13. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 12)
3.59 PM SUBAGYO KOESNO NO COMMENTS
ARIA WIRARAJA DARI PAMEKASAN
Aria tua ini sangat bijaksana, setelah sekian lama, hampir tiga tahun kurang tiga bulan sang Jayakatwang dengan segenap pasukan telik sandi yang hebat tidak bisa diragukan kerjanya, gagal menemukan Pembongan kecil Pelarian dari Singhasari. Malah dia sanggup menampung mereka, dia mempertaruhkan namanya dan nyawanya tanpa diminta oleh Bupati Tuban, bahkan diyakininya Bupati Tuban tidak tahu bahwa sekarang Pelarian pelarian yang sangat dicari cari oleh sang Jayakartwang itu sudah ada di hadapannya.
Bupati Tuban hanya mengenal kekuatan telik sandi sang Jayakatwang sedangkan Arya Wiraraja dapat memeprhitungkan betapa jaringan yang membela Raden Wijaya berbulan dalam pengejaran dan penyisiran pasukan berkuda yang berubah jadi pasukan penarik pajak paksa dari rakyat itu. Tentu mereka dibantu secara sepenuhnya oleh kelompok yang hebat, dapat mengejek dan mengelabuhi telik sandi orang yang secerdik dan sekaya Prabhu Jayakatwang kini.
Aria tua ini sangat kepingin tahu pejuang yang gigih demi mempertahankan nyawa ini, orang yang dapat mengalahkan Prabhu Kartanegara di papan catur adalah orang yang istimewa. Tambah dengan kecerdasan orang yang telah mengelabuli sekian banyak telik sandi, yang mencari kabar kebeeradaan putra putri Prabhu Kertanegara, yang mudah ditandai , karena wajahnya gaya omongnya pasti lain dari rakyat biasa, hadiah bagi mereka yang dapat menunjukkan dimana mereka bersembunyi selama ini, sudah cukup jaminan bahwa kepergiannya ke Pamekasan pasti juga tidak ada yang tahu. Pagi pagi dia menerima rombongan di wantilan dalam istana Pamekasan, Raden Wijaya dan para pengikutnya, putra putri Kerajaan Singhasari. Beliau merasa heran bahwa putra putri raja ini ternyata nampak segar dan sehat, malah agak kecoklatan kena sinar matahari yang banyak. Dia juga kagum bagaimana bisa mareka diantar oleh perahu Nyi Sekar Dhadu saudagar putri setengah baya, kaya raya dan angker, tidak sembarangan, semua prilakunya itu telah diperhitungkan dengan cermat dan diperhatikan.. Aria tua ini kenal baik dengan Ki Bhismasadhana, demi kepercayaan dirinya akan kecerdasannya dan membantu sahabatnya itu dia sanggup menampung rombongan Pelarian ini. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Juragan perahu yang mengantarkan rombongan sampai di Pamekasan, dia segera menyilahkan rombongan menempati kamar kamar dibelakang Kadipaten, yang merupakan keputren dan kasatrian. Hanya Raden Wijaya dan istrinya diberi tempat di pavilion disebelah kanan delem kadipaten. Setelah berbenah diri menanti siang diundang makan di dalem ageng oleh sang Wiraraja. Mereka berterima kasih, menyembah dan segera mudur dari penghadapan yang singkat ini. Siang hari mereka sudah bersalin dengan pakaian cara Kadipaten Madura, untuk putri nampak tidak ada bedanya, hanya dandanan gelung rambut agak lain, untuk para ksatria berdandan cara ksatria Madura, banyak bedanya, selain memakai rompi pendek tidak berkancing, mereka memakai kampuh dan lancingan selutut berwarna hitam, dan memakai destar cara Madura.
Raden Wijaya beserta istrinya satu tempat menghadap meja rendah ditemani Aria tua denga kedua istrinya, mereka saling menyilahkan dengan sopan, dan baru sekali ini selama pelarian berbulan bulan mereka diperlakukan sebagai putra putri raja. Raden Wijaya menyertai setiap gelas la’ang tua dengan sang Aria penggemar la’ang tua yang diramunya sendiri, terkenal diseluruh Janggala Kadiri dan Singhasari. Raden Wijaya terus terang menyatakan kekagumannya kepada Jayakatwang, kerena malam penyerbuan tiba tiba di Singhasari, yang tidak diketahui seorangpun, rombongan pelarian malah melewati rintisan ditengah hutan itu, yang memudahkan pelariannya sampai pagi ke Gunung Baung, tidak bertemu seorangpun. Raden Wijaya mengagumi persiapan yang sangat terahasia disertai dengan dongeng dan cerita penyesatan yang dapat diterima orang banyak, dia menceritakan bahwa tidak hanya satu rintisan tapi beberapa rintisan. Raden Wijaya bisa menggambarkan betapa sulit merahasiakan pembuatan rintisan dihutan disela sela hunian orang dan perjalanan pssukan berkuda diam diam selama itu. Semua yang diceritakan dan komentar yan diberikan oleh Raden Wijaya sebagai murid sang Bhismasadhana , didengarkan dengan cermat, disertai dengan pertanyaan tiba tiba dari sang Aria, menunjukkan pengetahuan yang luas sebagai ahli siasat tentara dan peprrangan. Raden Wijaya, tanpa sedikitpun rasa kebencian, malah memuji sang Jayakatwang yang mengejar ngejar dia setara dengan Sun Tse seorang pengarang strategi China. Semua dengan cermat didengarkan oleh sang Wiraraja.
Secara diam diam Arya tua ini bekorespondensi dengan Sang Mahaprabhu Jayakatwang, dia memang sorang diplomat kawakan yang ahli nerangkai kalimat. Dia scara halus sekali mengagumi semua tindak tanduk sang penakluk, yang sangat cermat dan teliti. Menyinggung sedikit mengenai bakat pribadi dan bukan yang diperoleh dari leluhur sang Jayakatwang yang titisan Bhatara Shiwa.
Tentu saja surat ini sangat dihargai oleh sang Penakluk yang lagi kesusahan karena pasukan kuda yang jadi andalannya musnah oleh penyakit, yang akan makan waktu sangat lama untuk memulihkannya. Dan dalam surat balasannya, sang Jayakatwang mengeluh mengenai pemyakit kuda kudanya yang sangat mengkhwatirkan beliau. Beliau sang Raja, malah kepingin sekali minum arak bersama dengan sang Wiraraja.
Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan di bhumi Tarik ditepian Sungai Brantas, sang Aria punya Istana atau rumah peristirahatan kecil yang terpelihara baik karena beliau adalah pengunjung tetap Istana Istana di Jawa, bahwa rumah di tepian sungai Brantas ini sering jadi tempat menginap kaum bangsawan yang sering bersama sama berburu rusa. Karena ada hutan hutan yang banyak buruannya di sana. Hal ini diceriterakan pada salah satu surat kepada Mahapranhu Jayakatwang. Jawab sang Mahabprabhu malah memutuskan bahwa beliau berkenan untuk melemaskan otot dan tulang tulang dengan berburu rusa bersama Aria Wiraraja di bumi Tarik, awal musim hujan tahun depan. Selama akhir msim hujan tahun ini Raden Wijaya sangat sibuk belajar membuat dan meneliti perahu Madura, malah Raden tukang kayu ini menemukan bahwa kelebihan perahu gaya Madura adalah mudah dikemudikan, artinya mudah berubah haluan, dengan lingkaran putaran yang kecil saja, karena lunasnya dibuat melengkung seperti sabut kelapa. Lantas lengkungan itu dia ukur dengan perbandingan panjang perahu dan berat muatannya. Dengan sungguh sungguh beliau bicarakan dengan para pandega pembuat perahu di pantai Pamekasan, sambil beliau bekerja menjadi tukang kayu bersama sama mereka. Dalam setengah tahun dia tidak merasa sama sekali bahwa dia itu orang pelarian, pekerjaannya seharian sampai sandyakala hanya menukang kayu membuat perahu, dan membaca gambar rancangan perahu yang digambar diatas kulit kambing, ditentukan berat perahu, besarnya lengkung lnnas, sambungan sambungan-nya, gading dan papan, letak tiang pendek, cerocok tambahan untuk layar depan, menjahit layar dan memilih bahan untuk layar, membuat tali temali, semua dia pelajari dan dia gambar di kulit kambing, dan model kecil, semuala dari tanah liat, kemdian dari kayu. Semua perubahan lunas maupun badan perahu dia rundingkan dengan para pandega yang sudah jadi seperti saudaranya, karena dengan cepat dia pandai berbahasa Madura, halus maupun kasar. Dalam setengah tahun sampai akhir musim hujan dan separo musim panas Raden Wijaya telah diakui oleh para pendega dapat depercaya memimpim membuat perahu Madura. Selama satu tahun Raden wijaya dengan tekun belajar membuat perahu Madura. Telapak tangannya jadi berkulit keras, badannya jadi berkulit gelap kecoklatan, baliau memelihara kumis tebal, dan selalu mengenakan destar cara Madura. Raden wijaya menjadi psndega pembangunan perahu tidak tanggung tanggung,. Beliau meneliti pembuatan kain layar. Kapas dari sekitar Tuban, sekitar Trung di Tandes, masih kurang baik untuk dijadikan benang yang kuat karena seratnya kurang panjang. Dia membadingkan layar dari China yang sangat mahal terbuat dari sutera, bertulang bambo seratnya dari pantat ulat sutera jang tipis ulet dan panjang, makanya dapat ditenun jadi kain yang tipis yang sangat luat. Pengeran ahli mambuat perahu ini mengerti bahwa perahu bercadik dari atas Angin besar besar bisa muat beras ratusan koyan dan bergeladak lapis tiga, panyangnya hampi tigapuluh depa bisa berlayar jauh dan berbulan bulan karena didorong oleh layar yang ringan kuat dan awet, disamping karena dibuat dari serat kapas India yang panjang, dan ulet maka luas layar bisa dibuat luas sesuai dengan bobot kapal, kecuali itu benang kecil kenaf yang tumbuh dari rawa rawa reluk Benggala ( Sekarang Bnglasesh), juga panjang dan sangat kuat bisa ditenun disela sela benang kapas serat panjang ini. Begitu pula tidak ada keterbatasan dari jung jung dari China, karena layarnya dibuat dari kain sutra yang meskipun luas dan tinggi tapi sangat kuat dan tipis seingga ringan untuk derentangkan bersusun susun ditiang agung, dan sama sekali tidak mengganggu keseimbangan perahu . Kapas dari Atas Angin jang benang lawenya sering diperdagangkan sampai di sini, panjangnya seratnya mencapai empat jari, dapat dijadikan lawe tipis yang sangat ulet maka layar dari Atas Angin sangat kuat dan ringan. Seandainya dia bukan pangeran Pelarian, dia pasti di sudah mengarang alat tenun bukan mesin, membuat layar yang besar. Dia mengingat ingat sewaktu di Japan, pelabuhan besar, dia mengerti serat kenaf dari Pamotan (sekarang Lamongan yang masih selatan muara Bengawan Solo, selalu dibawa ke Tanah Barat di tanah Pamalayu serat ulet dan panjang, sayangnya kasar dan bila kering, jadi getas atau mudah patah. Orang bilang di Madura serat itu juga ditenun untuk layar tapi dicelup dulu dengan minyak kelapa, agar tidak kekeringan. Sebaiknya malah dengan santan kelapa. Akan tetapi sera kenaf ini pun berat, meskipun sebagai campuran tenun layar perahu dari Benggala makanya perahu besar dari Benggala harus diberi cadik untuk membantu keseimbangan, dan juga tidak bisa terlalu lebar karean bila kehujanan jadi terlalu berat, makanya perahu model ini kerkenal lamban.
Aria Wiraraja menimbang bahwa waktunya telah tiba, untuk memberi tahu Raden Wijaya, supaya bekerja di Bumi Tarik istananya yang ditinggal selama ini, untuk jadi lurahnya para pemburu, karena musim pemburuan rusa akan tiba. Raden Wijaya akan didamaikan dengan Sang Jayakatwang. Pertimbangan beliau, Jayakatwang butuh sekali diakui kejeniusannya, sebagai pribadi, bukan bisikan dari Dewa karangan para Brahmana yang dapat persembahan besar seperti silsilahnya yang dikarang bagi beliau, nyaris ditulis dicandi khusus tentu dengan beaya yang besar pula untuk sang Maharsi.
Lalu dia membeberkan rencananya agar Raden Wijaya bekerja di Bhumi Tarik, untuk menjadi Pemimpm Perburuan, Kala itu jabatan ini disebut Lurah Pengalasan sambil menanti kedatangan sang Jayakatwang, dipermulaan musim hujan, disana dia ada kesempatan mengambil hatinya Seribaginda, dengan menceriterakan penemuan rintisan dihutan selama jadi ketua pemburu rusa, mengetahui seluk beluk panah istimewa yang ditembakkan dari kuda berlari. Yang terpenting dia punya ramuan untuk membuat kuda lebih tahan terhadap penyakit bolor, yaitu menurut sang Aria adalah bubukan daun kelor (Moringia sp ) yang dikeringkan beberapa genggam satu hari dicampukan dalam comborannya.
Tarnyata bubuk daun kelor manjur untuk daya tahan kuda kuda. Raden Wijaya setuju, segera di memberitahu istrinya, dan demi timbul kembalinya wangsa Girindra yang ada di perutnya, dengan berat sang putri menyetujuinya Menjelang akhir musin kemarau, angin masih dari timur, Paden Wijaya berlayar dengan beberapa abdi orang Pamekasan ke bhumi Tarik, penjadi lurah para pemburu. Terus terang dia menyenangi pekerjaan itu. Dia mengembara dalam hutan napak tilas semua jalan yang ditempuh pasukan berkuda, dari Kadiri sampai di Jurang air terjun Gunng Baung, dia memang sangat kagum, berapa orang yang dsikerahkan untuk itu, bukan saja jalan pasukan berkuda tapi jalan ditengah hutan yang tak pernah ketahuan ataupu dicurigai oleh orang kegunaannya sebelum Singhasari jatuh. Berapa banyak orang dikerahkah diam diam, bagaimana menghilangkan kecurigaan orang, dengan menakut nakuti orang berapa beaya yang dekeluarkan untuk itu. Malah dia jakin tidak ada Pemimpin sebelumnya yang menandingi Jayakatwang.
Waktunya tiba, rombongan dari Sumenep sudah datang dua minggu lebih dulu, menyiapkan segala keperluan rombngan yang dihormati Mahaprabhu Jayakatwang lewat sungai Brantas dengan perahu karajaan.
Bangunan, peraduan dan perabotan, gamelan dan penabuh serta penarinya, makanan dan minuman, segala macam binatang yang akan dilepas, bahkan sampai burung burung yang suaranya merdu, kuda kuda pilihan dan perangkatnya.
Rombongan perahu kerajaan dari Kadiri merapat di geladak yang sudah dibuat khusus untuk itu, segera Rombonga turun, karena Raja jayakatwang masih muda, lebih tua sedikit dari Raden Wijaya sendiri, beliau turun terlebih dahulu desertai dengan gamelan kebo giro yang meriah, langsung melambaikan tangannya kearah penjemput sang Aria Wiraraja, sudah dengan gaya pemburu, bukan gaya Raja Penakluk. Sang Aria tua tanggap dengan situasi yang berubah secepat ini, dengan cepat acara diubah, diambilah dengan tergopoh gopoh gelas dan minuman ramuan khusus sang Aria WIraraja. Sang aria sendiri menuang minuman sambil berdiri, menuang untuk dirinya sendiri, dan mereka bersulang cara pemburu dengan gembira. Para penyambut tanggap, semua tamu rombongan disuguhi minuman la’ang tua dan disambut dengan sorak sorai gembira layaknya para pemburu yang semua lelaki perkasa. Aria Tua sangat puas, satu permulaan yang sangat baik. Kebetulan ayam jago bekisar yang dibawa dari Madura saling berkokok,besahut sahutan nenambahi meriahnya suasana perburuan.
Tanpa minta izin siapapun dan tanpa diperintah oleh pemilik Pesanggerahan, Raden Wiyaya memberi aba aba agar semua kuda kuda diajukan dengan tengara terompet kulit kerang. Segera Kuda dilepas, dengan tali kendali disimpulkan diatas gumba. Tanpa pengawal berbaris satu satu. Kuda paling depan berwarna hitam mulus, muda dan sangat gagah, mirip dengan Gagak Rimang kuda peliharaan kesayangan Jayakatwang yang sudah mati kena bolor (samapai sekarang merupakan penyakit kuda yang menular sekali dan sangat mematikan menyerang sengan cepat saluran pernafasan kuda, bahkan dijaman belum ada kereta api Pemerintahan Penjajahan Belanda memerintahkan menembak mati ditempat kuda kuda yang menunjukkna gejala sakit Malleus /sakit Bolor ini)
Mulai keluar dari samping pesangrahan sambil berlari kecil semua kuda satu persatu berbaris, lewat tamu tamu yang baru selesai minum la’ang tua, dengan gapah Jayakatwang meloncat keatas punggung si Gagak rimang kedua, meskipun tiruan tapi lebih gagah, dan lebih muda, anehnya segala perlengkapan kuda itu memang asli dari istal istana Kadiri milik Gagak rimang yang sudah mati. Mahaprabu jayakatwang tahu itu dari baretan dan bekas bercak darah yang mongering, kendali dan lis yang sudah kena tangan lama.
Sekilas dia melihat gamel lamanya sudah ada di Pesanggrahan karena dia dan raden Wijaya telah mempersiapkan lama kejutan itu.
Dan sampai di pesanggrahan Tarik sudah bermingu minggu yang lalu atas prakarsa Raden Wijaya yang sekarang di bhumi tarik namanya Lurah Jambul, mereka sudah disiapkan adegan ini beberapa waktu sebelum perahu kerajaan berangkat dari Kadiri. Lapangan tegar sudah siap dilapisi dengan pasir sungai Brantas, tebal dan tidak terlalu lnnak.
Puluhan penunggang kuda dari Kadiri berakrobat dari atas kuda kuda yang berlari sepuasnya, mengobati rasa bosan selama seharian naik perahu.
Sang Jayakatwang dengan puas mengambil tempat duduk di pasanggrahan, disertai oleh Aria Wiraraja yang sekarang bergaya pemburu, menghilangkan segala etiket kerajaan. Hanya Lurah jambul melihat dari kejauhan.
Sesudah makan malam gaya pemburu yang gaduh selesai, Arya Wiraraja mngajak tamunya bila berkenan, duduk di gazebo terbuka agak terpencil diluar dihalaman pesangrahan. Disambut dengan hangat ajakan itu.
Mereka berdua hanya diiringi satu pengiring yang selalu agak menjauh, tapi mendengar bila dipanggil. Bumbung dan gelas sudah tersedia disana,
Sang Jayakawang dengan gembira menceritekan suasana selama perjalanan dengan perahu dari Kadiri, semua pengikut sudah bosan setengah mati naik perahu jang lambat ini. Gamelan dan waranggono tidak didengar lagi, ada yang berenang mencebur sungai, megadakan lomba renang, dan minum tuak.
Lantas mendadak disambung pertanyaan dari Prabhu Jayakatwang, omong omong siapa lurah Tuaburu ( Lurah pangalasan) yang sudah menyiapkan sambutan semeriah ini, dan kuda hitam yang serupa gagak Rimang kuda kesayangannya itu, terus gamel kuda kesayangannya kok ya ada dipesanggrahan.
Diajawab oleh Aria Wiraraja, Paduka Prabhu akan terkejut bila ketemu dengan lurah Pangalasan di dari Pasanggrahan Tarik ini.
Sang Jayakatwang berkenan untuk tahu siapa dia, untuk seorang Jayakatwang tidak ada orang terlalu rendah tidak ada orang terlalu tinggi bila mempunyai pengetahuan mengenai kuda. Dia mengaku ketika menunggang kuda itu, dia merasa utuh sebagai Jayakatwang kembali, segera pasukan berkudanya pulih jumlahnya untuk dibawanya ke ujung dunia, kali ini dia jujur dan sangat bersemangat.
Segera Aria Wiraraja menepukkan tangannya, dan pelayan yang menunggu dari kejauhan mendekat, dan mendapat perintah untuk memanggil ki Jambul.
Segera Raden Wijaya muncul dari kejauhan sudah menguncupkan sembah, mendekat sambil duduk dibawah bersila, menyembah sambil bertanya ada dawuh apa. Sang Mahaprabu sedang sangat bersemangat, meberikan rasa terima kasih atas ditemukannya kuda hitam yang telah dicoba, baik kekuatan nafasnya maupn kekuatan otot dan keberaniannya, semua baik, hanya masih agak kasar, suka kaget mendapatkan perintah mendadak.
Ki Jambul mohon maaf atas kekurangannya, dia mengaku bahwa dia mendidiknya baru satu bulan, kemudian minta bantuan gamel dari Kadiri. Raden berterus terang mengenai kakagumannya kepada sang jayakatwang mengerti dan menguasai kuda. Prabhu Jayakatwang menjawab bahwa para Dewa membuat dirinya dari bahan yang sama dengan kuda kuda barangkali, sambil tertawa terkekeh kekeh. Sebaliknya Raden Wijaya mengaku sejujurnya bahwa sebagai lurah tuaburu dia menjelajahi hutan hutan dan menemukan jalan rintisan ditengah hutan, bukan hanya satu, tapi beberapa dari pingiran sungai brantas lingga ke air terjun di gunung Baung, sungguh bukan pekerjaan mudah, perlu ribuan orang menurut perkiraannya, ki Jambul Juga brbicara tentu bukan sembarang orang yang mengunakan anak panah berat dengan ujung runcing dari besi tuang berbentuk kuncup bunga kantil dan digosok dengan minyak jarak dengan mudah menembus prisai kulit kerbau yang paling tebal. Mahaprabu Jayakatwang sampai kaget dan sangat senang, sambil berdiri dia mengusap pundak ki Jambul, bahwa berlaksa picis emas dan perak dia tebar untuk kerahasiaan rintisan rintisan ditengah hutan itu, untuk tidak membangunkan kecurigaan orang Singhasari, pasukan dimuat perahu dari Kadiri, memang pendadakan adalah unsur yang sangat penting memenangkan peertempuran.
Dengan mengerahkan kekuatan catur sanak, Raden Wijaya, mengaku setulusnya bahwa tidak ada orang maupun Raja yang telah lalu mengimbangi siasat dilandasi ketelitian dan ketekunan sang Jayakatwang, sayang kini kuda kuda lagi kena wabah penyakit yang sangat menular, yang dia mempunyai ramuan untuk memperkuat daya tahan tubuh kuda kuda berlipat kali. Sang Prabu sampai menarik kursinya mendekat ki Jambul, memegang kedua lengannya sambil dicara keras seperti orang kampung dialah orang yang dia cari selama ini, sampai pendeta dari Atas Angin, tabib dari China, semua gagal, ayolah dicoba ramuanmu hai lurah para pemburu, saya merasa dilahirkan kembali, apapun yang kau minta aku turuti.
Waktunya sang Aria tua berrperan, dia berdiri dengan gopoh, menahan sang Prabhu Nata. Sambil berkata lirih dengan tenaga dalam, memang dialah orang yang paduka cari selama bertahun tahun, dialah Raden Wijaya, murid sang Bhismasadana, orang satu satunya yang mengerti kejemiusan paduka Baginda !
Saking terkejutnya Baginda terduduk, sambil memelototkan mata, apa katamu, dia Raden WIjaya, saya sungguh terkejut, apakah kau menyerahkan dirimu wahai bayanganku yang hilang? Baginda setengah mrangkul ki Jambul, berucap tanpa kata, karena diapun orang yang berilmu tinggi.
Raden Wijaya mengerahkan tenaga catur sanak, sambil bersabda : Iya, akulah yang menghormatimu sebagai orang yang menemukan dan melakukan yang tidak pernah dilakukan sebelummu dan sesudahmu. Ini dikemukakan oleh Raden Wijaya sebagai kata yang tidak terucap tapi dimengerti dengan sebenarnya oleh Mahaprabu Jayakatwang.
Keheningan buyar dengan isyarat sang Aria Tua, semua pulih pada tempatnya.
Sang Prabu dengan ringan menerima Raden Wijaya dan adik adiknya, memberikan ampunan dan restu . raden Wijaya menyembah kaki sang Prabu, baru berhenti sesudah diangkat oleh Baginda.
Saat itu juga dia dhadiahi bhumi Tarik, boleh tinggal dasini selama dia suka dan keluarganya, Dia diangkat olehh Mahaprabhu Jayakatwang sebagai Tumengung Pengalasan, dan pemelihara kuda kuda Kadiri, langsung bertanggung jawab kepada Sribaginda.
Malam itu juga semua orang dipangggil dihalaman gazebo, mendapat dawuh dari Sang Mahaprabhu Jayakatwang bahwa dia sudah menemukan orang yang selama ini dia cari dengan mengaduk seluruh Janggala Trung Tuban, Raden Wijaya, dan dia menghadiahi sang Raden dengan Bhumi Tarik sebagai tameng Kadiri dari sungai Brantas, Mengepalai pemeliharaan kuda kuda Pasukan Kadiri, dalam keadaan darurat melawan penyakit bolor, agar semua perintahnya dilaksanakan.
Para hadirin sangat kaget dan heran, kaget ternyata si Pelarian malah dapat ganjaran, heran ternyata Raaden Wijaya, menantu Raja Singhasari, perkerja keras dengan perawakan yang tidak menampakkan otot tapi gempal, berwarna gelap dan berdandan cara Pandega perahu Madura. Mereka malah terdiam, hanya bersorak gembira sampai melonjak lonjak atas penyadaran sang Aria Tua. Segera minuman ber guci guci dituangkan untuk bersulang cara pemburu.
Aria Wiraraja memegang pundak sang Raden, menandakan sangat lega dan bersjukur, pelarian yang begitu lama menghadapi maut, berakhir dengan mudah dan menyenangkan.
Gamelan terus ditabuh dengan irama gembira, para waranggono menyanyi dan menari bersama sama hadirin, gempar dan ramai.
Raja masih berkenan tetap duduk di gazebo, bercerita mengenai bagaimana dia membujuk para pendekar harimau gadungan dari Lodaya, untuk menjaga rintisan ditengah hutan sepaya dijauhi penduduk yang tinggal di tepi hutan, bagaimana dia sendiri merencanakan lintasan yang melewati sumber sumber air.
Sebaliknya raden Wijaya mengatakan secara terus terang, bahwa rakyat kecil mengarang cerita mengenai ronmbongan Pelarian itu bukan atas prekarsanya seperti bakul pecel si Nem yang konon dikabarkan adalah putri raja yang menyamar, Wiyaya terus terang istrinya malah tidak secantik si Nem sambil tertawa ngakak. Entah kenapa rakyat jadi tergelitik memanfaatkan kesibukan Penjabat kerajaan Kadiri mencari pelarian itu, menggelitik mereka, pertunjukan tobong sandiwara jadi laris bukan atas upayanya, Mahaprtabhu Jayakatwang mendengarkan ucapan Raden Wijaya yang sepenggal ini dengan sangat lega, karena siasat murah yang satu ini tetap jadi rahasia selamanya, bahkan si Wijaya ini tunas unggulan dari ilmu siasat, samasekali tidak curiga terhadap tahtanya diatas alang alang kumitir, yang memang hanya sulapan murah.
Sampai larut malam mereka saling bercerita. Sang Prabhu Jayakatwang memang bersemangat sekali menjadi muda kembali, seperti telah menemukan jati dirinya. *)
14. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 14)
4.02 PM SUBAGYO KOESNO NO COMMENTS
PEMBALASAN NI RATRI
Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan pemulihan pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda, dengan bekal bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.
Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan adik adiknya ini sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa. Adik ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa, berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru, didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara orang Desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china, menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya akan ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdaganang mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Pangeran yang diampuni ini mengajak si Babah kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat kuda kuda yang baru datang dari Luwu.
Sungguh kabetulan Babah ini kenal dengan kuda kuda, tabiat dan kesehatannya, khasiat susu kuda dan lain lainya. Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara saudarinya, mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini, meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas Angin dengan kuda kuda setempat.
Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat, kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat yang lain, jadi sama sekali dipisahkan. Setiap kuda di totok oleh si Babah ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang tiga hari ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya, diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor, selama tiga hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu, semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya, urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak.
Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat diguyur dengan air dari guci. Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas, akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke kadiri. Keluraga Yap ini sangat bersimpati pada tuan putri, dan adik adiknya yang telah kehilangan seluruh keluarganya. Mereka yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan berkuda waktu menyerbu. Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu Pevilion Pesanggrahan, sambil menunggu Raden Wijaya, dan ikut menjaga kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu,
Raden Wijaya datang dengan sepuluh kuda dari Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai, meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri, untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda, diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya
Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di Pelabuhan Terung. Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum Paduka Kartanegara, Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan bermeriam besar besar dari kuningan,
Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan, Menurunkan sekoci dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang berkunjung ke Pesanggrahan itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol, dengan rombongan sang putri.
Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke Kling. Sang putri bunting besar. Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu. Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena dijelaskan bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan santun kepada Raja Singhasari, dan menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut, masuk musim kemarau. Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di jawa dengan rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas. Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak. ( Nafta rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini. Dia menerima lambang kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang Putri dari berlututnya.
Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.
Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.
Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan tangan di dada dibalas dengan sembah tuan putri, mereka meninggalkan Pesangrahan dengan gembira.
Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan lima ratus gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan besar diserbu dari sungai oleh jung jung perang Manchu.
Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh, siap dengan panah dan busurnya yang istimewa. Akan tetapi Semua jung membentuk formasi jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng. Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.
Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh menghadapi musuh yang tak seimbang. Belum pernah sebelumnya meriam meriam berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal. Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang, kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas disamping dan dibalakang, pendekya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini, pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur. Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya, jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti hujan, beliau tertawan, selain itu semua pasukan berkudanya lari serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri selamat. Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak. Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh tidak ikut terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya.
Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang, Kedhaton masih terbakar hebat,
Mendengar ada jung perang minggir mendarat di Peanggrahan Paden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai, desertia pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas. Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah. dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa dibuat, Kampung Nyutran.
Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar, panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh tajam kearah perahu perahu jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan rajutan tali tali, mirip sisik ikan, baju zirah raksasa dikiri kanan lambungnya. Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidik saja.
Setengah malam lusinan busur busur panah gajah sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya, anak panah ratusan dibebat sengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan keseimbangan dari belahan daum kelapa yang dipotong dan diikatkan di ekor anak panah dengan rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa. anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana, Upaya tanpa lelah dlakukan sepanjang sungai oleh rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas.
Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis panah gajah dibuat disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.
Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak lebar dan dikepung bahaya ini, atau menurunkan prajuritnya yang sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka, sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari samping supaya tidak menancap di lambung. Toh anak panah gajah ini jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh barang dan mesiu.
Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali yang sempit dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa mendekat ke pinggir yang penuh penembak panah gajah yang akan membakar perahu. Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar hebat, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta pasukan mongol yang berenang menepi, dengan bmbu runcing, bahkan menembaki mereka yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa lelah. Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu, gineng pratidina, tansutresna. Dia jadi memastikan ini semua digerakkan oleh Raden Wijaya. Jung yang sampai di Wirasabha hanya dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di Kertasana. Menjelang pagi, Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai brantas di Kertasana. Menunggu mau diapakan oleh pendeganya perahu perang yang kandas ini Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan anehnya tepat jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas itu, membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah, karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai. Para serdadunya meloncat dan turun ke papan papan untuk berenang menghilir sungai hanya untuk jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan rakyat dengan anak panahnya bambu dibebat segala rupa pakaian dan dicelup minjak nafta !. Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari Wonoasri, dan tembakan panah makin lebih tepat ?
Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran mongol bunuh diri. Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung yang kandas ini, lantas mmanjat ke dalam jung, Dia menlihat sang Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan raja kepadanya. Lanbang emas itu langsung diambil dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya menemukan harta rampasan perang pasukan mongol. Ternyata Laksamana membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari lambung jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah tidak dangkal, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu.
Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain layar, Raden Wijaya menyuruh menimba air dari dalam jung, sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai. Dari disi Sungai ratusan tembo mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.
Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri, jugat dak pernah menohok kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya kepada sahabatnya sang putri sulung sang Kartanegara. Mungkin juga karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu
Memang mestinya dalam hitungan akan sangat gampang dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, mdnggempur Kedhaton Kadiri . Ya memang benar, Tapi adanya panah gajah berapi yang jatuh adari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang sangat cepat dan tepat dari rakyat. Tidak ada yang mnengira bahwa putri masih mengandung janji kuwajiban membalaskan kematian ayahandanya. Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas. Putri Kartanegara ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta kiriman beliau, ide cemerlang putri inilah yang membakar armada penghukum Kublai Khan.
Sore itu Raden Wijaya menemui istri tercintanya, sambil menggemgam lambang kerajaan Singhasari ukian garuda Wisnu yang entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit mongol.
Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya, mereka pada berlutut kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu.
Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta.
Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu kota Kadiri. Disamping itu tanpa diketahui siapapun penduduk Japan atas kisikan Carat Seto bangkit, ratussan orang berberahu mudik ke wilaya Ketasana, mengerahkan peduduk desa desa bersama dengan ratusan instructor dari Japan mempersiapkan diri berbulan bulan menggunakan panah gajah secara efektip dan alat pembakarnya, dengan upaya bersama.
Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang tahu *)
15 MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 14)
4.02 PM SUBAGYO KOESNO NO COMMENTS
PEMBALASAN NI RATRI
Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan pemulihan pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda, dengan bekal bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.
Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan adik adiknya ini sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa. Adik ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa, berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru, didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara orang desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china, menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya akan ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdaganang mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Pangeran yang diampuni ini mengajak si Babah kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat kuda kuda yang baru datang dari Luwu.
Sungguh kabetulan Babah ini kenal dengan kuda kuda, tabiat dan kesehatannya, khasiat susu kuda dan lain lainya. Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara saudarinya, mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini, meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas Angin dengan kuda kuda setempat.
Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat, kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat yang lain, jadi sama sekali dipisahkan. Setiap kuda di totok oleh si Babah ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang tiga hari ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya, diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor, selama tiga hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu, semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya, urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak.
Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat diguyur dengan air dari guci. Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas, akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke kadiri. Keluraga Yap ini sangat bersimpati pada tuan putri, dan adik adiknya yang telah kehilangan seluruh keluarganya. Mereka yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan berkuda waktu menyerbu. Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu Pevilion Pesanggrahan, sambil menunggu Raden Wijaya, dan ikut menjaga kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu,
Raden Wijaya datang dengan sepuluh kuda dari Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai, meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri, untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda, diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya
Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di Pelabuhan Terung. Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum Paduka Kartanegara, Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan bermeriam besar besar dari kuningan,
Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan, Menurunkan sekoci dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang berkunjung ke Pesanggrahan itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol, dengan rombongan sang putri.
Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke Kling. Sang putri bunting besar. Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu. Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena dijelaskan bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan santun kepada Raja Singhasari, dan menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut, masuk musim kemarau. Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di jawa dengan rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas. Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak. ( Nafta rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini. Dia menerima lambang kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang Putri dari berlututnya.
Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.
Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.
Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan tangan di dada dibalas dengan sembah tuan putri, mereka meninggalkan Pesangrahan dengan gembira.
Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan lima ratus gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan besar diserbu dari sungai oleh jung jung perang Manchu.
Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh, siap dengan panah dan busurnya yang istimewa. Akan tetapi Semua jung membentuk formasi jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng. Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.
Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh menghadapi musuh yang tak seimbang. Belum pernah sebelumnya meriam meriam berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal. Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang, kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas disamping dan dibalakang, pendekya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini, pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur. Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya, jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti hujan, beliau tertawan, selain itu semua pasukan berkudanya lari serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri selamat. Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak. Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh tidak ikut terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya.
Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang, Kedhaton masih terbakar hebat,
Mendengar ada jung perang minggir mendarat di Peanggrahan Paden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai, desertia pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas. Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah. dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa dibuat, Kampung Nyutran.
Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar, panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh tajam kearah perahu perahu jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan rajutan tali tali, mirip sisik ikan, baju zirah raksasa dikiri kanan lambungnya. Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidik saja.
Setengah malam lusinan busur busur panah gajah sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya, anak panah ratusan dibebat sengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan keseimbangan dari belahan daum kelapa yang dipotong dan diikatkan di ekor anak panah dengan rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa. anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana, Upaya tanpa lelah dlakukan sepanjang sungai oleh rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas.
Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis panah gajah dibuat disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.
Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak lebar dan dikepung bahaya ini, atau menurunkan prajuritnya yang sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka, sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari samping supaya tidak menancap di lambung. Toh anak panah gajah ini jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh barang dan mesiu.
Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali yang sempit dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa mendekat ke pinggir yang penuh penembak panah gajah yang akan membakar perahu. Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar hebat, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta pasukan mongol yang berenang menepi, dengan bmbu runcing, bahkan menembaki mereka yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa lelah. Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu, gineng pratidina, tansutresna. Dia jadi memastikan ini semua digerakkan oleh Raden Wijaya. Jung yang sampai di Wirasabha hanya dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di Kertasana. Menjelang pagi, Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai brantas di Kertasana. Menunggu mau diapakan oleh pendeganya perahu perang yang kandas ini Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan anehnya tepat jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas itu, membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah, karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai. Para serdadunya meloncat dan turun ke papan papan untuk berenang menghilir sungai hanya untuk jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan rakyat dengan anak panahnya bambu dibebat segala rupa pakaian dan dicelup minjak nafta !. Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari Wonoasri, dan tembakan panah makin lebih tepat ?
Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran mongol bunuh diri. Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung yang kandas ini, lantas menanjat ke dalam jung, Dia menlihat sang Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan raja kepadanya. Lanbang emas itu langsung diambil dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya menemukan harta rampasan perang pasukan mongol. Ternyata Laksamana membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari lambung jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah tidak dangkal, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu.
Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain layar, Raden Wijaya menyuruh menimba air dari dalam jung, sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai. Dari disi Sungai ratusan tembo mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.
Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri, jugat dak pernah menohok kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya kepada sahabatnya sang putri sulung sang Kartanegara. Mungkin juga karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu
Memang mestinya dalam hitungan akan sangat gampang dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, mdnggempur Kedhaton Kadiri . Ya memang benar, Tapi adanya panah gajah berapi yang jatuh adari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang sangat cepat dan tepat dari rakyat. Tidak ada yang mnengira bahwa putri masih mengandung janji kuwajiban membalaskan kematian ayahandanya. Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas. Putri Kartanegara ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta kiriman beliau, ide cemerlang putri inilah yang membakar armada penghukum Kublai Khan.
Sore itu Raden Wijaya menemui istri tercintanya, sambil menggemgam lambang kerajaan Singhasari ukian garuda Wisnu yang entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit mongol.
Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya, mereka pada berlutut kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu.
Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta.
Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu kota Kadiri. Yang tidak diperkirakan adalah bantuan rakyat dan Carat Seto cs dari Japan, dengan beratus ratus penduduk Japan mengarungi mudik sungsi Porong ke Kertasana dengan harta dan tenaga berlipat lipat menyiapkan desa desa pinggir kali Brantas. Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang tahu *)
Posted in:
Posting Lebih BaruPosting Lama