Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Jumat, 11 Desember 2015

10 - 12 MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTEPURA : SERANGAN KILAT KE KEDHATON SINGHASARI


PERSIAPAN PENYERBUAN SINGHASARI
Sang Pangeran Agung Kadiri  Jayakatwang yang berhasil dengan gemilang  merampok Wengker, menggertak Kling, sekarang mendapat dukungan dari para Brahmana, jadi  Raja Kerajaan Kadiri. Setahun sesudah itu sang Jayakatwang dengan diam diam menyiapkan penyerbuan ke Singhasari, untuk membalaskan dendamnya kepada Baginda Kertanegara yang telah merebut hati Ni Ratri. Meskipun secuilpun dia tidak mengenal cinta, tapi harga dirinya ter-robek robek oleh kecuekan Ni Ratri  kepadanya, setelah gadis liar ini berkenalan dengan Prabu Kertanegara.  Tentu saja Sang Prabu tidak menyadari hal ini, malah tidak terfikir oleh beliau, bahwa beliau telah membuat sakit hati  yang dalam pada Sosok Kalakatawang.
Pertengahan tahun, paroh kedua  musim hujan, sungai Brantas masih mengalir deras, dengan kedalaman lima depa rata rata di alur utama sungai itu. Jayakatwang mencoba perahu dayung, dalam semalam dapat sampai di tepian mana. Ternyata kebanyakan sampai di hutan hutan tepian desa Ploso paling dekat dan paling jauh diutara hutan hutan menjelang kota Wirasabha.  Jayakatwang meneliti sendiri rintisan dalam hutan yang tidak melewati kampong dan desa, dari hutan tepian kali Brantas hingga ke kaki gunung  Welirang. Maha Prabhu Jayakatwang  merencanakan pasukan berkudanya lewat rintisan ditengah hutan dekat lembah sempit antara kaki gunung Welirang dan kaki gunung Pananggungan. Beberapa rintisan telah dia peroleh. Dari rintisan ini yang berakhir di lembah sempit, diteruskan dengan rintisan ke Purwosari, dikaki gunung Arjuno. Dilembah ini ada  jurang air terjun gunung Baung.  Ada beberapa rintisan yang aman dari mata penduduk. Dengan sedikit berita menyesatkan mengenai rombongan besar ini, seperti perburuan binatang langka untuk banten upacara, atau pencarian tata letak candi pemujaan, atau rencana penyaratan kayu solo ( Pinus merkusii). Gelondong kayu ini memang baik untuk tiang layar perahu besar dan lain sebagainya.
Sebelum rintisan dibuat, di sebarkan berita berita  dari warung warung tuak hunian ramai,  dengan posisi terdekat dengan rintisan ditengah hutan yang direncanakan, tempat berkumpul, tempat berpencar pasukan dalam perjalan rahasia. Pokoknya kerangka cerita yang ditancapkan ke benak penduduk, sekira kepergok dengan rombongan yang sudah dirancanakan.  Berita yang disuguhkan kepada rakyat selau disertai dengan ancaman maut harimau dari Lodhaya dan Campur Darat Kalau perlu dengan korban korbannya yang ter-cabik kepalanya hilang. Kepada penjabat setempat ceritera menganai urat tambang emas, dengan sedikit hadiah picis untuk  persahabatan dengan  petugas rintisan. Untuk para Brahmana, berita mengenai pencarian keletakan lokasi candi pemujaan dan lain sebagainya.
Bila sangat penting dibuatkan jembatan jembatan geladak  yang melewati jurang jurang. Tentu saja rintisan jalan  diterjunkan kebawah dulu agar jembatan jembatan itu tidak terlalu panjang dan tinggi.
Meskipun ini bukan wilayah Kadiri, tapi ditengah hutan, jadi tidak ada yang segera mempersoalkan, itupupun bila ketahuan.  Bila perlu dibuat semacam upaya untuk menakut nakuti penduduk agar tidak masuk hutan dengan harimau harimau gadungan dari Lodhaya yang sangat manjur.  Yang namanya harimau gadungan, artinya menusia yang menguasai ilmu  gaib merubah dirinya jadi harimau, rerajahan dan  pangleakan,  agar penduduk menjauh dari rintisan dan lapangan tempat beristirahat pasukan pasukan berkuda yang harus dirahasiakan rapat rapat sebelum mencapai wilayah Plawangan.
Secara tidak kentara, rintisan telah dibuat beberapa jalur, dengan segenap pengamanan kerahasiannya. Dan juru penunjuk jalan. Rombongan dua malam beristirahat di hutan hutan, dan semalam di jurang  Gunng Baung yang seram.
Ternyata pekerjaan ini sangat memerlukan pimpinan yang cepat mengambil keputusan, mengerahkan tenaga yang ahli dan tenaga kerja yang banyak dalam membuat rintisan yang tepat sacara langsung, secara tidak langsung adalah pasukan telik sandi yang menjaga kerahasiannya.  Menyediakan keperluan istirahat dan makanan untuk kuda dan pasukan yang sudah harus ada di setiap tempat yang  ditentukan.
Dalam dua bulan semua sudah siap dipakai sampai ke lembah air terjun di gunung Baung. Peluncuran pasukan tingal neunggu aba. Dimulai dengan mendayung ke hilir sungai Brantas pada waktu malam. Puluhan perahu katamaran artinya dua perahu digandeng dengan geladak rata untuk kuda kuda, mandarat pagi pagi di hutan hutan tepian kali yang ditetapkan, dan siang hari menempuh jalan rintisan ditengah hutan hutan hingga malam tiba. Semua rombongan harus sudah sampai di tempat istirahat yang sudah ditentukan. Malam ketiga sudah harus berkumpul di lembah air tejun Gunung Baung untuk beristirahat.
Untuk paruh malam ketiga, sebelum tengah malam berkuda secara terbuka ke Singhasari, sambil membunuhi semua orang yang bertemu, dengan panah dari atas kuda yang berlari  Dua puluh anak panah setiap orang sudah ditentukan sasarannya.
Pasukan baris pendem sudah disiapkan bermingu mingu sebelumnya secara bertahap, untuk memancing para penjabat penting  keluar rumah dan dibantai oleh pasukan berkuda dengan panah panahnya yang istimewa. Barisan pendem ini membawa dua obor.  Hasilnya ternyata mengerikan sekali. Lebih dari dua ratus penjabat Tinggi Kerajaan mati terpanah. Istana terbakar hebat dan Raja Kertanegara mati terpanah diantara puing puing wantilan Agung.
Yang mengherankan tapi tidak pernah disaksikan orang, diantara mayat mayat bertebaran di puing puing wantilan Agung ada sesosok mayat wanita muda, Ni Ratri dari Kadiri, rupanya terpanah di dadanya tembus  ke punggung, panah pasukan berkuda Kadiri, khusus yang ini ujungnya  besi tuang yang berbentuk kuncup bung kantil dipaterikan emas sejarum. Anak panah ini khusus milik Jayakatwang, untuk sasaran yang berilmu tinggi *).                


Posted in:
iI MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 10)

        PELARIAN DARI KEDATHON SINGHASARI
Pasukan berkuda dari Kadiri menyerbu ibu kota Singhasari dari Utara. Dengan para penunggang kuda yang liar, melarika kuda kudanya dengan kecepatan penuh berbondong bondong tidak beraturan. “Rawe rawe rantas malang malang putung”.  Lepas tengah malam kedengaran titir kulkul dari Utara sayup sayup kemudian makin keselatan ke kota Singhasari dengan makin jelas suaranya.
Memang rupanya inilah kejadian yang paling dia takutkan, perahu perang dikirim ke Palembang dengan tiga perahu besar bercadik , model yang sudah lama, karena pembuatannya boros kaju dan berlayar kurang laju sebanding  dengan luas layarnya. Tapi ketiga perahu bercadik dengan geladak bersusun tiga, kebanggaan Singhasari. Perahu  perahu ini persis serupa dengan perahu besar yang dilukiskan didinding candi Borobudur. dibagian kamadatu. Sedang ibu kota yang tidak bertembok ini tidak seperti biasanya Ibu kota, karena bahaya diserbu oleh gerombolan pasuka barkuda tidak pernah ada.
Raden Wijaya ditemui oleh penjaga peraduan raja dengan sangat tergopoh, gopoh. Diberi titah darurat dengan tegas supaya membawa istreri dan adik adiknya semua melarikan diri lewat pintu rahasia Utara. Segera  disana sudah disediaka kuda lima ekor. terserah menurut situasi, jangan sampai kepergok pasukan berkuda atau siapapun sebelum berkuda sepenginang.
Kelanjutan wangsa Singhasari sepenuhnya ditangannya, sambil menyampaikan kalung kerajaan lambang Garuda Wishnu yang selalu dipakai Baginda, itu berarti Baginda siap mati.
Bagitu gawatnya susasana, sehingga raja tidak bertitah untuk bertahan, ,melainkan melarikan diri dengan kuda menyamar, sampai sepenginangan diperjalanan.
Raden WIjaya segera mengerti betapa gawatnya kedudukan Singhasari dan dia beserta adik adik iparnya sebagai harapan satu satunya untuk pepulih dikemudian hari.
Tanpa berpikir panjang dikumpulkan adik adiknya, dua lelaki tanggung dan tiga remaja putri, bertujuh dengan dia dan istrinya Membawa bekal bumbung kerajaan yang disediakan untuk keadaan darurat. Semua berdandan ringkas semua berdandan ringkas cara prajurit. Berdestar dan pakaian malam segera berangkat dengan lima kuda yang selalu tersedia di istal kuda untuk situasi darurat, dekat pintu rahasia di Utara Kedhaton. Dia satu kuda, isterinya satu kuda,  masih  tiga kuda lagi untuk keempat adiknya. Mereka berkuda dengan langkah drap menuju ke barat laut. Kawasan berhutan lebat. Mereka berkuda merunut jalan setapak agak menanjak. Jalanya pencari madu.
Sepenginang sampai di wilayah dengan semak semak lebat. Wilayah berbentuk  kipas, bekas laharan gunung Arjuno, berpasir campur kerikil, sangat sunyi.
Tempat ini memang jarang di jamah untuk kepentingan apapun karena tanah laharan ini sangat gersang. Raden Wijaya tahu jalan setapak ini, nanti bila menurun sampai di satu Asyram di desa Polaman agak sebelah barat Plawangan. Siang ini dia dan rombongannya berusaha bagerak sejauh mungkin dari Singhasari dan sesedikit mungkin ketemu orang.
Anehnya menjelang fajar, disebelah barat Plawangan rombongan ini bertemu dengan rintisan jalan ditengah hutan, yang menuju ke utara, nampak baru dan dilewati banyak sekali bekas telapak kuda, lebih dari limapuluh ekor, keutara sepanjang lereng timur gunung Arjuno, menembus hutan lebat. Dia langsung tahu bahwa rintisan ini jalan rahasia yang barusan semalam paling lama dua hari yang lalu dilewati pasukan berkuda dari Kadiri. Sudah ditinggalkan oleh pembuatnya karena gunanya sudah diperoleh.
Raden Wijaya berdecak kagum. Dengan mudah rombongan kecil ini mencapai Purwosari lewat rintisan jalan baru ini tanpa ketemu seorangpun. Rombongan beristirahat ditepi  hutan, dekat dengan pakuwon Purwosari.
Mendadak saja mereka ingat bahwa sejak malam mereka belum makan bahkan minun air setegukpun, ketegangan pelarian menyebabkan semua jadi lupa makan dan minum seharian.
Sore itu mereka bertujuh turun dari kuda, menuntun kuda kearah bawah pohon elo besar, yang lagi banyak burung “joan” menyerbu buah elo, menjelang senja. Semua putri raja yang empat orang, nampak lelah tapi tetap tenang, semua berwajah kemerah merahan, nampak kelelahan. Semua mengerti burung burung itu makanan, tapi apa boleh buat, mereka tidak punya alat apapun selain pisau belati yang sangat tajam bawaan Raden Wijaya.
Kedua adik iparnya yang laki laki, tidak membawa panah apalagi sumpit. Toh Wijaya dulunya pangeran yang miskin, bergaul dengan semua orang, sebelum menjadi murid sang Bhismasadhana. Dia dititipkan di satu asyram, sebagai bocah yang suka bermain main dengan anak gembala dari seputar asryam.
Dengan mereka dia belajar renang di sendang yang dingin dan banyak ikannya, karena penduduk takut mengambilnya. Sedangkan dia dan temannya yang paling bengal tidak.
Mereka diam diam sering mengambil ikan tambera yang paling besar terus dibawa ke tepian hutan lalu di panggang dengan bumbu dari pinggiran hutan, garam dan umbut combrang ( laos hutan) di gilas dengan batu hingga halus, dimasukkan rongga tubuh ikan beserta daun daun muda dan berbau harum banyak.
Daun daun dan bumbmu ditempelkan di sekujur kulitnya dibungkus rapat rapat dengan daun combrang dan daun bunga tunjung (teratai) berlapis lapis, dan dipanggang.
Kali ini bukan ikan tapi ayam hutan yang ternyata banyak ditempat itu. Dasar waktu kecil temannya anak gembala, dia pembuat jerat dari serat pohon waru gunung. Wijaya mahir membuat jerat ayam hutan. Menjelang senja Wijaya sudah   mendapat empat ayam hutan, semuanya betina. Langsung di bersihkan bulu bulunya diberi bumbu garam dari bumbung kerajaan bubuk merica dan tumbukan umbut jombrang ( lengkuas hutan) dibalut dedauman pisang dan teratai yang kebetulan ada di sendang kecil delat situ.
Memang bila nampak pohon elo, sekitar situ pasti ada air, entah sungai entah sendang atau danau. Bungkusan dipanggang sampai malam tiba. Waktu dikeluarkan dari unggun api, dan dibuka dengan membelah bungkusan ini, ternyata tercipta aroma harum. Keenam putra putri raja itu makan ayam hutang panggang, seolah olah tidak pernah marasakan masakan ayam. Mereka minum air anak sungai kecil tidak jauh dari pohon elo tempat mereka beristirahat. Sisa api unggun dibuat membenamkan ubi hutan, dan mereka makan dengan lahap. Menjelang malam mereka adik ipar laki laki nampak masih lapar.
Sebelum mendatangi rumah akuwu, Raden Wijaya member isyarat dengan tangan, mengajak mereka berdua berburu oling ( belut raksasa).  Dia sepintas melihat sarang belut raksasa itu di sendang dekat situ, dia jelas melihat bekas bekas buih masih menggerombol dekat semak tepian lain dari sendang itu. Kepala ayam hutan yang tidak ikut dibakar dilubangi dang diikat di telapak tangan kanan sang Raden Bengal ini.  Mereka mendatangi bekas buih diterangi hanya dengan bulan muda, tangan dengan kepala ayam hutan sang Raden pelan pelan dicelupkan di air hanya selengan, tidak berapa lama, ada yang berkecipak keras.
Dengan kedua tangan satu belut sebesar lengan orang dewasa sudah tertangkap dalam genggaman besi tangan kanan, sedang tangan kiri membantu dengan memasukkan jari telunjuk ke insang oling ini sekuat kait besi. sementara  kedua tangan  ini diangkat dengan segera. nampak oling sebesar lengan orang dewasa ini berkelojotan diantara kedua cenkeraman tangan besi sang Raden, Oling atau sidat raksasa memang ikan buas yang paling licin, badannya berlendir sehinga memegangnya harus dengan keberanian dan tekad.
Dengan kaget kedua pemuda tanggung ini hampir berteriak sebelum mendatangi kegirangan, baru teringat mereka adalah pelarian nomer satu, ketika nampak sang raden segera mengelengkan kepalanya sambil mulutnya berdesis.
Mereka makan oling panggang dengan garam,  lebih dari cukup mengenyangkan, bertujuh masih makan sambil tertawa cekikikan seolah olah mereka sedang bercengkrema di halaman istana, sebelum menadatangi rumah Akuwu Purwosari, untungnya penjaga regol masih mengenali Raden Wijaya. Rombongan segera masuk dan regol ditutup. Kuda kuda masih disembunyikan di tempat rombongan beristirahat dihutan untuk kehati hatian. Ternyata benar, sebab Menantu Raja ini pernah berburu rusa dengan Akuwu atas undangan beliau, sedang tadi siang sudah tersiar berita bahwa Singhasari jadi karang abang, hampir semua pembesar Kerajaan terbunuh, termasuk Sribaginda Kartarajasa. Istana terbakar ludes, hampir semua orang tidak percaya, mereka akan berbondong bondong menuju keselatan melihat Ibu Kota.
Ketujuh tamu ini  masuk regol dengan cepat tanpa kuda kuda, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sedangkan Jayakatwang pun belum memasang telik sandi di Pakuwon Purwosari, mengharapkan bahwa seluruh keluarga Raja bakal berkelahi gaya puputan Margarana.
Putra putri Raja langsung beristirahat, Raden Wijaya dan sang Akuwu merundingkan perjalanan selanjutnya ke ruangan pendopo, kuda kuda segera dijemput dan depilhara di istal lain, Mereka berdua berkirim surat singkat saat itu juga dikirim gandek berkuda ke Japan dan Bangil, Habis tengah malam rombongan berganti naik pedati sapi menuju ke Bangil dari pintu samping diantar oleh prajurit tua penjaga Regol. Sehigga dapat dipastikan tidak ada seorangpun yang tahu kedatangan tamu itu selain keluarga Akuwu.
Raden Wijaya mempercayakan nasibnya pada Akuwu Purwosari, sambil mengucupkan tangan didepan dada, salam persahabatan, yang disambut dengan meyakinkan oleh sang Akuwu. Dia tidak akan melapor kepada Tuannya yang baru Raja Kadiri dan Singhasari Sang Mahaprabu jayakatwang. Hal mengenai kedatangan rombongan ini.
Dalam gerobak sapi yang diisi penuh jerami, dedak dan rendeng ( daun kacang tanah kegemaran kuda kuda), diantar penjaga regol dan dua emban yang memang tahu kedatangan tamu ini, mereka bertiduran diantara muatan jerami itu, tidak nampak dari luar.  Matahari sudah tinggi baru sampai di penggiran kota Bangil, yang ramai karena kota itu kota pusat kemasan artinya tempat undagi emas, disana sudah dijemput oleh Pemilik Perahu Madura. Siang nanti segera berlayar ke Trung.
Perahu tidak besar, ditambat di sungai yang membelah kota Bangil, bersama dengan perahu perahu tambangan, ternyata dua emban mamaksa ikut ke Trung, dengan pertimbangan kerahasiaan Raden Wijaya mengabulkan.
Rembang siang hari perahu didayung ke muara tanpa banyak cing cong, dan langsung disambut oleh angin timur yang agak keras, segera layar terisi dan perahu meluncur cepat ke utara. Selang dua hari sesudah hari itu, baru rombongan telik sandi Prabhu jayakatwang desebar di Japan, di Purwosari, para abdi Pakuwon dan Penjaga regol ditanya apa ada tamu kemarin, jawabnya tegas tidak ada, wong tamunya sudah tiga hari sebelum itu. Sudah tidak ada yang tahu kacuali keluarga Akuwu, yang ternyata bisa diandalkan. Dikemudian hari, betahun tahun mendatang masih diingat oleh Raden Wijaya.
Keluarga yang ditingalkan oleh dua emban dijamin oleh Akuwu lebih dari cukup, dan diyakinkan akan keselamatannya. Begitulah sementara romdongan pelarian yang sangat penting dari Kerajaan Singhasari seperti hilang ditelan bumi.
Di Japan sepertinya tidak ada kolong yang tidak diintip, tidak ada pintu yang tertutup bagi telik sandi, tapi sama sekali tanpa hasil sampai berbulan bulan tidak ada berita sampai di telinga Prabhu Jayakatwang tentang Putra Putri Kartanegara dan Raden Wijaya, padahal Prabhu Jayakatwang sudah terlanjur mengumumkan dirinya seperti Dewa, serba tahu.
Yang ini benar benar dia tidak tahu, meskipun ribuan telik sandi dengan jaringan gandek gandek dan burung burung merpati pos, jaringan telik sandi bukan saja di Japan, tapi di Janggala, Trung. Bahkan sampai ke Pasar Uang  Tuban dan Wirasabha, tapi tetap tidak ada berita apa apa selama dua bulan.
Yang lebih menjengkelkan pencaharian pelarian itu sampai jadi bahan ejekan kuli kuli tukang angkut barang di japan, Jenggala dan Trung, bahwa mereka telah menggendong putri putri kerajaan yang cantik cantik  ini menuju ke jung yang berlayar ke negeri Cina, mereka bercerita demikian di warung warung tuak sambil cengengesan, ngerti bahwa disitu pasti ada telik sandi Pabhu Jayakatwang dan pasti berita itu disampaikan pada beliau. Ada yang bercerita bahwa empat putri Raja itu sekarang menyamar sebagai ronggeng di desa Dawuhan, dia sempat menciumnya,  Bercerita begitu sambil pringas pringis, ada yang bilang bahwa si Nem bakul pecel yang cantiknya kelewatan di pasar gede Jenggala itu adalah salah satu Putri Raja  Kartanegara yang menyamar, semua berita itu penting dan sampai ke telinga Rajanya para Dukun, balian mangiwa. yang bertahta di puncak alang alang kumitir. Sang Jayakatwang mengakui bahwa berita berita itu harus dinyatakan semua, membuat dia jadi gila, sambil membanting tongkat pusakanya dihadapan Tumenggungnya para telik sandi Kerajaan.
Malah berita bahwa Prabhu Jayakatwang gila menyebar dimana mana dengan bumbu bumbu tentunya.  Malah ada rombongan tobong ( sandiwara) keliling desa desa yang melakonkan penyamaran putri putri Singhasari dan Raden Wijaya, konon sangat laris dengan banyolan banyolan.
Bagaimana Negara melarangnya, bagaimana melawannya, apa deserbu dengan pasukan berkuda ? Disini dia dimakan oleh siasatnya sendiri, tukang menyiarkan berta bohong.  Rakyat di kota kota pelabuhan ternyata sangat kreatip mengejek kekuasaan Negara dibawah sang Mahapabu Jayakatwang,
Penguasa baru Janggala Kadiri dan Singhasari, bang wetan dan bang kulon.
 Prabhu jayakatwang merasa bahwa perlawanan Rakyat Singhasari, Jenggala, Wirasabha yang terus terusan meluas semacam ini, sangat mnjatuhkan wibawanya. Dalam hati dia mengharapkan Raden Wijaya menakluk dengan sukarela, tapi bagaimana mengumumkannya ? Siapa Yang percaya lagi ?
Menjelang pagi, angin berubah ke barat daya, perahu Madura merubah haluan ke Barat langsung ka Pelabuhan Trung, dimuara Sungai Mas anak sungai Brantas yang lewat kota Trung. Belum sampai selesai merapat di penggiran, ada sosok anak anak yang membawa surat diberikan kepada Raden Wijaya, yang isinya satu Asyram Islam di Ampel Denta menyediakan perahu dayung lengkap untuk pelayaran kemana saja sepanjang kali Brantas. Ini wujud bantuan dari Asyram Ampel Denta kepada Ki Bismasadana dari padepokan Sendang.
 Raden Wijaya sangat bersjukur, ternyata utusan ke Japan yang berangkat dari Purwosari telah sampai kepada sang Bismasadhana yang juga sahabat dari Pendeta Islam dari Ampel Denta.
Parahu biasa, dengan lebar dua depa ditengah dan agak langsing, membawa layar lateen, dengan atap kajang yang agak panjang.  Para pendayungnya muda muda dan berotot, ada tujuh orang, bersalwar dan baju dari kain tenun gedog berwarna putih kotor, ada yang bersorban kain putih. Dayung mereka agak aneh, berupa talempak (semacam tombak pendek dari besi, bermata lebar dua telapak tangan dan panjang ada yang dari besi seluruhnya, disamarkan dengan warna kotor.
Para tamu disuguh dengan wedang jahe, yang dicampurkan dengan kahwa, minuman baru, dari biji kopi yang dibakar hitam jadi dibubuk, dituangkan air mendidih, rasanya agak pahit, desertai dangan makanan juadah dan jenang ayas yang manis , segala manisan buah dan kue rangin. Perahu didayung enam pendayung dengan santai memudik sungai Mas.
Menurut Sang Bhismasadhana, mereka sebaiknya menuju Desa Kudadu, dekat Hutan Ploso, sesudah arah mudik dari Wirasabha. Pelayaran perahu selama dua hari, dengan malam istirahat. Menurut sang Bhismasadhana mereka bisa istirahat lahir dan bathin di Asryam Kudadu, yang letaknya jauh dari japan dan mendekati Tuban, yang bisa ditempuh sehari semalam berkuda.
Raden Wijaya bersalaman dengan mereka, selesai bersalaman meletakkan kedua telapak tangan ke dada cara Muslim, kepada semua pendayung, begitu pula para adik ipar lelaki tanggung mengikuti dengan tersenyum kikuk. Para santri dari Ampel Denta ini rata rata sopan terhadap anggauta rombongan kaum putri, yang sekarang jadi enam orang. Awak perahu yang tujuh orang itu memang sangat sopan dan terpelajar, menulis surat di daun lontar tipis dan diikatkan di kaki burung dara pos dikaki burung itu dan dilepaskan tiga ekor. Mereka membawa enam sangkar dalam perahunya.
Tidak sekalipun pandangan mereka tidak wajar terhadap kaum wanita penumpangnya, yang ternyata gadis gadis remaja yang cantik cantik kecuali dua emban yang malah sering menunjukan sifat wanitanya dengan sopan. Para pendayung ini melakukan upacara agama mereka tepat lima kali sehari menurut edaran waktu ditandai dengan posisi matahari. Menghadap ke barat dengan bergantian tiga orang tiga orang, Perahu ditotog dengan galah panjang. Sungai Brantas sudah tidak sederas dua bulan yang lalu, mereka mendayung dngan santai dan nampak ringan saja, meskipun Raden Wijaya tahu persis bahwa dayung dayung itu denjata yang dahsyat dan berat, bisa melubangi dinding perahu dengan mudah.
Raden Wijaya merasa sangat beruntung mengawal istrinya dan putri putri raja, yang bersifat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan mudah bergaul dengan siapa saja, wajar tanpa canggung, begitu pula dua emban yang ikut dari Purwosari.
Merka membangun rumah sendiri dekat pesantren Ploso, Raden Wijaya dan Para adik iparnya para pemuda tanggung, mendekat ke Asyran di Kudadu. Dalam dua minggu saja makin banyak orang yang permukim diantara Ploso dan Kudadu, dibawah perlindungan Brahmana Rsi di Kudadu, termasuk pesantren di Ploso, tepi kali Brantas. Sebulan para pelarian ada di Kudadu, dengan tambah pengikut antara limabelas orang tiga wanita, semua ahli memelihara burug dara dan kuda kuda. Hubungan dengan Tuban direntangkan dengan bantuan santri dari Ampel Denta, burung dara pos bisa dikirim dan mererima berita dari Japan, Ampel Denta dan Tuban.
Rupanya Sang Jayakatwang saking jengkel mengerahkan pasuka berkuda, Wirasabha dan termasuk Ploso. Rupanya dari Tuban ada usulan untuk mohon perlindungan ke Madura Aria tua itu, sang Wiraraja.
Ronbongan Pelarian pindah dengan perahu, ke Pinggiran sungai Porong dan ganti mengendarai gerobak lagi ke Wilayah Jenggala dengan kawalan dari kaum yang mencintai Singhasari.  Rombongan serupa yang agak menyolok bergerak ke Pamotan, tapi hilang di jalan, karena hanya untuk gerakan penyesatan saja.
Robongan dipecah menjadi dua, bertemu di Kedung Peluk setelah seminggu kemudian.
Rombongan dibimbing oleh teman teman Raden Wijaya, dengan gandek pembawa berita dimuka dan dibelakang, menganyam jejak pasukan berkuda, yang dibuat bingung oleh berita berita yang menyesatkan, sekarang malah secara acak mengunjungi Pasar Pasar,dengan Gambar par putri dan putra raja beserta Raden Wijaya. Berkat bimbingan para pedagang simpatisan Singhasari, dibantu oleh kaum santri dari Ampel Den
 ta, rombongan tidak pernah ada disuatu tempat disatu waktu dengan para pengejarnya. Akhirnya kedua rombongan sampai di Kedung Peluk, hampir bersamaan waktu. Perahu perahu sudah disediakan menghilir sungai Rambut, kebetulan waktu pasang. Dimuara tempat rumah benteng disatu pulau seorang sudagar putri dengan banyak perahu dan barang dagangan tinggal, Putri Sekar Dadu. Salah satu perahunya dipakai untuk berlayar ke Pamekasan oleh rombongan pelarian.
Sementara itu berbulan bulan pengejaran di tempat tempat yang dicurigai tetap dilakukan berbulan bulan kemudian, yang sengaja disiarkan untuk menyesatkan pencarian.*)
12. MATAHARI TERBIT DIWILWATIKTAPURA (SERI 11)
3.58 PM  SUBAGYO KOESNO  NO COMMENTS
     
     
PAHITNYA EMPEDU DI TENGAH KEJAYAAN JAYAKATWANG

Penyerbuan pasukan berkuda dengan persiapan berbulan bulan ke Ibu Kota Singhasari berhasil   sangat memuaskan. Hampir semua pembesar Kerajaan tebunuh, Sang Prabhu Kertanegara sekeluarganya melakukan puputan. Kecuali enam putra putri Kerajaan bersama dengan Raden Wijaya, mayat mayatnya tidak ditemukan,  Berbulan bulan hilang seperti ditelan bumi. Selama petempuran singkat di Wantilan Agung kerajaan Singhasari, ada sesosok orang berilmu tinggi, yang ikut membela Sang Prabhu mati matian pempertaruhka nyawa, walau agak terlambat, Dalam kilatan kobaran api dan asap yang tebal mengepul, Jayakatwang melepaskan panah dengan tiba tiba dari kudanya yang berlari kencang, sosok itu yang telah merobohkan lima perwiranya dengan lemparan bunga seroja, yaitu semacan senjata rahasia dari besi tuang yang ditajamkan setiap daun bunganya, delempar dengan tenaga dalam. Jayakatwang me manah sosok itu selagi meluncur diudara, begitu jatuh masih sempat melempar bunga seroja yang mematikan seorang lagi perwiranya berkuda.  Setelah sang Jayakatwang memutar kuda dan menghampiri sosok berilmu tinggi ini mencelos hatinya, sekaligus membanjir keringat dinginnya, ternyata yang ditembak selagi meluncur diudara itu adala Ni Ratri, wanita idamannya, sungguh dia tidak mengira, karena sosok itu berdandan sebagai  lelaki dan berjubah hitam mengikat rambutnya dengan kain hitam, layaknya golongan hitam yang lain. Ni Ratri masih sempat meregang nyawa di pelukannya, masih mengenalinya, menjawab permohonannya dengan setengah berbisik mengigau, layaknya orang yang meregang nyawa, bahwa dia berterimakasih telah dihantarkan ke Yomani, mati  menyusul kakang Gembluk, tapi dia Kalakatawang  akan mendapatkan pembalasannya, kuda kudanya akan binasa dan Kedhaton Kadiri juga akan musnah terbakar, Ni Ratri mati ditangannya.  Sang Jayakatwang tahu persis, Ni Ratri akan kebal terhadap segala senjata yang bukan di lekatkan di tajamnya dengan sepotong emas, sedangkan yang memanah kekasihnya hanya dia. Wantilan Agung terbakar hebat, Jayakatwang sudah ditinggal oleh pasukannya sesuai rencana  penyerbuan. Dengan perasaan ndak karu karuan Ni Ratri dinaikkan tertelungkup di kudanya, sambil meloncat dan mengeprak kuda dia larikan kudanya mencari jalan diantara kayu bangunan yang terbakar dan runtuh, menyusul pasukannya yang sudah keluar ke alun alun,  menunggu Junjungannya. Mayat wanita liar ini dia kuburkan di penggir alun alun, Singhasari dengan penyesalan yang mendalam, setelah menguburkan mayat kekasihnya yang meninggalkannya dengan semena mena, walau dia masih lekat dengan kenangan  manisnya.  Sambil terhuyung huyung  dibantu naik kudanya dan berjalan pelan pelan beserta beberapa pasukannya.  Tiba tiba saja dia menjerit melolong tanpa arti sambil mengeprak kudanya yang langsung berdiri pada dua kaki belakang  langsung melompat berlari sekencang kencangnya layaknya kuda gila. Pengikutnya beberapa orang anggauta pasukan  berkuda mengejar dibelakangnya makin  ketinggalan. Sang Prabu Jayakatwang pingsan diatas kuda yang berlari, teronggok menelungkup memeluk leher kudanya, untung saja sekaligus tersusul oleh anggauta pasukan yang juga pasti penunggang yang hebat, salah satu dari mereka nendekati  kuda sang Prabu, sambil meloncat keatas kuda Sang Jayakatwang  langsung  memegangi kuduk beliau sambil memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.
         Sang jayakatwang baru sadar di Ngantang sudah ditidurkan didalam kemah Raja, dekelilingi para tabib istana. Detak nadinya bagus, beliau hanya menderita keguncangan bathin yang hebat. Para tabib bingung, sosok sesakti Mahaprabhu Jayakatwang kok sampai begitu, apa bertemu dengan Bhatari Durga ?
 Sebulan setelah menerima utusan penaklukan Singhasari  dari penjabat kerajaan yang masih hidup, sang Mahaprabhu jayakatwang, Raja  Kadiri, Janggala, Singhasari, yang bertahta diatas alang alang kumitir, telah diricuki oleh upaya pencarian berita menghilangnya putra putri Sang Kartanegara beserta raden Wijaya, seperti hilang ditelan Bhumi, tiada kabar berita dimana keberadaannya, meskipun telik sandi disebar dimana mana, terutama Japan. Janggala Wirasabha Pamotan dan Trung. Malah diterima berita berita palsu, berita berita melecehkan kesaktiannya sebagai Rajanya para Balian dan Dukun, dan disegani para Brahamana Rsi, keturunan titisan Bhatara  Shiwa sendiri. Beliau sendiri merencanakan pengejaran dengan telik sandi, mencocokkan semua kebenaran berita mbok Bakul sinambi wara,   beaya ditambah hampir tidak terbatas untuk Tumenggung telik sandi, wilayah pencarian diperluas sampai Tuban, Pasar Uang, Prabalngga, Kling. Pamotan. gambar gambar disebar, hadiah dijanjikan sampai limaratus picis emas bagi siapa saja yang melaporkan keberadaan pelarian nomer satu dari Singhasari ini, semua sudah empat bulan sia sia. Bulan ke lima  Mahaprabhu Jayakatwang benar benar kehabisan akal, lantas dimainkan kartu Sang Jayakatwang yang terakhir, para pesukan berkuda. Ratusan mereka dikerahkan beregu untuk menyisir wilayah luas. Makin menyempit di Janggala Trung dan Japan, disisir sampai ke pasar pasar bila waktu pasaran, ke Bandar Bandar dimana perahu keluar masuk, ke semua ashram dan sasana silat, kesemua tempat orang berkumpul dan bergosip.
Sekarang pasukan berkuda beregu dipersenjatai dengan gambar gambar putra dan putri raja dari  depan dan samping putra putri raja dan raden Wijaya, malah jadi ejekan, banyak wanita yang berdandan layaknya butri banyak tukang angkut jang menyombong telah bertemu mereka, masih yang brceloteh untuk menarik perhatian,  disiksa oleh pasukan berkuda saking jengkelnya perwira atasan pasukan ini mencambuki saipapun yang berani clometan menjawab pertanyaan beliau. Menjelang satu tahun para Pelarian ini menghilang, kuda kuda Sang Jayakatwang mati satu demi  satu, kejangkitan sakit bolor, penyakit pernafasan kuda yang mematikan dan sangat menular. Penyakit ini tidak kunjung mereda baik kemarau atau musim penghujan, saban hari puluhan bahkan ratusan kuda kuda tidak peduli milik siapa mati. Sudah dikerahkan ahli ahli pengobatan dan azimat kuda kuda, penularan masih meraja lela, menular pada para penunggangnya yang hidupnya dekat sekali dengan tunggangannya. Telah didatangkan tabib kuda dari Atas Angin, dari China, menghabiskan picis emas kerajaan untuk orang mencari  kuda sebagai pengganti kuda yang mati. Menjelang  tahun kedua hilangnya pelarian pelarian ini, yang menurut kabar angin juga menyebarkan penyakit bolor kuda, berupa putri putri cantik yang membawa pedupaan keliling hunian dan istal istal, sambil berjalan terbang tanpa menapak tanah, malah segera kuda kuda pada sakit, dan mati. Dengan demikian para gadis gadis sangat takut untuk mempersembahkan banten di surup surya, sandya kala, di muka rumah dan Pura, takut dikeroyok regu berkuda sebagai putri jadi jadian yang menyebarkan penyakit kuda dan manusia. Emang sekarangpun penyakit malleus/ bolor kuda ini juga masih sulit diberantas, segera jadi epidemi dan jadi persoalan Nasional. Sesudah sang Jayakatwang, di Jawa semua kerajaan tidak mampu lagi mempertahankan keberadaan pasukan berkuda secara massif. Mungkin Suasana tropis  basah ini memang tidak begitu cocok dengan kehidupan kuda kuda, kecuali dengan perawatan yang teliti dan obat obatan moderen. Kecuali di NTT dan Sulawesi, yang beriklim lebih  kering.
     Waktu itu satu setengah tahun sesudah pengejaran  Pelarian Singhasari yang sia sia, Sang Mahaprabhu Penakluk jadi tawar,  hanya dia yang tahu bahwa kehilangan pasukan berkudanya adalah kutukan Ni Ratri, kekasihnya sendiri yang dia panah dengan panah yang berujung dipateri dengan emas.  Hanya dia sendiri yang tahu. Dengan susah payah,  tidak mengenal lelah, diwujudkannya pembalasan dendam yang hanya Ni Ratri dan dia saja yang tahu betapa dendamnya kepada Prabhu Kertanegara yang sampai kehilangan nyawanya dan sekaligus Kerajaannya. Hanya membuahkan kekecewaan yang amat sangat karena hadirnya Kakanda Gembluk lah yang tetap di benak Ni Ratri.
Kuda kuda yang telah mengangkat derajadnya begitu tinggi, musnah, nampaknya tanpa bisa ditolong, dia sampai menagis kaya anak kecil waktu kuda kesayangannya si Gagak Rimang kena penyakit bolor, dan mati dalam lima hari, tanpa bisa ditolong.
Dalam kasedihannya yang beruntun  ini dia berpikir hanya Wijayalah yang tentu mengerti petapa hebatnya upaya dia menaklukkan kerajaan kiri kanan dan Singhasari. Kini hanya Wijayalah yang mengerti kejayaan itu adalah upayanya pribadi yang tekun, teliti dan tanpa salah, memajukan pasukan berkuda mendekati Singhasari dari utara, menghilir sungai memutari pegunungan dan bersembunyi di jurang Baung, orang senegara tidak ada yang mengira, karena berhasil bersempunyi selama empat  hari sampai di Gunung Baung, tidak termasuk satu bulan membuat rintisan yang panjang sekali ditengah tengah hutan dan tiada seorangkun yang curiga. Ini sebenarnya adalah maha karya yang sangat besar memerlukan tenaga dan pikiran sampai ke batasnya, baru dewa dewa dan cuaca yang membantu. Bukan karena dia dianggap keturunan Bathara Syiwa, dia sendiri cerdas lebih dari orang biasa, kenyataan itulah yang dia dambakan untuk mengharumkan namanya. Dialah orangnya satu satunya yang mencipatkan anak panah yang bisa menembus dengan mudah perisai kulit kerbau..
Satu satunya akal yang iya tidak  banggakan, malah sudah dilakonkan oleh tobong lakon Prabhu Jayakatwang bertahta diatas alang alang kumitir, tapi diatas panggung sandiwara. Dalam hati Mahaprabhu Penipu ini  khawatir sekali bila raden Wijaya  meraba sulapannya yang murahan, karena itu tipuan murah sekali, andaikata si Wijaya tahu saja.  Malah para pemain sandiwara telah melakukannya secara sangat tidak sengaja, bertengger diatas alang alang kumitir. Dia, sekarang Mahaprabhu Nata Janggala Kadiri Singhasari, sangat kepingin bertemu dengan Raden ini dan berdamai dengan Wijaya dari pada namanya dipermainkan orang kecil detertawakan dimana mana. Dia berfikir begitu hanya pada saat dia sendirian, takut pikirannya dibaca orang, sambil tersenyum  pahit sendiri. Para abdi melihat dari kejauhan,  mengira bahwa raja sudah benar benar gila.*)
       


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More