikah dan Haneda dalam  Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, dan masih banyak penelitian yang serius dari lembaga lain yang bisa diketemukan di google. Misalnya penelitian oleh Institut Teknologi Sepupuh Nopember (ITS) Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dengan judul : Pengaruh ekstrak daun bintaro ( Cerbera odollam Gaertz) terhadap perkembangan ulat ulat grayak ( Spodophtera litura L) `oleh team terdiri dari Nur Alindalus Sa'Diah, Kristanti Indah Purwani dan Lucky Wijayanti-  Hingga mengajari kelompok anak anak kelompok dari  SD, SMP, dan SMU sebagai  pelajaran penelitian dan karya, seperti yang ditayangkan di Metro TV pada tg  5/10/2016 jam 5.30 menpraktekkan pembuatan racun  anti rayap ( Termes) dari ekstrak daun bintaro ini.  Sampai penelitian ditingkat karya ilmiah untuk lulus  sarjana S1. MengenaI daya racun ekstrak daun bintaro dengan menggunakan berbagai pelarut,  proses ekstaksi dengan berbagai konsentasi pelarut sebagai racun perut ( artinya racun yang terikut dalam makanan – terhadap larvae Spodophtera litura instar 2 dan instar 3) Tujuan penelitan penelitian ini sangat bagus, seperti juga pekerjaan  praktek alami dari nenek moyang kita jutaan tahun yang lalu, sehingga mereka mewariskan kepada kita penggunaan tumbuhan dan jasad hidup yang lain atau berbegai mineral   menjadi obat obatan atau perbagai bahan racun atau pewarna ( berbagai ramuan jamu tradisional misalya quinine – obat pengendali parasit malaria juga obat obatan tradisional yang lain)  dan berburu hewan yang lebih besar ( dilumurkan ke mata sumpit atau panah  seperti strichnin), mengawetkan makanan ( garam dapur)  dan mencari ikan ( tuba/rotenon). Tentu saja ekstraksi ini hanya bertujuan mendapatkan bahan yang dibutuhkan dalam keadaan lebih pekat sehingga ringkas dalam pemakaiannya bisa mencapai konsentrasi yang diperlukan, dan dapat disimpan untuk digunakan sewaktu waktu, seperti dilumurkan pada anak panah dan sumpit, obat luka, dan pengawet. Jadi ekstraksi ini kebanyakan direbus dengan air. Kebetulan apapun senyawa yang ada dalam tumbuhan selalu harus bisa larut dalan air (beda dengan getah atau resin di kulit tumbuhan atau bagian luar dari sel tumbuhan)  Adapun digunakan pemanasan itu tujuannya hanya mengurangi pelarut air  agar menguap dan mematikan senyawa senyawa pengurai seperti enzime  dari sel sel tumbuhan atau jazat renik bila ada. Jadi pada dasarnya penggunaan  bahan bahan tumbuhan yang kita cari ini memang dengan cara yang biasa digunakan oleh moyang kita jutaan tahun yang lalu. Hanya sekarang saja ilmu pengetuhan mengajarkan bahwa banyak vitamine dalan tumbuhan bisa hilang dan rusak dengan mencuci dan merebus secara berlebihan, atau  dari senyawa senyawa yang kita cari itu larut lebih mudah dalam alcohol atau normal hexane dan ester.
Sebenarnya berurusan dengan racun, yang harus kita ketahui adalah seberapa  racun ini berbahaya  terhadap manusia yang menggunakan daya racunnya kepada hama tanaman, atau kutu kutu ternak , atau hewan piaraan kita..
Sebenarnya setelah  ekstrak  ini didapat,  kita sudah tahu derajad bahaya  racun ini terhadap manusia sendiri,  dengan dicoba terhadap binatang menyusui baik kelinci maupuan tikus atau marmot percobaan atau kelinci percobaan  sehingga kita tahu berapa besar bahayanya kepada manusia,  karena manusia adalah warga binatang menyuusui, yang kurang lebih mempunyai metabolisme yang sama.
Daya racun terhadap tikus atau marmot dinyatakan dengan bilangan yang  menyatakan berapa jumlah berat badan binatang berdarah panas  yang mengkonsumsi racun itu,  dalam sekelompok/ sekandang sesuai dengan variasi consentrasi racun yang dimakan meerupakan racun perut  “ lethal dosis” atau LD. Biasanya dhyatakan dengan LD 50.
Artinya apabila ada sangkar populasi tikus, kelinci  atau marmot  yang diberi umpan racun yang kita teliti, sedangkan tikus tukus atau marmot itu  rata rata separo mati(50%) dengan dosis racun tertentu (dalam hal ini kilogram bahan dari tumbuhan bintaro terhadap liter larutan jadi atau larutan kerja yang terpakai ) , maka dosis itu disebut Lethal Dosis 50% atau LD 50 terhadap tikus atau marmot. Dosis ini bisa dinyatakan dengan consentrasi racun dalam umpan “ oral toxisitas” , bila di lekatkasn ke kulit  desebut  “ toxisitas dermal”, jadinya disingkat jadi LC 50 dermal atau oral, dalam ukuran miligram total racun yang diberikan, dibagi dengan  total berat binatang  percobaan.  miligram atau mililiterer per liter  dibagi dengan Kg  berat total binatang percobaan..  Mendapatkan angka LD 50 atau LC 50 ini dengan menimbang berat binatang percobaan, yang bisa mati separo ( 50%) dari jumlah sekandang  binatang berdarah panas  yang dicoba. Semakin kecil angka LD 50 atau LC 50 ini semakin berbahaya ekstrak yang kita pergunakan untuk larutan kerja, sehingga kita  bisa memperkirakan berapa konsentrasi larutan kerja yang kita pergunakan, atau timbangan bahan dasar yang kita ambil untuk diproses ekstraksinya. Angka LD 50 demal atau LD 50 oral ini sebaiknya diketahui sebelum percobaan dilakukan, demi keselamatan kerja, semoga berguna...*)

Sebagai catatan,pada tahun 1980-han,   Komisi Pestisida  di Departemen Peranian Republik Indonesia  memutuskan bahwa semua pestisida yang diperdagangkan  di Indonesia, harus memenui persyaratan LD50 dermal> 500 dan LD50 oral > 50, demi lebih amannya para pemakai.
Sedang  yang berbahan aktip chlor hidrocarbon seperti DDT, Dieldrin dan Endrin meskipun telah memenuhi syarat LD 50 oral maupun dermal tetap dilarang beredar sebab senyawa chlor hydrocarbon ini sangat persistent sehingga residuenya menumpuk di lahan yang diperlakukan, dalam jangka penjang tanpa bisa terurai secara alami, menyebabkan cancer. Toh DDT masih beredar bebererapa tahun kemudian, untuk pemberatasan malaria, sebab pabriknya di Gunung Putri, Montrose memberikan lisensi pembuatannya kepada salah satu putra Presiden saat itu*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More