Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 27 Juni 2017

ILMU BAGI SELURUH MANUSIA

ILMU BAGI SELURUH MANUSIA  PASTI MUDAH DECERNA DAN SEDERHANA

Komentar terhadap wawancara Najwa Sihab, Gus Mustafa Bisri dan Prof. Qurais Sihab, pada 21 Juni 2017 jm 20 WIB, konon  akan dilanjutkan 28/6/2017

Apabila sudah ditetapkan dengan kayakinan yang teguh, bahwa ilmu Islam itu di wahyukan untuk segenap manusia di  Dunia, pastilalah Ilmu yang sangat penting, apa lagi yang menyangkut hidup manusia, pastilah ilmu tersebut  mudah dicerna dan sederhana untuk dilaksanakan. Inilah yang kebanyakan para jumhur dalam ilmu islam sendiri lupa. Istilahnya Gus Dur “Gitu saja kok repot”

Kerepotan mengurai Ilmu Al Qur’an dan Al Hadist sudah sangat disadari  oleh para Wali,, Pengajar Agama islam di Pulau Jawa, sudah mulai abad  12, terbukti dengan adanya nisan islam, ber tarikh  penanggalan Islam dalam tarikh mesehi setara dengan abad ke 12 di Gresik                         ( Jawa  Timur).

Dalam kurun waktu  pekerjaan para Wali jaitu  abad ke 12  sampai akhir kerajaan Demak pada abad ke 16, para Wali menghadapi masyarakat Hindu diseluruh Pulau Jawa yang sudah mempunyai dasar teratur dan rapi. Cuma, mungkin peran politis dari kasta bawah makin lama makin besar, juga iuran untuk segala upacara kepentingan kasta atas makin banyak saja.

Jadi ajaran Islam, masyarakat Islam harus mempunyai nilai intrinsik yang harus bisa mengungguli masyarakat Hindu, sehigga dapat berfungsi sebagai penggerak pembaharuan secara menyeluruh dari masyarakat yang lama.

Yang jelas, tujuan pokoknya dalam jangka panjang memperbaharui  kepercayaan masyarakat menjadi masyarakat yang Islami, masyarakat yang  madani , jauh lebih baik secara bermasyarakat dan perilaku setiap anggautanya,  sehingga bisa maju dalam segala bidang seperti masyarakat di pusat ajaran Islam waktu sebelum itu di timur tengah, yang sudah mengembangkan semua cabang ilmu pengetahuan.
Jadi nampaknya para wali yang tidak hidup  sebagai kontemporer tapi bersambung secara estafet sampai satu abad, menetapkan rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang dan jangka pendek.
Jangka pedek:
Mengadakan pembelajaran membaca dan menulis huruf hijaiyah dan huruf palawa pada kaum waysia dan kaum sudra,  sepanjang pantai utara, daerah yang memang tertinggal dari wilayah budaya agama Hindu Jawa, yang kebanyakan terpusat pada sentra wilayah pertanian sawah beririgasi berundak, yang tidak mugkin dibanguan di pantai utara pulau jawa karena lereng gunung Kendeng yang pendek sampai ke pantai, sehingga  tidak menciptakan sungai yang handal aliran airnya, waktu kemarau kering. sehigga sawahnya tadah hujan saja, panen sekali setahun, hanya cukup di kosumsi sendiri,tidak bisa di perdagangkan untuk export.
Dalam agama Hindu, ada larangan yang bisa dihukum berat, telinganya di cor timah cair, bila ketahuan ada kaum waysia atau sudra belajar membaca dan menulis  huruf palawa hurufnya kitab suci Wedda yang empat. 
Persawahan rawa seperti di Mesopotamia dimana mereka pernah belajar Islam, akan dibangun sebagai dasar masyarakat baru. Memang bukti sejarah ada yang memberi petunjuk bahwa  ulama Islam pertama yang datang ke Pulau jawa dari sana . Inskripsi pada nisan islam ditemukan di Gresik milik Fatimah binti Mamun bertarikh Hijrah setara dengan abad ke 12, jaman pemerintahan Paduka Erlangga kerajaan Singhasari.                                  Kebiasaan membuat nisan bertarikh bukan kebiasaan Arab, melainkan Parsi.
 Bersama para santrinya yang sudah digembleng ilmu membaca dan menulis  membuat pembukuan lajur dengan angka huruf Arab yang mendunia sekarang. Juga diajarkan ilmu bela diri yang didasari ilmu mengerahkan tenaga dalam aliran Wudang  ( Bu Tong ) pecahan dari aliran Siau Lim dari Pegunungan  sebelah barat China. Disana dikenal dengan aliran Mo Kau. (Kho Ping Ho - cerita silat "To Liong To  "Golok pembunuh naga")
Pencetakan sawah dari tanah rawa di delta bengawan Solo memang dekat dngan  Gresik, yang diatas bukit  kapur. kampungnya disana karena lebih sehat, terhindar dari nyamuk apalagi malaria.
Para santri dengan mengerahkan tenaga dalam menggali saluran saluran menurut peta topografi yang dibuat dengan memperbadingkan permukaan dasar rawa, aliran pematusan dan aliran masuk dari air sungai diukur dasarnya dengan alat optic yang merupakan  prototype dari alat teropong   teodolit, yang  disempurnakan dari bentuk yang lebih kuno , hasil kebudayaan Mesopotamia oleh sarjana Islam Ibnu Haitham – yang merupakan bukti juga bahwa pencetakan sawah dari dataran rawa memang mungkin pada masa itu. Rata rata saluran saluran in dangkal namun lebar, sedikit menurun menurut kontur dasar rawa. Menjadikan permukaan air rawa bisa diturunkan dan dinaikkan barang sepuluh-limabelas  entimeter, untuk bercocok tanam padi.
Memberikan otot ekonomi pada kota pelabuhan dan hunian kaum Islam di Gresik. Tanah rawa memang sudah diterlantarkan oleh Penguasa Hindu, karena mereka tidak punya teknologi maupun tenaga yang mampu mengubahnya jadi tanah sawah yang subur, bisa dipenen dua kali setahun.                                                      Yang paling penting tidak ada hambatan transport panen dan angkutan beras ke pelabuhan  laut yang dalam, untuk berlabuh jung jung china yang ukurannya sampai 200 ton DWT. Dari sawah ke pengeringan dan penyosohan, kemudian dipunggah ke jung menggunakan perahu yang berlambung datar, yang bisa terapung di saluran air yang dangkal berpintu ganda,                                                                                   Perahu jenis ini sekarangpun ada dengan berbagai ukuran, ukuran yang paling kecil bisa muat 1-2 ton gabah dibuat dari anyaman bambu dilapisi  asphalt atau lilin lebah, dengan mudah lewat saluran  tersier rawa yang dipersiapkan untuk itu.
Maka wilayah persawahan dekat Gresik di Pamotan ( sekarang Lamongan),  bisa jadi daerah penyangga ekonomi masyarakat Islam yang handal tanpa mengusik kerajaan sezamannya yaitu  Majapahit , malah menambah pemasukan Kerajaan dari setoran sukarela yang jumlahnya sudah terasa oleh  Kerajaan Majapait, dari perdagangan beras.                                                                                                     Sedangkasn Majapahit dari semula mengandalkan perdagangan  rempah rempah dari timur.
Dalam waktu yang singkat, sudah terkumpul tenaga para santri, untuk membuka lahan rawa yang jauh lebih lebar sampai puluhan ribu hektare di Demak Bintoro, dengan kelebihan lain yaitu  gelondong  kayu jati dari lereng utara  gunung Muria yang dengan mudah di tarik langsung ke pantai dan diangkut oleh perahu jung raksasa untuk pembuatan jung yang besar besar, tahan berlayar  berbulan bulan.  tanpa ditempeli  cangkang kerang/simping dan dibor oleh cacing laut.                                        Karena kayu jati ini tidak  dimakan, dilubagi  oleh sebangsa cacing laut yang merusak lunas dan lambung  bagian bawah air perahu perahu  besar selama pelayaran berbulan bulan,  jadi bahan kayu jati untuk kapal sangat diminati, dan bernilai sangat tinggi.  Saya menyaksikan sendiri maket kapal perang Rusia zaman Tsar,di Museum Kapal. Kapal perang mereka  harus bisa berlayar berbulan bulan dari laut Baltik ke Wladiwostok di Selat Bering, tanpa bertemu dengan dok  manapun,  meskipun lambung diatas air dari baja tebal . namun namanya kapal perang, zaman mesin uap piston dan turbine - tapi lambung dibawah air dari papan tebal kayu jati !
Maka  lengkaplah rencana jangka pendek, sedangkan rencana jangka panjang, untuk mendapat dukungan pengembangan agama Islam dari kaum Brahmana dan kaum Ksatrya, yang tentu saja membutuhkan  metoda pengenalan dan daya tarik  kepada dua kaum penguasa Hindu ini, karena mereka cukup piawai dalam mengatur masyarakat, dan berilmu cukup tinggi, kaya dengan ritual agama  Hindu yang juga mengukuhkan kekuasaan mereka terhadap kasta dibawahnya, beaya  dibebankan pada kasta bawah.
Jangka panjang:
Untuk pertama kali sesudah Islam disiarkan di Asia Tengah sampai ke India, sampai ke Afrika Utara dan Adalusia – ke Asia tengah sampai ka Kazakhstan dan Kirgistan,  bahkan ke negeri China,  Islam di pulau Jawa diperkenalkan dengan cara lain yaitu dengan memperkenalkan Ilmu  hakikat dan makrifat lebih dulu dari ilmu syari’at dan tarikat.                                                        Syari'at Islam diajarkan belakangan. karena khawatir akan disamakan dengan ritual agama Hindu, kasta tertinggi akan jadi pemimpin ritual ritual ini demi kekuasaannya. ( yang dikhawatirkan para Wali benar benar terjadi di lain pulau Nusantara -bahkan atributnya saja sudah cukup untuk para pencerah palsu brkiprah menjadi pemimpin umat Islam) Sedangkan Islam berazaskan piawaian mempelajari dari membaca Al Qur"an  Hadist, Ternyata kiai palsu sekaliber Dimas kanjeng dari Probolinggo, tidak pernah diuji kepiawaiannya dalam illmu Al Qur'an dan Al Hadist oleh sidang profesor sekaliber Prof Qurais Sihab, atau para jumhur dari MUI)   Para wali mangambil salaf dari itu thok sebagai sumber ajarannya, bukan dari generasi ketiga dan seterusnya. Disisi lain abad ke 12 - ke 15 sudah terlalu banyak aliran aliran ajaran yang bias, kitab kitab yang dijadikan argumnen perebutan politik, sperti shi'ah dan sunni, aliaran Abbasiah dan aliran Mu'awiyah, Fathimiyah, Utsmaniah dll, sedang di Nusantara pertentangan khilafah disana itu tidak relevan.

Maka satu karya besar para Wali tanah Jawa merancang pengenalan Islam dengan cara ini, yang kesatu menunjukkan bahwa masyarakat islam sangat santun  dapat menerima anggauta masyarakat lain agama, memberinya kesetaraan dalam pergaulan besar, dan mampu mengembangkan ilmu tenaga linuwih dengan metoda nya baik secara ragawi maupun bathiniah.                                                           Sampai meneliti kepercayaan sebalum hindu,"Catur sanak", saudara gaib yang empat ikut lahir dalam sehari itu dengan si jabang bayi yang sesuai dengan ajaran islam malaikat yang empat yang selalu bersama manusia untuk membantunya, mungkin "teknologi" nya sudah ada dan diyakini bisa didayakan dengan kehendak Allah.                                                                                   Yang inipun lama kelamaan hilang, karena para Brahmana dan ksatria yang masuk islam tetap menutup diri dari ulama yang baru datang membawa pemurnian islam dengan tolok ukur syari'ah dan asesory timur tengah, budaya Arab. Sangat cepat dengan vonis penjimpangan dari nas dengan hukuman berat dan paling murah bid'ah.                                                                                                Sangat tidak menarik hati brahmana dan ksatrya yang sudah masuk islam, namun merasa masih  orang Jawa - yang terlanjur mereguk ilmu makrifat dan hidup zuhud dan istiqomah,Sebab para wali menjelaskan bahwa terikut dalam gerakan dan do'a yang dibacakan dalam waktu sholat lima waktu, sudah ada isyarat mengenai inti sari ilmu hakikat dan ilmu makrifat sesuai dengan ilmu nenek moyangnya kaum brahmana dan ksatrya jawa.                                   Meskipn ginealogi mereka masih dari Rsi Brigu, Rsi Bharatwaja dari India -Ajarannya bahwa ilmu hakikat dan ilmu maukrifat yang diisyaratkan inti sarinya dalam solat,, digambarkan bahwa Ilmu itu bila diringkas jadi sebesar mrica yang diasah bulat, dan bila digelar bisa memenuhi dunia yang tiga.( Budha: kama datu, rupa datu dan arupa datu),,"ILMU IKU  LAMUN DIRINGKES DHADI SAK MRICA BINUBUD, LAMUN DIGELAR NGEBAKI  JAGAD TRIBHAWONO. Yang diisyarartkan dalam sholat dalam bentuk ringkas, sedang yang diwahyukan dalam Al Qur'an dan diriwayatkan dari sunnah Nabi dalam Al Hadist yang soheh..itu lengkapnya. Mungkin, perbedaan watak budaya  mereka karena pangaruh iklim, setelah ratusan generasi, yang di pulau jawa sangat pemurah. Menyebabkan cara syi'ar yang berbeda.                                              Misalnya, mereka masih menggunakan hukum waris adat Jawa yang menurut "rasa" mereka lebih pas  - sedang hukum waris Hindu, hukum waris islam menurut azas patrilineal murni, tidak menghormati perempuan dengan cara yang sama dengan yang di iklim sini., Memelihara orang sakit dan membesarkan anak di kondisi alam yang penuh parasit dan jasad renik penyakit ini, lebih ganas dari singa padang pasir.. 
Ulama pendatang baru ini sangat tidak condong dengan ajaran makrifat apapun adanya ( Mungkin sedikit muncul ke permukaan pergesekan antar wali sendiri,  antara yang mendahulukan syari'ah sunan  Kudus/Jafar Sodik dengan sunan Kalijogo yang esoterik, - mendahulukan hakikat dan makrifat lain dari panteisme pengikut Al Haladz - syech Siti Jenar yang dihukum mati karena  mecampurkan panteisme dalan makrifat islam)

langkah selanjutnya:
Maka sedikit demi sededikit kaum Brahmana  dan kaum ksatrya  masuk islam dan mempelajari tata cara syari’at berbaur dengan ummat  islam yang lain, yang dari semula islam memang egaliter. 
Banyak dari kaum Brahmana dan Ksatrya  ini  mempunyai  bakat  dalam meperdalam ilmu hakikat dan makrifat dan mengembangkan tenaga dalam dengan latihan pernafasan dan meditasi bathin metoda Wudang – atau Bu Tong, sampai sekarang di dekat kota Babat tepi  bengawan Solo masih ada desa yang namanya Widang. yang masih jadi pesantren besar Langitan, pusatnya ajaran aswaja.
Malah ahli mengukur tanah dengan teropong  prototype dari teodolit yang kerjanya selalu berkeliling rawa dan kali, mendapat julukan dari rakyat sebagai sunan Kalijaga, konon seorang putra Bupati.
 Bakas bekas metoda ini ada dalam pelajaran “sorogan” artinya diberikan dari mulut ke mulut, dari guru ke murid, dengan latihan pernafasan a’la aliran silat wu dang atau bu tong  guna menghimpun  tenaga dalam dengan cara hidup zuhud a’la islami, sabar dan eling, yang sangat di lecehkan oleh para  ulama islam yang belajar dari ulama yang datang belakangan dari Hadramaut dan  Mesir, atau mendapat pelajaran dari sana, di cap sebagai bid’ah atau sinkretisme dengan Hindu.

Para wali sangat sadar bahwa  mengajarkan mencari makrifat pada para brahmana dan  mengajaran metoda konsentrasi meditasi mengerahkan tenaga dalam a’la Bu Tong , hanya sarana  untuk mempeteguh iman kepada Allah dan hidup zuhud cara islami  mereka dijuluki dengan nama Ki Ageng. Atau Ki Aji – sekarang jadi Kiai – karena menjalankan agamanya Islam dengan menyertakan HATI nya. Juga dengan ini mereka mengajarkan tafsir untuk santrinya - yang menurut hati saya juga lebih pas, juga mengupas ilmu yang diringkas jadi sakmrica binubud (yang diasah dibulatkan),  hanya dengan sorogan kepada anak cucnya sendiri, atau dari luar tapi lebih dekat dari saudara, jadi fihak luar tidak membuat  sebab  masyarakat santri umum heboh. Sebab yang mereka butuhkan adalah kebisaan praktis seperti pendahulunya dari golongan waysia dan sudra, yaitu baca tulis dan berhitung pembukuan lajur dan ilmu lain kacakapan dagang yang jadi andalannya adalah lafal yang fasih, pengajarnya adalah orang arab yang dibawa kapal KPM dari Jeddah, daripada balik ke Nusantara kosongan, lebih baik cari muatan beduin migran dari jazerah, mereka bukan ulama Islam, tapi pedagang kecil, seperti yang berkeliaran di Mesir sejak dulu. Dari perilakunya saja ketika demonstrasi sudah ketahuan.

Dalam memberikan pelajaran Islam kepada muridnya, santrinya yang sudah dia tandai  mereka menggunakan metoda “sorogan” dalam bahasa campuran Jawa dan Arab: Misalnya untuk mengawali pekerjaan penting sang murid /santri harus mengulangi kalimah syahadad dengan pesan “Ashadu sahadad HATI, sira aja lali HATI, pecat mati aja LALI.”   Artinya ingatlah  ikutkan Hatimu, dalam perbuatanmu amalmu yang tercantum dalam kalimah syahadad  “Asahaduala ilahailallah wa ashadu ana Muhammadarasulullah” – Tiada yang ku sembah melainkan Allah dan Muhammad adalah rasulullah. Ikutkan  HATI mu dalam mengucapkan ikrar ini.- Para Wali yakin bahwa bagaimanapun multi tafsir, bagaimanapun sulitnya "adiluhung" bahasa Arab bagaimana sulitnya untuk menafsir Al Qur’an para santri yang unggul harus menyertakan HATI nya  - bahkan sampai mati jangan lupa. Dengan begitu para brahamana dan ksatrya yang sudah bergenerasi generasi masuk islam, bisa terpakai oleh para  Sultan sebagai Abdi Kesultanan dekat, abdi administrasi wilayah, sebagai Pandega bala tentara - yang dikenal sebagai kaum priyayi- masih sangat kental membawa pelajaran HATI para Wali, juga ajaran dharma masih diingat. Sebaliknya kaum wasya dan sudra yang masuk islam  sempat berjaya menjadi saudagar besar zaman kasultanan Demak Bintoro, yang langsung berhadapan dengan kaum petualang samudara dari Portugis dan bangsa Eropa lain, selalu kalah dalam perang laut kerena perahunya lebih kecil - kaliber meriamnya juga lebih kecil, warisan dari kalantaka atau rentaka, zaman Majapahit, ( google di blog idesubagyo blogspot.com kata kunci Matahari Terbit di Wilwatiktapura posting th 2013) bukan karena miskin kayu, atau tidak punya teknologi, tapi miskin layar - kita tidak punya kapas serat panjang ataupun menenun serat ulat sutra - makin terperosok kedalam dunia "bakul" ( google ide subagyo blogspot.com - kata kunci "bakul") yang perilakunya jauh dari petunjuk agama islam. 

Dengan meneladani Rasulullah yang  kepadanya diturunkan  wahyu – firman Illahi , kalamullah lewat malaikan Jibril, dan  menjelaskannya kepada pengikutnya dengan  keterangannya, Allah percaya beliau bisa jadi RasulNYA yang terakhir, karena sejak kecil HATI nya telah dicuci oleh malaikat – meskipun dia umi ( buta huruf) dan bukan ahli sastra Arab yang adhi luhung seperti yang didakwakan oleh para ahli kibab ( yahudi). Sedangkan sudah diimani bahwa ummul Qur'an, induknya semua friman Allah dalam Al Qur'an adalah Al Fatihah - yang dibuka dengan basmallah - itu salah satu isyarat inti sari dari ilmu hakikat.

Jadi nasib saya  akan lebih baik karena para ulama menafsir Al Qur’an dan Al Hadist dengan menyertakan HATI beliau beliau.

 Kalau memang ada pemimpin mereka yang sudah mampu mebedakan saku kiri dan saku kanan dari bajunya, dimana uang ditaruh, kilahnya hanya dari saku kanan saja yang dijadikan donasi gerakan sosial agama, ndak ada yang mengajari, nila sebelanga akan merusak susu segelas pendapatan hasil keringat, yang dari saku kiri sangat tebal hanya untuk memenangkan pemilu ! Sumprit, tidak didonasikan kepada yang pemimpin  juga ambil praktisnya saja. samasekali tidak diberikan pada Saracen, mana buktinya ?. Ya pasti rusak susu segelasnya, tapi kan bisa leluasa dipamerkan kemana mana.  

Artinya duit asal dari KKN, pasti bukan nila setitik, tapi sebelanga. Ulama semacam ini , jangan kuatir, tidak akan di-kriminilisasi-kan, dia akan tersingkir atas kuasa Allah. Hati tidak membedakan antara saku kiri dan saku kanan, begitu juga hati kami, karena nila sebelanga dbuat mandi oleh ulama kecil  ini, menempel di susu yang hanya sedikit, rusak semua.

Karena sudah setua ini, bila saya harus mempelajari bahasa Arab yang memang adhi luhung, ya sulit.  Dan Penafsir ini  siapapun beliau masih berguna  bagi saya sepanjang tidak mengganjal di HATI saya.  Saya memilih menyertakan HATI saya untuk menerima tafsir beliau beliau, atau mencari tafsir yang lain. Jangan kuwatir, rasa orang yang sudah meneb tidak akan bergoyang, ini PR sehari hari bagi orang jawa.

Bila HATI telah memilih, maka keimanan saya akan tambah mendalam, dan hati saya lebih tenteram.

Kan itu maksud para ulama jumhur ? Seperti Gus Mus dan  Prof. Qurais Sihab ? 

Bukan malah tidak diterjemahkan, saking sudah jadi penyebab pertengkaran antar ulama, marak berdarah darah, kayaknya kok setiap santri yang memakai jubah dan dulban, berkoar tafsir dia sendiri yang paling  benar.

Bukan mereka yang penting, tapi HATI ummat Islam yang penting, terutama di Indonesia, supaya tetap padamu Negeri. Aku berjanji. *)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More