Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 02 Desember 2015

MEMBANGUN DEMOKRASI

MEMBANGUN DEMOKRASI
Republik Indonesis telah memutuskan tujuh puluh tahun yang lalu menjadi Negara Demokrasi.
Waktu itu mungkin founding fathers kita belum begitu menyadari, bahwa “ demokrasi” dalam kenyataannya tidaklah begitu sederhana seperti permainan kasti. Demokrasi mempunyai aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang harus disadari oleh seluruh rakyatnya, tanpa batas umur dan gender. Apalagi demokrasi liberal. Sebab kebebasan individu indivdu harus tidak bisa mencederai kepentingan orang banyak, jadi sikap individu masing masing orang harus diatur oleh setiap pribadi sendiri, asal masyarakat tidak menderita, ini idealnya.
Bagaimana tidak ?
Rakyat pemilih yang lebih dari seratus limapuluh juta, harus mengerti siapa yang dipilih untuk mewakili mereka supaya ringkas dan efisien. Tapi si calon hanya sewa penyanyi, menyanyikan jingle di TV secara periodik, nomer urutan pencalonannya, pikir si calon dengan jingle yang periodik ini bisa menanggok suara pemilih yang masih bingung, ini kan hipnotisme massal, yang sangat primitip ?

Baru prosesnya untuk mendapatkan wakil yang benar benar mewakili rakyat saja sudah merupakan persoalan yang rumit, bila dilakukan diantara rakyat pemilih yang masih mempunyai selera corak masyarakat komunal purba,  atau yang sedikit lebih maju masyarakat perbudakan  dan  tingkat lebih maju  ialah masyarakat feudal.
 Konstelasi  kakuasaan lebih maju dan  itu kita belum pernah mengalami. Sedang masyarakat yang mampu meng-implementasi-kan demokrasi liberal adalah masyarakat yang tingkat kesadarannya sudah sangat maju, telah mengalami susah dan sakit sangat lama dengan sistim masyarakat yang lebih kuno, misalya masyarakat perbudakan dan masyarakat feudal yang sudah lama mereka tinggalkan, sebab berganti corak menjadi mesyarakat demokrasi leberal.
Konon masyarakat Perancis sudah muak dengan feodalisme, pada tahun 1776, rakyat miskin Perancis memakzulkan rajanya dengan Revolusinya yang terkenal ini, effek dari itu berkepanyangan sampai Napoleon Bonaparte diangkat jadi Kaisar lagi, kemudian keturunannya Mapoleon  III, sudah itu feodalisme disana benar benar sudah bubar diganti dengan Republik Perancis Dengan azas demokrasi libeberal. jiwa rakyat Perancis sudah menikmati demokrasi liberal ini meskipun sejak semula perut rakyat Perancis sangat tergantung dari kaum industrialis kolonialis sampai kaum pemegang kendali kekuasaan ini dibimbangkan oleh Jendral Tua Petain yang pro Ultra Nasionalis Nazi Jerman (NAZI) dan Negara Perancis hanya setengah hati melawan hegemoni Nazi, sedangkan rakyatnya mulai marah dengan represi perang ulah Jerman Nazi ini. Setelah Peang Dunia ke II Nazi bisa dihancurkan, rakyat Perancis dan industrialis Perancis sadar dan kembali ke Demokrasi liberal. Lihat berapa lama rakyat ini belajar, kaum borjuasi industry belajar hidup bengan Demkrasi liberal – belajar berdarah darah sampai hampir seabad. Yang sangat diuntungkan dari pembelajaran Rakyat Perancis malah Negara kecil Swedia, yang penduduknya sedikit, indstrialisnya bejiwa kekeluargaan karena Negeri Swedia waktu itu hampir monolit satu corak saja. Mereka sepakat untuk mengambil satu Jenndral dari Pasukan Peranis Raya yang bisa mencoba menduduki Russia - dipimpin oleh Napoleon Boneparte. Sebelum petualangan penjerbuan ke Steppa Ukraina dan dataran sungai Don, Swedia mengundang Jendralnya Napoleon Bonaparte Perancis, Bernadotte dan istrinya, anak pedagang Sutra Desiree Clarry, yang romantis, untuk menjadi Raja dan Ratu di Swedia, pasangan ini  sangat egaliter, untuk selanjutnya Swedia jadi Negara kerajaan yang sangat demokratis, ( liberte, egalite, fraternite) tanpa pertentangan yang berdarah darah kayak di Perancis.
Nampaknya kita di Indonesia tidak seberuntung rakyat Swedia pada abad abad yang lalu, kita harus belajar demokrasi dengan jalan yang penuh onak duri, yang harus kita atasi dan kita lewati.  Bahkan Ketua DPR kita korak egois, profiteer yang tidak kenal etika, Kapitalis kita dari etnik yang  “bakul” (istilah bahasa Jawa), dengan gampang bisa memperoleh kewarganegaraan deseluruh dunia dari hartanya dimana mana. Politisi kita masih hidup dalam era komunal purba, mengandalkan keturunan dengan hak pemilikan tanah yang luas untuk keluarga besarnya, kekerabatan suku, dan feodalistis yang berkuasa nutlak, dalam autokrasi dan plutokrasi, begitu juga  pemuka agama kita dari lapisan dan etnik sang sangat tidak sabar untuk mendidik-kan praktek  demokrasi melainkan autokrasi berlandaskan fanatisme, kayak Hasan al Sabah si Raja Gunung Alamut , dengan uangnya yang dari korupsi. NasionaIis kita tidak punya nurani kepemimpinan, melainkan hanya cari uang thok untuk jadi  petugas partai yang cocok untuk itu. Terwakili di DPR RI sekarang, wakil wakil dari saringan yang semu, rakyatr yang gampang ketipu karena ketergantungan pda hubungan feodal dengan wakilnya denga tipu daya. Conothnya Setia Novanto adalah wakil Gokar dari NTT, karena dia Katholik,  lho kok ? - padahal Romo Frans Magnis Suseno saja sudah muak sama perilakunya.
Saya mohon untuk sekali ini saja. Didiklah rakyat untuk ber-demokrasi- demi existensinya sendiri.
Hla kapan rakyat akan mengerti, bahwa alam hidup plural seperti di negeri ini, alam hidup gotong royong didaerah rawan bencena alam kayak di Indonesia ini. Perlu deberi wadah dan label demokrasi yang sesungguhnya, di-didik-kan dalam hidup keseharian di alam yang plural dan rawan bencana ini, yang naluriah dari dulu sudah ada. Yaitu “Perlakukan tetanggamu seperti saudaramu, darah dagingmu sendiri dimana saja di Negeri ini”.  Wong nyata nyata sekarang ini tetangga sendiri saling tidak kenal, tau tau e e digrebeg polisi karena pabrik extasi. Na sekarang siapa yang halamannya dipagar tembok dua meter setengah dan gerbangnya di gembok, setinggi  jauh diatas dari peraturan kota madya yang dari zaman kolonial dulu sudah ada, kacuali di wilayah Pecinan dan kampung Arab ?*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More