Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 01 Desember 2015

6. MATAHARI TERBIT D WILWATIKTA PURA

                             6. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 5)

3.47 PM  SUBAGYO KOESNO  NO COMMENTS
Titik balik nasib raden Wijaya

Pada hari kelima raden Wijaya mendapat giliran pertama menggelar tugas yang diberikan. 
Karena dia hanya ditemani oleh saudara seperguruan Gajah Segara dan Carat Seto yang awam  engenai  ilmu sastra dan ilmu bheksa wiama, selama lima hari dia ditemani oleh sang Nenek yang hampir tak berdaya masih bisa mengelus kepala sang cucu yang sejak kecil menjadi yatim piatu. Segala perasaan campur aduk, Raden Wijaya dengan sabar  mengikuti sang nenek menjalankan tugasnya dibalai pemujaan para pitri.
 Waktu sang nenek menanyakan apa yang akan digelarkan dihadapan Baginda, Raden Wijaya lantas menceriterakan apa yang dipelajari dari Empu Bhismasadana sampai  ilmu kebathinan pengenalan catur sanak hingga dikuasainya,  ilmu ilmu penting untuk membimbing  perahu ke tujuannya,  ilmu perbintangan dengan edaran bulan matahari dan  rasi rasi bintang , tanda tanda alam sesuai dengan posisi rasi bintang tertentu dilngkup langit, membahas Dharma dari  kitab kitab suci, juga bermain catur.
Neneknda tercinta sambil berkaca kaca, matanya yang sudah berkeriput mengguman seolah olah pada dirinya sendiri, kepandaianmu mengerahkan catur sanak tidak bisa kau gelar dihadapan Raja, ilmu ilmu yang diajarkan Bhisma tidak layak hanya diceriterakan karena untuk apa ? Semua itu sangat benar dan berguna bagi seluruh manusia sesudah semua kau gengam ditanganmu cucuku, benar sekali Bhisma mewariskannya kepadamu. Mendadak mata tua sang  nenek berbinar, apa kau tadi  bicara sering bermain catur dengan gurumu itu ? Benarkah ? 
Kebetulan sang Prabu adalah pemain catur yang sangat piawai, banyak tamu dari jauh dari manca Negara menghadap sang Prabu dengan membawa hadiah yang barang langka dan sangat berharga hanya untuk bermain catur dengan Baginda, seperti juga ayahmu yang sudah makayangan. 
Ya cucuku bila waktunya tiba, bawalah papan catur dan buahnya yang nenek masih simpan dibalai pemujaan para pitri seizing Baginda, pakailah selempang kebrahmanan,  tapi gelunglah rambutmu disini nenek akan bantu mengenakan penampilan satrya pinandita.  
Ajaklah baginda bermain catur dua babak, wahai murid sang Bhismasadana! 
Dia akan mengenal seluruh sosokmu luar dalam tanpa kamu bicara dan tanpa orang lain tau, bagus sekali, nenekmu  percaya mpu Bhisma tidak sia sia mengajar kamu.
Pagi hari Soma, Raden Wijaya keluar dari salah satu kamar disamping bale pemujaan para pitri  dimana neneknya tingal, mengenakan alas  kaki dari anyaman daun tal  dan rumput rawa yang dikeringkan, seperti yang biasa dipakai oleh kaum brahmana, salwar  putih sampai mata kaki, mengenakan kampuh sutera berwarna kuning  pucat  diperkuat dengan pending perak selebar empat jari bertelanjang dada dan mengenakan selempang tali sebagai seorang brahmana, tetapi rambutnya yang tebal digelung padat diatas kepala diikat oleh pita hijau dengan banyak lilitan oleh nenenda,  pinggangnya nampak ramping, otot dibawah kulit tidak begitu menonjol namun nampak seingsat tanda aliran darah seputar tubuh berjalan sangat baik, penampilan satrya pinandita, sambil mengepit kotak kayu cendana  berikut  anak caturnya,  panjangnya antara sehasta  inilah papan catur dengan buahnya dari gading dan kayu hitam.
Bertemu saudara  seperguruannya di halaman Wantilan Barat menunggu dijemput untuk diantar masuk kalangan, Raden Wijaya masuk kalangan dengan menguncupkan sembah walau berjalan biasa tapi memancarkan hawa  kuat  dan nyaman seolah olah sudah  sering hadir dilingkungan yang mestinya  memancarka keangkeran dan wibawa ini, sehingga tidak ada suara apapun. Pada tempat yang ditentukan Raden Wijaya berjengket meletakkan papan catur yang berbau cendana.  yang menarik perhatian sang Raja, dengan segera baginda mengisyaratkan supaya mulai mengelar karyanya. 
Dalam keadaan berjengket dan menguncupkan sembah, Raden Wijaya menuturkan tentang dirinya dengan suara yang lirih namun berisi tenaga  murni  yang tak terukur karena hadirin seluruh wantilan mndengar dengan jelas. 
Selanjutnya  dia menuturkan bahwa  neneknya yang bekerja dibalai pemujaan para  pitri di istana Baginda, bahwa dia adalah murid Mpu Bhismasadana dari perdikan Sendang di Japan, berusaha menjadi abdi Singhasari yang berguna sebagai seharusnya anggauta wangsa Girindra. Akan diutarakan dengan permainan catur menghadapi  baginda bila berkenan.
Baginda tertegun sejenak, merasa gembira karena teringat sebulan  yang lalu, beliau bermain catur dengan brahmana Rsi Damardana, dan mengalahkan dengan telak setelah melakukan langkah langkah pertukaran merugi tapi empat langkah  berikutnya terbukalah jalan kemenangan ternyata beliau mampu memperhitungka segala kemungkinan  empat langkah yang belum  digelar dengan segenap kemungkinannya untuk  dipertimbangkan. 
Jadinya  Baginda sangat bersemangat  mengingat  keberhasilannya – segera  memerintahkan  mantri Jero  dengan tertawa gembira, menyiapkan permaina catur langsung atas petunjuk Baginda, satu meja rendah diletakkan ditengah kalangan, bginda menmerintahkan mengambil  dampar dalem untuk beliau bersantap bersama permaisuri, tempat duduk yang lebih nyaman lebih rendah dudukannya dari dampar  pisowanan yang tinggi, menyilakan Raden Wijaya untuk menghadapi beliau sambil bersila.
 Semua hadirin bisa melihat jelas papan catur yang mulai disiapkan. Beliau sangat ingin mengukur murid mpu Bhismasadana yang lama beliau kenal  dan puluhan tahun tidak bertatap muka, baginda malah berharap meskipun murid Mpu yang berilmu tinggi toh masih muda mestinya masih lebih rendah dari Rsi Damardana.
 Sebagai penantang Raden Wijaya memegang buah putih yang melangkah lebih dulu, dengan cepat Baginda melakukan langkahnya, sampai  lima langkah kedepan masih pembukaan yang  umum, langkah ke enam Raden Wijaya tidak menempuh jalan yang umum tapi penyerangan dari  dua sisi dengan memindah raja selangkah kedepan. Semua hadirin menghela nafas atas kesembronoan sang penantang yang cari penyakit, karena langkah ini mengandung resiko tinggi  pada setiap langkah berikutnya, apalagi menghadapi Prabhu Kartanegara yang tersohor mumpuni dibidang ini.
Hening henap di pendapa dalem, Baginda duduk dengan santai menikmati anyaman pemikirannya yang nenjangkau jauh kedepan, terus menenerus memberi tekanan tanpa ampun kepada raja putih yang terbuka. Raden wijaya setengah memejamkan mata dengan takzim melakukan langkah demi langkah, dalam keheningan dengan bantuan catur sanak Raden Wijaya menembus anyaman pemikiran Baginda, Baginda merasa ada kilatan kilatan sambung rasa antara beliau dan lawannya, beliau segera meusatkan pikiran , lenyap rasa alam disekitarnya yang ada adalah kilatan Tanya jawab mengenai pertarungan catur langkah langkah yang sedang dihadapi dan lain pemikiran saling bertanya dan saing menjawab yang sangat intense dan menyegarkan pendapat dan pertanyaan diutarakan diantara langkah langkah buah catur yang semakin berat disela sela bau cendana yang semakin terasa bagi  segenap hadirin, seolah olah menandakan kehadiran para pitri, yang nampak mereka yang saling bertempur dimedan catur tapi apa yang mereka berdua  bahas dalam saling masuk ke anyaman pemikiran masing adalah kilatan tanya jawab mengenai  hukum alam semesta  keseimbangan abadi semakin nenonjol ditandai dengan langkah berbahaya yang selalu ada jalan keluar yang menimbulkan bahaya  baru silih berganti. Kedua petarung kelihatan semakin santai dan mereka memejamkan mata, sedang penonton terus menerus terombang ambing diantara kelegaan dan kecemasan. Meskipun  yang nampak permainan catur ini dilakukan dengan irama yang tetap tidak melambat maupun makin cepat tapi dalam penyatuan bathin mereka berdua  ada tanya jawan dan argument yang meninjau seluruh intisari kitab kitab Wedda, Upanishad, dan Wedda kelima yaitu Mahabharata, riwayat sang suci Rama, kitab Tripitaka dari  Sang Budha, ajaran Sun tsu,  semua diutarakan untuk mendukung setiap langkan jurus catur  yang dimainkan. 
Jadi sebenarnya yang terjadi adalah mereka berdua bersama mencari kebenaran semesta dan setiap langkah adalah Dharma, kebenaran yang mandiri yang mereka cari bersama. Rwa bhinedha akhirnya seri. 

Hadirin sampai lupa bahwa permaina babak pertama sudah berakhir.
Permainan biasa yang tidak cepat dan tidak lambat, dimainkan hingga tiga puluh lima jurus, begitu ghaibnya sehingga hadirin kehilangan rasa mengenai waktu, mereka mendapatkan resonansi  tergetar jiwanya sesuai dengan tingkat tingkat pencarian masing masing, semua merasakan kelegaan  pencerahan  samadi yang berhasil. Tanpa merasa hadirin saling memegang tangan dengan teman duduk disebelahnya, gembira tanpa sebab seperti anak anak.
Oleh karena waktu sudah habis dan peserta kedua untuk hari  itu sudah dipersiapkan, maka permainan kedua ditunda khusus sesudah sandyakala, para hadirin diperkenankan ikut menjaksikan.

Suasana meriah tanpa sebab mengawali pagelaran peserta undangan hari  itu.
Dua  dara kembar dari  kadipaten Jagaraga, cabang dari keturunan Rakryan Ranggawuni.
Segera gamelan ditabuh dengan irama degung, kedua gadis kembar ini masuk wantilan dengan menari baris putri yang mereka ciptakan sendiri  
Dua dara kembar berkulit kuning langsat semampai diatas rata rata putri bangsawan, dirias sempuran sebagai penari srimpi,  hanya untuk mebawakan tari baris putri ini, kain dodot, bagian dada tertutup oleh lilitan sutra kunng muda hingga dibawah ketiak layaknya dandanan penari legong Bali sekarang,  berbarengan menuturkan mereka sudah lama bermukim di  Ibukota Singhasari belajar menari dari umur lima tahun bertekat untuk mempersembahkan senibudaya tari untuk Kerajaan Singhasari  sebagai gerakan yang  menyehatkan jiwa raga , gending kinanti titutup disambung dengan irama sampak denga kendang keras dan bleganjur. 
Secepat kilat kedua penari serempak berdiri dan dodot dturunkan\destar dilepas,  kedua penari menjelma menjadi penari serimpi. Dengan rambut yang terurai. 
 Sulit dirunut peristiwa menyenangkan yang saling susul ini,  Baginda Kertanegara merasa sangat gembira karena belum pernah selama hidupnya bermain catur tanpa kesalahan dan penuh tenaga sampai akhir  walau berkesudahan seri, merasa kepalanya ringan tanpa beban karena paham gerakan dan getaran bhuana agung, rasanya seperti Bhatara Mahadewa  yang  lagi  menari untuk menciptakan dunia seisinya.
Kedua penari putri kembar Mahisa Andini dan Mahisa Anindita mendapat sambutan yang meriah dari para hadirin, Baginda lanjutkan kegembiraannya dengan mengundang hadirin  bersantap andrawina secara  mendadak dihalaman taman dalam Istana Singhasari, membuat abdi  istana dan tumenggung rumah tangga istana  bertindak sigap, dan para abdi  kedathon kalang kabut. Puluhan  prajurit diutus menangkap ikan tambera dan ikan gurami  dikolam besar diluar siti hinggil, menangkap semua babi dan kambing muda punya penduduk  Mager sari ditukar dengan uang perak  kedathon, sekejap terkumpul  bahan untuk babi  gulig dan kambing guling bebek dan ikan  gurami semua dipanggang di bara api arang bathok  kelapa dari dapur istana dialasi daun pisang dan piring  piring  besar dari Cina, entah kenapa pohon magga di pinggir balai pemujaan para pitri nampak berbuah ranum dan lebat pada  hari  itu, apakah dihari hari lain tidak diperhatikan ?. Tanpa dirasa semua hidangan sudah tersedia tidak termasuk tuak dan brem, buah mangga dan jambu dharsana masak ranum halaman istana, nasi beras merah yang harum sudah teesedia di beber di nampan nampan besar dari perak sambil dikipasi para abdi supaya mendingin.
Sambal puluhan cobek batu di lembutkan oleh para abdi ditempat menjadikan suasasana sangat meriah, semua bersantap andrawina dengan lauk yang sederhana manun nikmat luar biasa, karena hampir tidak pernah baginda Krtanegara begitu santai dan tanpa beban, sehingga mempengaruhi seluruh istana dihari itu. Mungkin para pitri brkenan membantu mnciptakan makanan dan suasana senikmat ini dalam sekejap, tanpa direncanakan. Para penabuh gamelan, pengikut dan pendamping pemuda pemudi bangsawan sinoman yang diundang berkumpul diseputar wantilan, semua mendapatkan makanan lorodan ( sisa makanan ) yang sebenarnya pngisian kedua maupun ketiga dari mnampan nampan besar itu dari  santap handrawina dadakan baginda Raja dan para nayaka narapraja, Pemaisuri dan para putra puri raja yang sudah dewasa, peserta sinoman wangsa Girindra putra putri, pendamping dan pengikut mendapat santapan dengan tertib dan bebas, tak habis habis sampai para penabuh gamelanpun mendapat lorodan dengan sangat bersyukur, bahkan mereka hanya makan sedikit yang penting akan dibawa pulang konon makanan lorodan santapan raja pada hari itu adalah hadiah para  Dewa bertuah untuk azimat rumah tangga mereka.   
Para pemuda pemudi sinoman merupaka kelompok yang istimewa kerena putra putri Baginda dan putra putri para Nindya Mantri bercengkrema dengan bebas diluar kebiasaan etiquet istana yang ketat saling mempersilahkan makan saling melayani dan minun makan sangat sederhana, kelapa muda yang baru dipangkas langsung, nasi merah dan panggang daging di beralaskan daun pisang sambal mentah terasi layaknya petani makan di dangau bukan andrawina kerajaan. Sungguh peristiwa yang luar biasa. Para emban tua pengirng putri kedaton entah kenapa pada saat itu seperti kena sihir mebiarkan asuhannya lepas dari tatacara istana dan makan sirih sambil melamun berbisik satu sama lain tesenyum dan menerawang mengingat masa muda mereka. Sesudah sepenggalan dupa tebakar habis, Baginda berkenan mundur ke  pakuwon dalem  dan andrawina dadakan yang meriah dan aneh ini ditutup.

Para emban putra putri raja terhenyak dan bergegas membimbing asuhannya masuk pintu pagar tembok rendah yang dirupakan candi  bentar gapura  yang sempit. Segera hadirin para muda mudi sinoman kerajaan ingat diri berjengket menyembah dibalas sembah sambil sedikit meneku lutut dan ucapan trima kasih atas keramahan mereka sambil yesenyum, ada empat putri kerajaan dan dua putra pemuda tanggung, yang sudah tinggal di  sayap kseatryan kedaton Singhasari. Belasan sinoman kerajaan diiringi Paranpara dan pembantu pagelararan yang jumlahnya empat kali lipat dan masih ada yang menunggu diluar pintu kedaton dalam. Raden Wijaya pamit kepada dua teman seperguruannya yang setia menemaninya, pamit  untuk mengembalikan papan catur    kepada sang nenek yang menunggu di satu pavilion mungil di sebelah balai pemujaan para pitri dalam  puri Singhasari.*)
  
Titik balik nasib Raden Wijaya II – Pertarungan diatas papan catur babak kedua

Telah masuk senja, matahari di ufuk barat tersembunya dibali pepohonan yang tinggi dluar kedathon,   tinggal sinar cerah yang berwarna kuning muda memenuhi udara dan langit, candik ayu. Semua penghuni Kota Raja Singhasari pada bercengkerma diluar rumah, anak anak berteriak, menjerit berlari lari, gadis gadis sudah bersolek, mebicarakan keajaiban di kerataton, yang beritanya sudah tersebar dimana mana. Gamelan di Banyak Pura ditabuh sengan  irama gembira, menambah semaraknya suasana.
Raden Wijaya, sudah keluar dari komplek rumah pemujaan para pitri, sambil mengepit papan catur, dia merasa  segar, setelah minum teh  wangi ditemani manisan waluh bligo a’la China, dari pavilion Nenenda. 
Nampakya penonton bertambambah banyak, sampai wantilan Barat yang serupa doyo untuk bermain silat penuh sesak, ditambah dengan rombongan para Brahmana Rsi, yang  diundang secara langsung untuk hadir oleh Seribaginda.
Sekarang arena dibuat khusus untuk permainan catur, dengan penonton hadirin mengelilingi satu meja rendah dan dampar dalem serta permadani untuk bersila lawan beliau.
Bila sang Raden tadi siang bertelanjang dada dan mengenakan selempang kabrahman, kali ini selempang dan bagian atas badan ditutup oleh semacam rompi berwarna gelap, pemberian nenenda, rupanya nenek ini masih menyimpan milik suaminya yang makayangan puluhan tahun yang lalu. Rompi ini secara kebetulah pas singsat menutupi dadanya yang bidang,  memang tidak berlengan dan dikancingkan untuk penahan dingin, terbuat dari bulu biri biri dari china, yang dipintal sebagai kain, meski tidak tebal rompi  akan tetapi hangat bila cuaca dingin dan tidak gerah bila cuaca panas.
Penuh sesak wantilan doyo,  penonton putri tidak ada, para Brahmana kasyaiwan ada dibelakang  dampar Raja, tenang bersila. Hadirin banyak yang mengenakan baju berlengan panjang a’la China, kebanyakan berwarna coklat muda dan putih, seolah olah nenghadiri upacara keagamaan yang penting.
Hadirin beringsut memberi jalan Raden Wijaya  ke tempat yang disediakan lewat jalan setapak  lurus ke meja rendah ditengah doyo, sambil mebungkuk dia berjalan hati hati sambil nguncupka sembah, dan mengucapkan sasanti kepada hadirin lirih, tapi semua mendengar.
Selelah beberapa lama bersila sambil negatur buah catur, baginda datang diiringi oleh  dua putra perjaka lancur, dan empat putri remaja, rupanya Raja telah memutuskan sesuatu yang penting untuk putra putrinya, kenapa mereka diminta oleh sang Raja untuk turut menyertainya diluar kebiasaan.
Putra putri ini datang dengan berpakaian sederhana layaknya akan menghadiri upacara di pura istana. Semua diperesilahkan duduk ditempat yang disediakan  dibelakang sang Raja, yang mengenakan baju dan dodot didominasi warna putih, gelung  Baginda diikat dibawah kain penutup kepala dipererat oleh mahkota emas layaknya tutup kepala cara Arab.( egal )
 Wijaya bersembah mengucupkan tangan diatas kepala dibawah hidung dan didada  dengan takzim. Dibalas oleh Raja dengan mengembangkan  telapak tangan.
Sang Prabhu Kertanegara membuka buah catur dengan permainan Raja Hindustan, tiga bidak berbaris kedepan dua langkah, Raden Wjaya meladeni dengan tekun pembukaan Raja Hindustan yang agresive, Raden Wijaya menjaga penukaran perwira harus disertai pengorbanan yang berat. akhirnya dengan penuh percaya diri Baginda memberika pengorbanan yang beliau pertimbangkan paling kecil.
Sekali lagi ada kilatan saling tanya dan saling jawab mengenai dharma, mengenai keinginan yang mebanjir menggebu gebu, gelora agresivitas  segera merubah barisan putih  jadi barisan emprit nebha  artinya pertempuran dimana mana, dijawab dengan kelenturan yang nyaris menyudutkan raja, tinggal mencari saat memukul balik bila para perwira dan prajurit semua dimedan laga yang jauh, dan pengawalan raja  kosong, peringatan yang jelas dari Wijaya.
Menjelang langkah ke empat puluh dua, Baginda berucap wahai anakku, jangan andika berpura pura, aku mengerti dharma, aku mengerti kewajiban, aku mengerti aku kalah. Diucapkan dengan lirih, tapi mengandung kabahagiaan yang tidak dimengerti olah hadirin yang semua bisa mendengarkan, berkat tenaga dalam yang tidak kalah kuat dengan lawannya.
Raden Wijaya bersujud takzim, tidak berucap apa apa, semua kosong yang ada hanya kuwajiban dari Yang Memberi Hidup, hamba menjalankan dengan ikhlas  Begitulah jawab Wijaya tanpa berucap dengan kata tapi hatinya didorong oleh  catur sanak berucap tanpa kata.
Baginda tersenyum lebar  kepada putrinya, anakku putri  sulung tahta Singhasari, inilah jodohmu, aku ajak kalian ke perjamuan singkat ini, engkau  aku jodohkan dengan Wijaya, dari Wangsa Girindra yang terpilih, jalanilah dengan ikhlas, bagaimana ?
Alangkah terkejut sang putri raja, dihadapan hadirin sebanyak ini. secepat ini, tapi dia Putri Raja, sudah digembleng  menomersatukan kuwajiban, dia teringat sekilas satu bagian dari Mahabharata, di Wanaprastha parwa, bagaimana keadaan bathin Putri Drupadi dari Pancala sewaktu dijodohkan dengan Pandawa, karena Arjuna berhasil mngangkat sang Gandewa, yang siapapun tak berhasil mengangkat, kecuali sang Karna, yang dia tolak sebelum membidik sasaran dan sekaligus memanah, tapi Arjuna  ini mengangkat dengan mudah sang Gandewa,  membidik tepat pada sasaran yang bergerak.
 Segera dia singkirkan perasaan harga diri pribadi, mengetengahkan kuwajiban  berbakti pada orang tua, tanpa malu malu dia tabah, tanpa malu dan takzim dia berdatang sembah sendika dawuh. Raden Wijaya menguncupkan sembah didada, memandang lurus lurus kearah tuan Putri sulung, menatapnya   dengan tanda tanya betulkah ucapanmu itu setulusnya ? Raden Wijaya menandai ada kilatan tekad dan kelegaan dari sang putri yang hanya sekilatan thatit ( secepat kilat), hatinya  kini malah terguncang, hampir  saja dia menitikkan air mata, mengingat dia satria miskin yang yang yatim piatu dari masa mudanya, sang raden memancarkan  aura sangat bersjukur, untungnya  guncangan bathinnya bisa disembunyikan  dengan berkejap nemutup mata. Dasar tenaga dalamnya sudah cukup kuat, detak jantungnya biasa, mukanya tidak memerah, hatinya yang berbunga bunga tidak nampak dimuka umum.
 Sikap seorang yang bisa menguasai dunia.
Menghadapi situasi yang mengguncangkan hati detiap orang yang mendengar keberuntungan ini hadirin tetap diam, membeku, baru kemudian atas pertanda dari sang Brahmana Rsi, hadirin  tebata bata dan akhirnya bersorak gembira, yang tidak habis habisnya. Sebab perkataan Brahmana dan Raja, seperti panah api, sekali dlepaskan pantang ditarik kembali.
Atas isyarat sang Brahmana dengan sikap mudra, berdiri, semua hadirin melantunkan puja, mengucap sasanti jaya jaya.  Berita kilat dengan cepat merambat ke hunian dan kampong kampong di Kota Raja, bahwa Baginda akan mantu empat puluh hari sejak hari ini. *)

Posted in:


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More