Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 27 Juli 2016

ERA ARUS BALIK KE FEODALISME DI INDONESIA

ERA ARUS BALIK   KE FEODALISME DI INDONESIA.
Feodalisme dan multi partai di Indonesia. Pasca  Orde Baru
Feodalisme  memberikan kekuasaan Masyarakat   kepada tokoh atau  individu yang memiliki  keunggulan  fisik maupun mental.
Ini cara primitip dari masyarakat   memilih Pemimpinnya, malah  bisa bertahan sangat lama, selama ratusan abad semenjak manusia meninggalkan azas Perbudakan yang kurang produktip.
Jangan dikira masyarakat dulu tidak mengerti kelemahan sistim ini karena seringnya feodalisme menclorkan  para Despot yang otoriter dan kejam tanpa  bisa dikoreksi, sehingga rakyat hidup sengsara dalam waktu yang lama. Hanya di tanah  Inggris ada sosok Cromwell yang bisa menghadiahi "Magna Carta".kepada rakyat Inggris.
Konon, Raasulullah  Muhammad salallahu allaihi wassalam, jaman perkembangan Islan sejak awal  sangat suka akan sebutan “Amirul Mukminin”(Pemimpin kaum muslim)  dari sebutan yang lain, apalagi Sultan atau Khalifah.
Segera sesudah pertentangan hebat dikalangan muslimin mengenai pengangkatan empat khalifah ur rasyiddin  yang penuh dengan kekerdilan suku dan puak, katurunan Abu Sofyan, bani Ummayah mengambil alih kekuasaan dengan mengangkat keturunannya sebagai Sultan. Dasar Abu Sofyan tukang perang yang sangar dan keras,  memberikan   gelar  Sultan ,  kepada anaknya, Pemimpin  Wilayah  yang sampai  sekarang  ya itulah sebutannya yang  dipilih penguasa  dunia islam. Mereka jauh dari Demokrasi  yang tarsirat dalam  Islam.
Saya menandai, sejarah berulang, di Indonesia kita ini, setelah Founding fathers Negeri ini sepakat mendirikan Negra Demokratis, Republik Indonesia, diproklamasikan tahun 1945, segera setelah dua puluh tahun kemudian muncullah kudeta militer yang keprakarsai oleh grup Jendral jendral dipimpin oleh  Kolonel Suharto, dibantu oleh Sir Gilchrist dan Mr. Green,  kemudian menjadi Despot selama 32 tanun secara formal berpangkat Jendral.  Dia sangat kecewa dianggap turunan Sultan Yogya dari istri ampil yang tidak bakal berhak menggantikan jadi Sultan, dia bisa bikin Kesultanan sendiri seperti Ke Arok,
Cuma di jaman moderen ini,  dia lebih suka Presiden turun temurun  dari putra putrinya yang dia persiapkan dan dia tunjuk begitulah jalan pikiran “beliau”  yang saya tebak. ( Sebutan beliau karena saya tahu masih banyak militer yang sangat menjunjung beliau – nenunggu saat yang baik untuk dapat dukungan dari negeri adhidaya.) Maka selama itu terjadi arus balik kearah neo feedalisme yang berakibat kerancuan hingga sekarang.
Indonesia wilayahnya sangat luas, dan terdiri dari pulau pulau, berlaku juga sebagai  penghalang alami untuk saling bercampur antara suku suku dan puak puak di pulau pulau tersebut.
Perkembangan masyarakatnya sudah mencapai feodalisme, berkembang dari bentuk  awal rata rata ialah semacam bentuk perbudakan, mendapat pengaruh dari anak Benua India – Terbentuklah kerajaan kerajaan Hindu dan Budha dengan pusat pemerintahan, keagamaan dan perdagangan, Tapi di pulau pulau jauh,  masyarakat tingkat kampong dan puak menirunya juga, mereka menjebut dirinya raja, dan sultan dengan sebutan “syah”  dan “sutan” misalya Syah Kuala untuk penguasa Bandar  ditepi muara sungai menjadi penarik pajak pak Ogah, pada pedagang yang keluar masuk dari dan ke pedalaman, menukar berang kebutuhan dengan  hasil hutan.
Penarik pajak pak Ogah dan pengguna  tenaga gratis dari suku dan puaknya mengandalkan berbagai keistimewaan dirinya dan  kakek myangnya yang memang sudah menghimpun kekayaan yang berharga pada saat itu, otoritas  dan tanah pertanian, seperti Sultan Deli yang mempunya otoritas memiliki tanah untuk tembakau Deli yang disewa Perkebunan Tembakau cerutu Kolonial Belanda. Otoritas yang lebih kecil menguasai tanah adat tanaman kayu manis, kebun pala dan kebun cengkih. Kekayaan ini  menjadikan ke feodalan  mereka bertahan lama, hanya dihapus oleh pengabaian rakyat secara moral, oleh penjajahan ekonomi perang Dai Nippon menghapus hak istimewa mereka dan euphoria Kemerdekaan th 1945.
Asal mula penokohan feodal ini bisa dilacak seapanjang sejarah sebagai berikut:
Kekuatan fisik badaniah – jagoan kampong yang menjadi Kepala Kampung bergelar Raja,  menjadi pemburu binatang besar besar, piawai menggunakan senjata dan kejam, hingga memiliki senjata api yang kala itu sangat langka.
Kepiawaian retorika  dan bersekutu-  kepiawaian merayu dan memanjakan si kuat dengan akal bulus dan omong kosong, dan wanita  Juga mengandalkan senjata api, Perilaku yang membuat dia  sebagai penerima pemberian  tapi bukan mengemis.
Kharisma dan Keturunan kakek moyang jagoan -  Biasanya mengandalkan atribut atribut gaib atau kepemilikan senjata api yang mematikan dan sangat langka. juga menyebarkan dongeng mengenai dirinya dan kakek moyangnya yang istimewa disertai umpan materi, kepada pengikutnya. Presiden Ferdinand Marcos alm.  saja memitoskan kakek moyangnya secara gaib keluar dari ruas bamboo.
Mereka cocok dengan rencana Orde Baru, untuk mengembalikan  azas penundukan kawula/hamba Negara, bukan warga Negara pada sang Despot.
Golongan manusia ini yang menjadi  bibit bibit feodal kampong, yang dalam era  Orde Baru, menanjak naik daun, hingga ke jenjang pemerintahan dan business. Karena Orde Baru  mencari sekutu di wilayah wilayah yang luas ini untuk menghapus  semua  euphoria Kemerdekaan oleh Founding father kita.  Diganti dengan penundukan  kepada Orde para Despot daerah, yang tunduk pada Despot besar, dengan azas  yang lebih awet dari sekedar Presiden seumur hidup. Wong orang Sumatra saja menjilat Ibu Tien dengan mendirikan tugu peringatan ari ari  atau tembuni  bayi Siti Suhartinah di Kecamatan Karanganyar Solo.  Ternyata masih meleset,  Negara Orde Baru sudah keburu bangkrut sebelum Diktatornya meninggal dan menunjuk  pengganti, diantara putra putrinya karena si Diktator uzur sudah bisu, kena stroke .  Kecuali pengganti menurut Konstitusi, bukan kemauan pribadi sang Diktator. Sayang pengganti konstitusional ini anak angkatnya, melorot dari gendongan lepas dari dekapan, menjadi demokratik, karena menyerap kebudayaan Jerman yang sudah muak dengan Diktator, BELIAU TAHU BETUL BETAPA DIKTATOR ITU BISA SANGAT MENJERUMUSKAN BANGSANYA, KE KENISTAAN  WONG DI JAMAN MODEREN INI BISA MENCIPTAKAN MIS- INFORMASI, AGITASI DAN PROPAGANA BISA NENCUCI OTAK RAKYAT, SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH GOBLES DAN HITLER..
Sekarang tidak disapa atau "dijotak" sama putra putrinya yang mestinya dia tunjuk menggantikan beliau, kok sampai habis waktu menggantikan jadi Presiden diem saja, si putra putri dan tentaranya........kok ya nggak brani merebut lhoo, dasar manja. Senangnya cuma berebut mati matian jarahan diantara saudara saudari sendiri, bikin susah SANG IBU SAJA.

Tokoh tokoh di pulau pulau diluar Jawa temuan Orde Baru ini sebenanya adalah keturunan kaum feodal yang pada zaman Revolusi Kemerdekaan sudah dicampakkan oleh rakyat karena pro Penjajah Belanda, yaitu keturunan dari  penanda tangan Traktat Panjang ( lange Tractaat) suatu Dokumen Penaklukan  semua Penguasa Kaum Feodal Pribumi setempat kepada Penjajah  Gupermen Hindia Belanda.  Sedangkan yang tidak mau menandatangai Dokumen Penaklukan ini keturuannya tidak diakui hak haknya oleh Gupemen Hindia Belanda, Di Bali malah punah melakukan puputan, di Sulawesi Selatan , Kalimantan  Kertanergara, menjadi rakyat biasa dan bibit asal muasal pejuang  perlawanan demi Kemerdekaan.
Setelah Orde baru gulung tikar, mereka nimbrung kedalam Orde Reformasi dengan membuat Partai Partai yang tidak masuk akal, tapi masih punya suara setempat untuk  Wakil Legislatip Pusat dan Daerah, karena sentiment daerah dan puak saja, terutama oleh pengaruh uang. E, e dari sisi  lain malah melontarkan ide supaya koruptor tidak dipenjara, sebab mengerti siapa sebenarnya para koruptor ini, tidak lain adalah kaum feodal  kayak dia sendiri, bukan kampungan atau ningrat,  sultan, dan puan, tapi dari  korps  bersenjata - yang pembelian alutsistanya amburadul, masuknya di Akademi dengan KKN - ciri dari feodalisme itu sendiri. Saya dengar  Tukang Bersih  Jamban Nusantara dicopot, alhamdullillah, rakyat tahu, nyalon jadi Presiden saja Pak, pemilihnya warga Nusantara rizalullah, yang nyopot anda biar jadi wakil, sekaligus tukang cuci piring abis pesta pora tiga tahun sampai pemilu 2019 ni yeee.. lumayan.
Yang tradisional kuno gelar gelar feodal adalah bagindo dan sutan,  raden , elang,  ratu, datuk mamik dan  anak agung,  jero, daeng, andi dan umbu.  Banyak yang sudah tidak populer dipakai karena sudah cemar dulu dulu, yang masih dipamerkan dengan bangga  Ratu seperti Ratu Atut Kosiah, Sutan seperti Sutan Batugana,Andi seperti Andi Nurpati. Yang moderen dan lebih populer sering dipamerkan adalah  Dr, S sos,  PhD, KH, Ms, Alm, Dll. Yang kita tidak tahu dari Universitas mana karya ilmuanya apa, bayar berapa. Seperti yang dipakai oleh anngauta DPR RI yang terhormat, yang dari luar negeripun banyak yang abal abal.
Karena itu  ‘Perlementiary threshold’ atau  “ambang batas” minimum perolehan suara  yang direncanakan harus  lebih tinggi 7 – 15 persen akan menghalangi mereka para feodal kampong mengacak acak DPR dan DPRD mndatang, bukan kayak sekarang..
Demikian hanya Partai Partai yang perolehan suaranya meluas  dan cukup mewakili  Nusantara akan punya wakil wakil yang diharapkan jadi negarawan negarawan yang memikirkan  hanya kemaslahatan ummat saja.
Kecuali dari organisasi Tani abal abal tapi cabang dan rantingnya diseluruh Indonesia, wong pendirinya Dinas Pertanian Orde Baru diseluruh kecamana di Indonesia, yang dibeli khusus untuk keperluan nyapres, untung, alhandulillah nggak jadi..
KPU nya harus dibersihkan dari unsur unsur  ”nakal” seperti kejadian yang lalu oleh si wajah lugu dan lembut seperti  Andi Burung Dara,  dari Pertai Pemenang suara nomer satu yang main angka perolehan suara, tapi bisa lolos dengan selamat. Saya khawatir,  apa bisa KPU  diangkat dari angauta masyarakat yang jelas, karena jauh jauh hari Orde Baru sangat gemar mem-“blow up” tokoh abal abal, tokoh karbitan di politik dan business lewat media massa, yang dipoles wartawan  pesanan, Lantas gimana bisa dipilih tokoh  berintegritas  tinggi bagi bangsanya, mereka seharusnya tidak akan meloloskan orang dengan reputasi Petugas Partai yang membuta tuli, Pokrol Bambu,  Berjazah palsu,  Hidung belang dan Pedofil, homosex  maupun psichopat dan pecandu narkoba seperti sekarang, yang   masuk jadi anggauta DPR, dan DPRD,  atau jadi Bupati  kita ya itu. Kok bisa ya ?.
Sehingga rakyat  bisa merasakan mulianya diwakili oleh  tokoh yang sudah lama ditutupi oleh bisingnya suara sorak sorai Orde Baru, meniup  gelembung sabun dari kadernya.  Bupati kayak yang diharapkan, baik calon yang menang maupun yang kalah ?  Semoga Allah menunjukkan  ke jalan yang benar bagi bangsa ini*)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More