aDaur ulang kedua: Phytecanthropus erctus
sampai Homo sapient yang paling hebat
KARYA PITHECANTHROPUS ERECTUS YANG TERHEBAT SESUDAH MEMBUAT API
KEMUDIAN MELEBUR LOGAM ADALAH MEMINTAL DAN SERAT TUMBUHAN, MENENUN BATU DAN
LOGAM dizaman moderen ini.
Karno
founding father bangsa kita, pernah bercerita, bahwa ketika beliau berkunjung
muhibah ke Korea dipemerkan kepada beliau technology yang baru didalami oleh
bangsa Korea adalah menenun batu dan memintal dan menenun logam, lama sekali
kata kata itu saya ingat. Dari semula kita tahu bahwa bangsa ini piawai dengan
kepandaian memintal dan menenun sutra (dari ulat sutera Bambuch mandarina) dan
kapas ( Gossypium spp) dari bangsa China berbarengan dengan bangsa Jepang dan
mulai mendalami kepandaian ini ribuan tahun yang lalu hampir bersamaan.
bangsa Arab
zaman perkembangan ilmu pengetahuan segera sesudah islam bakembang kebarat, dan ke timur
dari Spanjol hingga Lembah sungai Indus, para master Arab sudah menciptakan
Alat Tenun bukan Mesin, yang ditiru orang Europa sesudah perang Salib, zaman
renaissance. Bahkan begitu piawainya konon mereka telah berhasil membuat
cangkir teh yang istimewa dari tenunan sutra dan laquer, menganyam baju zirah
tali sutera dengan lempengan logam yang enteng namun sangat kuat. Ya kenapa Bung
Karno kita terkesan dan menceriterakan itu kapada kita ? Lima puluh tahun
sesudah itu mendadak dalam pikiran saya sangat tergoda, bahwa benar, bangsa
bangsa di dunia ini dari zamam ke zaman , semenjak mereka masih merunuti
evolusi sebagai Phytecanthropus erectus jutaan tahun yang lalu, mempergunakan
tangan, jemari tangan dan kaki untuk membuat alat, dengan itu mereka berjuang
bersama sama menaklukkan alam liar, antaranya harimau bertaring pedang,
bersamaan dengan itu otaknya berkembang timbal balik dengan kepiawaian jari
jemarinya menjadi Homo sapient dan layak untuk Adam dan Hawa, memberikan wadag
kepada beliau berdua untuk hidup di dunia yang keras ini. Sehingga barang siapa
dari Homo sapient ini yang tidak bercampur darah dengan bani Adam, selanjutnya
akan punah karena kurang bisa menguasai alam, menguasai nafsunya begitulah
pemikiran saya yang menjadikan bathin saya tenteram, disamping tidak mampu
membantah theory Darwin yang berdasarkan penelitian yang mendalam, sedang aku
hanya salah satu pemerhati ilmu Biology, aku juga pengikut ajaran Islam, jadi
aku mengamini dua duanya, sebagai asal usul manusia dengan wadag Homo sapient
dan rokh Adam (Ajaran Kiai Kodratullah dari Banten- anggauta MPR tahun
1966-1971) Bangsa Polynesia menganyam daun pandan dijadikan layar perahu
katamaran mereka hingga sekarang menaklukkan semudra Pasifik tropis konon
ribuan tahun yang lalu, mewarisi kita dengan buah buahan dan umbi umbian yang
tersebar sampai keseluruh Nusantara. Alat temali perahunya dipintal dari serat
pisang abaca, serat daun lontar yang tahan air laut, dan layarnya dari anyaman
daun pandan, yang tidak terlau kuat . Pendek kata katamaran ini bisa tahan
berbulan bulan berlayar dilaut. Bangsa Viking melayari samudra Atlantik konon
sampai ke Greenland dan Canada dengan perahu Viking yang relatip kecil, saya
kira kerena kebisaan mereka menenun sebangsa kain dari pintalan benang wool
yang seratnya tidak terlalu panjang sehingga benangnya harus agak tebal karena
dipintal dari beberapa puluh serat wool dan layar yang besar akan menganggu
keseimbangan perahu yang kecil itu, meskipun kain wool tidak menyerap air, tapi
bisa sangat berat bila sebentar saja ketempelan air, kena hujan. Akhirnya
bangsa Mesir ribuan tahun yang lalu dan juga bangsa Aria dan Dravida dari India
berhasil membuat kain yang kuat dengan bobot ringan basah maupun kering dari
kapas Mesir dan kapas tepian gurun Rajahstan yang seratnya panjang hingga 40
mm. Meskipun bangsa Dravida mencampurnya dengan serat kenaf (bahahasa Parsi -
google) Hibiscus canabinus ini baru terjadi pada zaman pertengahan. Sehingga
perahu mereka tidak besar, karena tidak ada layar yang cocok untuk luasan itu
tanpa menganggu keseimbangan perahu. Toh perahu jenis yang dilukis di Borobudur
sudah cukup besar untuk pindah ke Nusantara dengan muatan ternak kerja dan
petani dari Benggali, walau masih harus bercadik. Sedang bangsa Mesir sudah
puas dengan perahu yang tidak begitu besar hilir mudik sepanjang sungai Nil,
tanpa keperluan untuk membuat layar yang besar akan tetapi ringan, angin kuat
dari gurun telah memanjakannya dengan kain layar dipintal dari serat kapas
Mesir yang mencapai 4 cm panjangnya, cukup kuat untuk perahu yang mengangkut
balok balok batu piramida setiap balok dengan berat beberapa ton. Nah baru pada
zaman pertengahan keahlian memintal dan menenun bangsa yang mendiami dataran
rendah anak benua Europa, mempu memintal dan menenun serat flax atau linen (
Linus usitassium- google) cukup kuat dan ringan bila basah suhingga bisa jadi
layar pendorong kapal kayu yang berat berat tanpa terlalu membebani
keseimbangan perahu perahu besar itu. (Jadi kuat untuk membawa meriam
perunggu/besi yang berton- ton beratnya) Kanapa bangsa kita tidak menggunakan
serat dari lain tumbuhan pada zaman itu seperti serat rami ( (Bohmeria rami)
atau Abaca (Musa textilis)? Yang terang kita tidak punya varietas kapas yang
cocok untuk benang yang tipis dan kuat sampai saat ini –( blog ide subagyo –
kapas kita) ya alahualam, nyatanya kita punya armada Majapahit ya sudah
menggunakan perahu tipe Madura yang walau kecil tapi sangat lincah
(manuvreable). Perahu Bugis yang lebih besar sampai beberapa puluh ton berkat
dikuasainya technology membuat kain sutra di Sulawesi Selatan, pada zaman
pertengahan. Lain halnya bangsa China, mereka sudah ribuan tahun menguasai technology
pembuatan kain sutra yang tipis dan kuat, tidak terlau menyerap uap air,
sehingga dapat jadi layar pendorong perahu jung yang berat dan besar, melayari
samudra dengan armada besar seperti Laksamana Cheng Ho pada zaman petengahan.
Udah cukup bukti bahwa kepandaian memintal dan menenun dari bahan baku yang ada
di lingkungannya telah menghantarkan bangsa bangsa di Dunia ini untuk maju
mendahului bangsa lain. Sesudah zaman baru bangsa bangsa berlomba menenun baja
dan semen menjadi beton pratekan ( pre stressed), bangunan pencakar kangit,
kemudian terancam dihancurkan oleh perang nuclear. Kita tidak ikut, gigit jari dipinggiran. Sesudah itu bangsa bangsa berlomba untuk memintal dan menenun
logam langka menjadi diode/ semi conductor dan menenunnya jadi computer super
canggih, memintal serat kevlar (google) dan menenun rompi jadi anti peluru
teroris .Kita tidak ukut. Bersama itu bangsa maju seluruh Dunia berlomba lomba
memintal dan menganyam informasi, menciptakan jaringan komunikasi sampai
menguasai seluruh dunia dengan neoliberalisme, kita jadi korban naik turunnya
konjucture, menguasai jaringan stock pangan dan energy sedunia, karena harus
dibeli dengan US dollar. Sebagai hiburan mungkin sesudah kurun waktu
kebingungan massal ini, kita bisa menenun persahabatan dengan tetangga kita
yang pernah miskin untuk barter bahan pangan dan bahan industry, ndak perlu
mengadakan US dollar. Kita bisa
bekerja sama dengan bangsa bangsa di dunia ini berusaha memintal dan menenun
hidup harmonis dan wajar satu sama lain, mngkin kita bisa berkontribusi, karena
kita telah berhasil menaklukkan nafsu kita untuk korupsi, suhingga duit ada
untuk membangun sekedarnya, tanpa didasari oleh individualisme hewani
perorangan, dan indiviudalisme hewani bangsa Mungkin kita bisa menunjukkan pada
bangsa bangsa lain bahwa kita bisa jadi Khalifah Allah di Bhumi dengan
berazaskan bismillahirakhnanirrakhim karena kita sudah mengorbankan hidup dari
terlalu banyak saudara saudara kita berkat kebodohan dan kesempitan pandangan
kita, yang akhirnya dunia dapat menerima sebagai azas hidup yang alami dan
mudah. Karena alam, iklim dan tanah air baik terhadap kita bisa mendidik kita
jadi makhluk yang mampu mempraktekkan azas bismillahirakhanirakhim. Betapa
alami azas yang sama sama dilupakan oleh kebanyakan bangsa bangsa ini, kita
membangun tenunan yang kuat sepanjang zaman dengan azas yang mudah dan alami
yaitu bismilahirakmanirakhim dari serat serat perbuatan kita terhadap sesama
hidup, sebagai bekal jalan untuk barlayar kekedalaman kosmos*)
0 comments:
Posting Komentar