Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 06 Mei 2017

RADIKALILISME YANG KITA HEBOHKAN, JAUH PANGGANG DARI API.

Hampir semua kita dihebohkan oleh radikalisme, yang sangat meresahkan mayortas dari bangsa ini.     

Anehnya radikalisme yang dilakukan ini, sebenarnya sangat infantile, kekanak kanakan, hanya mengenai kulit ari prilaku masyarakat autis, yang kurang berpendidikan berwawasan negara, di kobar kobarkan oleh api menjaga kepentingan pribadi masing masing pelaku utamanya, yaitu  para elite capture  dari definitive stake holder, dengan segala cara ( tidak terpuji) ingin keadaan ekonomi dan politik tetap seperti semula, zaman mereka jadi anak emas Orde Baru. Dari yang sudah jadi conglomerate industry dan perbankan sampai yang jadi penghuni liar tanah milik Negara, penarik pajak liar dari siapa saja dikota kota besar, masih ingin tetap seperti itu, sebab kemiskinan adalah tempat mereka makan bangkai.
Mereka tolak A Hok, mereka tekuk KPK, mereka nista Pemerintah karena melindungi rakyatnya dari kekurang ajaran mega koruptors dari kroninya, mereka pluntir humanisme-nya dan universalisme-nya ajaran agama hanya untuk menanggok dukungan dari ke-kuno-an in-efisiensi kemiskinan disegala bidang  hidup  orang miskin.
Menipu latent dan expectant stake holder yang mayoritas, untuk menentang berubahnya infra structure di segala bidang, terutama bidang ekonomi dan sosial. 
Hanya dibidang teknik dibiarkan jalan, karena sebagian besar untuk kepentingan “kongsie”nya, ya selalu di hisap beayanya sampai hasilnya tanpa kualitas dan azas keselamatan pemakai dan lingkungan, kalok perlu, bekerja sama dengan akademisi dari dalam dan  Luar Negeri, para Sudrun yang keluaran PT yang terkenal. Sarjana dari tingkat S2- S3 – para Profesor telah di down grade harkatnya jadi pencuri biasa, dari dana apa saja. Itu sudah dilakukan dengan sempurna. (di si maha BULOG di mega minyak PERTAMINA, di mega lawless PERTANAHAN/agraria, Prof Dr  Bedduamang, Prof Dr. Rahadi Ramelan  ITS- dari  Jerman, Prof Dr.
  Rubyandini dari UI, Prof Dr Nuruddin Syamsuddin dari ITB, Prof Dr Rokhim Danuri dari IPB sudah  PN-kan olah KPK) \trus kemana muka mahasiswanya disembunyikan ?. Belum termasuk semua profesor sudrun  dari Berkely mafia, yang identik dengan dia, telor busuk dari Rahwana dan gurita gurita. sama pendapatnya dengan Prof Dr. Budiono dari GAMA perkara BLBI yang  harus dibantu  dicetakkan uang 8 triliun rupiah, karena ini : harus dan mulia :: ngomongnya di TV dengan kalem anggunnya. 

Hanya satu yang mereka sangat takutkan, dari pemerintahan Pak jokowi ini. Apabila kebijakan PAK JOKOWI dalam membangun infra structures . memihak mayoritas latent stake holder Negara Panca Sila kita ini.orang jawa in pasti perpilih lagi th 2019 jadi presiden. dan kekuasaan rakyat makin meningkat, karena terangkatnya latent staske holder Negeri ini, ikut  aktive dalam pemilu. Ikut mengawal KPK dan Polisi.

Elite captures ditingkat Nasional kita sejak 32 tahun Orde Baru JADI DIKTATOR, masih dari definitive stake holder dan exspectant  stake holder yang sudah ERAT teranyam kepentingannya  dengan mereka yang sejak revolusi kemerdekaan merupakan golongan diluar system dan bekerja sama dengan elite capture Nasional dari militer dengan kongsie kongsie alias kartel kartel mereka, yang mengumpulkan keayaan mulai zaman penjajahan belanda, menguasa kekayaan kota kota besar yang ditinggal oleh orang orang republikein, mundur bertahan ke pedalaman membentuk Republik, Sedangkan golongan diluar sistim berkomplot dengan tentara Kerajaan Belanda.

Mengapa mereka yang akan menguasai massa dengan dalih pemurnian agama kepada latent stake holder kita, untuk  tidak akan merombak infra structure ekomoni dari kekuasaan kongsie/kartel yang a-nasional di kita ini , alias hidup parasitis ? Apalagi  infra strukture social dari latent stake holder (mayoritas bangsa kita) yang telah menunggu secara buta tuli sekian lama. ( sampai ratusan tahun hampir  seabad). 

Sekarang para sudrun sudah menguasai kaderisasi dari seluruh Perguruan Tinggi negeri ini dengan organisasi ekstra universiter yang selama 37 tahun didukung oleh si maha BULOG, akhirnya merasuk kedalam mayoritas civiutas akedemika  hampir semua PT terkenal dan bersejarah negeri ini, Toh mereka yang berjaya di luar sistim berbangsa ini sudah tumbuh bersama para  kader intelektual sudrun tanpa  dusadari oleh pemikirannya yang hedonis,  jadi penguasa 80% kekayaan nasional bangsa ini, gratis. Dibuktikan dengan slingkuhnya, culas tanpa malu sama sekali, ketahuan uang slingkuhan sangat mungkin hasil kejahatanya 13.000  triliun talah  ketahuan tersimpan di luar negeri - kerena "Panama papers" dibongkar oleh media internasional, - Bila tidak mana kita ada bukti nyata kerendahan budi mereka, si  para ampyang itu ? Tidak tersentuh bathinya (kalau punya), sebangsa binatan ekonomi ini  abai terhadap himbauan dan kebaikan Pemerintah Indonesia, memberi tax amnesty. Dasar ampyang. Kami bangsa yang beradab, tahu cara mengajarmu dan mengejarmu sampai ujung dunia, sampai kiamat.

 Selama kita berkutat untuk mencapai kemerdekaan 72 tahun apa yang mereka kerjakan? Siapakah kamu sebenarnya sehingga dari pertama Orde Baru, Subchan ZE - seorang pemuda  idealis islam dari Situbondo, dan di akhir Orde Baru  aktivis HAM, Wiji Tukul, dkk  Munir terpaksa hilang nyawanya *) 

Untuk mempertajam pengertian mengenai elite capture dan tingkatan stakeholder, saya sajikan copy dari:


Copy dari :  

 Tulisan Policy Brief,   Univ. Gajah Mada, ditulis oleh Suhadi. Sonyoruri Satiti dan Agus Yulianto: Pembelajaran dari Bumi seribu nyiur melambai (1) pdf adobe reader



PB 31. 2016. MENGIKIS ELITE CAPTURE DALAM COMMUNITY DEVELOPMENT



Pengembangan masyarakat (community development) adalah salah satu kegiatan yang
menjadi bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR), dengan tujuan adanya
transformasi sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi secara berkelanjutan. Partisipasi
masyarakat diyakini akan mendorong keberhasilan dalam implementasi program
Community Development. Sayangnya, elite capture secara serius telah mendistorsi tujuan dan
capaian program. Hal ini bukan terjadi karena model partisipatif dalam implementasi program
yang salah, tetapi merupakan konsekuensi logis dari penerapan pendekatan partisipasi yang
memunculkan elite baru: elite pembelajar, yang berpeluang besar untuk memanipulasi
posisinya bagi kepentingan pribadi. Apabila fenomena elite capture tidak dapat dihindari,
maka masyarakat sasaran program justru akan terekslusi dari program tersebut.
Elite capture merupakan fenomena biasa dalam
berbagai aspek kehidupan. Elite capture dipahami
orang atau sekelompok orang untuk memengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan agar hasilnya
memberikan keuntungan bagi mereka sendiri, baik
yang berbentuk materi ataupun nonmateri.
Sejak diperkenalkannya model pendekatan
p e m b a n g u n a n  s e c a r a  p a r t i s i s i p a t o r i s  y a n g
menekankan putting the last first (Chambers, 1983),
model belajar bersama kaum miskin tanpa disadari
telah menghasilkan model dominasi baru dalam
masyarakat, yakni munculnya elite pembelajar
(learning elites) (Wilson, 2006). Learning elites
menempatkan diri sebagai representasi komunitas
serta menjadi jembatan antara pihak luar dan
masyarakat sasaran sebagai development brokers
(Plateau dan Gaspart, 2003: 3).
Pendekatan partisipatoris berpotensi memunculkan
elite capture terhadap program pemberdayaan
masyarakat. Secara teoretis dikatakan bahwa serious power imbalances ... the poor are heavily dependent on vertical links with local elites. [therefore] it is difficult to form the horizontal associatons necessary for organizing collective action for the common good
(Das Gupta, et.al., 2004: 28). Ke_ketindakan kolektif
:
Foto: Anjungan Provinsi Kaltim/budaya-indonesia.org
Penelitian di bumi seribu nyiur melambai, yaitu di sebuah kawasan industri di Kalimantan Timur, menunjukkan
bahwa program Community Development sebagai bagian dari strategi implementasi CSR (Corporate Social Responsibility) telah diterima masyarakat sekitar perusahaan. Perusahaan-perusahaan di kawasan ini melaksanakan program pemberdayaan sosial ekonomi melalui kelompok nelayan, kelompok usaha simpan pinjam, dasawisma, dan kelompok tani.
Di berbagai kelurahan, berdiri berbagai kelompok yang berjumlah antara tujuh sampai sepuluh kelompok. 
Selain itu, terdapat kelompok-kelompok informal dan organisasi masyarakat, seperti kelompok pemuda, yang memiliki peran dan tujuan ganda: memperjuangkan visi misi organisasi sekaligus menjadi supply manpower. Perkumpulan, seperti GPAK (Gerakan Pemuda Asli Kalimantan), Kobra (Komando Bela Negara), dan LPADKT (Lembaga Pemuda Adat kalimantan Timur),
memunculkan rivalitas baru antarkelompok. Di samping itu, muncul juga kelompok KOPPAD (Komando Pengawal Pusaka Adat Dayak), PP (Pemuda Pancasila), dan kelompok pemuda yang berbasis sei (sungai). 
Beberapa kasus rivalitas dan perseteruan antara kelompok dengan pemerintah maupun perusahaan dalam hal program dan proyek menunjukkan munculnya identitas kedaerahan dalam situasi-situasi tertentu yang mendorong orang bergabung di dalam organisasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin lokal tidak merepresentasikan kepentingan seluruh penduduk.
Keberadaan kelembagaan local bentukan masyarakat dan perusahaan yang ditujukan bagi penguatan ekonomi masyarakat akhirnya lebih mencerminkan pola distribusi sumber daya di lingkaran elite. Kondisi ini m e m u n c u l ka n  p o l a r i s a s i  kekuasaan  dan  memunculkan tarik-menarik kepentingan yang berujung pada rivalitas antarkelompok.
Sebagai contoh, dilihat dari kekuasaan, pemangku  kepentingan di salah satu kelurahan terpolarisasi,yakni antara yang sangat berkuasa dan tidak berkuasa. Tidak ada tokoh midleman (menengahi).
Kepentingan terhadap perusahaan terkelompok antara mereka yang berkepentingan tinggi (sebagian besar
adalah definiive stakeholder) dan _tidak berkepentingan (sebagian besar adalah latent stakeholder).
Kebanyakan elite dengan kekuasaan besar merupakan definitive stakeholders. Dengan posisinya, mereka terkooptasi kepentingan segelintir elite, maka elite akan mengambil keuntungan darinya (Bardhan and Mookherjee, 2000). Elite capture semakin tidak dapat dibendung ketika secara  struktural model  sosiokultural  pandangan sosial mengutamakan harmoni, menghindari konflik, serta iidak ada check and balance.
Secara metodologis, penerapan pendekatan stakeholders mapping (pemetaan pemangku kepentingan) berbasiskan konsep stakeholders classess (Mitchell, et.al., 1997) dapat digunakan untuk menangkap
fenomena elite capture. Melalui pendekatan ini, dapat ditemukan berkelindannya power, legytimacy, dan urgency dalam bias kepentingan elite. Pemetaan pemangku kepentingan menghasilkan klasifikasi elite sebagai
berikut.
(i)            Latent stakeholders (individu-individu dalam masyarakat yang belum merupakan aktor kunci, tetapi berpotensi memiliki peran dan posisi strategis).
      (II)      Expectant stakeholders (individu-individu dalam
                 masyarakat yang diharapkan menjadi aktor kunci ke_ka progrdiimplementasikan).
(III) Definitive stakeholders (individu-individu yang secara riil telah memiliki posisi   dan peran dalam masyarakat).


2 MENGIKIS ELITE CAPTURE DALAM COMMUNITY DEVELOPMENT : Pembelajaran Dari Bumi Seribu Nyiur Melambai
Fakta hasil penelitian
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
3
mendapatkan banyak kesempatan memanfaatkan bantuan, misalnya mengalihkan bantuan penyediaan air bersih untuk masyarakat menjadi untuk keluarganya. Sementara itu, sebagian besar elite dengan kekuasaan
kecil merupakan latent stakeholders.
Mereka ini memiliki potensi, tetapi belum mampu eksis karena kalah dalam power relatiion. 
Pada sisi lain, nilai budaya lokal menyediakan lahan untuk menyuburkan elite capture.
Jika dilihat per lokasi, basis ketokohan di Kelurahan Handil
Baru dilandasi atas dasar kekerabatan. Warga, termasuk
pemuda, menyuarakan kritikan terhadap sering terjadinya
perebutan antar elite untuk mendapat program dan proyek.
Kritikan terhadap tingkah laku para elite yang lebih
mementingkan kepentingan sendiri sering muncul. Namun
kritikan-kritikan tersebut hanya dianggap angin lalu oleh
para elite. Check and balance tidak efektif karena beberapa
tokoh adalah elite yang masih satu kerabat. Harmoni sosial
harus dibayar mahal dengan hilangnya sikap kritis dan
munculnya apatisme.
Kemudian peta kekuasaan di Kelurahan Sanipah _dak
beraturan dan elite yang berkepentingan dengan
perusahaan tidak selalu memiliki peran secara langsung.
Dengan kondisi ini, elite yang secara struktural memiliki
kekuasaan dalam masyarakat tidak secara otomatis menjadi
definitive stakeholders. Gejala elite capture tidak muncul.
Selanjutnya isu penduduk lokal-pendatang juga kerap
memanas saat ada masalah tenaga kerja. Kelompok kelompok
maupun LSM bergerak menuntut perusahaan
dengan dalih memperjuangkan untuk prioritas penduduk
lokal. Namun yang terjadi adalah akses tenaga kerja sering
kali hanya dikuasai untuk kelompok sendiri atau kerabat
sekitarnya. Sebagian penduduk lokal terpaksa harus
dipotong gajinya sekian persen untuk kelompok yang
dianggap telah berjasa memasukkannya ke perusahaan. Sistem supplyman power oleh kekuatan elite capture
menjadi bumerang bagi penduduk lokal karena semakin mempersempit ruang gerak mereka.
Jika stakeholder mapping dilihat per wilayah, perbedaan antara Kelurahan Handil Baru dan Sanipah dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan wilayah. Sanipah telah dimasuki oleh perusahaan
sejak 1970, sedangkan Handil Baru pada 2004. Dengan kata lain, Sanipah memiliki pengalaman lebih lama
bersandingan dengan perusahaan dan telah mengalami banyak pembelajaran dalam proses dinamika di
dalamnya dengan silih bergan_nya kontestasi antara elite dan kelompok.
Selain itu, ada perbedaan komposisi penduduk antara Handil Baru dan Sanipah. Sebagian besar penduduk
Handil Baru adalah suku Banjar yang dikenal sebagai masyarakat pekebun, sedangkan sebagian besar Sanipah
adalah suku Bugis, yang merupakan masyarakat nelayan. Perbedaan kultur dapat berpengaruh terhadap
Daksar, Ketua Karang Taruna, 27 April 2015).
MENGIKIS ELITE CAPTURE DALAM COMMUNITY DEVELOPMENT : 4 Pembelajaran Dari Bumi Seribu Nyiur Melambai Pusat Studi Kependudupandangan dan sikap hidup masyarakat. Handil Baru dengan penduduk suku Banjar sebagai tipe masyarakat darat
lebih bersifat hierarkis dan mengakui adanya hak milik. Sementara itu, Sanipah dengan penduduk suku Bugis
sebagai tipe masyarakat laut lebih bersifat egaliter dan _dak begitu memedulikan hak milik, seperti_ pandangan
mereka tentang laut yang bebas tidak ada pemiliknya.
Sisi egaliter yang dimiliki oleh orang Bugis di Sanipah memungkinkan adanya check and balance. Sering kali sisi
egaliter ditunjukkan dengan berdemo ketika adanya asimetris informasi maupun _dak adanya keterbukaan dari
pemerintah maupun perusahaan. Hal berbeda terjadi di Handil Baru yang masih kuat sisi hierarkis dan
kekerabatannya. Elite capture lebih tumbuh subur ke_ka banyak program dan proyek yang masuk ke kelurahan ini.
Penelitian ini pun menemukan adanya dinamika masyarakat yang cukup mencengangkan. Diketahui bahwa
organisasi di bawah kelurahan maupun LSM saling melakukan penghindaran konflik terbuka dengan siasat
pembagian program dan proyek.
Keberhasilan program Community Development dapat
dicapai apabila fenomena elite capture dalam program
dapat dikikis dan dihilangkan. Berikut adalah beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk itu. Pertama, penting
bagi perusahaan untuk menjalin kerja sama dengan
dinas atau pemerintah setempat dalam rangka
memastikan sasaran program. Kedua, harus ada strategi
distribusi program yang lebih tepat dengan
menghindari keterlibatan seseorang dalam banyak
kelompok. Ketiga, menciptakan model perencanaan
program secara terintegrasi dengan program
pembangunan kelurahan. Keempat, pembentukan
kelompok-kelompok alternatif yang mampu mengubah
orientasi warga dari upaya memperoleh keuntungan
langsung dari kehadiran perusahaan ke arah kegiatan
alternatif lainnya. Kelima, penguatan elemen
masyarakat sipil berpendidikan tinggi untukmenguatkan masyarakat sebagai penyeimbang kekuatan organisasi lokal yang lebih berorientasi ekonomi dan peran-peran kooptatif kepentingan warga.
Keenam, harus ada strategi dan kemauan perusahaan
untuk mengambil jarak terhadap organisasi yang nyatanyata
hanya mengambil keuntungan ekonomi. Ketujuh,
perlu adanya penguatan pemerintah lokal untuk
menghasilkan berbagai payung hukum yang mewadahi
kepentingan distribusi program dan mampu sebagai
landasan kebijakan untuk menghindari kemungkinan
konflik elite lokal. Wadah ini dapat berupa peraturan
daerah atau keputusan bupati. Kedelapan, perlu sinergi
antarperusahaan dalam wadah forum pemberdayaan
masyarakat lokal di level akar rumput. Tujuan forum ini
adalah untuk menghidari duplikasi program dan
bantuan.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, R. 1983. Rural Development: Pu_ng the Last
First. London: Longman.
Dasgupta, A. and V.A. Beard. 2007 “Community Driven
Development, Collec_ve Ac_on and Elite Capture
in Indonesia”. Development and Change 38(2):
229–49.
Pla_eau, Jean-Philippe and Gaspart, Frédéric. 2003.
The ‘Elite Capture’ Problem in Par_cipatory
Development. Centre for Research on the
Economics of Development (CRED). Faculty of
Economics Rempart de la Vierge, 8 B-5000 Namur
Belgium.
Wilson, G. 2006 “Beyond the Technocrat? The
Professional Expert in Development Prac_ce”.
Development and Change 37(3): 501–23.
Pilihan kebijakan
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan MENGIKIS ELITE CAPTURE DALAM COMMUNITY DEVELOPMENT : Pembelajaran Dari Bumi Seribu Nyiur Melambai                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 











0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More