6. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 5)
Titik balik nasib raden Wijaya
Pada hari kelima raden Wijaya mendapat giliran pertama menggelar
tugas yang diberikan.
Karena dia hanya ditemani oleh saudara seperguruan Gajah Segara
dan Carat Seto yang awam engenai
ilmu sastra dan ilmu bheksa wiama, selama lima hari dia ditemani oleh
sang Nenek yang hampir tak berdaya masih bisa mengelus kepala sang cucu yang
sejak kecil menjadi yatim piatu. Segala perasaan campur aduk, Raden Wijaya
dengan sabar mengikuti sang nenek menjalankan tugasnya dibalai pemujaan
para pitri.
Waktu sang nenek menanyakan apa yang akan digelarkan
dihadapan Baginda, Raden Wijaya lantas menceriterakan apa yang dipelajari dari
Empu Bhismasadana sampai ilmu kebathinan pengenalan catur sanak hingga
dikuasainya, ilmu ilmu penting untuk membimbing perahu ke
tujuannya, ilmu perbintangan dengan edaran bulan matahari dan rasi
rasi bintang , tanda tanda alam sesuai dengan posisi rasi bintang tertentu
dilngkup langit, membahas Dharma dari kitab kitab suci, juga bermain
catur.
Neneknda tercinta sambil berkaca kaca, matanya yang sudah
berkeriput mengguman seolah olah pada dirinya sendiri, kepandaianmu mengerahkan
catur sanak tidak bisa kau gelar dihadapan Raja, ilmu ilmu yang diajarkan
Bhisma tidak layak hanya diceriterakan karena untuk apa ? Semua itu sangat
benar dan berguna bagi seluruh manusia sesudah semua kau gengam ditanganmu
cucuku, benar sekali Bhisma mewariskannya kepadamu. Mendadak mata tua sang
nenek berbinar, apa kau tadi bicara sering bermain catur dengan
gurumu itu ? Benarkah ?
Kebetulan sang Prabu adalah pemain catur yang sangat piawai,
banyak tamu dari jauh dari manca Negara menghadap sang Prabu dengan membawa
hadiah yang barang langka dan sangat berharga hanya untuk bermain catur dengan
Baginda, seperti juga ayahmu yang sudah makayangan.
Ya cucuku bila waktunya tiba, bawalah papan catur dan buahnya
yang nenek masih simpan dibalai pemujaan para pitri seizing Baginda, pakailah
selempang kebrahmanan, tapi gelunglah rambutmu disini nenek akan bantu
mengenakan penampilan satrya pinandita.
Ajaklah baginda bermain catur dua babak, wahai murid sang
Bhismasadana!
Dia akan mengenal seluruh sosokmu luar dalam tanpa kamu bicara
dan tanpa orang lain tau, bagus sekali, nenekmu percaya mpu Bhisma tidak
sia sia mengajar kamu.
Pagi hari Soma, Raden Wijaya keluar dari salah satu kamar
disamping bale pemujaan para pitri dimana neneknya tingal, mengenakan
alas kaki dari anyaman daun tal dan rumput rawa yang dikeringkan,
seperti yang biasa dipakai oleh kaum brahmana, salwar putih sampai mata
kaki, mengenakan kampuh sutera berwarna kuning pucat diperkuat
dengan pending perak selebar empat jari bertelanjang dada dan mengenakan
selempang tali sebagai seorang brahmana, tetapi rambutnya yang tebal digelung
padat diatas kepala diikat oleh pita hijau dengan banyak lilitan oleh nenenda,
pinggangnya nampak ramping, otot dibawah kulit tidak begitu menonjol
namun nampak seingsat tanda aliran darah seputar tubuh berjalan sangat baik,
penampilan satrya pinandita, sambil mengepit kotak kayu cendana berikut
anak caturnya, panjangnya antara sehasta inilah papan catur
dengan buahnya dari gading dan kayu hitam.
Bertemu saudara seperguruannya di halaman Wantilan Barat
menunggu dijemput untuk diantar masuk kalangan, Raden Wijaya masuk kalangan
dengan menguncupkan sembah walau berjalan biasa tapi memancarkan hawa
kuat dan nyaman seolah olah sudah sering hadir dilingkungan
yang mestinya memancarka keangkeran dan wibawa ini, sehingga tidak ada
suara apapun. Pada tempat yang ditentukan Raden Wijaya berjengket meletakkan
papan catur yang berbau cendana. yang menarik perhatian sang Raja, dengan
segera baginda mengisyaratkan supaya mulai mengelar karyanya.
Dalam keadaan berjengket dan menguncupkan sembah, Raden Wijaya
menuturkan tentang dirinya dengan suara yang lirih namun berisi tenaga
murni yang tak terukur karena hadirin seluruh wantilan mndengar
dengan jelas.
Selanjutnya dia menuturkan bahwa neneknya yang
bekerja dibalai pemujaan para pitri di istana Baginda, bahwa dia adalah
murid Mpu Bhismasadana dari perdikan Sendang di Japan, berusaha menjadi abdi
Singhasari yang berguna sebagai seharusnya anggauta wangsa Girindra. Akan diutarakan
dengan permainan catur menghadapi baginda bila berkenan.
Baginda tertegun sejenak, merasa gembira karena teringat
sebulan yang lalu, beliau bermain catur dengan brahmana Rsi Damardana,
dan mengalahkan dengan telak setelah melakukan langkah langkah pertukaran
merugi tapi empat langkah berikutnya terbukalah jalan kemenangan ternyata
beliau mampu memperhitungka segala kemungkinan empat langkah yang belum
digelar dengan segenap kemungkinannya untuk dipertimbangkan.
Jadinya Baginda sangat bersemangat mengingat
keberhasilannya – segera memerintahkan mantri Jero
dengan tertawa gembira, menyiapkan permaina catur langsung atas petunjuk
Baginda, satu meja rendah diletakkan ditengah kalangan, bginda menmerintahkan
mengambil dampar dalem untuk beliau bersantap bersama permaisuri, tempat
duduk yang lebih nyaman lebih rendah dudukannya dari dampar pisowanan
yang tinggi, menyilakan Raden Wijaya untuk menghadapi beliau sambil bersila.
Semua hadirin bisa melihat jelas papan catur yang mulai
disiapkan. Beliau sangat ingin mengukur murid mpu Bhismasadana yang lama beliau
kenal dan puluhan tahun tidak bertatap muka, baginda malah berharap
meskipun murid Mpu yang berilmu tinggi toh masih muda mestinya masih lebih
rendah dari Rsi Damardana.
Sebagai penantang Raden Wijaya memegang buah putih yang
melangkah lebih dulu, dengan cepat Baginda melakukan langkahnya, sampai
lima langkah kedepan masih pembukaan yang umum, langkah ke enam
Raden Wijaya tidak menempuh jalan yang umum tapi penyerangan dari dua
sisi dengan memindah raja selangkah kedepan. Semua hadirin menghela nafas atas
kesembronoan sang penantang yang cari penyakit, karena langkah ini mengandung
resiko tinggi pada setiap langkah berikutnya, apalagi menghadapi Prabhu
Kartanegara yang tersohor mumpuni dibidang ini.
Hening henap di pendapa dalem, Baginda duduk dengan santai
menikmati anyaman pemikirannya yang nenjangkau jauh kedepan, terus menenerus
memberi tekanan tanpa ampun kepada raja putih yang terbuka. Raden wijaya
setengah memejamkan mata dengan takzim melakukan langkah demi langkah, dalam
keheningan dengan bantuan catur sanak Raden Wijaya menembus anyaman pemikiran
Baginda, Baginda merasa ada kilatan kilatan sambung rasa antara beliau dan
lawannya, beliau segera meusatkan pikiran , lenyap rasa alam disekitarnya yang
ada adalah kilatan Tanya jawab mengenai pertarungan catur langkah langkah yang
sedang dihadapi dan lain pemikiran saling bertanya dan saing menjawab yang
sangat intense dan menyegarkan pendapat dan pertanyaan diutarakan diantara langkah
langkah buah catur yang semakin berat disela sela bau cendana yang semakin
terasa bagi segenap hadirin, seolah olah menandakan kehadiran para pitri,
yang nampak mereka yang saling bertempur dimedan catur tapi apa yang mereka
berdua bahas dalam saling masuk ke anyaman pemikiran masing adalah
kilatan tanya jawab mengenai hukum alam semesta keseimbangan abadi
semakin nenonjol ditandai dengan langkah berbahaya yang selalu ada jalan keluar
yang menimbulkan bahaya baru silih berganti. Kedua petarung kelihatan
semakin santai dan mereka memejamkan mata, sedang penonton terus menerus
terombang ambing diantara kelegaan dan kecemasan. Meskipun yang nampak
permainan catur ini dilakukan dengan irama yang tetap tidak melambat maupun
makin cepat tapi dalam penyatuan bathin mereka berdua ada tanya jawan dan
argument yang meninjau seluruh intisari kitab kitab Wedda, Upanishad, dan Wedda
kelima yaitu Mahabharata, riwayat sang suci Rama, kitab Tripitaka dari
Sang Budha, ajaran Sun tsu, semua diutarakan untuk mendukung setiap
langkan jurus catur yang dimainkan.
Jadi sebenarnya yang terjadi adalah mereka berdua bersama
mencari kebenaran semesta dan setiap langkah adalah Dharma, kebenaran yang
mandiri yang mereka cari bersama. Rwa bhinedha akhirnya seri.
Hadirin sampai lupa bahwa permaina babak pertama sudah berakhir.
Permainan biasa yang tidak cepat dan tidak lambat, dimainkan
hingga tiga puluh lima jurus, begitu ghaibnya sehingga hadirin kehilangan rasa
mengenai waktu, mereka mendapatkan resonansi tergetar jiwanya sesuai
dengan tingkat tingkat pencarian masing masing, semua merasakan kelegaan
pencerahan samadi yang berhasil. Tanpa merasa hadirin saling
memegang tangan dengan teman duduk disebelahnya, gembira tanpa sebab seperti
anak anak.
Oleh karena waktu sudah habis dan peserta kedua untuk hari
itu sudah dipersiapkan, maka permainan kedua ditunda khusus sesudah
sandyakala, para hadirin diperkenankan ikut menjaksikan.
Suasana meriah tanpa sebab mengawali pagelaran peserta undangan
hari itu.
Dua dara kembar dari kadipaten Jagaraga, cabang dari
keturunan Rakryan Ranggawuni.
Segera gamelan ditabuh dengan irama degung, kedua gadis kembar
ini masuk wantilan dengan menari baris putri yang mereka ciptakan sendiri
Dua dara kembar berkulit kuning langsat semampai diatas rata
rata putri bangsawan, dirias sempuran sebagai penari srimpi, hanya untuk
mebawakan tari baris putri ini, kain dodot, bagian dada tertutup oleh lilitan
sutra kunng muda hingga dibawah ketiak layaknya dandanan penari legong Bali
sekarang, berbarengan menuturkan mereka
sudah lama bermukim di Ibukota Singhasari belajar menari dari umur lima
tahun bertekat untuk mempersembahkan senibudaya tari untuk Kerajaan Singhasari
sebagai gerakan yang menyehatkan jiwa raga , gending kinanti
titutup disambung dengan irama sampak denga kendang keras dan bleganjur.
Secepat kilat kedua penari serempak berdiri dan dodot
dturunkan\destar dilepas, kedua penari menjelma menjadi penari serimpi.
Dengan rambut yang terurai.
Sulit dirunut peristiwa menyenangkan yang saling susul
ini, Baginda Kertanegara merasa sangat gembira karena belum pernah selama
hidupnya bermain catur tanpa kesalahan dan penuh tenaga sampai akhir
walau berkesudahan seri, merasa kepalanya ringan tanpa beban karena paham
gerakan dan getaran bhuana agung, rasanya seperti Bhatara Mahadewa yang
lagi menari untuk menciptakan dunia seisinya.
Kedua penari putri kembar Mahisa Andini dan Mahisa Anindita
mendapat sambutan yang meriah dari para hadirin, Baginda lanjutkan
kegembiraannya dengan mengundang hadirin bersantap andrawina secara
mendadak dihalaman taman dalam Istana Singhasari, membuat abdi
istana dan tumenggung rumah tangga istana bertindak sigap, dan para
abdi kedathon kalang kabut. Puluhan prajurit diutus menangkap ikan
tambera dan ikan gurami dikolam besar diluar siti hinggil, menangkap
semua babi dan kambing muda punya penduduk Mager sari ditukar dengan uang
perak kedathon, sekejap terkumpul bahan untuk babi gulig dan
kambing guling bebek dan ikan gurami semua dipanggang di bara api arang
bathok kelapa dari dapur istana dialasi daun pisang dan piring
piring besar dari Cina, entah kenapa pohon magga di pinggir balai
pemujaan para pitri nampak berbuah ranum dan lebat pada hari itu,
apakah dihari hari lain tidak diperhatikan ?. Tanpa dirasa semua hidangan sudah
tersedia tidak termasuk tuak dan brem, buah mangga dan jambu dharsana masak
ranum halaman istana, nasi beras merah yang harum sudah teesedia di beber di
nampan nampan besar dari perak sambil dikipasi para abdi supaya mendingin.
Sambal puluhan cobek batu di lembutkan oleh para abdi ditempat
menjadikan suasasana sangat meriah, semua bersantap andrawina dengan lauk yang
sederhana manun nikmat luar biasa, karena hampir tidak pernah baginda
Krtanegara begitu santai dan tanpa beban, sehingga mempengaruhi seluruh istana
dihari itu. Mungkin para pitri brkenan membantu mnciptakan makanan dan suasana
senikmat ini dalam sekejap, tanpa direncanakan. Para penabuh gamelan, pengikut
dan pendamping pemuda pemudi bangsawan sinoman yang diundang berkumpul
diseputar wantilan, semua mendapatkan makanan lorodan ( sisa makanan ) yang
sebenarnya pngisian kedua maupun ketiga dari mnampan nampan besar itu dari
santap handrawina dadakan baginda Raja dan para nayaka narapraja,
Pemaisuri dan para putra puri raja yang sudah dewasa, peserta sinoman wangsa
Girindra putra putri, pendamping dan pengikut mendapat santapan dengan tertib
dan bebas, tak habis habis sampai para penabuh gamelanpun mendapat lorodan
dengan sangat bersyukur, bahkan mereka hanya makan sedikit yang penting akan
dibawa pulang konon makanan lorodan santapan raja pada hari itu adalah hadiah
para Dewa bertuah untuk azimat rumah tangga mereka.
Para pemuda pemudi sinoman merupaka kelompok yang istimewa
kerena putra putri Baginda dan putra putri para Nindya Mantri bercengkrema
dengan bebas diluar kebiasaan etiquet istana yang ketat saling mempersilahkan
makan saling melayani dan minun makan sangat sederhana, kelapa muda yang baru
dipangkas langsung, nasi merah dan panggang daging di beralaskan daun pisang
sambal mentah terasi layaknya petani makan di dangau bukan andrawina kerajaan.
Sungguh peristiwa yang luar biasa. Para emban tua pengirng putri kedaton entah
kenapa pada saat itu seperti kena sihir mebiarkan asuhannya lepas dari tatacara
istana dan makan sirih sambil melamun berbisik satu sama lain tesenyum dan
menerawang mengingat masa muda mereka. Sesudah sepenggalan dupa tebakar habis,
Baginda berkenan mundur ke pakuwon dalem dan andrawina dadakan yang
meriah dan aneh ini ditutup.
Para emban putra putri raja terhenyak dan bergegas membimbing
asuhannya masuk pintu pagar tembok rendah yang dirupakan candi bentar
gapura yang sempit. Segera hadirin para muda mudi sinoman kerajaan ingat
diri berjengket menyembah dibalas sembah sambil sedikit meneku lutut dan ucapan
trima kasih atas keramahan mereka sambil yesenyum, ada empat putri kerajaan dan
dua putra pemuda tanggung, yang sudah tinggal di sayap kseatryan kedaton
Singhasari. Belasan sinoman kerajaan diiringi Paranpara dan pembantu pagelararan
yang jumlahnya empat kali lipat dan masih ada yang menunggu diluar pintu
kedaton dalam. Raden Wijaya pamit kepada dua teman seperguruannya yang setia
menemaninya, pamit untuk mengembalikan papan catur kepada
sang nenek yang menunggu di satu pavilion mungil di sebelah balai pemujaan para
pitri dalam puri Singhasari.*)
Titik balik nasib Raden Wijaya II –
Pertarungan diatas papan catur babak kedua
Telah masuk senja, matahari di ufuk barat tersembunya dibali
pepohonan yang tinggi dluar kedathon, tinggal sinar cerah yang berwarna
kuning muda memenuhi udara dan langit, candik ayu. Semua penghuni Kota Raja
Singhasari pada bercengkerma diluar rumah, anak anak berteriak, menjerit
berlari lari, gadis gadis sudah bersolek, mebicarakan keajaiban di kerataton,
yang beritanya sudah tersebar dimana mana. Gamelan di Banyak Pura ditabuh
sengan irama gembira, menambah semaraknya suasana.
Raden Wijaya, sudah keluar dari komplek rumah pemujaan para
pitri, sambil mengepit papan catur, dia merasa segar, setelah minum teh
wangi ditemani manisan waluh bligo a’la China, dari pavilion
Nenenda.
Nampakya penonton bertambambah banyak, sampai wantilan Barat
yang serupa doyo untuk bermain silat penuh sesak, ditambah dengan rombongan
para Brahmana Rsi, yang diundang secara langsung untuk hadir oleh
Seribaginda.
Sekarang arena dibuat khusus untuk permainan catur, dengan
penonton hadirin mengelilingi satu meja rendah dan dampar dalem serta permadani
untuk bersila lawan beliau.
Bila sang Raden tadi siang bertelanjang dada dan mengenakan
selempang kabrahman, kali ini selempang dan bagian atas badan ditutup oleh
semacam rompi berwarna gelap, pemberian nenenda, rupanya nenek ini masih
menyimpan milik suaminya yang makayangan puluhan tahun yang lalu. Rompi ini
secara kebetulah pas singsat menutupi dadanya yang bidang, memang tidak
berlengan dan dikancingkan untuk penahan dingin, terbuat dari bulu biri biri
dari china, yang dipintal sebagai kain, meski tidak tebal rompi akan
tetapi hangat bila cuaca dingin dan tidak gerah bila cuaca panas.
Penuh sesak wantilan doyo, penonton putri tidak ada, para
Brahmana kasyaiwan ada dibelakang dampar Raja, tenang bersila. Hadirin
banyak yang mengenakan baju berlengan panjang a’la China, kebanyakan berwarna
coklat muda dan putih, seolah olah nenghadiri upacara keagamaan yang penting.
Hadirin beringsut memberi jalan Raden Wijaya ke tempat
yang disediakan lewat jalan setapak lurus ke meja rendah ditengah doyo,
sambil mebungkuk dia berjalan hati hati sambil nguncupka sembah, dan mengucapkan
sasanti kepada hadirin lirih, tapi semua mendengar.
Selelah beberapa lama bersila sambil negatur buah catur, baginda
datang diiringi oleh dua putra perjaka lancur, dan empat putri remaja,
rupanya Raja telah memutuskan sesuatu yang penting untuk putra putrinya, kenapa
mereka diminta oleh sang Raja untuk turut menyertainya diluar kebiasaan.
Putra putri ini datang dengan berpakaian sederhana layaknya akan
menghadiri upacara di pura istana. Semua diperesilahkan duduk ditempat yang
disediakan dibelakang sang Raja, yang mengenakan baju dan dodot
didominasi warna putih, gelung Baginda diikat dibawah kain penutup kepala
dipererat oleh mahkota emas layaknya tutup kepala cara Arab.( egal )
Wijaya bersembah mengucupkan tangan diatas kepala dibawah
hidung dan didada dengan takzim. Dibalas oleh Raja dengan mengembangkan
telapak tangan.
Sang Prabhu Kertanegara membuka buah catur dengan permainan Raja
Hindustan, tiga bidak berbaris kedepan dua langkah, Raden Wjaya meladeni dengan
tekun pembukaan Raja Hindustan yang agresive, Raden Wijaya menjaga penukaran
perwira harus disertai pengorbanan yang berat. akhirnya dengan penuh percaya
diri Baginda memberika pengorbanan yang beliau pertimbangkan paling kecil.
Sekali lagi ada kilatan saling tanya dan saling jawab mengenai dharma,
mengenai keinginan yang mebanjir menggebu gebu, gelora agresivitas segera
merubah barisan putih jadi barisan emprit nebha artinya pertempuran
dimana mana, dijawab dengan kelenturan yang nyaris menyudutkan raja, tinggal
mencari saat memukul balik bila para perwira dan prajurit semua dimedan laga
yang jauh, dan pengawalan raja kosong, peringatan yang jelas dari Wijaya.
Menjelang langkah ke empat puluh dua, Baginda berucap wahai
anakku, jangan andika berpura pura, aku mengerti dharma, aku mengerti kewajiban,
aku mengerti aku kalah. Diucapkan dengan lirih, tapi mengandung kabahagiaan
yang tidak dimengerti olah hadirin yang semua bisa mendengarkan, berkat tenaga
dalam yang tidak kalah kuat dengan lawannya.
Raden Wijaya bersujud takzim, tidak berucap apa apa, semua
kosong yang ada hanya kuwajiban dari Yang Memberi Hidup, hamba menjalankan
dengan ikhlas Begitulah jawab Wijaya tanpa berucap dengan kata tapi
hatinya didorong oleh catur sanak berucap tanpa kata.
Baginda tersenyum lebar kepada putrinya, anakku
putri sulung tahta Singhasari, inilah jodohmu, aku ajak kalian ke
perjamuan singkat ini, engkau aku jodohkan dengan Wijaya, dari Wangsa
Girindra yang terpilih, jalanilah dengan ikhlas, bagaimana ?
Alangkah terkejut sang putri raja, dihadapan hadirin sebanyak
ini. secepat ini, tapi dia Putri Raja, sudah digembleng menomersatukan
kuwajiban, dia teringat sekilas satu bagian dari Mahabharata, di Wanaprastha
parwa, bagaimana keadaan bathin Putri Drupadi dari Pancala sewaktu dijodohkan
dengan Pandawa, karena Arjuna berhasil mngangkat sang Gandewa, yang siapapun
tak berhasil mengangkat, kecuali sang Karna, yang dia tolak sebelum membidik
sasaran dan sekaligus memanah, tapi Arjuna ini mengangkat dengan mudah
sang Gandewa, membidik tepat pada sasaran yang bergerak.
Segera dia singkirkan perasaan harga diri pribadi,
mengetengahkan kuwajiban berbakti pada orang tua, tanpa malu malu dia
tabah, tanpa malu dan takzim dia berdatang sembah sendika dawuh. Raden Wijaya
menguncupkan sembah didada, memandang lurus lurus kearah tuan Putri sulung,
menatapnya dengan tanda tanya betulkah ucapanmu itu setulusnya ?
Raden Wijaya menandai ada kilatan tekad dan kelegaan dari sang putri yang hanya
sekilatan thatit ( secepat kilat), hatinya kini malah terguncang, hampir
saja dia menitikkan air mata, mengingat dia satria miskin yang yang yatim
piatu dari masa mudanya, sang raden memancarkan aura sangat bersjukur,
untungnya guncangan bathinnya bisa disembunyikan dengan berkejap
nemutup mata. Dasar tenaga dalamnya sudah cukup kuat, detak jantungnya biasa,
mukanya tidak memerah, hatinya yang berbunga bunga tidak nampak dimuka umum.
Sikap seorang yang bisa menguasai dunia.
Menghadapi situasi yang mengguncangkan hati detiap orang yang
mendengar keberuntungan ini hadirin tetap diam, membeku, baru kemudian atas
pertanda dari sang Brahmana Rsi, hadirin tebata bata dan akhirnya
bersorak gembira, yang tidak habis habisnya. Sebab perkataan Brahmana dan Raja,
seperti panah api, sekali dlepaskan pantang ditarik kembali.
Atas isyarat sang Brahmana dengan sikap mudra, berdiri, semua
hadirin melantunkan puja, mengucap sasanti jaya jaya. Berita kilat dengan
cepat merambat ke hunian dan kampong kampong di Kota Raja, bahwa Baginda akan
mantu empat puluh hari sejak hari ini. *)
Posted in:
0 comments:
Posting Komentar