HANTU INFLASI BUKAN DARI DALAM NEGERI !
Beruntunglah Negeri ini, masih ada cadangan jutaan hektar lahan tidur, yang bisa dimanfaatkan relative dengan cepat, lahan gambut.
Maka dari situ semoga keputusan hati nurani bangsa ini yang dicetuskan oleh Presiden-nya tidak begoyah menghadapi rengekan dan situasi yang disodorkan kepadanya.
KARENA KUNCI KESEJAHTRAAN HAKIKI DARI RAKYAT/MANUSIA ADALAN LAPANGAPAN KERJA PANGAN PAPAN.
Alhamdulillan, untuk dasar kesejahteraan yang begitu, ada di lahan tidur yang sangat luas itu.
Kena apa?
TARNYATA USAHA PERTANIAN AEDALAH SATU SATUNYA USAHA YANG TIDAK GAMPANG DI HANCURKAN OLEH INFLASI – MERUPAKAN GLOBAL INFLASI, YANG SUDAH DIPERHITUNGKAN. komoditas hasilnya jadi sulih import diperdagangkan dengan non-dollar trading dengan sesama product pertanian, seperti kedelai dan kapas, bawang putih bawang merah dan cabai.
Tentu saja, meskipun kita sudah mempunyai landasannya tapi upaya yang konsisten dan cerdas, harus lebih disadari, dipertajam oleh BANGSA KITA, oleh semua stake holder Negara ini. Juga pelaksanaannya bisa dilakukan dengan semangat KEBERSAMAAN , tidak terpegaruh oleh apapun.
Globalisasi ekonomi, perampasan sumber daya , pengalihan perhatian generasi muda sudah dirancang mulai dari saat sesudah Perang Korea .Utara- Selatan. Amerika kaget. Negara blog komunis telah berani menantang Amerika Serikat dengan kekuatan industry yang masih kocar kacir, Bila jendral Mc Arthur tidak segera mendarat dengan sisa kekuatan Perang Dunia II, Armada ke 7, di Inchon, pasti Korea Selatan sudah ditelannya. Sebab Jendral Lin Piao dari China, hanya bermodal semangat saja sudah sampai ke ujung selatan semenanjung Korea.
Jadi semangat inilah yang yang harus dihancurkan. Pemikir sosiologist di Amerika Serikat segera membuat gerakan re-edukasi masal, re-edukasi massal membebaskan kaum Hegro/Afrika di Amerika dari segregasi ras, mengumandangkan seni budaya mereka keseluruh dunia, karena seni budaya inilah yang dekat dihati kaum muda di seluru Dunia. Inilah hebatnuya Sosioloog ( Bld) Amerika Serikat . Sedangkan Bung Karno kita menjulukinya dengan seni budaya ngak ngik ngok saja.
Otomatis, ekonomi dalam negeri di AS harus di bina secara cepat dengan membangun infra structur baru buat melandasi technologi mutakhir, sesuai dngan tuntutan kaum kapitalisnya, untuk segera mendapat ROI 20 %. Karena membuatkan infra structure ini memerlukan uang yang sangat besar, dunia harus turut membayar. Pasar tradisioal dari industry ringan dan textile. (ingat kain CP dril) tidak mudah, Europa dan China telah bangkit, jangan lupa mereka punya Hongkong melepaskan hasil industry ringan dan budaya pop, Bersaing rebutan pasar di Negara Negara berkembang.
Maka di rancang penaklukan ekonomi mnguasai pertambangan dengan alat alat super berat. Sehingga kadar bijih yang rendahpun bisa di exploit. Untuk minyak bhumi jazeerah, Irak dan Iran adalah ladang baru lebih kaya dari teluk Mexico, harus ditaklukkan.Syahansyah Reza Pehlevi dan Saddam Hussain, siap.
Setiap kali sudah sesak dan pengap, karena keuntungan berkurang akibat, tuntutan pemerintah ( Syah dan Saddam Husain) dan rakyat setempat harus diantisipasi dengan soft wares dan hard wares yang semakin mahal. Yah makin seringlah terjadi pecetakan uang green back alais inflasi. Dimulai dengan petro dollar yang beredar diluar Amerika, kemudian Euro dollar, ndak pa pa, jumlah produksi barang dan jasa diganti dengan barel minyak mentah yang selalu ada, harus dibeli dengan US Dollar.
Begitu besar kebutuhan uang untuk penaklukan wilayah dan mebeayai tegaknya penguasa yang korupt diman mana, dengan dali membendung "domino principle"maka diperlukan mencetak green back lebih banyak. Saudi Arabia dan Negara teluk membantu dengan kartelya OPEC, produksi diketati atas pengorbanan produsen, harga dollar jadi premium, tinggi. Iran Syahansyah jatuh oleh revolusi kembali ke basis Imam Khomeini dengan khilafah Syi’ah di Iran lebih untung meningkatkan produksi minyak, Juga Negara Teluk dan Jazeerah butuh uang banyak. Mereka sudah puas dengan harga 60 US dollar/barrel. Gool.
Api untuk mengetati aliran minyak mentah ditawarkan oleh tororisme khilafah ISIS, Hisbut Thahir dari Sabang sampai Maroko bisa mengeketati sampai nol, supaya minyak ini harganya selangit, minta dengan paksa kesempatan niak panggung. Dapat dimengerti, adanya bom diledakkan acak dikerumunan khlayak ramai diseluruh dunia untuk menunjukkan giginya dalam bulan bulan sebelum ini.
Amerika Serikat tidak pernah percaya kepada orang lain mengendalikan tali nyawanya, tali pengendalian minyak dunia.
ISIS yang satu dengan Al Qaedah, Hisbut Thahir, Boko Haram dll garis keras KHILAFAH Islam berjuang terus. Amerika serikat kepingin menaikkan harga minyak hingga 100 atau lebih US dollar per barrel, maunya Klop,
Produsen oportunistis dalam hal ini adalah Rusia, dan China. Bila harga minyak mentah naik merekapun menaikkan produksinya untuk menaggok untung, mereka butuh uang yang itdak sedikit buat mengembangkan tekhnology canggih masa depan. duh sulitnya.
Negara Teluk butuh konsumsi minyak dunia stabil dengan harga optimum sebanding dengan jumlah supply produksinya. Ladang minyak dibawah kekuasaan ISIS menyusut oleh serangan dari Nasionalis Irak, Nasionalis Siria, Rusia, sehingga harga mahalpun sumber minyak mentahnya tidak berguna.
Indonesia harus menggunakan momentum ini untuk menggenjot pembangunan infra srtrukture yang sangat dibutuhkan dalam waktu harga minyak stabil ini. Lha infra srtrukture apa ?
Untuk Indonesia : Jelas bukan demi merangsang investment pencuri kesempatan menagguk ROI – 20% saja, tapi sebagian besar mengembangkan lahan pertanian yang masih tidur – sekaligus meratakan distribusi pencari kerja di wilayah Republik ini. Nampaknya lahan gambut yang jutaan Ha harus menjadi primadonna, walau pembuatan embung embung sekalian perangkat distribusi airnya lewat pipa yang mahal tapi sangat irit, untuk budidaya tanaman yang perlu kelembaban relatip rendah seperti bawang merah bawang putih, cabe besar, cabe kecil , buah buahan sub tropic. Sebagai komoditas pertanian sulih import yang bisa membayar investment tinggi, dan pengembangan wilayah NTT, calon daerah penyangga yang alami dari tetangga kita Timor Leste dengan “celah” Timornya yang kaya minyak. Sudah dibuatkan Terusan Suez baru yang bisa dilewati tanker 350 ribu ton DWT berpapasan tak iya ? *)
Kasus Bank Century
.quote:..
Buku putih
bi_kotak_hitam_century_indocropcircles-wordpress-com
1. 1.
IndoCropCircles.wordpress.com Buku Putih Bank Indonesia (BI): Membongkar Kotak
Hitam Bank Century terbit pada 19 Januari 2010, beberapa hari setelah
Departemen Keuangan (Depkeu) RI menerbitkan Buku Putih Century. Apa saja
isinya? Inilah isinya sebagaimana diturunkan secara bersambung.
BAB I Ketika
Krisis itu Datang Kembali Jono nggak habis pikir, kenapa ia sekonyong-konyong
tidak boleh bekerja lagi. Padahal, sehari sebelum dirumahkan— begitu bunyi
pengumuman pihak manajemen pabrik pada Oktober 2008—, Jono masih bekerja
seperti biasa, bahkan masih lembur kerja. Bak petir di siang bolong nan terik
di Surabaya yang panas, kabar berhenti bekerja itu diterima Jono. Alasan pihak
perusahaan yang ia dengar dari sesama teman kerjanya yang juga terkena putusan
itu, yaa ... karena perusahaan terkena dampak krisis ekonomi dan keuangan
global. Ia juga terus merenung mengapa dirinya yang sedang menanti kelahiran
anak keduanya, yang mesti terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu. Jono juga
tak paham betul alasan perusahaan merumahkan karyawan—yang katanya—terimbas
dampak krisis ekonomi dan keuangan global. Orang kecil seperti dia jauh dari
hingar-bingar pemberitaan krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi
karena kegagalan bisnis properti dan hipotek di Amerika Serikat, awal tahun
2008. Dunia yang ia tahu hanya dari rumah kontrakan ke tempat kerja, begitulah
dia menjalani keseharian hidupnya. Jono tidaklah sendirian meratapi nasib.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan selama krisis setidaknya
sekitar satu juta pekerja di Indonesia kehilangan pekerjaan terimbas dampak
krisis global. Seperti halnya Jono, bagi satu juta jiwa yang kehilangan
pekerjaan, sulit menerima dan mencerna tali-temali antara kondisi yang menimpa
mereka dengan ambruknya bisnis properti di AS, kok ya tega- teganya harus
mereka yang kena getahnya. Bagi para buruh kecil yang hidup pas- pasan dengan
gaji terkadang di bawah upah minimum regional, dapat menjalani hidup sampai
bulan berikut tanpa harus ngutang sana-sini sudahlah bagus. Dan bagi para buruh
yang ter-PHK, mereka tak mau ambil pusing dengan hiruk-pikuk pemberitaan media
massa (cetak dan elektronik) yang rajin mewartakan akan kedalaman ekses
kegagalan bisnis properti di AS yang merembet hingga ke Indonesia bahkan sampai
juga ke dapur mereka. Para buruh pun seperti tak mau tahu apa akar masalah
krisis ini yang telah membuat hidup mereka sengsara. Segudang ketidak- tahuan
rakyat kecil seperti Jono dan jutaan lainnya akan adanya keterkaitan erat satu
negara dengan negara lain di era dunia yang menyatu. Lima tahun sebelum dunia
dihebohkan oleh kehancuran bisnis properti di AS, seorang ekonom terkemuka
dunia yang juga pemenang hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz pernah mengingatkan
ada indikasi tidak sehat terhadap perkembangan ekonomi di negeri Paman Sam. Ia
melihat akan ada masalah dengan suku bunga rendah yang diberlakukan di sana,
terlalu bergantungnya pertumbuhan ekonomi AS pada bisnis properti dan
pengaturan industri keuangan yang longgar. Ketiga hal itu dikhawatirkan akan
menjadi pemicu kebangkrutan ekonomi negara itu, dan mungkin juga merembet ke
manca negara.
2. 2. IndoCropCircles.wordpress.com
Waktu pun berlalu. Apa yang dikhawatirkan Stiglitz mulai memperlihatkan
indikasi yang mencemaskan. Kebangkrutan bisnis properti pun menjadi kenyataan.
Pasalnya, kucuran kredit kepada warga AS untuk membeli properti melalui
kreditor nonbank (sub-prime mortage) menjadi sumber pemicunya. Mengapa? Sebab,
penduduk dengan penghasilan pas-pasan, yang dengan mudahnya syarat mendapat
kredit kepemilikan rumah (KPR), akhirnya ramai-ramai memborong properti.
Padahal tingkat bunga KPR sub-prime mortage lebih tinggi dari bunga bank.
Ketika debitor KPR di AS satu per satu mulai tak sanggup bayar bunga dan
cicilan pokok, keresahan pun mengeruyak. Salah satu yang meradang dan
kelimpungan adalah raksasa institusi keuangan seperti Lehman Brothers yang
membenamkan dana sekitar US$60 miliar di bisnis sub-prime mortage ini.
Maklumlah, Lehman Brothers bertindak selaku agen atau perantara antara mereka
yang memiliki kelebihan modal (investor) dengan calon debitor sub-prime mortage
di sektor properti. Puncaknya, Senin, 15 September 2008, Lehman Brothers—sebuah
institusi yang didirikan tiga bersaudara imigran asal Jerman: Henry, Emanuel
dan Mayer Lehman sekitar tahun 1847—menyatakan diri bangkrut setelah gagal
mendapatkan opsi Chapter 11 Protection. Protokol ini adalah mekanisme emergensi
terhadap lembaga keuangan di AS yang mengalami masalah likuiditas meminta
pertolongan otoritas moneter di sana. Dari sinilah pelintiran krisis seperti
tiupan angin puting beliung Tornado yang imbasnya kemana-mana hingga ke
Indonesia bahkan sampai pula ke satu juta pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Indikator Ekonomi Pun Meradang. Berita kebangkrutan Lehman Brothers seperti
sebuah virus yang cepat sekali menyebar dan merembet ke pelosok bumi ini tanpa
kecuali. Satu demi satu industri keuangan yang ada kaitannya dengan bisnis
properti di AS pun ikut meradang. Ekonomi AS pun memasuki era resesi yang
memicu krisis ekonomi dan keuangan global. Dunia memasuki era resesi yang lebih
parah pasca Perang Dunia II. Dan, negara seperti Indonesia pun tak lepas dari
ekses resesi global tadi. Tindakan banyak perusahaan mem-PHK karyawan yang
mencapai satu juta pekerja adalah bukti, Indonesia memasuki era krisis. Sebelum
Lehman Brothers mengumumkan kebangkrutannya, nilai tukar rupiah masih
anteng-anteng saja di level Rp9.000 per dolar AS. Memasuki pertengahan
September, begitu terlansir berita Lehman Brother bangkrut, gerak-gerik rupiah
mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiah sempoyongan menembus angka Rp12.650 per
dolar AS pada 24 Nopember 2008. Meroketnya nilai tukar rupiah menembus angka
psikologis (Rp10.000/dolar) sudah barang tentu membuat panik perusahaan-
perusahaan nasional yang masih mengandalkan bahan baku impor dan para pemilik
modal yang tergerus nilai nominal dana mereka. Namun demikian, merosotnya nilai
tukar rupiah tadi terkadang hanyalah dimaknai oleh sebagian besar masyarakat di
Indonesia sebatas mereka terpaksa menunda pembelian alat-alat elektronika yang
melonjak harganya. Kenaikkan harga barang- barang ini pun memicu angka inflasi
hingga sempat menyentuh 12,56% pada tahun 2008. Tapi, apa makna angka inflasi
yang begitu tinggi itu pun terkadang tidaklah dimengerti talitemalinya dengan
kehidupan langsung masyarakat. Bahwa daya beli mereka telah lenyap digerus
hantu inflasi, adalah kenyataan yang sering tak disadari.
3. 3. IndoCropCircles.wordpress.com
Atau, hantu inflasi yang membuat penduduk Indonesia semakin diambang kemiskinan
ini dianggap seperti angin lalu saja. Apalagi ketika Bank Indonesia mengumumkan
bahwa cadangan devisa tinggal US$51,6 miliar per Desember 2008. Padahal lima
bulan sebelumnya (Juli 2008), masih tercatat US$60,6 miliar. Jadi menguap US$9
miliar atau mencapai sekitar 15 persen. Berita yang dilansir sebagian besar
media massa nasional dan lokal ini, ternyata kurang sepenuhnya mendapat
perhatian sebagian besar masyarakat kita. Mengapa? Karena publik tidaklah
melihat keterkaitan langsung antara raibnya cadangan devisa dengan menipisnya
asap dapur mereka. Padahal, menguapnya cadangan devisa yang begitu besar adalah
harga mahal yang harus dibayar oleh seluruh rakyat Indonesia— untuk
menstabilkan keperkasaan uang mereka (rupiah) agar tak terus meloyo menghadapi
dolar AS. Kalau mau dibeberkan, masih banyak lagi indikator-indikator lain yang
memperlihatkan gejala meradang yang menjadi indikasi bahwa negara kita sedang
terhisap pusaran krisis finansial global. Bagi mereka yang hiruk-pikuk di pasar
uang, mahfum benar manakala resiko (credit default) negara Indonesia melemah
hingga 1200 basis poin (bps). Penurunan ini sama saja dengan semakin sempitnya
pintu masuk bagi Indonesia ke pasar uang dunia. Lho, kenapa? Ya, karena
tingginya tingkat resiko membeli surat-surat berharga (obligasi, Surat Utang
Negara/SUN dan lainnya) yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia atau dunia
usaha swasta. Kalau pun ada investor global yang masih nekad mau membeli
surat-surat berharga dalam negeri itu, biasanya menuntut imbal hasil (premi)
yang cukup tinggi. Pusaran krisis global itu paling dekat menghajar bursa saham
dan pasar keuangan. Bukankah masih segar dalam ingatan kita, banyak investor
dalam negeri yang menaruh dana mereka pada saham-saham di Bursa Efek Indonesia
(BEI) yang tiba- tiba mereka menjadi sering bengong dan muka masam hingga tutup
tahun 2008 lalu? Maklumlah, boleh dibilang hampir merata bahwa sebagian besar
investor lokal tadi tiba-tiba saja kehilangan aset mereka hingga 80%. Misalnya,
Syamsul Komar, seorang pekerja swasta yang tinggal di Bogor, yang rajin bermain
saham dua tahun lalu. Dana sebesar Rp100 juta ia belanjakan sejumlah lot
berbagai saham perusahaan Indonesia yang terdaftar di BEI. Ketika harga saham
pada terjun bebas terimbas krisis sub-prime mortage di AS, nilai saham yang ia
pegang pun ambruk hingga kalau dihitung-hitung, nominalnya tinggal Rp20 juta.
“Saya bangkrut,” ujar dia seraya mengangkat bahu tak tahu sampai kapan
harga-harga saham akan pulih kembali. Syamsul Komar hanyalah salah satu dari
sekitar 300.000 investor lokal yang menempatkan sebagian dana mereka di pasar
modal. Nasib dari ketiga ratus ribu investor tadi boleh dibilang setali tiga
uang dengan apa yang menimpa Syamsul. Banyak investor lokal yang sontak menjadi
“miskin” gara-gara main saham. Harap maklum saja, krisis keuangan global ini
menyeret kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI ke lembah kekelaman
hingga penutupan akhir tahun 2008. Betapa tidak. Pada 8 Oktober 2008, IHSG
terkoreksi hingga 10,38% atau menyentuh 1.451,7 yang membuat otoritas bursa mensuspen
perdagangan efek dan derivatif hingga 10 Oktober 2008. Langkah suspen 2 (dua)
hari kerja ini dimaksudkan untuk melindungi investor lokal seperti Syamsul
Komar dan lainnya agar tak merugi lebih dalam lagi.
4. 4. IndoCropCircles.wordpress.com
Masih ada lagi indikator lain yang mempertontonkan betapa Indonesia memang
sedang terhisap dalam pusaran krisis keuangan global. Bila melongok jumlah dana
asing atau lazim disapa dengan hot money yang nangkring di SUN per 5 September
2008 tercatat Rp108,37 triliun. Selang waktu dua minggu kemudian (19 September
2008), nilainya melorot hingga Rp105,06 triliun. Itu artinya hanya dalam kurun
waktu singkat terjadi pelarian hot money tadi hingga Rp3,31 triliun. Pasar SUN
terus menipis yang membawa konsekuensi mesti menaikkan imbal hasil guna
memancing daya tarik hot money tadi kembali. Kalau tadinya rata-rata yield SUN
itu 11%, selama guncangan krisis banyak investor asing yang meminta hingga ke
level di atas 13%. Bukan hanya dari SUN bila ingin melihat Indonesia mulai
dijauhi pemilik modal asing. Pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pun
memperlihatkan gejala serupa dengan SUN. Bila Januari 2008, simpanan bank pada
SBI dan SBI Syariah masih tercatat Rp 231,386 triliun, maka pada Desember tahun
yang sama, angka itu merosot menjadi Rp 166,518 triliun atau turun Rp 64,868
triliun. Hal ini bermakna betapa kondisi likuiditas di bank-bank nasional
memang sedang ketat dan mengkeret. Bank-bank asing pun memangkas pasokan dana
yang ditempatkan di SBI dari Rp13,885 triliun susut jadi Rp9,466 triliun.
Gempuran Krisis Itu Menghajar Perbankan Putaran krisis ekonomi dan keuangan
global pasca kehancurah Lehman Brothers menimbulkan kekacauan dan kepanikan di
pasar keuangan global, termasuk melibas industri perbankan di Indonesia. Di
berbagai negara, aliran dana dan kredit terhenti, transaksi dan kegiatan
ekonomi sehari-hari terganggu. Aliran dana keluar (capital outflow) terjadi
besar-besaran. Indonesia yang saat krisis tidak memberlakukan penjaminan dana
nasabah secara menyeluruh, menderita capital outflow lebih parah dibanding
negara-negara tetangga yang menerapkan penjaminan dana nasabah secara penuh
(blankeet guarantee). Aliran dana keluar itu membuat likuiditas di dalam negeri
semakin kering dan bank-bank mengalami kesulitan mengelola arus dananya.
Situasi krisis ketika itu sampai memukul bank-bank berskala besar. Pada Oktober
2008, ada tiga bank besar BUMN yakni PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank BNI Tbk. dan
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk meminta bantuan likuiditas dari Pemerintah
masing-masing Rp5 triliun. Total dana untuk menginjeksi ketiga bank tersebut
sebesar Rp15 triliun. Dana tersebut bersumber dari uang pemerintah yang berada
di BI. Bantuan likuiditas itu dipakai untuk memperkuat cadangan modal bank atau
memenuhi komitmen kredit infrastruktur tanpa harus terganggu likuiditasnya.
Maksud bantuan likuiditas Pemerintah ini agar ketiga bank pelat merah tadi
tidak perlu mencari pinjaman dari luar negeri. Tapi yang paling menderita
adalah bank-bank menengah dan kecil yang mengalami penurunan dana simpanan
masyarakat. Dana itu lari ke luar negeri atau bank-bank besar, bahkan yang
menarik sampai ada yang menyimpan di safe deposit box karena takut banknya
ditutup. Kesulitan bank-bank menengah-kecil itu semakin diperparah ketika salah
satu sumber pendanaan yang biasanya sangat diandalkan, yakni dana antarbank
atau Pasar Uang Antar Bank (PUAB), berhenti mengalir alias macet. Kenyataan
pahit ini masih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas aset-aset yang dipegang
bank. Hal ini pada akhirnya akan memukul modal bank. Pasalnya, surat- surat
berharga yang dikuasai bank seperti SUN, nilainya merosot tajam.
5. 5. IndoCropCircles.wordpress.com
Kondisi ketika itu semakin mencekam karena beredar rumor-rumor yang
berseliweran via email, blog dan SMS perihal daftar bank-bank yang mengalami
kesulitan likuiditas. Dalam suasana seperti itu, tingkat kepercayaan nasabah
bank pun goyah yang diperlihatkan dengan aksi rush. Bahkan, ada seorang analis
pasar dari sebuah perusahaan sekuritas yang ditahan kepolisian hanya karena
dituduh menyebarkan rumor lewat email yang dikhawatirkan dapat memicu aksi
panik masyarakat. Di tengah situasi krisis, sebuah isu kecil dapat menjadi
pemicu dan pemacu sebuah krisis besar seperti yang terlihat pada aksi rush
nasabah pasca penutupan 16 bank di tahun 1997/1998. Seretnya pasokan dana di
masyarakat, membuat industri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana
(rupiah dan valas) yang mereka miliki guna mengantisipasi munculnya kewajiban
seperti penarikan dana tunai deposan secara mendadak. Bank pun mulai berebut
dana masyarakat melalui iming-iming tingkat suku bunga tinggi khususnya
deposito (dari 6% menjadi 12% per tahun). Perang bunga antarbank pun tak
terhindarkan. Walhasil, situasi ini menyeret kenaikkan tingkat bunga kredit
yang memberatkan dunia usaha. Dalam kondisi biaya dana (cost of funds) yang
semakin mahal, tiada pilihan bagi bank-bank untuk kudu riddho memangkas laba
usaha mereka guna mempertahankan eksistensi diri di jagad belantara perbankan
nasional. Bila merujuk data statistik BI per Desember 2008, laba bank- bank
umum setelah pajak diperkirakan Rp30,61 triliun. Jumlah ini merosot Rp3,86
triliun bila merujuk angka perolehan laba sebulan sebelumnya (Nopember) yang
membukukan sebesar Rp34,47 triliun. Penurunan laba ini terutama disebabkan
beban biaya (cost of funds) yang semakin tinggi. Selain itu, sumber pemicu
kerugian bank lainnya adalah transaksi valuta asing, terutama dolar AS.
Pelemahan rupiah periode September ke Desember 2008 berakibat pada transaksi
valas perbankan. Ketika rupiah jeblok sebagai imbas dari krisis global, sudah
barang tentu sangat memukul kocek kas bank, termasuk Bank Century. Pada
November 2008, ada SSB Bank Century yang jatuh tempo sebesar US$45 juta dan
US$40,36 juta pada Desember 2008. Siapa pun yang dipercaya mengurus bank itu
akan dibuat muntahmuntah bila mesti membayar beban utang valas tadi dengan kurs
Rp12.650 per dolar AS. Dalam kondisi krisis, adalah wajar bila bank mengamati
dan memelototi betul kinerja kredit yang disalurkan kepada debitor. Sebab dari
bunga kredit setelah dipangkas kewajiban membayar bunga simpanan dan deposito
itulah, bank mengandalkan pemasukan guna membiayai operasional. Mari ambil
contoh sederhana saja, bila suku bunga kredit dipatok 15%, bunga deposito 12%,
maka ada selisih 3% yang adalah pendapatan bank. Itu teori di atas kertas bila
situasi dalam keadaan normal. Banyak kinerja perusahaan-perusahaan yang menjadi
debitor perbankan nyungsep sampai ke landasan alias mengalami pemburukan
kinerja sehingga tak kuat lagi bayar bunga kredit plus pokoknya. Walhasil, bank
mesti gigit jari dan melakukan write-off serta menyisihkan pencadangan yang
mengerus modal. Catatan kaki laporan keuangan bank pun diimbuhi tinta merah:
rugi lagi ... rugi lagi.
6. 6. IndoCropCircles.wordpress.com
Dengan potensi kerugian finansial yang terus mengancam tak pelak ikut menyeret
bank-bank masuk ke dalam lembah keambrukan. Untuk memberi kelonggaran bank
dalam menghadapi situasi krisis, sejak 16 September 2008, sehari setelah Lehman
Brothers mengajukan Chapter 11 Protection atau proteksi dari kebangkrutan, BI
merilis serangkaian kebijakan krusial. Beberapa kebijakan utama yang
dikeluarkan, misalnya, perubahan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9,1% menjadi
7,5% yang terbagi atas GWM utama dalam rupiah sebesar 5% dan GWM sekunder 2,5%.
Perubahan ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran likuiditas kepada perbankan
guna bisa memainkan peran intermediasi. BI juga mengupas masalah tiga Perppu
yang sering menjadi pertanyaan Pansus Century DPR. Inilah uraiannya: Pemerintah
merespon situasi krisis dengan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Ada tiga beleid yang dirilis. Pertama, PERPPU
No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkan kredit
berkolektibilitas lancar dijadikan agunan guna mendapatkan Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek (FPJP). Kehadiran PERPPU ini memberi payung hukum bila ada bank
yang mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan suntikan dana segar.
Kedua, PERPPU No.3 Tahun 2008 perihal perubahan atas UU Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) yang digunakan sebagai dasar menaikan nilai simpanan nasabah
yang dijamin oleh LPS dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Kehadiran beleid ini
pun semakin memberi rasa aman bagi deposan untuk tidak segera memindahkan dana
mereka ke tempat lain. Meski banyak kalangan menyayangkan kenapa Pemerintah
tidak memberi perlindungan total (blankeet quarantee) seperti yang dilakukan
banyak negara (Singapura, Inggris, Korea Selatan, Cina, Amerika Serikat dan
sejumlah negara Uni Eropa). Ketiga, PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan aturan ini untuk memberi jaminan
ada penyelesaian bila ada bank atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang
mengalami kesulitan likuiditas atau dinyatakan sebagai bank atau LKBB gagal
yang dinilai berdampak sistemik. Selain itu, PERPPU ini juga mengatur
pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri
Keuangan dan Gubernur BI serta Sektretaris KSSK. Untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan adanya bank yang mengalami masalah likuiditas, BI menyempurnakan
kembali sejumlah aturan. Misalnya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/26/2008
tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum yang lalu
direvisi melalui menjadi PBI No.10/30/2008 dan PBI No.10/31/2008 tentang
Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) . Perubahan atas kedua beleid ini dilandasi
upaya menangani dan meminimalisir dampak negatif krisis terhadap stabilitas
sistem keuangan Indonesia. Tingkat keseriusan dan kegentingan kondisi perbankan
terlihat ketika Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 29 Oktober 2008 memutuskan
untuk mengaktifkan Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol/CMP).
Dihidupkannya mekanisme
7. 7. IndoCropCircles.wordpress.com CMP
memberi sinyal kepada publik bahwa situasi memang sedang genting. Laporan data
dan informasi ekonomi, moneter dan perbankan dimonitor secara intensif.
Berbagai isu-isu sensitif terhadap perbankan pun terus dipantau. Melalui
protokol ini, RDG bulan Nopember sudah mulai melakukan simulasi terhadap
ketahanan industri perbankan dalam menghadapi gejolak ekonomi moneter dan
indeks kestabilan keuangan (financial stability index). Untuk mengetahui
kondisi perbankan nasional dalam menghadapi tekanan krisis, simulasi ketahanan
likuiditas perbankan pun dilakukan terhadap sampel 15 bank besar, 18 bank
menengah dan 5 bank kecil. Simulasi yang dilakukan adalah dengan memainkan
skenario bila penurunan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 5%, diketahui ada 5
bank yang ekses likuiditas habis untuk menutupi penarikan DPK. Simulasi akan
penurunan DPK pun dinaikkan menjadi 25%, terlihat ada 25 bank yang
likuiditasnya ludes. Angka simulasi penurunan DPK pun didongkrak lagi ke level
50%, apa yang terjadi? Wahh .... cukup mengkhawatirkan. Ada 15 bank besar bakal
rontok likuiditasnya, 14 bank kelas tengah yang sama nasibnya plus 5 bank papan
bawah. Total 34 bank berpotensi kesulitan likuiditas. Simulasi yang dilakukan
terhadap perbankan tadi, tidak hanya mencakup ketahanan likuiditasnya saja.
Tapi juga terhadap fluktuasi suku bunga, fluktuasi nilai tukar dan kenaikan
jumlah kredit bermasalah (NPL). Dengan lengkapnya gambaran situasi dan kondisi
perbankan dalam menghadapi situasi krisis, BI pun mulai memantau bank-bank yang
berpotensi mengalami masalah dan juga berdampak sistemik terhadap perbankan
secara umum serta kondisi perekonomian. Dari sinilah berbagai langkah-langkah
antisipasi coba dipersiapkan bila memang secara faktual ada bank yang
benar-benar mengalami masalah. Menurut mantan Gubernur BI Boediono, apabila ada
yang mengatakan bahwa pada bulan-bulan di tahun 2008 itu tidak ada krisis di
Indonesia atau hanya krisis ringan saja, ia katakan bahwa yang bersangkutan
tidak mengetahui keadaan atau tidak jujur. Ia pun mengingatkan kembali bahwa
DPR ketika itu menerima dua PERPPU (PERPPU Amandemen UU BI dan UU LPS) menjadi
UU. Bahkan, DPR juga meminta pemerintah segera mengajukan RUU JPSK. “Hal ini
memperlihatkan bahwa DPR pun menyepakati bahwa kondisi saat itu adalah krisis
dan menyetujui langkah-langkah pemerintah dan BI mengatasi situasi yang tidak
normal,” papar dia. Dengan adanya payung hukum yang telah disetujui DPR
memperlihatkan betapa Indonesia sudah jauh lebih siap dalam menghadapi situasi
krisis. Koordinasi antarinstansi, menurut pengambaran Boediono, khususnya BI
dan Departemen Keuangan, juga jauh lebih baik dibanding 12 (dua belas) tahun
silam ketika krisis serupa. Dalam situasi krisis yang mendalam dan eksplosif,
kebijakan yang diambil Bank Indonesia pun menitik-beratkan pada upaya menjaga
stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan pasar serta menghindari penutupan
bank. Mengapa begitu? Sebab, bank sekecil apa pun apabila ditutup pada saat
krisis berpotensi menjadi pemicu runtuhnya kepercayaan nasabah pada bank-bank
lainnya.
8. 8. IndoCropCircles.wordpress.com
Makanya ketika Bank Century yang sempat masuk pasien pengawasan khusus BI yang
lalu ditetapkan sebagai bank gagal (20 Nopember 2008) dan berpotensi sistemik,
diputuskan harus diselamatkan. Tindakan penyelamatan bank kecil seperti Bank
Century bukanlah an sich untuk menolong bank itu, tapi lebih karena untuk
mempertahankan kepercayaan nasabah pada perbankan nasional. Dan putusan
mengucurkan dana talangan dan menyelamatkan Bank Century dinilai praktisi
perbankan sebagai tindakan yang benar. “Tidak ada seorang bankir pun yang
menyatakan keputusan itu keliru, sebab ketika itu, bank sudah terjangkit
penyakit yang namanya ketidakpercayaan. Bank-bank tidak mau lagi meminjamkan
uangnya ke bank lain karena khawatir tidak dapat dikembalikan” ujar Sigit
Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas). Boediono pun
menandaskan bahwa kita tidak ingin mengulang kesalahan yang kita buat pada
tahun 1997. Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi. Bahkan, kata guru besar
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini, Indonesia dinilai oleh sejumlah
lembaga internasional sebagai negara yang sukses mengelola perekonomiannya
melewati badai krisis keuangan global. Dari mana hal itu dilihat? Ketika banyak
negara mengalami pertumbuhan ekonomi minus atau nol persen, Indonesia mampu
membukukan angka pertumbuhan 4 (empat) persen BAB II Di Kala Pengawas Mengawasi
Bank' Hari Jumat, 7 Nopember 2008, pkl. 23.00 WIB. Lampu ruang kerja di Gedung
A Bank Indonesia Lantai 6 masih terang benderang. Biasanya lampu di lantai itu
sudah padam paling telat pkl. 20:00. Apalagi bila hari itu menjelang akhir
pekan. Tapi, sejak beberapa hari ini, kesibukan di Lantai 6 memang sedang
intens tinggi. Beberapa pegawai masih sibuk membolak-balik dokumen. Maklumlah,
sehari sebelumnya, ada sebuah bank swasta nasional yang diputuskan Rapat Dewan
Gubernur BI masuk dalam pengawasan khusus (special surveillance unit/SSU).
Seorang pengawas sedang serius membaca dan membuat catatan terhadap laporan
keuangan dan dokumen lainnya dari bank SSU tadi. Ia adalah salah satu dari
sekitar 700 pengawas bank di BI. Beberapa kali ia menguap dan menyeruput
secangkir kopi yang sudah dingin. Rasa kantuk dan lelah berusaha ditahannya.
Gassruuttt .......... pensil yang dipakai untuk membuat coretan atas dokumen
bank sekarat tadi terjatuh di ubin. Sesaat ia terhentak dan tersadar. Lalu,
melanjutkan lagi pemeriksaan dokumen. Apa yang dilakukan si pengawas hingga
larut malam barulah sebagian kecil gambaran tugas keseharian seorang pengawas
bank, apalagi situasi saat itu memang sedang puncaknya krisis keuangan.
Bank-bank pun kecipratan imbasnya. 125 bank yang diawasi BI hampir merata
melorot likuiditasnya, terimbas dampak krisis. Pengawasan bank pun semakin
diperketat. Dewan Gubernur BI pun memberlakukan Crisis Management Protocol.
Situasi perbankan sedang Siaga-1 alias genting. Dalam kondisi seperti ini, bila
ada satu bank kecil sekali pun yang rontok dikhawatirkan akan mengoyak
psikologi pasar dan menimbulkan kepanikan. Teori domino efek akan berlaku. BI
pun memprioritaskan
9. 9. IndoCropCircles.wordpress.com
menjaga kesehatan bank sebagai lembaga kepercayaan. Ini mengingat bank
beroperasi dengan modal kepercayaan masyarakat yang menempatkan dana mereka di
bank. Jadi, menjaga kepercayaan dan menjaga keamanan dana masyarakat adalah
prioritas BI. “Tugas pengawas bank adalah memastikan bahwa semua aturan main
perbankan sudah dijalankan sebagaimana mestinya, sedangkan mengupayakan dan
menjaga agar bank yang dikelola menjadi sehat adalah tugas direksi bank,”
tandas Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Darmin Nasution. Adalah amanat dua
undang-undang (UU) ketika BI melakukan tugas pengawasan bank. UU No.10 Tahun
1992 tentang Perbankan yang direvisi menjadi UU No.7 Tahun 1998 Pasal 29
mengatakan, “tugas pembinaan dan pengawasan bank dilakukan BI.” Hal senada juga
disebutkan dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana direvisi UU No.3
tahun 2004, bahwa tugas bank sentral adalah mengatur dan mengawasi bank.
Berbekal dua payung hukum inilah, BI melakukan tugas pengawasan bank-bank.
Secara teknis ada dua pendekatan pengawasan yang lazim dilakukan, yakni
pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision/CBS) dan
pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). CBS adalah model
pengawasan berdasarkan kepatuhan bank untuk melaksanakan rambu-rambu yang
ditetapkan BI dan prinsip kehati-hatian terkait dengan operasi dan pengelolaan
bank. Contoh pengawasan CBS, pengawas bank akan memanfaatkan laporan yang
dikirimkan oleh pihak bank, berisi pelaksanaan rambu-rambu yang telah
ditetapkan BI. Misalnya, laporan batas maksimum pemberian kredit (BMPK),
laporan komisaris, laporan posisi devisa netto (PDN), dan laporan lainnya.
Seandainya ditemukan adanya keganjilan atau pelanggaran rambu-rambu, UU memberi
amanat dan mandat agar BI segera mengambil tindakan-tindakan. Sebagai contoh,
pengawas BI menemukan persoalan yang membelit Bank Century, bank hasil leburan
tiga bank (Bank CIC, Bank Danpac dan Pikko), yakni tingkat kredit macet atau
NPL (non-performing loan) di atas 5%. Bank diminta untuk membuat rencana tindak
penyelesaian NPL tersebut dan segera membentuk pencadangan kerugian. Tambahan
pencadangan tersebut memberikan konsekuensi pemegang saham pengendali (PSP) dan
pemegang saham (PS) untuk menyetorkan tambahan modal. Sedangkan prinsip kerja
pengawasan berdasarkan RBS adalah pendekatan fungsi pengawasan yang melihat ke
depan (forward looking). Pendekatan pengawasan ini difokuskan pada
risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta
sistem pengendalian risiko (risk control system). Dengan model pengawasan RBS
ini memberi ruang bagi pengawas bank BI untuk bertindak lebih proaktif dalam
mencegah potensi masalah yang akan timbul. Intinya, semua potensi risiko akan
diteropong mulai dari risiko kredit (kemungkinan gagal bayar), risiko pasar
(fluktuasi suku bunga dan nilai tukar), risiko likuiditas (kemampuan memenuhi
kewajiban jatuh tempo), risiko operasional (kesalahan manusia, kegagalan
sistem), risiko hukum dan lainnya.
10.
10. IndoCropCircles.wordpress.com
Ambil contoh manakala pengawas BI menemukan adanya surat-surat berharga (SSB)
valas di Bank Century yang tidak memiliki rating dan berpotensi bermasalah ke
depan menurut konsep RBS. SSB itu lalu diminta untuk segera dijual. Surat
berharga tersebut bisa dikategorikan macet apabila sampai batas waktu yang
ditentukan ternyata tidak dapat dijual. Penurunan kolektibilitas ini dapat
membuat kondisi CAR bank menjadi negatif. Pihak manajemen bank dapat mengajukan
proposal penyelesaian SSB melalui penjaminan tunai (cash collateral) dari
pemegang saham pengendali. Melalui skema ini, setiap SSB jatuh tempo akan
langsung dibayarkan. Skema penyelesaian seperti ini merupakan salah satu
alternatif penanganan masalah bank yang dapat dilakukan. Dalam menindaklanjuti
setiap temuan dari hasil pemeriksaan dan pengawasan bank di lapangan, BI
memiliki langkah-langkah penyehatan bank sebagai kerangka acuan untuk
mengedepankan upaya menyelamatkan dana masyarakat luas dan mempertahankan peran
bank sebagai lembaga kepercayaan. Bila kepercayaan publik sudah runtuh terhadap
satu bank saja, sangat mungkin akan membawa efek domino (contagion effect) ke
sistem perbankan. Kalau pun sampai harus dilakukan pencabutan ijin usaha bank,
hal itu adalah pilihan terakhir yang mesti diambil, bila memang alternatif lain
seperti tambah modal, merger atau akuisisi bank sudah tidak berjalan. Bila
menengok kebelakang sesaat, sejarah perbankan pernah tergores tinta hitam
ketika terjadi aksi rush masyarakat pasca penutupan 16 bank pada November 1997.
Ketika itu krisis ekonomi dan keuangan sedang membelit Indonesia hingga menjadi
pasien International Monetary Fund (IMF). Dalam kalkulasi Pemerintah, ketika
itu, penguasaan aset ke-16 bank yang hanya 3% dari total aset perbankan, memang
terbilang kecil. Bila bank-bank tersebut ditutup diperkirakan tidaklah terlalu
membawa goncangan berarti. Tapi, siapa yang menyangka bahwa tindakan
melikuidasi tadi justru memukul keseluruhan sistem perbankan dan keuangan.
Rupanya, yang alpa diperhitungkan ketika itu, Indonesia tidak memiliki skim
penjaminan dana nasabah. Depresiasi rupiah berlangsung fluktuatif dan ekstrem
dan tidak ada kepastian pasar keuangan. Nah, manakala gejala krisis yang mirip
tahun 1997/1998 muncul juga pada krisis global 2008, BI pun merespon cepat
dengan merelaksasi 16 aturan hanya dalam rentang waktu 3 bulan. Hal ini agar
perbankan lebih memiliki daya tahan menghadapi gempuran krisis. Misalnya, Giro
Wajib Minimum (GWM) dilonggarkan dari awalnya 7% menjadi hanya 5%. Dengan
relaksasi kebijakan GWM diharapkan memberi ruang bagi perbankan memiliki dana
tunai untuk tetap memainkan peran intermediasi. Juga BI menyempurnakan
ketentuan untuk memfasilitasi bank yang butuh pembiayaan darurat atau
pembiayaan jangka pendek. Semua kebijakan ini dimaksudkan untuk mengamankan
sektor perbankan dan melindungi dana masyarakat serta mengurangi dampak krisis.
Apa yang Dilakukan Pengawas Bank? Ketika ada sebuah bank masuk unit gawat darurat
pengawasan BI, publik pun
11.
11. IndoCropCircles.wordpress.com
mulai bertanya-tanya. Apa saja yang dilakukan pengawas bank sampai ada bank
yang sempoyongan. Apa pengawas tak melihat gelagat atau indikasi bakal ada bank
yang mulai akan limbung sehingga dapat diambil tindakan cepat untuk
mengantisipasinya. Publik seperti ingin mengetahui apa sih persisnya yang
dilakukan pemeriksa dan pengawas bank dalam tugas kesehariannya. Bila melihat
amanat UU Perbankan dan UU BI, dikatakan dalam tugas pengawasan BI melakukan
supervisi secara tidak langsung (off-site supervision) dan langsung melalui
pemeriksaan bank (on-site supervision). Pengawasan tidak langsung dimulai
dengan menganalisa sejumlah laporan berkala yang disampaikan bank ke BI.
Laporan inilah yang dipakai untuk mendiagnosis kondisi bank. Unsur-unsur apa
yang didiagnosis? Data dan informasi terkait modal, kualitas aset, manajemen,
laba rugi, likuiditas, dan risiko pasar. Dari semua proses di atas, dihasilkan
profil risiko yang akan menjadi acuan tindakan pengawasan selanjutnya. Selain
memelototi laporan berkala bank, para pengawas bank juga masih disibukkan
dengan tugas-tugas lain seperti pembukaan dan penutupan jaringan kantor bank,
ijin produk baru perbankan, pengangkatan serta pemberhantian pejabat dan
pimpinan bank. Pengawas akan melakukan fit and proper test terhadap calon
pemilik, pengurus dan pimpinan bank. Latar belakang (track record) setiap
kandidat akan dipelototi betul, apakah ada yang masuk daftar orang tercela (DOT)
dan daftar kredit macet (DKM) atau tidak. Sejalan dengan pengawasan berbasis
risiko, pengawas melakukan simulasi ketahanan bank (stress-testing) terhadap
perubahan faktor-faktor ekonomi. Melalui hasil analisis ketahanan ini, pengawas
BI memperoleh gambaran mengenai kewajaran dan ketahanan kinerja bank dalam
berbagai skenario makro ekonomi yang ada. Hasil stress test tersebut akan
digunakan dalam diskusi antara pengawas dengan banknya. Sebagai contoh, apabila
dari hasil stress test diketahui bahwa bank terlalu ekspansif tanpa didukung
oleh permodalan yang cukup, maka bank akan diminta untuk meninjau ulang rencana
ekspansi tersebut. Bila masih saja ada bank yang menabrak seruan bank sentral
itu, Pengawas Bank BI akan meminta penjelasan dari manajemen bank tersebut.
Jadi, hubungan antara Pengawas Bank BI dengan pihak bank yang diawasi itu
ibarat seorang dokter yang sedang mendiagnosis pasien. Meski dokter mengetahui
gejala umum terhadap suatu penyakit, tapi dibutuhkan keterbukaan pasien terkait
informasi mengapa sampai terkena penyakit itu. Barulah dokter dapat menuliskan
resep obat untuk menyehatkan si pasien. Namun kesembuhan pasien tersebut tentu
tidak hanya tergantung dari tindakan penyembukan yang diberikan dokter
melainkan perilaku pasien itu sendiri. Pelanggaran terhadap program penyehatan
pasien tentu akan semakin memperburuk penyakitnya. Meminjam analogi dari si
pasien tadi, ada beberapa perangkat dalam rangka memelihara disiplin program
penyehatan bank. Misalnya, tindakan pengawasan bank oleh internal audit,
direktur kepatuhan, komisaris independen, dan tentu saja pemilik secara umum.
Bila mekanisme pengawasan internal ini berjalan baik, bank pun akan berjalan
sesuai koridor rambu-rambu kehati-hatian.
12.
12. IndoCropCircles.wordpress.com
Dalam menjalankan tugas pengawasan bank sebagaimana diamanatkan UU, Pengawas
Bank BI akan melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank yang diawasi (on-site
supervision) setidaknya setahun sekali. Tujuan dari pemeriksaan tersebut tidak
lain adalah mengkonfirmasi kebenaran dan akurasi laporan yang disampaikan bank.
Pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan identifikasi risiko yang dihasilkan
dari proses diagnosis data dan informasi bank. Sebagai contoh, dari laporan
yang disampaikan bank, diketahui bahwa terdapat lonjakkan NPL yang cukup
drastis. Pemeriksaan faktor tersebut akan difokuskan pada apakah terdapat
perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan dan prosedur antara pengawas
dengan banknya. Sebagai contoh, apabila dari hasil stress test diketahui bahwa
bank terlalu ekspansif tanpa didukung oleh permodalan yang cukup, maka bank
akan diminta untuk meninjau ulang rencana ekspansi tersebut. Bila masih saja
ada bank yang menabrak seruan bank sentral itu, Pengawas Bank BI akan meminta penjelasan
dari manajemen bank tersebut. Jadi, hubungan antara Pengawas Bank BI dengan
pihak bank yang diawasi itu ibarat seorang dokter yang sedang mendiagnosis
pasien. Meski dokter mengetahui gejala umum terhadap suatu penyakit, tapi
dibutuhkan keterbukaan pasien terkait informasi mengapa sampai terkena penyakit
itu. Barulah dokter dapat menuliskan resep obat untuk menyehatkan si pasien.
Namun kesembuhan pasien tersebut tentu tidak hanya tergantung dari tindakan
penyembukan yang diberikan dokter melainkan perilaku pasien itu sendiri.
Pelanggaran terhadap program penyehatan pasien tentu akan semakin memperburuk
penyakitnya. Meminjam analogi dari si pasien tadi, ada beberapa perangkat dalam
rangka memelihara disiplin program penyehatan bank. Misalnya, tindakan pengawasan
bank oleh internal audit, direktur kepatuhan, komisaris independen, dan tentu
saja pemilik secara umum. Bila mekanisme pengawasan internal ini berjalan baik,
bank pun akan berjalan sesuai koridor rambu-rambu kehati-hatian. Dalam
menjalankan tugas pengawasan bank sebagaimana diamanatkan UU, Pengawas Bank BI
akan melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank yang diawasi (on-site
supervision) setidaknya setahun sekali. Tujuan dari pemeriksaan tersebut tidak
lain adalah mengkonfirmasi kebenaran dan akurasi laporan yang disampaikan bank.
Pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan identifikasi risiko yang dihasilkan
dari proses diagnosis data dan informasi bank. Sebagai contoh, dari laporan
yang disampaikan bank, diketahui bahwa terdapat lonjakkan NPL yang cukup
drastis. Pemeriksaan faktor tersebut akan difokuskan pada apakah terdapat
perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan dan prosedur dengan kata-kata “you
are not in Kansas anymore. You are on Pandora”. Sang tokoh antagonis kerap
berujar bahwa “Pandora adalah dunia yang sangat ganas. Sebagai kepala keamanan
planet ini, saya bertanggung jawab atas keselamatan kalian semua. Sejak saya
mendapat tugas ini saya tahu bahwa saya tidak akan berhasil karena saya tidak
bisa menyelamatkan SEMUA orang. Beberapa dari kalian akan mati. Untuk itu,
kalianlah yang harus mampu menjaga diri kalian sendiri dengan cara mematuhi
aturan yang ada”. Seorang pengawas bank yang menyaksikan film itu terhenyak.
Seperti itulah tugas yang selama ini diembannya. Dia diberi tanggung jawab
untuk menjaga agar kegiatan bank dapat berlangsung dengan baik, tapi dia sadar
bahwa ada
13.
13. IndoCropCircles.wordpress.com
kemungkinan dia tidak bisa menjaga “keselamatan” SEMUA bank. Karena yang lebih
penting dari itu adalah kemampuan bank-bank itu sendiri dalam menjaga
keselamatannya dengan cara selalu mematuhi rambu-rambu yang sudah ditetapkan
dan prinsip kehati-hatian yang berlaku. Luas dan lebarnya aspek pengawasan bank
yang mesti dijelajahi oleh Pengawas Bank BI menyebabkan Bank Indonesia tidak
dapat bekerja sendirian untuk menjamin ketahanan seluruh bank yang diawasi.
Harapan publik bahwa seorang Pengawas Bank BI bertindak bak “malaikat” yang
memiliki kemampuan memelototi setiap jengkal langkah manajemen bank, jelas
sebuah pengharapan yang terlalu tinggi dan mustahil dilakukan. Ibarat ada
sebuah pencurian di sebuah rumah, apa iya polisi yang disalahkan? Kan tidak.
Kenapa yang punya rumah tidak melakukan tingkat pengawasan dan pengamanan rumah
secara ketat. Namun demikian, Pengawas Bank BI tetap berusaha bekerja secara
profesional dalam menjalankan tugas. Memang diperlukan waktu untuk mengendus
adanya sebuah tindakan fraud di bank. Dalam hal tindakan sederhana seperti
membuat air minum teh manis saja diperlukan waktu untuk membuatnya, seperti
memasak air dulu, menunggu sampai teh mulai mengeluarkan aromanya hingga proses
penyuguhan. Jadi, untuk segala sesuatu ada waktunya. Tidak kalah pentingnya
adalah peranan dari bank itu sendiri dan berada di dalam koridor yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selain itu, penjaminan dana yang diberikan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seharusnya tidak menjadi pembenaran bagi bank
untuk melakukan aktivitas usahanya tanpa perhitungan yang matang berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan ketentuan yang berlaku. Mari kita ambil contoh. Suatu
ketika, ada indikasi bahwa pemegang saham pengendali (PSP) sebuah bank swasta
nasional melakukan perbuatan melanggar hukum. Padahal si PSP itu sedang
mengajukan permohonan merger dua bank lain yang ia miliki. Meski baru indikasi,
pengawas BI berusaha mencari tahu kebenaran informasi yang dilakukan dengan
mengecek langsung ke lapangan sampai diperoleh bukti otentik, apakah ada
pelanggaran itu atau tidak. Diperlukan waktu untuk melakukan cross- check
informasi tersebut termasuk tindakan on-site supervision ke manajemen bank
tersebut. Mengingat pengawas bergerak hanya dalam ranah prinsip kehati-hatian
dengan kewenangan menjatuhkan sanksi mengevaluasi fit & proper, maka
pengawas tidak dapat langsung melakukan penyidikan. Pengawas Bank BI sadar
betul bahwa mandat tugas mereka hanyalah pada item mengawasi dan memeriksa
bukan melakukan penyidikan yang adalah domain penyidik (polisi dan jaksa).
Atau, contoh lain. Suatu ketika diketahui adanya figur seseorang yang bukan
pengurus sah sebuah bank yang menjadi tokoh sentral dibalik layar yang
mengendalikan operasional sebuah bank swasta nasional. Secara yuridis formal,
tidak ada nama yang dimaksud di dokumen resmi bank dan BI. Tapi, secara faktual
figur misterius tadi diindikasikan aktif dan terlibat langsung dalam mengambil
keputusan-keputusan penting di bank tersebut. Pengawas BI pun memburu
bukti-bukti otentik hingga akhirnya ditemukan sebuah dokumen berupa
shareholders agreement yang memperlihatkan bahwa antara figur misterius tadi
dan salah seorang pemegang saham adalah pemilik sah mayoritas saham di bank
tersebut.
14.
14. IndoCropCircles.wordpress.com
Dengan ditemukannya bukti tersebut, maka pengawas memasukkannya sebagai PSP dan
diberikan sanksi. Dalam hal melakukan pendalaman terhadap suatu aspek tertentu,
misalnya transaksi valas suatu bank, pengawas tidak cukup hanya melakukan
pemeriksaan umum. Suatu pemeriksaan yang lebih mendalam dan khusus akan
digelar. Jika dalam pemeriksaan khusus tersebut ditemukan adanya unsur pidana,
BI akan melakukan pemeriksaan investigatif yang hasilnya akan ditindaklanjuti
kepada kepolisian. Sebagai contoh, dalam kasus Bank Century, setelah
ditenggarai adanya tindak pidana yang dilakukan Robert Tantular, PSP bank
tersebut, BI selanjutnya melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya telah
diserahkan kepada kepolisian. Robert Tantular pun akhirnya divonis 5 (lima)
tahun penjara oleh pengadilan banding. Kok Masih Ada Bank Bermasalah Ketika ada
sebuah bank yang dinyatakan sebagai bank gagal dan masuk dalam skema bank
berdampak sistemik yang perlu diselamatkan, telunjuk tangan masyarakat langsung
mengarah ke muka pengawasan bank BI. Padahal, untuk mengetahui adanya kejahatan
kerah putih yang multi- kompleks dalam bisnis bank—seperti yang dipertontonkan
pada kasus Bank Century—yang sudah tertintegrasi dengan pasar modal, asuransi
dan pasar keuangan, sungguh bukanlah pekerjaan ringan dan dapat dilakukan cepat
seperti membalik telapak tangan. Setidaknya, ada dua tantangan besar yang
dihadapi pengawasan bank. Pertama, perkembangan transaksi keuangan yang relatif
cepat dengan terintegrasinya bank dengan lembaga keuangan lain. Kedua, pesatnya
pertumbuhan industri perbankan, baik dari sisi volume, jenis produk maupun
variasi transaksi telah menimbulkan kompleksitas antara transaksi pasar uang
dan pasar modal. Nah, dalam situasi di mana seorang pengawas bank tidak bisa
lagi melihat sebuah transaksi bank an sich dari sudut perbankan saja, tapi itu
kemungkinan terkait erat dengan sektor pasar modal, asuransi atau pasar
keuangan adalah kenyataan yang kompleks yang dihadapi seorang pengawas. Kalau
sudah begini, urusan pengawasan pun jadi lebih rumit. Bukankah terbuka sekali
kemungkinan, kegagalan di pasar saham atau pasar uang yang berdampak hebat pada
kinerja bank. Misalnya, ada sebuah bank yang dalam portofolio investasinya
menempatkan dana cukup besar pada saham-saham perusahaan yang masih ada
keterkaitan dengan bank tersebut. Ketika harga saham-saham itu nyungsep hingga
60% dari nilai buku seiring dengan krisis ekonomi dan keuangan global, bank pun
kelimpungan mencari dana untuk menutup kerugian main saham tadi. Bila tidak ada
setoran dana tunai, kerugian saham akan memukul kinerja modal bank. Dalam
kondisi bank menjadi bagian integral dengan pasar modal, pasar uang dan
asuransi global, memang bukan perkara mudah lagi melakukan pengawasan bank.
Sedikit saja ada kegagalan di sektor keuangan, kondisi bank akan meradang.
Kenyataan inilah yang kini dihadapi pemeriksa dan pengawas bank BI. Untuk
membongkar indikasi adanya praktik busuk eksekutif atau PSP bank, sulit bagi
pemeriksa dapat mengetahui hanya dari audit umum saja. Hanya melalui audit
investigasi kebusukan itu bisa terbongkar. Tapi untuk mengelar audit
investigasi memerlukan waktu, kerja keras dan SDM handal. Disinilah BI
menyadari untuk
15.
15. IndoCropCircles.wordpress.com meningkatkan
kualitas SDM pengawas agar memiliki kemampuan cepat menangkap sinyal-sinyal
sebuah bank akan mengalami masalah. Yang mungkin masih menimbulkan kegamangan
pengawas bank di BI adalah bila terjadi “kebakaran” di wilayah pasar modal.
Misalnya, dalam kasus Bank Century, pengawas BI sudah mengetahui adanya
indikasi praktik reksa dana “gelap” (baca: tidak terdaftar di Bapepam),
kemudian pengawas melaporkan temuan itu ke Bapepam untuk ditindaklanjuti.
Belakangan ketika para investor reksa dana “gelap” tadi tak terbayarkan,
telunjuk tangan para investor tadi langsung menuding muka pengawas bank BI.
Publik lupa, sumber apinya ada di mana. Meski model pengawasan bank yang
dilakukan BI sudah merujuk kelaziman (best practise) yang berlaku di bank-bank
sentral sejagad, setiap ada bank bermasalah, menjadi sebuah momentum untuk
memeriksa diri: apa yang sudah dan alpa dilakukan. “Kami akui masih adanya
kelemahan dalam pengawasan bank. Setiap kelemahan dalam hal pengawasan bank
akan kami perbaiki,” ujar Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution merespon
berbagai kritikan publik terhadap sistem pengawasan bank sentral yang dianggap
sebagai biang keladi setiap ada kegagalan tanpa melihat apa sumber masalah
bank. Sebagai bank sentral yang diberi mandat UU BI dan UU Perbankan untuk
membina, mengatur dan mengawasi bank, amanah itu dilakukan dengan satu niatan,
yakni menjaga dan mempertahankan bank sebagai lembaga kepercayaan publik
sekaligus menjaga keamanan dana nasabah yang terhimpun dan tersimpan di bank.
Terkadang BI mesti mengambil peran sebagai “pemadam kebakaran” yang sumber
apinya berada di luar pagar sektor perbankan. Oleh karena itu, saat ini BI
telah membuat kesepahaman dengan Bapepam selaku otoritas bursa. Inti
kesepahaman, tukar menukar informasi, pemeriksaan bersama dan pembinaan dan
pengembangan SDM. Apa pun nama peran yang dimainkan BI, sepanjang akhirnya
sektor perbankan dapat diselamatkan dan kepercayaan publik terhadap perbankan
nasional tetap terpelihara, disanalah para pengawas bank BI akan selalu berada.
Tapi, yang jelas, BI tidak bisa mengambil peran sebagai “malaikat” yang serba
tahu akan sepak terjang manajemen bank. Tatkala krisis moneter global semakin
memperlihatkan dampak yang mendalam di Indonesia di tahun 2008 lalu, Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia melakukan analisa
peringatan dini (early warning analysis) melalui simulasi ketahanan industri
perbankan (stress testing) dan melaporkan hasilnya kepada Rapat Dewan Gubernur
BI. Dari hasil simulasi ketahanan bank ini diketahui gambaran umum kondisi
perbankan nasional. Informasi ini bisa menjadi langkah awal untuk mengetahui
kondisi faktual lapangan terhadap 125 bank yang diawasi oleh BI. Pengawas Bank
pun akan mencermati profil bank-bank yang memperlihatkan indikasi penurunan
kinerja likuiditasnya. Misalnya, hingga Februari 2009, setidaknya ada 19 bank
berpotensi masuk pengawasan intensif BI karena angka kredit macet (NPL) di atas
5%. Meski tidak ada satu pun bank yang masuk dalam pengawasan khusus (SSU).
16.
16. IndoCropCircles.wordpress.com
Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha
bisnis yang tak lepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena
persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi
sumber bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati
khususnya dalam manajemen risiko, lemahnya pengendalian internal, campur tangan
pemilik dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan strategi yang
bermuara bank mengalami kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti
perubahan lingkungan bisnis. Contoh senyatanya adalah krisis moneter yang
mendera medio tahun 2008 hingga memasuki tahun 2009 yang banyak memukul kinerja
usaha debitor bank yang mengalami kesulitan untuk membayar bunga dan pokok
kredit mereka. Gagal bayar debitor bank ini memukul tingkat pendapatan bank
dari bunga kredit (fee based income) dan memaksa bank untuk menyisihkan
pencadangan yang menguras likuiditas hingga struktur permodalan pun terancam
melorot. Masih banyak faktor eksternal lainnya sangat berpotensi mempengaruhi
kinerja bank. Sebut misalnya, perubahan kebijakan pemerintah. Perubahan
kebijakan yang tak terduga berpeluang besar memukul pemburukan kualitas kredit
debitur bank sehingga mempengaruhi likuiditas bank. Sebuah bank dikatakan
bermasalah atau mengalami kegagalan bila sudah tidak mampu lagi memenuhi
kewajiban deposan dan kreditur. Gagal bayar ini bersumber pada persoalan
likuiditas bank. Dalam menjalankan roda bisnis, bank menghimpun dana masyarakat
dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang umumnya berjangka waktu pendek
(kurang dari setahun). Dana yang terkumpul tadi akan dimanfaatkan bank untuk
membiayai kredit korporasi atau penempatan pada instrumen-instrumen investasi
lain yang umumnya berjangka waktu lebih dari setahun. Disinilah bank secara
alamiah menghadapi apa yang disebut maturity gap pada struktur keuangannya.
Maksudnya, antara kewajiban membayar dana nasabah dan hasil penempatan, jatuh
temponya tidaklah sama. Sekali bank gagal memenuhi kewajiban kepada deposan,
reputasi bank itu sedang dipertaruhkan. Bukan tak mungkin akan mengalami rush
oleh nasabah. Kalau sudah begini, bank sebesar dan sesehat apapun akan kolaps.
Dalam menangani bank bermasalah mestilah dilihat situasi dan kondisi ketika
itu. Bila ada bank bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank gagal dan setelah
dikaji tidak berdampak sistemik dalam situasi tidak sedang ada krisis, putusan
terang benderang: likuidasi. Selanjutnya tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
untuk membayar dana masyarakat yang masuk dalam skim penjaminan. Lihat saja
ketika BI menutup Bank IFI atau Uni Bank. Dalam kondisi sedang tidak ada
krisis, penutupan bank-bank tersebut berjalan secara alamiah tanpa menimbulkan
goncangan psikologi massa nasabah bank. Namun sebaliknya, ketika ada bank
bermasalah dalam situasi krisis (entah itu moneter atau ekonomi), jelaslah
pendekatan dan penanganan menjadi berbeda. Mengapa? Ya, karena ada krisis yang
berpotensi mengoyak psikologi pasar yang berdampak ikut (baca: sistemik)
merontokkan bank-bank lainnya. Ambil contoh kasat mata, penyelamatan Bank
Century. Bank yang tergolong kecil yang bermasalah dalam hal likuiditasnya ini
dalam kondisi normal akan divonis mati alias likuidasi. Ya, karena kecil saja
peran bank ini terhadap totalitas sistem
17.
17. IndoCropCircles.wordpress.com
perbankan. Dalam kondisi yang sedang tak normal didera krisis, bukan lagi
faktor- faktor kuantitatif yang dominan akan menjadi bahan pertimbangan
mengambil keputusan (judgement). Tapi unsur kualitatif atau judgement yang
mempertimbangkan dengan cermat dampak psikologi pasar. Memang haruslah diakui,
wilayah ini adalah debatable. Tapi, kalau belajar dari krisis moneter tahun
1997/1998, bukankah faktor psikologi pasar yang merontokkan perbankan nasional
hingga harus direkapitalisasi dana triliunan rupiah. Terkait pengawasan
perbankan, BI juga menjelaskan mengenai penanganan bank gagal, khususnya
terkait Bank Century dalam putih putihnya ini. Bagaimana persisnya? Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter sangatlah hati-hati dalam mengkomunikasikan
kondisi sebuah bank kepada publik. Pasalnya, isu kondisi sebuah bank sangatlah
sensitif apalagi ditengah situasi sedang krisis. Sedikitnya saja isu atau rumor
yang menerpa sebuah bank, seketika itu juga bank itu biasanya akan mengalami
“pendarahan” akibat penarikan besar-besaran deposan. Disinilah bank sentral
akan berperan menjaga kepercayaan publik agar tak luntur terhadap perbankan.
Terhadap sebuah bank sedang bermasalah, katakanlah bank mengalami lonjakkan
kredit macet (NPL) hingga menembus batas aman yakni 5% seperti yang mendera 19
bank. Apa yang akan dilakukan BI? Bila memang masalah di sebuah bank hanya
sebatas peningkatan NPL, Pengawas Bank BI akan memasukkan bank itu dalam
Pengawasan Intensif. Pengetatan pengawasan dilakukan dengan serangkaian arahan
tindakan koreksi yang akan direkomendasi oleh Pengawas Bank. Langkah koreksi
ini dimaksudkan agar kondisi bank mengalami pemulihan dalam waktu tidak terlalu
lama sehingga status bank dalam status pengawasan intensif pun dapat dicabut.
Langkah-langkah koreksi yang direkomendasikan BI antara lain meminta bank
melaporkan hal-hal tertentu, misalnya, informasi profil kredit bermasalah yang
membuat bank dalam kondisi terancam kelangsungan usahanya. Selain itu, Pengawas
BI akan meminta manajemen bank membuat tindakan (action plan) perbaikan
terhadap NPL agar bisa kembali di bawah 5%. Apabila pengawas bank menyetujui
proposal untuk memulihkan bank tadi dari ancaman kredit bermasalah. Bila semua
rencana tindakan koreksi bank tadi dijalankan dengan seksama oleh manajemen
bank serta mengembalikan kondisi bank tersebut pada rambu-rambu kehati-hatian,
maka status pengawasan intensif pun dicabut. Namun apabila kinerja bank dalam
pengawasan intensif tidak juga bergerak memperlihatkan perbaikan, status
pengawasan pun ditingkatkan lagi menjadi bank dalam pengawasan khusus (special
surveilance unit/SSU). Predikat bank SSU biasanya tidaklah membuat nyaman
manajemen bank. Seperti sudah digambarkan, bila informasi ini beredar di publik
plus ditambah rumor dan bumbu-bumbu cerita serem yang membuat bulu kuduk
deposan merinding, aksi rush tidak terelakan lagi. Menurut Wimboh Santoso, bank
dalam pengawasan khusus biasanya tingkat persoalannya lebih berat lagi.
Misalnya, sudah bermasalah dengan kinerja modal (CAR) bank yang melorot di
bawah 8% plus ditambah NPL yang juga di atas 5% dan sangat mungkin ada tambahan
masalah lain seperti tingkat profitabilitas yang ikut menurun.
18.
18. IndoCropCircles.wordpress.com
Terhadap pasien unit gawat darurat pengawasan bank ini, biasanya BI akan
memerintahkan manajemen atau Pemeggang Saham Pengendali (PSP) untuk membuat
rencana (action plan) secara tertulis terhadap perbaikan modal. BI juga akan
secara ketat mengawasi manajemen bank dan PSP untuk memenuhi kewajiban tindakan
perbaikan (mandatory surverpisory actions). Selain itu, akan dimintakan kepada
PSP bank untuk mengambil langkah-langkah seperti menganti dewan komisaris atau
dewan direksi bank. Menghapus buku kredit yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian dengan modal bank. Saran tindakan lain adalah
melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain. Bila upaya merger belum
juga ketemu jodoh, PSP bank diminta untuk menjual bank kepada pembeli yang
bersedia mengambil alih seluruh atau sebagian kewajiban bank. Bisa juga
menyerahkan semua atau sebagian kerugian bank kepada pihak lain. Kalau itu juga
belum memadai, BI akan meminta bank menjual harta yang dimiliki untuk menutup
kerugian. Pengawas juga akan meminta PSP atau manajemen bank untuk membekukakan
usaha tertentu bank yang berpotensi merugikan bank. Sungguh tak nyaman memang
bila bank masuk dalam unit gawat darurat pengawasan bank ini. Ya, persis unit
gawat darurat sebuah rumah sakit ketika menangani pasien gawat darurat yang
perlu mendapat pertolongan segera. Semua alat dan tindakan medis akan diambil.
Begitu pula dengan BI, ketika ada bank masuk SSU, ya itu tadi semua arahan dan
action plan ini dan itu guna menyehatkan bank dimintakan kepada PSP dan
manajemen bank. Itu belum termasuk adanya pantangan dan larangan untuk
“berpuasa” melakukan pembayaran distribusi modal seperti pembagian bonus atau
dividen. Bank juga dilarang untuk melakukan transaksi atau memberikan
kompensasi terhadap pihak terkait atau pihak lain yang ditetapkan oleh BI.
Pertumbuhan aset untuk sementara mesti dihindari dulu. Begitu juga larangan
bank untuk membayar pinjaminan subordinasi. BI memberi waktu kepada manajemen
bank untuk melaksanakan semua action plan dan pantangan tersebut selama tiga
bulan bagi bank sudah terdaftar di bursa saham (listed bank) dan enam bulan
bagi bank belum go public. Jangka waktu itu bisa diperpanjang satu kali atau
paling lama tiga bulan. Jika sampai di sini upaya-upaya tadi tidak juga
membuahkan hasil, maka bank tersebut akan ditetapkan sebagai bank gagal oleh
Dewan Gubernur BI. Tinggal dilihat, apakah bank gagal tadi berdampak sistemik
atau tidak. Ketika Bank IFI ditetapkan sebagai bank gagal dengan predikat
non-sistemik, maka urusan penggarapan selanjutnya diserahkan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Antara BI dan LPS sudah ada Surat Keputusan Bersama
(SKB) tentang “Koordinasi Pertukaran Data dan Informasi Dalam Rangka Mendukung
Efektifitas Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan”.
SKB yang ditandatangani Ketua Dewan Komisioner LPS dan Pejabat Sementara
Gubernur BI pada 22 Oktober 2009 ini, intinya mengatur perihal tata cara sebuah
bank gagal (sistemik atau nonsistemik) yang untuk selanjutnya akan diserahkan
ke LPS. Dalam menangani bank gagal tidak sistemik pihak LPS akan melakukan
kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya
penyelamatan lebih mahal dari pada melikuidasi, maka penyelesaian singkat saja,
bank diusulkan dicabut izin usahanya lalu dilikuidasi dan LPS membayar klaim
atas simpanan masyarakat.
19.
19. IndoCropCircles.wordpress.com
Apabila LPS memutuskan bank gagal untuk diselamatkan, maka berlaku dua perlakuan
berbeda. Terhadap bank gagal nonsistemik, tindakan penyelamatan tidak akan
melibatkan pemegang saham lama. Artinya, semua biaya yang timbul dari tindakan
penyelamatan itu akan ditanggung oleh LPS. Sedangkan penanganan bank gagal
sistemik dapat dilakukan baik dengan melibatkan pemegang saham lama atau tanpa
melibatkan mereka didalamnnya. Bila pemeggang saham lama terlibat didalamnya,
maka LPS mewajibkan menyetor dana setidaknya 20% dari total biaya penyelamatan
yang telah dikeluarkan LPS. Dalam hal menangani bank gagal dalam skim apa pun,
pihak LPS mendasari tidakan tersebut berdasarkan mandat Undang-Undang No. 24
Tahun 2004 tentang LPS. Penanganan bank gagal yang dipertimbangkan untuk
diselamatkan akan diambil langkahlangkah bahwa kewenangan mengadakan RUPS dan
pengelolaan bank sepenuhnya diambilalih LPS. Terhadap bank gagal yang
diselamatkan, LPS akan melakukan penyertaan modal sementara (PMS). Selain itu,
LPS juga dapat melakukan merger dan konsolidasi dengan bank lain. Hal yang
masih sering rancu dipahami publik bahwa ketika LPS melakukan penyelamatan
sebuah bank gagal entah itu sistemik atau nonsistemik seperti pada kasus Bank
Century, publik akan cepat menyimpulkan telah terjadi kerugian uang negara.
Bahwa tindakan penyelamatan bank yang melalui mekanisme PMS oleh LPS tidaklah
semua dana hilang. Misalnya, PMS Bank Century senilai Rp6,76 triliun. Semua
biaya yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan
sebagai penyertaan sementara. Kurun waktu 2-3 tahun LPS akan melogo saham bank
tersebut untuk mengembalikan biaya penyelamatan tadi. Lantas, bagaimana bila
skim yang diambil LPS adalah melikuidasi bank gagal? Aset yang dimiliki oleh
bank akan dijual. Prioritas pertama pembayaran adalah untuk bayar gaji dan
pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang dikeluarkan LPS.
Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap
menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama apabila terbukti pemeggang saham
lama melakukan kelalaian atau perbuatan melawan hukum sehingga bank menjadi
gagal. Yang lalu menjadi pertanyaan, apakah bila ada bank yang akhirnya
ditetapkan sebagai bank gagal, hal ini bersumber dari kesalahan Pengawasan Bank
BI. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar tapi juga tidak sepenuhnya keliru. Yang
sering dilupakan publik bahwa tugas pengawas bank adalah memastikan bahwa
pengelolaan sebuah bank mengikuti prosedur atau koridor yang ditentukan agar
bank dikelola secara hati-hati. “Jadi tugas pengawas bank itu hanya sebatas
mengingatkan manajemen bank bahwa ada rambu yang dilanggar. Sedangkan urusan
bank itu menjadi sehat atau tidak ya sepenuhnya tugas direksi bank, karena
untuk itulah mereka dibayar mahal,” tandas Deputi Gubernur Senior BI Darmin
Nasution. Dalam Bab akhir buku putihnya, BI membahas mengenai 'Menyibak
Kegagalan Bank Century'. Bagaimana kisahnya? Tumpukan kertas-kertas berserakan
di atas meja kerja seluas 80 cm x 110 cm. Di antara kertas-kertas itu, sebuah
monitor LCD ukuran 17 inchi masih menyala. Di depan layar monitor tadi sepasang
mata seorang staf peneliti di Direktorat Pengaturan
20.
20. IndoCropCircles.wordpress.com dan
Penelitian (DPNP) Bank Indonesia seperti tak pernah berkedip memandang layar
monitor komputer. Ia tidak sedang menonton film atau main game. Ia bersama
beberapa staf lainnya sedang menggarap laporan yang berisi kajian bilamana Bank
Century yang pada 6 November 2008 kemarin ditetapkan masuk pengawasan khusus
(special surveillance), apakah menimbulkan efek domino (dampak sistemik) atau
tidak terhadap stabilitas sistem perbankan Kajian sistemik memang harus
dilakukan ketika trigger potensi kegagalan bank mulai terpantau dan perlu
dikaji seberapa jauh dampaknya (efek domino) terhadap sistem perbankan secara
keseluruhan. Para peneliti DPNP tadi sadar betul atas apa yang sedang
digarapnya amatlah penting untuk disajikan dalam Rapat Dewan Gubernur BI 18
Nopember 2008. Mereka pun berusaha membuat laporan sekomprehensif mungkin
terkait kajian dampak sistemik bagi bank sekarat tadi. Pengetahuan termutakhir
seperti kerangka acuan kajian sistemik Uni Eropa coba diterapkan. Kajian
sistemik meliputi aspek psikologi pasar, infrastruktur keuangan (sistem
pembayaran) dan pasar keuangan. Bahwa bank dengan penguasaan aset besar saja
yang sistemik tak valid lagi. Bisa saja bank berskala kecil tapi menimbulkan
goncangan. Kajian sistemik itu pun rampung dan siap dilaporkan ke RDG. Persis
seperti yang diagendakan bahwa pada 18 Nopember akan digelar RDG. Pimpinan DPNP
pun mempresentasikan materi yang telah dipersiapkannya. Seperti biasa, dinamika
tinggi sebuah rapat yang sedang membahas persoalan serius terkait bukan hanya
nasib sebuah bank tapi juga sistem perbankan, keuangan dan keamanan dana
masyarakat pun berlangsung. Berbagai catatan kaki perbaikan serta masukan
terhadap kajian itu disampaikan peserta RDG. Revisi atas kajian sistemik itu
pun dilakukan untuk mempertajam validitas atas kajian tersebut yang akan banyak
mendapat sorotan publik nantinya. Sementara itu, waktu terus berjalan, kondisi
bank yang sedang menjadi pasien unit gawat darurat pengawasan BI itu kian
mengalami penurunan kinerja. Meski sebelum ini telah mengajukan dua kali
fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) dari BI (cair dua tahap, tanggal 14
Nopember 2008 untuk tahap satu, tanggal 18 Nopember 2008 tahap dua). Berbagai
upaya untuk menyehatkan kembali bank ini sudah coba ditempuh, tapi tidak
membuahkan hasil. Putusan pun harus diambil oleh RDG. Pada 20 Nopember 2008,
RDG menetapkan bank sebagai bank gagal. Dari hasil kajian BI, meski penguasaan
aset bank ini kecil saja terhadap total dana pihak ketiga (DPK) perbankan,
namun ditenggarai akan berdampak sistemik. Sebab, ketika itu situasi sedang
dalam keadaan krisis yang sangat potensial ikut membawa goncangan terhadap
sistem perbankan. Bank Century adalah hasil merger tiga bank. Mereka adalah
Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac. Perjalanan kelahiran BC seperti tak lepas
dirundung masalah hingga diputus sebagai bank gagal. Awal kisah merger ketiga
bank tersebut tatkala Chinkara Capital Ltd (CCL) menjadi dewa penyelamat Bank
Pikko yang masuk pengawasan khusus (SSU) BI, 20 Juni 2000. Posisi CAR bank
minus 9,6%. CCL selaku calon investor bersedia menyetorkan dana sebesar US$ 12
juta. Dana itu berada di escrow account Bank CIC yang akhirnya dipindahkan ke
rekening CCL di Bank Pikko. Pada 8 Juni 2001, manajemen Bank Pikko mengajukan
izin melakukan penawaran umum (right issue) senilai Rp128 miliar yang diborong
oleh CCL. Walhasil, di atas kertas perusahaan yang berbasis di Kepulauan Bahama
ini menjadi pemilik mayoritas saham (66,6%) Bank Pikko.
21.
21. IndoCropCircles.wordpress.com
Setelah melahap saham di Bank Pikko, CCL pun membelanjakan dana dengan membeli
saham Bank Danpac di lantai bursa. Ia dan bersama Morgan Stanley International
Nominees Ltd secara de facto menguasai 70,2% dari modal disetor bank. Bank
Danpac tergolong bank dengan volume usaha kecil. Di bank ini tidak ada masalah
serius menyangkut permodalan maupun lainnya. Sementara itu, sepak terjang CCL
dengan tetap mengandeng Morgan Stanley diam-diam membeli 16,5% saham di Bank
CIC, 10 Oktober 2001. Pihak CCL lalu menambah modal disetor Bank CIC sebesar
US$10 juta dan menjadikan dirinya adalah pemegang saham mayoritas. Walhasil,
CCL di atas kertas adalah pengendali ketiga bank tersebut. Namun begitu, BI
selaku bank sentral yang memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak setiap
calon pemeggang saham pengendali (PSP) sebuah bank, tidak langsung menyetujui
proses akuisisi CCL terhadap ketiga bank tadi. Sebab, proses akuisisi tersebut
belumlah sesuai dengan aturan main yang berlaku tentang tata cara merger,
konsolidasi dan akuisisi bank umum (Surat Keputusan Direksi BI No.32/51/KEP/Dir
tentang “Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum).
Selanjutnya dicermati dan dipertimbangkan dari berbagai sudut, untuk memastikan
apakah proses akuisisi Bank Pikko merupakan upaya penyelamatan bank tersebut
serta bagaimana kejelasan status PSP yang nantinya harus bertanggungjawab atas
ketiga bank tadi. Lagi pula ada rencana CCL untuk melakukan proses merger
ketiga bank. Atas dasar pertimbangan itulah, maka pada 27 Nopember 2001, RDG
memutuskan untuk menyetujui proses akuisisi yang dilakukan CCL dengan beberapa
catatan kaki. Pertama, CCL dalam waktu yang tidak terlalu lama melakukan
rencana merger. Hal ini baik untuk memperkokoh dan memperbaiki kinerja bank
tersebut. Kedua, BI meminta pernyataan hitam di atas putih bahwa selaku PSP,
CCL akan melakukan upaya-upaya memperbaiki kinerja bank. Ketiga, pihak CCL
berjanji tidak akan melakukan tindakan melawan hukum dan berusaha untuk
mencukupi modal bank hingga mencapai syarat minimal modal (CAR) sebuah bank
yakni 8%. Dewan Gubernur BI sadar betul bahwa persetujuan atas proses akuisisi
CCL diambil melalui sebuah tindakan (discretion) dengan pertimbangan
menyelamatkan sebuah bank sebagai lembaga kepercayaan dan sistem perbankan yang
kala itu masih dalam pemulihan setelah krisis 1997/1998. Ketika putusan
diambil, ada dua syarat yang belumlah sepenuhnya bisa dipenuhi oleh CCL untuk
menjadi PSP atas ketiga bank yang dikuasainya. Misalnya, keharusan pihak CCL
melampirkan laporan keuangan setidaknya 3 (tiga) tahun terakhir. Hal ini
penting untuk mengetahui kemampuan finansial calon PSP bila nantinya dimintakan
untuk menambah modal disetor guna memperbaiki kinerja bank. Serta belum adanya
surat rekomendasi dari otoritas moneter dari tempat asal CCL. Terhadap syarat
pertama yakni melampirkan laporan keuangan tiga tahun terakhir, BI mencoba
meneropong kekuatan keuangan CCL dari laporan keuangan dua tahun terakhir yang
telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik JPL Wong & Co Singapore. Dari
laporan keuangan itu diketahui bahwa secara finansial, CCL memperlihatkan
kinerja yang memadai. Hal itu diperlihatkan dengan kesiapan dana yang telah
disetor ke escrow account. Sedangkan terkait surat rekomendasi dari otoritas
moneter tempat asal CCL, BI mendapat salinan surat pernyataan “certificate of
good standing” dari
22.
22. IndoCropCircles.wordpress.com Commonwealth
of Bahamas the International Business Companies. Selain itu, BI juga
mengantongi surat pernyataan dari kantor hukum Rodyk & Davidson yang
menyatakan bahwa CCL dalam kondisi sebagai entitas bisnis yang “good legal
standing” Dengan adanya alternatif pemenuhan kedua syarat tersebut, Dewan
Gubernur BI menilai adanya keseriusan pihak CCL yang sudah menempatkan dana
sebesar US$12 juta untuk Bank Pikko pada 27 Nopember 2000. Untuk itu, RDG
mengambil keputusan untuk memberikan persetujuan proses akuisisi Bank Pikko dan
Danpac oleh CCL. Keputusan itu diambil dalam kerangka upaya menyelamatkan dan
menyehatkan bank serta tetap terjaganya stabilitas di sektor perbankan dan
moneter sebagaimana diamanatkan UU Perbankan (Pasal 29 jo 37). Selanjutnya, BI
berusaha membantah telah melawan perbuatan hukum terkait bailout yang
diberikannya kepada Bank Century. Apa alasannya? Setelah keluar persetujuan BI
atas proses akuisisi Bank Pikko dan Bank Danpac, pihak CCL berencana melakukan
strategic merger terhadap tiga bank yang dikuasainya. Namun ketika permohonan
merger disampaikan, Pengawas Bank BI menemukan adanya indikasi perbuatan
melawan hukum baik yang melibatkan secara langsung maupun tidak langsung pihak
CCL di Bank CIC. Ada praktik penyimpangan? Ya, tapi ini barulah sebuah indikasi
yang masih diselidiki pihak BI. Indikasi perbuatan melawan hukum itu berupa
penerbitan surat-surat berharga (SSB) oleh Bank CIC senilai US$200 juta yang
ditempatkan sebagai modal disetor ke bank itu. Hal itu ditambah lagi adanya
dana fiktif sebesar US$25 juta yang nyantol di kas Bank CIC. Adanya temuan yang
mengindikasikan praktik perbuatan melawan hukum ini memang harus dibuktikan
keabsahannya. Pihak BI pun menerjunkan Tim UKIP (Unit Khusus Investigasi
Perbankan) untuk melakukan penyelidikan. Sementara proses penyelidikan
berjalan, ada permintaan pihak CCL untuk melakukan merger ketiga bank yang
dikuasainya (CIC, Pikko dan Danpac). Untuk membahas permohonan CCL, Dewan
Gubernur BI pun mengelar pertemuan pada 19 Juni 2002. Agenda pertemuan membahas
belum dapat dilaksanakannya keputusan RDG 27 Nopember 2001 yang memberi
persetujuan proses akuisisi Bank Pikko dan Bank Danpac oleh CCL karena adanya
indikasi perbuatan melawan hukum. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek,
kelebihan dan kekurangannya, bahwa dalam kerangka menyelamatkan dan menyehatkan
perbankan, putusan pun harus diambil. Keluarlah surat Dewan Gubernur BI kepada
pihak manajemen Bank Pikko dan Bank Danpac pada 5 Juli 2002. Inti bunyi surat
itu, bahwa BI pada prinsipnya tidak keberatan atas rencana CCL mengakuisi
66,65% saham (senilai Rp127,9 miliar) atas Bank Pikko dan 54,94% (senilai
Rp53,9 miliar) atas Bank Danpac. Persetujuan BI itu dengan satu catatan kaki.
Bila dikemudian hari dari hasil pemeriksaan diketahui adanya perbuatan melawan
hukum yang dilakukan CCL, maka BI akan membatalkan proses akuisisi dan meminta
dalam kurun waktu 12 bulan agar CCL melepaskan semua saham di bank-bank yang
dikuasainya.
23.
23. IndoCropCircles.wordpress.com
Surat persetujuan BI tadi masih pula diimbuhi kewajiban CCL sebagai calon PSP
di Bank Pikko dan Bank Danpac. BI meminta jaminan bahwa pihak CCL akan
melakukan perbaikan sistem, prosedur dan kontrol atas pengelolaan risk
management di kedua bank tersebut. BI juga meminta agar pihak CCL tetap
menghargai independensi direksi bank dalam mengambil keputusan dan tidak
melakukan intervensi. CCL juga diwajibkan untuk memenuhi dan menjaga kecukupan
modal di kedua bank tersebut. Dan BI melarang pihak CCL mengalihkan saham yang
dimiliki ke pihak lain tanpa persetujuan bank sentral. Bila hasil merger bank
yang dikelola CCL tidak memperlihatkan perbaikan kinerja, maka CCL akan
dilarang untuk memiliki atau membeli saham bank-bank di Indonesia. “Dan apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap PT Bank CIC terbukti bahwa CCL selaku
pemegang saham PT Bank CIC melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang atau dinyatakan Tidak Lulus dalam penilaian fit and proper test,
maka BI akan membatalkan persetujuan akuisisi pada bank saudara. Selanjutnya
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak pemberitahuan BI, CCL
wajib melepaskan kepemilikan sahamnya baik secara langsung maupun tidak
langsung pada bank-bank di Indonesia,” tandas surat BI bernomor 4/54/DpG/DPIP
tertanggal 5 Juli 2001. Isi surat ini jelas memperlihatkan sikap hati-hati bank
sentral ketika memberikan persetujuan akuisisi Bank Pikko dan Bank Danpac oleh
CCL. Setelah keluar izin prinsip persetujuan BI itu, pihak CCL mengajukan
permohonan melakukan merger Bank Pikko dan Bank Danpac ke dalam PT Bank CIC
sebagai bank hasil merger melalui surat tertanggal 5 Nopember 2004. Merespon
permohonan itu, BI melakukan berbagai kajian terhadap kinerja ketiga bank bila
dimerger kelak. Hasil financial due dilligence kantor akuntan publik (KAP) Dedy
Muliadi & Rekan, 30 April 2004 dan proyeksi bank pasca merger dua tahun ke
muka, diperoleh gambaran yang positif. Misalnya, total aktiva meningkat 38,53%.
Dana pihak ketiga melonjak 54,25%. Posisi CAR pun di atas 8,69% dengan TKS masuk
kategori sehat. “Meski gambaran posisi CAR sudah baik, tapi BI tetap meminta
tambahan modal setidaknya Rp60 miliar paling telat disetor Nopember 2004 agar
posisi CAR menjadi 11,66%,” pinta BI kepada CCL. Merespon permintaan BI untuk
setor dana tambahan, CCL menginformasikan ada calon investor yang bersedia
menyetorkan dana sebesar US$9 juta pada 28 Oktober 2004. Selain itu, ada calon
mitra investor lokal CCL yang menempatkan dana dalam wujud deposito sebesar
Rp20 miliar. Dengan tambahan setoran dana sebesar US$9 juta, posisi CAR bank
(per neraca Agustus 2004) setidaknya mencapai 8,05%. Dua hari kemudian setelah
surat permohonan merger itu, 6 Desember 2004, keluar surat Gubernur BI bernomor
6/7/KEP.GBI/2004 tertanggal 6 Desember 2004, yang isinya rekomendasi merger
Bank Pikko dan Bank Danpac ke dalam Bank CIC. Berbekal proyeksi hasil merger
yang positif membuat lega Dewan Gubernur BI. Adalah wajar bila akhirnya keluar
izin merger dari BI. Betapa tidak karena setiap upaya yang dilakukan BI adalah
tetap dalam rangka ingin menyehatkan dan menyelamatkan perbankan nasional
sebagai institusi kepercayaan, tempat masyarakat menitipkan uangnya. Seiring
dengan berjalannya waktu, perkembangan kinerja bank hasil merger kondisi bank
ternyata tidaklah seindah yang diharapkan.
24.
24. IndoCropCircles.wordpress.com
Sisa persoalan di masa lalu masih terus membayangi bank tersebut. Salah satu
pokok persoalan krusial adalah penerbitan surat-surat berharga (SSB)—medium
terms note/MTN Dresdner Bank— senilai US$127 juta oleh Bank CIC yang
diperkirakan mengalami masalah di kemudian hari. Ketika merumuskan soal status
SSB yang tidak memiliki rating ini, BI merujuk rekomendasi Komite Evaluasi
Perbankan (KEP) di Bali, 3-4 Juli 2003, yang menyatakan bahwa surat utang
berharga MTN tidak digolongkan macet sepanjang belum jatuh tempo. Namun, bila
MTN tadi jatuh tempo dan tidak terbayarkan maka langsung dinyatakan macet.
Rekomendasi KEP ini memberi kejelasan atas status MTN tadi. Kebutuhan modal
untuk mencapai CAR 8% bank pasca merger menjadi tidak terlalu besar, yakni
hanya Rp71 miliar. Sedianya, BI akan meminta CCL tambahan dana antara Rp300
miliar hingga Rp400 miliar karena memperhitungkan potensi macet SSB tersebut.
Pada sisi lain, bila suatu ketika ternyata MTN yang jatuh tempo tak terbayarkan
alias macet, maka berpotensi akan membebani permodalan bank pasca merger. Untuk
mengantisipasi hal ini, BI meminta kepada PSP Bank Century—bank hasil merger—
tambahan modal sedikitnya Rp400 miliar plus US$15 juta yang disetor pihak CCL.
Dengan tambahan dana segar ini akan memungkinkan pihak bank memenuhi kewajiban
terhadap MTN yang jatuh tempo tanpa harus menguras modal dan memukul kinerja
CAR bank hingga di bawah yang disyaratkan yakni 8%. Rupanya, permintaan tambahan
modal tidaklah sepenuhnya ditaati CCL. Tak lama setelah merger, persisnya
rentang waktu 2005 hingga Oktober 2007, Pengawas Bank BI menempatkan status
pengawasan intensif. Hal ini karena adanya gangguan SSB valas yang berkategori
non investment rating bakal mengalami kemacetan. Ditambah lagi kondisi kredit
macet (non performing loan) yang berada di atas 5%. BI meminta kepada manajemen
Bank Century agar SSB tersebut cepat-cepat dijual agar tidak menganggu
permodalan bank (aktiva bank). Rupanya pihak BC mengalami kesulitan melego SSB
tadi. Untuk menyelesaikan SSB valas senilai US$203 juta, pihak PSP BC
mengajukan proposal ke BI berupa cash collateral (asset management
agreement/AMA) selama kurun waktu tiga tahun (Februari 2006 hingga Februari
2009). AMA tersebut mendapat jaminan dana tunai salah satu PSP BC (Hesham Al
Warraq) senilai US$220 juta yang berada di Dresdner Bank di Swiss. Pihak BI
meminta agar seluruh SSB tersebut sudah terjual selama pemberlakuan AMA. Skim
penyelesaian SSB melalui AMA boleh dibilang berjalan lancar. Hal itu dapat
dibuktikan ketika ada SSB jatuh tempo periode Desember 2006 hingga September
2008 senilai US$33 juta dapat dibayar pihak BC. Memasuki triwulan keempat tahun
2007, BI menyarankan kepada PSP dan manajemen BC agar menjajaki calon investor
untuk menyuntikkan dana segar guna memperbaiki kinerja permodalan bank.
Rekomendasi BI ini dalam kerangka menyehatkan dan menyelamatkan bank. Ada
beberapa calon investor yang telah menyatakan minat. Mereka adalah Kuwait
Finance House, Korean’s Shinhan Bank, Hana Financial Group, Carlyle, HSBC dan
Noor Islamic Bank. Yang menjadi kabar gembira adalah ketika Hana Financial
Group menandatangani Letter of Intent dan Point of Understanding dengan PSP BC,
April 2008. LoI ini memberi harapan akan
25.
25. IndoCropCircles.wordpress.com
adanya calon investor baru yang akan menyuntikkan dana segar. Memasuki Juli
2008, krisis gagal bayar properti (sub-prime mortage) di Amerika Serikat mulai
memukul tidak hanya pasar keuangan dan perekonomian di negeri itu, tapi juga
ikut memporak-porandakan pasar uang seantero jagad. Pihak Hana Financial Group
asal Korea Selatan yang sudah meneken LoI dengan PSP BC pun dengan berat hati
membatalkan rencana akuisisi BC. Alasannya karena otoritas moneter di Korea
melarang perbankan mereka melakukan ekspansi di luar negeri. PSP BC pun mulai
kelimpungan untuk mendongkrak kesehatan bank tersebut. Pada 15 Oktober 2008, BI
mengundang PSP BC yang diwakili Robert Tantular, Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq.
Robert Tantular tadinya bukanlah pemeggang saham pengendali BC. Tapi, pada 7
Januari 2008, Pengawas Bank BI mendapati bahwa ia dan Ali Rizvi melakukan
kesepakatan tertuang dalam shareholder agreement bahwa mereka berdua adalah
pemegang saham mayoritas (70%) di BC. Pertemuan itu membahas upaya-upaya
memperbaiki kinerja BC yang tertuang dalam Letter of Commitment. Inti LoC
meminta pihak PSP BC untuk menyelesaikan permasalah likuiditas bank. Salah satu
pokok soal yang harus diselesaikan adalah SSB valas, menambah modal dan
mempercepat masuknya investor baru. Meski sudah ada LoC, pihak PSP mengalami
kesulitan untuk memenuhi ketiga komitment yang telah disepakati. Sementara itu,
hasil pemeriksa BI diketahui bahwa kinerja keuangan khususnya CAR bank per 30
September mengalami penurunan menjadi 2,35%. Pada sisi lain, muncul SSB valas
senilai US$65 juta di luar skim AMA yang jatuh tempo diindikasikan tak
terbayarkan alias macet. Lalu, ada kewajiban bank untuk melakukan PPA senilai
Rp59 miliar yang ikut mengerus modal. Hal itu masih ditambah lagi accrue bunga
senilai Rp300 miliar yang ternyata di-reverse sehingga mengurangi pendapatan
bank. Pada akhir Oktober 2008, kondisi likuiditas BC semakin parah. Melihat
gelagat tak beres pada BC, pemeriksa dan pengawas BI mengusulkan kepada DG BI
agar BC masuk pengawasan khusus (SSU) pada 5 November 2008. Dasar pengenaan
status SSU karena CAR bank dibawah 8%. Beberapa kali terjadi pelanggaran GWM
serta likuiditas bank yang terus memburuk. Banyak aspek memasukkan sebuah bank
dalam pengawasan khusus. Biasanya modal bank rendah dan tingkat kredit
bermasalah tinggi serta profitabilitas yang rendah pula. Dalam kondisi yang
sedang terpuruk ditambah lagi penarikan dana pihak ketiga secara terus menerus
dan hembusan rumor miring membuat kondisi BC pun mulai semponyongan dan
limbung. Bank ini juga sempat mengalami gagal kliring (13 Nopember 2008),
karena terlambat menyetor prefund. Peristiwa ini semakin memukul BC ketika
deposan melakukan aksi rush dana mereka di bank itu. Sesuai ketentuan yang
berlaku, BI pun membuka pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek (FPJP)
bagi BC. Pada tanggal 14 Nopember 2008, BC mengajukan FPJP dan disetujui
sebesar Rp502 miliar. Pada tanggal 17 Nopember 2008, BC kembali mengajukan FPJP
kedua dan diberikan sebesar Rp187 miliar sesuai penilaian atas jaminan yang
diserahkan BC kepada BI. Kedua FPJP itu ternyata tak menolong BC. Mencermati
kondisi likuiditas BC yang terus mengalami penurunan, Dewan Gubernur BI
mengelar pertemuan (18 Nopember 2008). Pokok serius bahasan adalah laporan
26.
26. IndoCropCircles.wordpress.com
kinerja terkini BC dan kajian sistemik bank tersebut bila terpaksa harus
dicabut izin usahanya. Dua hari kemudian (20 Nopember2008), RDG BI memutuskan
BC tidak bisa lagi diselamatkan dan disehatkan oleh PSP bank sehingga
ditetapkan sebagai bank gagal yang berstatus sistemik dan merekomendasi untuk
diselamatkan oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bila bank
ini tak diselamatkan akan membawa efek menular kepada sejumlah bank sekelas BC
dan sistem perbankan serta keuangan. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)
yang dipimpin Menkeu Sri Mulyani pun memutuskan BC sebagai bank sistemik yang
harus diselamatkan. [habis)
0 comments:
Posting Komentar