edisi ke 2 : PERKEMBANGAN +ISLAM SESUDAH MAJAPAHIT DI PULAU JAWA+ dari blog sesudah di edit 3/1/2018
Yang jelas, Majapahit runtuh bukan karena perang dengan siapapun, melainkan disebabkan oleh landasan ekonominya telah runtuh, tanpa bisa diantisipasi jauh jauh hari. Kapal jung dari China, menjadi lebih besar, guna mengangkut beras yang lebih dibutuhkan, dan tidak bisa dilayani oleh pelabuhan pedalaman, di pinggir kali Brantas di Wilwatiktapura, sekarag sekitar Trowulan, Mojokerto sekarang, sangat mendangkal karena endapan pasir vulkanik dari gunung api di daerah tangkapan airnya, terutama gunung Kelut, dan gunung Anjasmoro.
Sedangkan memang komoditas beras sangat memerlukan transportasi dari sawah peninggalan zaman sebelumnya, sawah dengan pengairan berundak di lereng lereng gunung yang terpencar pencar, sehingga sulit sekali untuk mendapatkan ready stock beras sebanyak muatan 3-4 jung besar dalam waktu sebulan misalnya, katakaan sampai 1000 ton beras di pelabuhan dalam, dengan draft 2 -2,5 meter, di laut Jawa atau selat Madura. Sedangkan ulama islam, sejak berdirinya kerajaan Majapahit telah membangun persawahan pasang surut dan persawahan di rawa rawa muara bengawan Solo dekat hunian kaum muslim di Gresik, sejak pada abad ke 12 M. dengan teknologi dari Mesopotamia, menggunakan alat pengukur optik, ciptaan Al Haitham, ulama islam ahli optika, disempurnakan dari kebudayaan Babylonia, oleh ulama islam, dari prototype teodolit, untuk mengukur kontur dasar rawa. Rawa yang luas dengan cepat dipetakan untuk rencana pembangunan saluran saluran pengairan, bisa diukur meskipun dari wilayah rawa yang luas. oleh sunan Kalijogo, dan gurunya sebelum zaman Demak. Menggunakan dasar rawa paling dalam untuk dilewati saluran pematus guna menurunkan permukaan air di area yang sama sama tergenang air, baik rawa pasang surut maupun rawa akibat aliran sngai terhambat, seperti di Demak Bintoro, karena aliran sungai melewati lembah buntu seperi Demak Bintooro, jadi dasar rawa yang tinggi menjadi cukup dangkal untuk tanam bibit padi, menjadi lahan sawah, yang bisa mendapat air pengairan sepanjang tahun. Pencetakan lahan baru sawah ini tidak bertentangan dengan kekuasaan Majapahit, malah mendatangkan penghasilan dari katakanlah “pajak” exportnya. Dengan demikinan selanjutnya pondasi dari kerajaan islam Demak Bintoro menjadi kokoh. Karena sekitar Demak memang areal rawa yang sangat luas, bisa di cetak sawah puluhan ribu hektare, karena dari tangkapan air di lereng timur gunung Merapi Merbabu, lereng utara pegunngan Kendeng, lereng timur dan selatan gunung Telomoyo di Semarang, terhadang ke laut oleh kaki dan lereng selatan gunung Muria !! . Satu satunya pematus rawa itu adalah sungai Welahan dari Demak ke Jepara. Maka pematusan rawa Demak dibuat di hilir terendah dari kali tersebut, dan hulunya adalah rawa Demak disitu dibuatkan saluran saluran ke hilir menyatu dengan hilir sungai Welahan yang diberi pintu untuk mengatur tinggi air permukaan rawa.
Yang jelas, Majapahit runtuh bukan karena perang dengan siapapun, melainkan disebabkan oleh landasan ekonominya telah runtuh, tanpa bisa diantisipasi jauh jauh hari. Kapal jung dari China, menjadi lebih besar, guna mengangkut beras yang lebih dibutuhkan, dan tidak bisa dilayani oleh pelabuhan pedalaman, di pinggir kali Brantas di Wilwatiktapura, sekarag sekitar Trowulan, Mojokerto sekarang, sangat mendangkal karena endapan pasir vulkanik dari gunung api di daerah tangkapan airnya, terutama gunung Kelut, dan gunung Anjasmoro.
Sedangkan memang komoditas beras sangat memerlukan transportasi dari sawah peninggalan zaman sebelumnya, sawah dengan pengairan berundak di lereng lereng gunung yang terpencar pencar, sehingga sulit sekali untuk mendapatkan ready stock beras sebanyak muatan 3-4 jung besar dalam waktu sebulan misalnya, katakaan sampai 1000 ton beras di pelabuhan dalam, dengan draft 2 -2,5 meter, di laut Jawa atau selat Madura. Sedangkan ulama islam, sejak berdirinya kerajaan Majapahit telah membangun persawahan pasang surut dan persawahan di rawa rawa muara bengawan Solo dekat hunian kaum muslim di Gresik, sejak pada abad ke 12 M. dengan teknologi dari Mesopotamia, menggunakan alat pengukur optik, ciptaan Al Haitham, ulama islam ahli optika, disempurnakan dari kebudayaan Babylonia, oleh ulama islam, dari prototype teodolit, untuk mengukur kontur dasar rawa. Rawa yang luas dengan cepat dipetakan untuk rencana pembangunan saluran saluran pengairan, bisa diukur meskipun dari wilayah rawa yang luas. oleh sunan Kalijogo, dan gurunya sebelum zaman Demak. Menggunakan dasar rawa paling dalam untuk dilewati saluran pematus guna menurunkan permukaan air di area yang sama sama tergenang air, baik rawa pasang surut maupun rawa akibat aliran sngai terhambat, seperti di Demak Bintoro, karena aliran sungai melewati lembah buntu seperi Demak Bintooro, jadi dasar rawa yang tinggi menjadi cukup dangkal untuk tanam bibit padi, menjadi lahan sawah, yang bisa mendapat air pengairan sepanjang tahun. Pencetakan lahan baru sawah ini tidak bertentangan dengan kekuasaan Majapahit, malah mendatangkan penghasilan dari katakanlah “pajak” exportnya. Dengan demikinan selanjutnya pondasi dari kerajaan islam Demak Bintoro menjadi kokoh. Karena sekitar Demak memang areal rawa yang sangat luas, bisa di cetak sawah puluhan ribu hektare, karena dari tangkapan air di lereng timur gunung Merapi Merbabu, lereng utara pegunngan Kendeng, lereng timur dan selatan gunung Telomoyo di Semarang, terhadang ke laut oleh kaki dan lereng selatan gunung Muria !! . Satu satunya pematus rawa itu adalah sungai Welahan dari Demak ke Jepara. Maka pematusan rawa Demak dibuat di hilir terendah dari kali tersebut, dan hulunya adalah rawa Demak disitu dibuatkan saluran saluran ke hilir menyatu dengan hilir sungai Welahan yang diberi pintu untuk mengatur tinggi air permukaan rawa.
Lha ulama Jawa, mulai dari para wali zaman Demak, telah mengajarkan ilmu hakikat islami dan makrifat islami digali dari isyarat isyarat dalam syari’at islami yang kasat mata. ( tembang dolanan ilir Ilir itu ciptaan para wali)
Diajarkan secara estafet, sorogan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi untuk mengatasi ajaran dharma dan karmapala yang tanpa ampun terhadap segala kesalahan manusia, dari agama sebelumnya. Karena isyarat yang diberikan oleh bacaan dan gerakan sholat itu adalah inti sari ilmu hakikat islami dan makrifat islami, yang di design oleh ALLAH subhanahuwata’alla sangat sederhana dan mudah dimengerti oleh manusia diseluruh dunia. Jadi ilmu hakikat islami dan ilmu makrifat islami tidak sulit sulit amat untuk dimengerti dan dijiwai oleh para murid para wali tanah Jawa, dan anak pinak murid muridnya, meskipun belakangan sesudah Demak sangat banyak ulama belajar dari Timur tengah berdakwah dikalangan akar rumput dengan besorban dan jubah, brewok jenggot aneka macam, menawarkan sorga dan menjatuhkan ke neraka mereka yang secara kasat nata beda dengan dia. Malah menyebarkan ramalan ramalan akhir zaman,mereka artikan secara harfiah, seperti kembali ke kekhalifahan islam yang lebih luas dan hebat, Padahal ramal meramal adalah tidak islami, asing bagi islam. Apabila pada permulaan kerajaan islam di Jawa, para ulama ikut berperan aktip membangun dasar ekonomi dengan membangun pondasi ekonomi, sawah rawa, sesudah Kasultanan Demak bintoro fungsi ulama islam surut, karena tidak berperan dalam kemajuan ekonomi, baik infra structure maupun perdagangan, karena gangguan alur pelayaran yang semakin gawat dari pembajakan galleon galleon Portugis, yang tidak bisa diatasi, mungkin juga kerusakan saluran di rawa rawa akibat pendangkalan oleh lahar dingin, atau sengketa hak atas lahan sawah rawa, kesulitan untuk mengerahkan tenaga gotong royong pekerjaan raksasa yang berat dan makan waktu, mungkin ketiga tiganya mejadi sebab ditinggalkannya wilayah Demak Bintoro.
Sesudah Raden Patah sebagai Sultan partama kemudian Pati Unus sebentar dan diteruskan oleh Sunan Prawoto, yang mati terbunuh, diganti Sultan Traggono, dasar pondasi karajaan islam yang pertama ini pudar, artinya exsport beras ke China sangat terganggu, entah karena produksi beras dari lahan rawa terganggu secara masif oleh pendangkalan saluran saluran, tanpa bisa diperbaiki, akibat lahar dingin, atau macetnya angkutan jung besar besar karena pencegatan oleh kapal kapal galleon dari petualang petualang Portugis yang dirintis untuk pertama kali dengan pelayaran ke timur mengitari benua Afrika oleh Vasco da Gama, pada akhir abad ke 14, karena Pati Unus pernah kalah dalam perang laut melawan galleon galleon ini apa keduanya, tapi kenyataan sejarah, telah terjadi perpindahan ibu kota Kasultanan Islam ke Pajang dengan Sultan satu satunya adalah Hadiwijoyo, putra menantu Sultan Trenggono, Sultan terakhir kerajaan Demak Bintoro, sultan kerajaan Pajang ini bergelar Sultan Hadiwijoyo. Kerajaan baru ini hanya didukung oleh produksi beras dari lembah tepi barat bengawan Solo, sawah berpengairan dari sumber air di ngarai, lembah antara lereng barat kaki gunung Lawu sampai tepian timur bengawan Solo ,lembah antara pegunungan kapur di selatan, Gunung Merapi dan Merbabu di barat dan Pegunungan kapur Kendeng di utara, merupakan dataran rendah bengawan Solo, kali Pepe dan kali Dengkeng di dataran landai menyatu dengan bengawan Solo, sebagai anak sungai yang sangat pendek mengalir di lembah berbentuk seperti alat penggorengan. Dengan ketinggian beberapa puluh meter diatas permukaan laut. Perpindahan ibu kota sekaligus pengalihan rekayasa teknik pengairan sawahnya.- juga membuat surutnya pegaruh para ulama islam dalam politik pemerintahan para Sultan, mulai zaman Panemhana Senopati di Mataram Kerto, Amangkurat I Mataram Plered, dn Kartasura kemudian pecah dua jadi Srakarta Hadiningrat dan Ngayogyokarto Hadiningrat.
Dari semula, pada zaman terdahulu, sawah berpengairan merupakan modal kekuasaan semua kerajaan di pulau Jawa, kecuali Majapahit. yang bertumpu pada perdagangan rempah rempah. Tidak seperti kerajaan Hindu yang hingga sekarang masih ada di pulau Bali, menciptakan sistim saluran pengairaan subak sebagai penopang ekonominya., dikepalai oleh kaum brahmana sebagai Sedahan agung. Bila persawahan rawa ini dimotori oleh para ulama islam yang menyediakan teknologi sekaligus para santrinya, sebagai tenaga penggerak pembuat saluran, oleh sebab itu sidang para Wali sangat besar pengaruhnya terhadap pemerintahan Sultan Sultannya. Maka pengairan dari sumber dataran rendah ( umbul Cokro, umbul Pengging) adalah danau kecil di dataran 70 - 80 m diatas permukaan laut. Dengan debiet lk. 1500 liter per detik, setiap sumbernya, digunakan sebagai pengairan sawah dengan sistim saluran ke areal sawah bawahnya, hingga tepian barat bengawan Solo. Wilayah yang oleh Penjajah Belanda disebut Vorstenlanden. Yang pemiliknya adalah Sultan, dengan pengelolanya para pejabat dan keluarga kerajaan hingga tingkat prajurit, sedang para ulama adalah abdi Sultan, tidak mempunyai “lungguh” sawah diwilayah kerajaan baru ini, apalagi ikut majelis kerajaan. Adapun setelah diperintah tiga Sultan, pembunuhan amirul mukminin di tanah Arab jauh sebelumnya, pendukungnya mengajukan pembenaran pembenaran dengan ngotot, sehingga sangat menimbulkan pertentangan, diantara kaum muslimin, gemanya sampai kesini juga setelah berabad abad. Lha ulama Jawa, demi menghindari dari dampak itu, mulai dari para wali zaman Demak, telah mengajarkan ilmu hakikat islami dan makrifat islami digali dari isyarat isyarat dalam syari’at islami yang kasat mata. Diajarkan secara estafet, sorogan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi juga untuk mengatasi ajaran dharma dan karmapala yang tanpa ampun terhadap segala kesalahan manusia, dari agama sebelumnya.
Karena isyarat yang diberikan oleh bacaan dan gerakan sholat itu adalah inti sari ilmu hakikat islami dan makrifat islami, yang di design oleh ALLAH subhanahuwata’alla sangat sederhana dan mudah dimengerti oleh manusia diseluruh dunia. Jadi ilmu hakikat islami dan ilmu makrifat islami tidak sulit sulit amat untuk dimengerti dan dijiwai oleh para murid para wali tanah Jawa. Apabila pada permulaan kerajaan islam di Jawa, para ulama ikut berperan aktip membangun dasar ekonomi dengan membangun persawahan dari lahan rawa. Lantas pemiliknya siapa ?
Tapi menurut kebiasaan leluhur zaman sebelumnya “perdikan” yang ada, yaitu tanah sawah yang dibebaskan dari pajak, terpaksa masih dipertahankan. Perdikan ini pada zaman Sultan Islam, sangat sering menjadi sumber perselisihan, para pemangku perdikan sejak zaman Hindu terutama zaman Majapahit yang sudah sibuk dengan perdagangan rempah rempah, sebaliknya dengan para Sultan islam, yang menjadi penerusnya, sangat tergantung pada hasil sawahnya, sangat memperhitungkan penghasilan berasnya, bahkan pemberontakan, seperti yang terjadi di Mangir dan Kajoran pada era kerajaan Mataram abad ke 16 -17 yang selalu dapat dipadamkan. Sedangkan pada zaman kasultanan Demak saja yang masih didukung oleh persawahan rawa luas untuk exsport, masih membutuhkan log/gelondong kayu jati dari Wengker ( wilayah Ponorogo) yang sangat mudah dihanyutkan lewat kali Madiun anak sungai bengawan Solo. Demak merasa dirintangi oleh pemangku wilayah sebagian dari Wengker, dibawah keturunan pemangkunya yang mendapat mandat dari Majapahit, Kiageng Kutu. Sosok sakti dari sincretisme Islam Hindu jawa. Demak tepaksa minta tolong kepada Kiageng Gribig dari Sengguruh/Malang sekarang, yang telah membersihkan kaum Bhairawa di sana. Beliau merupakan turunan ketiga dari Sunan Giri Kedaton. Moyang Sunan Giri Kedaton ini Syech Jumadil Qubro pendahulu dari wali islam di Demak, telah mengalahkan aliran nyleneh dari hinduisme, yaitu aliran Bhairawa. ( google, idesubagyo.blogspot.com Matahari Terbit di Wilwatikapura tayangan 2013) . Kiageng Gribig mengirimkan putranya Kiageng Mirah, untuk membantu utusan Demak, Bhatoro Katong, sehingga Kiageng Kutu bisa ditaklukknan. Untuk selanjutya keturunan Kiageng Mirah bermukim di Ponorogo, salah satunya adalah Kiageng Ngalimuntaha Mohammad Besari yang dimakamkan di desa Nglames. utara Madiun, kecamata mBagi. Pada akhir Perang Diponegoro beliau sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, masih menyelenggarakan sistim lintelijen lapangan yang sangat diperlukan oleh pasukan gerilya perang Jawa ini ( 1825-1830), dengan mengamati gerakan pasukan Marsose Belanda dari Benteng Ngawi, yang merupakan pertemuan sungai Madiun dan Bengawan Solo, Ngawi sangat strategis karena merupakan jalan angkutan perahu ke tiga arah, ke Ponorogo -, Madiun, ke Solo dan ke Surabaya. Berita gerakan pasukan lewat ketiga arah ini dipantau dan diberitakan dengan puluhan kurir terpercaya sambil membawa pesan berupa kacang tertentu sebagai contoh dagangan, ( jumlah pasukan) para kurir berkuda secara estafet, kurir yang kesehariannya menyewakan kereta kudanya ke para marsose senior yang memelihara istri simpanan di desa desa, sedang kuda kudanya bila perlu bisa dikendarai oleh kurir dengan cepat, ke tiga jurusan, sehingga kurir kurir ini tidak tahu siapa sebenarnya penerima contoh dagangan dan disampaikan kepada siapa. Saat daerah Nganjuk mamanas, pada akhir perang Jawa, setengah batalion marsose dari Ngawi dikirim ke timur mudik sungai Madiun, mendarat di desa Mbagi, untuk melanjutkan dengan baris jalan cepat, 55 km ketimur, lewat lereng utara gunung Wilis. Di tepian barat sungai Mediun, tepatnya di ladang kering desa mBagi, sudah dihadang oleh pasukan gerilya simpatisan Diponegoro, dan dipukul mundur, dengan banyak korban, dikenal dengan perang Mbagi. Sang Kiai sepuh sangat hati hati, berendah hati, selamanya tidak pernah pergi dan menerima tamu asing, sehingga tidak diketahui peranan-nya baik oleh kawan maupun oleh lawan. Itulah yang membuat upayanya sebagai intelijen tidak terungkap sampai perang Jawa dimenangkan oleh Belanda. Hanya gambarnya dibuat kumpeni untuk arsip, dan pengawasan gerak geriknya, sebagai sosok cerdas, yang bisa diduga juga memiliki pengetahuan strategi militer. sampai sekarang masih ada. Hanya dekat sekali dengan rumahnya didirkan sekolah sampai kelas lima, oleh kanjeng Gupermen, sesuai dengan kebutuhan kecakapan yang diperlukan oleh para kepala mandor kebun tebu (kometir- gecomiteerde) dan pegawai kecil di kaonderan dan kawedanan, istilanya program pasifikasi, sampai th 1952 sekolahan itu masih ada, sedang di dekat masjid lain misalnya di Gebang Tinatar tidak didirkan sekolahan semacam itu, apalagi di desa.
Banyak nama ulama dengan nama Besari di kawasan Madiun Ponorogo Pacitan dan Solo, seperti Ki Ageng Anom Besari, yang makamnya di Caruban, ,dan banyak sosok Besari, yang kiranya merupakan murid dari satu ulama sufi, sangat mungkin beliau berasal dari Lebanon sekarang. Para murid beliau yang berhasil menguasai ilmu sang guru, seperti Kiai Ageng Ngalimuntaha Mohammad Besari dari desa Nglames Madiun diperbolehkan memakai nama beliau, juga Kiai Ageng Muhammad Besari dari Gebang Tinatar, Ponorogo. Kiai Imam Besari di Jatisobo, Bekonang Solo, dari Pacitan, sebab kata Besari di Libanon adalah nama satu tempat dekat dengan tempat kelahiran sastrawan humanist zaman ini, yang bermukim di Amerika, Kahlil Gibran (google kata kunci the birth place of Kahlil Gibran). Jadi pasti ada ilmu sufi/makrifat islam dan hakikat islam yang sama dari semua yang menyandang nama Besari. nama ulama Besari ratusan tahun yang lalu, dari wilayah Yogya, Pacitan, Solo, Ponorogo, Madiun, Caruban, belum pasti mereka dari satu induk pohon ginealogi, tapi mungkin juga putra/kerabat, rupanya para generasi ke tiga sudah tidak berhak memakai nama itu. meskipun telah di wejang ilmu ini dari tangan ketiga, yang pasti mendapat ajaran yang sama. Yaitu ilmu HAKIKAT ISLAMI DAN MAKRIFAT ISLAMI, yang intinya tentu cocok dengan ajaran para wali jawa terdahulu.
Kedua pengetahuan islam ini hingga sekarang di Saudi Arbia sangat dibatasi penyebarannya, oleh Pemerintah Saudi Arabia (google kata kunci Sumanto al Qurtubi – Wahabi KW ) beliau seorang lecturer mengenai science di Riyad King Faisal University. Rabaan saya, ajaran hakikat islami dan makrifat islami dengan isyaratnya dalam kalimah toyibah menunjukkan hanya al Qur’an dan Al Hadist sajalah asal aturan nas dan salaf, bukan dari yang lain, sedangkan generasi yang ada dibawah khalifaurasyiddin saja, telah menodai dirinya dengan pembunuhan pembunuhan amirul mukinin-nya. Sehingga banyak hujah untuk pembenarannya yang bias menimbulkan pertentangan, diantara muslimin, makanya abad ke 15 M ulama islam di jawa sangat berusaha menghindari dampak hujah hujah itu, dengan ilmu hakikat islam dan makrifat islam langsung dari sumbernya bacaan dan gerakan utama sholat wajib, dan sunnah nabi pada awal wahyu diturunkan, waktu masih belum ada suku atau kabilah yang ikut ikut, kemudian merasa berhak sebagai penerus jadi Amirul Mukminin, melainkan perorangan, dan istri Nabi Muhammad s.aw..belum ada dukung mendukung. Para Wali menelad sebagai patokan para sahabat Nabi yang tercocok karena cakaplah maka dipilih jadi Amirul Mukminin,
Persawahan rawa yang lebih unggul dari persawahan berundak dalam transportasi hasilnya, padahal kerajaan Pajang dan Mataram mendasari ekonominya dengan sistim pengairan dari sumber air dataran rendah, tanpa bantuan dari kaum ulama, juga masih kesulitan dalam transportasi hasilnya, Hasil karya pembangunan sarana ekonomi ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh para penguasa. Di Kesultanan Mataram, mulai dari pendirirnya – Panembahan Senopati, mendasari pengairan sawahnya dengan membendung sungai di Wilayah Yogya sekarang, sungai sungai yang mengalir ke selatan, yang merupakan sungai pendek dengan wilayah penangkapan air di lereng tinggi gunung dan dataran tinggi – beberapa kilometer sepanjang pinggang gunung membentuk jurang dalam, akhirnya beberapa puluh kilometer dibawahnya membentuk kipas lahar dingin di wilayah luas terbentuk dalam waktu jutaan tahun, peberapa puluh kilometer menjadi sungai dangkal, yang mengalir deras didataran rendah, mudah sekali dibendung dan dinaikkan permukaannya dengan sistim bendung “plered” jaitu luncuran sisa aliran air sungai yang tidak masuk dalam saluran pengairan. Bangunan bendung sistim plered ini menjadikan bendung lebih kuat menahan air bah, dalam legenda bangunan pengairan ini menjadi nama pusaka andalan Mataram tombak Kiai Plered - saya kira in hanya samaran dari andalan kerajaan Mataram. yaitu bendung yang berupa plered.
Juga bendung batu kali rendah untuk mengalirkan air pengairan kedataran kipas lahar dingin yang sudah melapuk berabad adad sebelumnya, sudah memadai untuk mengairi sawah areal itu beberapa puluh hingga ratus hektare. Jelas sistim saluran pengairan ini tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi, dari para ahlinya, yang semula dimiliki oleh para wali islam tanah Jawa. Tidak heran nama istana keraton ibu kota Mataram zaman pemerintahan sesudah Sultan Agung diganti dengan nama Plered, disitu air sungai dinaikkan dialirkan ke saluran irigasi, untuk mengingatkan abdi petani, bahwa sang Sultanlah yang menghadiahi air. sebagai "Trahing kusumo rembesing madhu, satrya handana warih, tedhake wong hamara tapa" begitu dilukiskan sebagai tembang suluk janturan para dhalang wayang purwa ”. Handana warih artinta memberi sedekah air - irigasi Sebelumnya ibu kota Mataram namanya Karto. Sedangkan gelar Sultan Agung adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo Senopati hing alogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah tanah Jawa. Tanpa di jajari oleh pemuka agama- ulama atau sidang para ulama. Malah pada pemerintahan Amangkurat I, terjadi suatu masacre pembununuhan besar besaran terhadap para ulama di Plered/Kerto konon menurut buku terjemahan oleh Belanda “Babad Tanah Jawi” huruf latin, dalam satu hari telah dibunuh 10 000 ulama islam di ibu kota, didakwa berkomplot melawan Sultan. Saya kira ini sangat dibesar besarkan, demi politik devide et impera Belanda yang sangat ampuh. Buku ini susah payah diterbitkan dalam tulisan latin, oleh percetakan J,B,Wolters, Groningen Batavia, agar dibaca olen kaum abangan yang tercipta oleh etische politiek di Hindia Belanda,yang akan menimbulkan jijik kaum menengah kepada penguasanya: para Sultan. Selanjutnya terjadi exodus, pelarian besar besaran para ulama dan santrinya dari ibu kota dan kawasan sekitarnya ribuan keluarga para santri dan ulama, lewat route selatan yang sepi, sepanjang pegunungan kapur selatan, Wonosari Wonogiri Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungangung Kediri Jombang selatan Bangil Pasuruan Probolinggo Lumajang Jember hingga Asembagus. Di lokasi lokasi tersebut bertebaran para ulama dan santri pelarian ini bermukim.
Persawahan rawa yang lebih unggul dari persawahan berundak dalam transportasi hasilnya, padahal kerajaan Pajang dan Mataram mendasari ekonominya dengan sistim pengairan dari sumber air dataran rendah, tanpa bantuan dari kaum ulama, juga masih kesulitan dalam transportasi hasilnya, Hasil karya pembangunan sarana ekonomi ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh para penguasa. Di Kesultanan Mataram, mulai dari pendirirnya – Panembahan Senopati, mendasari pengairan sawahnya dengan membendung sungai di Wilayah Yogya sekarang, sungai sungai yang mengalir ke selatan, yang merupakan sungai pendek dengan wilayah penangkapan air di lereng tinggi gunung dan dataran tinggi – beberapa kilometer sepanjang pinggang gunung membentuk jurang dalam, akhirnya beberapa puluh kilometer dibawahnya membentuk kipas lahar dingin di wilayah luas terbentuk dalam waktu jutaan tahun, peberapa puluh kilometer menjadi sungai dangkal, yang mengalir deras didataran rendah, mudah sekali dibendung dan dinaikkan permukaannya dengan sistim bendung “plered” jaitu luncuran sisa aliran air sungai yang tidak masuk dalam saluran pengairan. Bangunan bendung sistim plered ini menjadikan bendung lebih kuat menahan air bah, dalam legenda bangunan pengairan ini menjadi nama pusaka andalan Mataram tombak Kiai Plered - saya kira in hanya samaran dari andalan kerajaan Mataram. yaitu bendung yang berupa plered.
Juga bendung batu kali rendah untuk mengalirkan air pengairan kedataran kipas lahar dingin yang sudah melapuk berabad adad sebelumnya, sudah memadai untuk mengairi sawah areal itu beberapa puluh hingga ratus hektare. Jelas sistim saluran pengairan ini tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi, dari para ahlinya, yang semula dimiliki oleh para wali islam tanah Jawa. Tidak heran nama istana keraton ibu kota Mataram zaman pemerintahan sesudah Sultan Agung diganti dengan nama Plered, disitu air sungai dinaikkan dialirkan ke saluran irigasi, untuk mengingatkan abdi petani, bahwa sang Sultanlah yang menghadiahi air. sebagai "Trahing kusumo rembesing madhu, satrya handana warih, tedhake wong hamara tapa" begitu dilukiskan sebagai tembang suluk janturan para dhalang wayang purwa ”. Handana warih artinta memberi sedekah air - irigasi Sebelumnya ibu kota Mataram namanya Karto. Sedangkan gelar Sultan Agung adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo Senopati hing alogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah tanah Jawa. Tanpa di jajari oleh pemuka agama- ulama atau sidang para ulama. Malah pada pemerintahan Amangkurat I, terjadi suatu masacre pembununuhan besar besaran terhadap para ulama di Plered/Kerto konon menurut buku terjemahan oleh Belanda “Babad Tanah Jawi” huruf latin, dalam satu hari telah dibunuh 10 000 ulama islam di ibu kota, didakwa berkomplot melawan Sultan. Saya kira ini sangat dibesar besarkan, demi politik devide et impera Belanda yang sangat ampuh. Buku ini susah payah diterbitkan dalam tulisan latin, oleh percetakan J,B,Wolters, Groningen Batavia, agar dibaca olen kaum abangan yang tercipta oleh etische politiek di Hindia Belanda,yang akan menimbulkan jijik kaum menengah kepada penguasanya: para Sultan. Selanjutnya terjadi exodus, pelarian besar besaran para ulama dan santrinya dari ibu kota dan kawasan sekitarnya ribuan keluarga para santri dan ulama, lewat route selatan yang sepi, sepanjang pegunungan kapur selatan, Wonosari Wonogiri Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungangung Kediri Jombang selatan Bangil Pasuruan Probolinggo Lumajang Jember hingga Asembagus. Di lokasi lokasi tersebut bertebaran para ulama dan santri pelarian ini bermukim.
Berbaur dengan orang setempat, tentu saja pelarian pelarian ini sesuai dengan kondisi kelurganya, akan bermukim dimana mereka bakal merasa aman. Tentu saja mereka memilih daerah yang relatip subur dan air sumur untuk air wudhlu mudah didapat. Kebanyakan masyarkat petani jawa dipelosok route pengungsian ini masih setengan Hindu dan setengah menjalankan ritual animisme. Bisa ditebak para ulama yang tinggal di jalan pelarian tersebut diatas akan berinteraksi dengan penduduk petani budaya setempat, saling menyesuaikan diri. Apa yang didapat selama bermukim di kota kerajaan, tidak akan dikenal oleh penduduk setempat. Yang paling mudah menjadi pelipur lara dan dasar pergaulan dengan masyarakat setempat adalah pengertian dan toleransi terhadap budaya lain, yang masih lekat pada karmapala dan dharma sayup sayup, ada pada sanubari penduduk setempat, sedang ajaran agama islam dipilih yang paling sesuai dengan siituasi. Merekalah cikal bakal pesantren yang ada di sepanjang route pengungsian abad ke 17 tersebut. Untuk memimpin masyarakat pelosok yang masih setengah animis ini, yang sangat menarik minat mereka terhadap ajaran para pendatang baru ini sdalah semacam ilmu gaib, debus, rodat, reog ponorogo, kuda lumping, silat stroom, mampu menghimpun pengikut baru. Maka makin susutlah ajaran syari’ah yang mengenai larangan thakhayul, bid'ah dan khurafat.
Kekurangan para ulama dan keturunan mereka dibidang Agama islam, sedikit demi sedikit diisi oleh pengembara baru dan pendatang baru yang berguru di Mekkah dan lain tempat di timur tengah, berabad abad kemudian hingga sekarang, yang berkisar pada ilmu bahasa Arab yang adiluhung, sepeti yang dikuasai oleh Prof Qurais Sihab dan Gus Mus, adab dalam menjalankan syari’ah dan hidup secara islami seperti yang di Timur tengah,, dengan cara para habib, tanpa mempertajam ilmu hakikat islami dan makrifat islami, karena ulama yang baru datang belakangan tidak diajari peka menangkap isyarat isyarat dari syari’at islami dan bacaan wajib waktu sholat, (jangankan peka, ya Mas Pati ? Ajarannya saja kebanyakan dihapus dari khazanah ilmu ilmu penting islam ( Sumanto Al Qurtubi islaModerat.com. wahabi KW) karena dorongan watak egoisentris ulama baru dari timur tengah ini untuk menjadi guru mursyid guna mendapatkan taklid (sumpah setia, tunduk tanpa tanya) dari pengikutnya, yang berujung pada masyarakat yang monolit berkhilafah, islam thok. Ini lebih penting dari pengetahuan yang tidak kasat mata dari ajaran islam, meskipun pengaruh pengertian ilmu ilmu mengenai ajaran hakikat islam dan makrifat islam akan muncul dalam perilaku dikancah pergaulan masyarakat, bisa memancarkan watak yang sangat penting, yaitu sabar, toleran, rakhman dan rakhim terhadap sesama hidup, dan mendasari tindakan perilaku dengan ilmu ilmu nyata yang moderen. Watak idealnya priyayi jawa, sampai Belandapun tidak bisa menebak pikirannya.
Mereka kaum muslimin Jawa yang berabad abad yang lalu sudah jauh dari kekuasaan Kasultanan, bentuk kekuasaan yang sudah menuju ke autarchy feodalistis murni mulai dari Sultan Agung, malah hidup sebagai perajin bathik, tenun dengan seluruh puaknya memelihara masjid dan memberi pelajaran kepada puaknya sendiri, mengajarkan ilmu tasawuf ini dengan diam diam, menghasilkan sosok sosok islami yang hidup zuhud, dan hanya memberi petunjuk kepada anak cucunya sendiri, sambil mewarna kain bathik dan membathik atau menenun untuk menopang hidup keluarganya. Antara lain model stereortype keluarga besar Kiai Ageng Ngalimuntaha Muhammad Besari. Sedangkan waktu Perang Diponegoro beliau sudah berusia antara 70 tahunan, menciptakan jaringan informasi intelijen lapangan dengan sangat rapi, memantau gerakan militer marsose dari benteng bentengnya, antara lain yang ada di pertemuan dua sungai Bengawan Solo dan kali Madiun, benteg Ngawi.
Belakangan setelah Keturunan para ulama pelarian dari Mataram menjadi kelompok uzlah, artinya menjauhi budaya penjajah secara heroik memisahkan diri dari upaya etische politiek Hindia Belanda, bersarung nglinthing dan berbadan aking, berkudis disela jemarinya, (google, kata kunci Islam moderat) sayangnya dijalankan dengan membabi buta, terutama dalam hal menolak ilmu moderen dan hygiene. Jadi sasaran cibiran dan hinaan Mohamad Basya Dahlan agen dari Dr. Snouck Horgronje, diseludupkan di Muhammadiah, memberi dukungan dan dana besar, sekali lagi upaya memecah belah antara pengikut dua sahabat dengan devide et impera, Kiai Hasyim Ashari dan Kiai Ahmad Dahlan, dua sosok besar Islam yang sangat ditakuti Belanda, sesudah Perang Jawa.( Pekalongan.utara.bersatu.com. judul meluruskan sejarah ).
Dalam perang kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan banyak muslimin,terpesona ajaran islam dari ulama baru dari timur tengah yang penuh dengan ide khilafah diperkuat dengan slogan slogan dari kitab kitab bahasa arab, budaya timur tengah: sewaktu waktu, tumbuh sayap tegas dari pegas yang “forged in fire" muncul disetiap gerakan dan organisasinya, selalu mempunyai sayap organisasi tumbuh tanpa kendali dari organisasi induknya. Sangat sulit dipegang tindakan politik praktisnya, karena kaum tetua-nya saja masih terjebak dalam dilema mereka: Dalam "ad dien" islami. yang diperjuangkan kaum muslimin itu apa bisa berdampingan dengan masyarakat plural ? Apalagi dalam khilafah dari Sabang sampai Maroko. Untuk mencapai itu apakah bisa dengan damai ?
Padahal ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas ada. Ini nomer satu, rakyatnya pingin damai, kemakmuran dalam keadilan - harga mati.
Jangan khawatir, ndak usah plin plan, "ad dien" itu bakal mendunia, bila dodot tidak bedah di pinggir, yang kasat mata berkibar kibar menyolok mata, kalau bisa dijahit dijlumat menyatu dengan seluruh segi empat kain penghias pinggang, dodot, sangatlah elok. Seperti lambang bilangan huruf arab, nggak ada yang demo, ndak ada yang sweeping, dengan sendirinya dipakai semua orang semua computer, diseluruh dunia, pemberantasan maraknya HIV yang menetaskan AID, dari hubungan sex sembarangan yang sudah sangat dicermati pelaksanaannya oleh "ad dien". Mbok dicoba, semua santrinya mengurangi rokok ? wong secara global rokok sudah ditandai merusak kesehatan, menjadi cara yang handal untuk mengeruk keuntungan, Sedang di Arab saudi saja sudah di larang ?
Dalam aturan perdagangan islami, mendadak saja dengan cara kapitalis murni ada Negara yang menawarkan win win solution kepada negara miskin ndak kuat bayar, untuk membangun infra strucutre, mengajukan syarat mirip cara perdagangan yang dianjurkan Islam, apakah dagang cara islami ini tidak bakal mendunia ? Tanpa di demo ramai dengan gembar gembor ? Atau perang ISIL ?
Dunia perlu disayang, resources alami terbatas, kalau dunia mau selamat ya harus diatur bagaimana menggunakannya, itu namanya dalam rangka "ad Dien". Satu keyakinan ideologi : yang aturan "ad Dhien" islami ini, mau atau tidak harus diikuti oleh orang sedunia, perlu disadarkan, ndak menyinggung harga mati kita, harga mati orang Amerika orang Europa, orang Rusia orang China orang Jepang, orang Korea orang India. Kecuali si perusak alam, si pemakan rente, si hangkara murka, si kartel, si neo liberalis, menggunduli hutan, membakar gambut, menggerogoti gunung, dengan kapal ratusan ton menyeret jaring trawl/centrang ngeruk sampai kedasar lautan dangkal - lha kok ponakan njenengan malah cengengesan, membela mereka ?> sampah plastik, ya sampah politik, perusak generasi manusia dengan narcotics dan HIV, rak enggih ta Pak Yai ? Kalok gitu ya monggo kerahkan santri njenengan, ndak usah bawa golok, jadi counterparts relawan pelindung lingkungan hidup.
Sedangkan keturunan ulama jawa yang jauh dari kekuasaan, tidak menghimpun pengikut dari golongan bawah dengan daya tarik setengah magic.( Satu bait dari Wedhotomo : "Kekerane ilmu karang, kekarangane bangsane ghaib - syair Wedhotomo oleh Mangkunegoro IV.) Jadi kelompok yang pertama menggeluti ilmu barat dengan belajar di sekolah sekolah sejak zaman etische politiek 1870-1890, dan ilmu ilmu moderen dari barat, sambil mempertahankan ajaran yang tidak kasat mata, dalam ilmu hakikat islami dan makrifat islami. Hafalan-nya hanya kitab Turutan/ Jus Amak, jus yang dalam Al Qur'anul karim, berisi surah surah pendek dari Al Qur’an yang dibaca sebagai lanjutan dari ummul Qur’an Al Fatihah wajib diucapkan pada setiap roka’at. Untungnya masih ada isyarat isyarat ilmu ilmu penting yang sudah dijabarkan para wali tanah jawa jauh jauh hari, dan masih dilantunkan oleh cak Nun dengan Kiai Kanjengnya. tembang dolanan "ilir ilir" ( di postingan blog ini tepat sebelum yang anda baca ini)
Sayangnya kok di youtube tidak dijabarkan sekalian maknanya "ilir ilir" itu
Kedua model perkembangan agama islam ini bertemu di zaman pra –kemerdekaan. ,Cacatnya para Amtenaar / kaum menengah ciptaan Belanda, jadi islam abangan yang sering melupakan sholat lima waktu dan puasa wajib, malah di maklumi oleh Raja Mangkunegoro IV, dengan syair gubahan beliau mengenai etika dan moral abdi Kraton - serat Wedhotomo, pemerintah Hindia Belanda tidak membredelnya, MUI belum ada. Sedangkan para santri yang uzlah, terpesona pada hujjah para ulama yang berguru dari timur tengah, sebab bangsa kita sendiri, seperti ustadz Firanda ( google kata kunci biodata Firanda ) yang dibesarkan di Sorong Papua, bermukim disana juga tidak mengenal toleransi dengan tetangga, yang bukan golongannya pun dibilang kafir, mau tawuran, sweepingpun sulit karena setiap oasis terpisah dengan padang pasir yang luas. Dan orang Arab kini sangat menghormati kebebasan individu, hanya memperlakukan peraturan agama pada dirinya sendiri ( google, islaModerat .com, Sumanto al Qurtubi, wahabi KW) Mau demo 411 atau 212 penduduknya cuma hitungan jari, ya pindah lesini. Yang tinggal disatu oasis harus seragam, yang beda ditindas, mau lari kemana ? Tidak kekurangan apapun semua dibeli dari Amerika. Petrodollarnya masih mengizinkan.
Mereka kaum muslimin Jawa yang berabad abad yang lalu sudah jauh dari kekuasaan Kasultanan, bentuk kekuasaan yang sudah menuju ke autarchy feodalistis murni mulai dari Sultan Agung, malah hidup sebagai perajin bathik, tenun dengan seluruh puaknya memelihara masjid dan memberi pelajaran kepada puaknya sendiri, mengajarkan ilmu tasawuf ini dengan diam diam, menghasilkan sosok sosok islami yang hidup zuhud, dan hanya memberi petunjuk kepada anak cucunya sendiri, sambil mewarna kain bathik dan membathik atau menenun untuk menopang hidup keluarganya. Antara lain model stereortype keluarga besar Kiai Ageng Ngalimuntaha Muhammad Besari. Sedangkan waktu Perang Diponegoro beliau sudah berusia antara 70 tahunan, menciptakan jaringan informasi intelijen lapangan dengan sangat rapi, memantau gerakan militer marsose dari benteng bentengnya, antara lain yang ada di pertemuan dua sungai Bengawan Solo dan kali Madiun, benteg Ngawi.
Belakangan setelah Keturunan para ulama pelarian dari Mataram menjadi kelompok uzlah, artinya menjauhi budaya penjajah secara heroik memisahkan diri dari upaya etische politiek Hindia Belanda, bersarung nglinthing dan berbadan aking, berkudis disela jemarinya, (google, kata kunci Islam moderat) sayangnya dijalankan dengan membabi buta, terutama dalam hal menolak ilmu moderen dan hygiene. Jadi sasaran cibiran dan hinaan Mohamad Basya Dahlan agen dari Dr. Snouck Horgronje, diseludupkan di Muhammadiah, memberi dukungan dan dana besar, sekali lagi upaya memecah belah antara pengikut dua sahabat dengan devide et impera, Kiai Hasyim Ashari dan Kiai Ahmad Dahlan, dua sosok besar Islam yang sangat ditakuti Belanda, sesudah Perang Jawa.( Pekalongan.utara.bersatu.com. judul meluruskan sejarah ).
Dalam perang kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan banyak muslimin,terpesona ajaran islam dari ulama baru dari timur tengah yang penuh dengan ide khilafah diperkuat dengan slogan slogan dari kitab kitab bahasa arab, budaya timur tengah: sewaktu waktu, tumbuh sayap tegas dari pegas yang “forged in fire" muncul disetiap gerakan dan organisasinya, selalu mempunyai sayap organisasi tumbuh tanpa kendali dari organisasi induknya. Sangat sulit dipegang tindakan politik praktisnya, karena kaum tetua-nya saja masih terjebak dalam dilema mereka: Dalam "ad dien" islami. yang diperjuangkan kaum muslimin itu apa bisa berdampingan dengan masyarakat plural ? Apalagi dalam khilafah dari Sabang sampai Maroko. Untuk mencapai itu apakah bisa dengan damai ?
Padahal ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas ada. Ini nomer satu, rakyatnya pingin damai, kemakmuran dalam keadilan - harga mati.
Jangan khawatir, ndak usah plin plan, "ad dien" itu bakal mendunia, bila dodot tidak bedah di pinggir, yang kasat mata berkibar kibar menyolok mata, kalau bisa dijahit dijlumat menyatu dengan seluruh segi empat kain penghias pinggang, dodot, sangatlah elok. Seperti lambang bilangan huruf arab, nggak ada yang demo, ndak ada yang sweeping, dengan sendirinya dipakai semua orang semua computer, diseluruh dunia, pemberantasan maraknya HIV yang menetaskan AID, dari hubungan sex sembarangan yang sudah sangat dicermati pelaksanaannya oleh "ad dien". Mbok dicoba, semua santrinya mengurangi rokok ? wong secara global rokok sudah ditandai merusak kesehatan, menjadi cara yang handal untuk mengeruk keuntungan, Sedang di Arab saudi saja sudah di larang ?
Dalam aturan perdagangan islami, mendadak saja dengan cara kapitalis murni ada Negara yang menawarkan win win solution kepada negara miskin ndak kuat bayar, untuk membangun infra strucutre, mengajukan syarat mirip cara perdagangan yang dianjurkan Islam, apakah dagang cara islami ini tidak bakal mendunia ? Tanpa di demo ramai dengan gembar gembor ? Atau perang ISIL ?
Dunia perlu disayang, resources alami terbatas, kalau dunia mau selamat ya harus diatur bagaimana menggunakannya, itu namanya dalam rangka "ad Dien". Satu keyakinan ideologi : yang aturan "ad Dhien" islami ini, mau atau tidak harus diikuti oleh orang sedunia, perlu disadarkan, ndak menyinggung harga mati kita, harga mati orang Amerika orang Europa, orang Rusia orang China orang Jepang, orang Korea orang India. Kecuali si perusak alam, si pemakan rente, si hangkara murka, si kartel, si neo liberalis, menggunduli hutan, membakar gambut, menggerogoti gunung, dengan kapal ratusan ton menyeret jaring trawl/centrang ngeruk sampai kedasar lautan dangkal - lha kok ponakan njenengan malah cengengesan, membela mereka ?> sampah plastik, ya sampah politik, perusak generasi manusia dengan narcotics dan HIV, rak enggih ta Pak Yai ? Kalok gitu ya monggo kerahkan santri njenengan, ndak usah bawa golok, jadi counterparts relawan pelindung lingkungan hidup.
Sedangkan keturunan ulama jawa yang jauh dari kekuasaan, tidak menghimpun pengikut dari golongan bawah dengan daya tarik setengah magic.( Satu bait dari Wedhotomo : "Kekerane ilmu karang, kekarangane bangsane ghaib - syair Wedhotomo oleh Mangkunegoro IV.) Jadi kelompok yang pertama menggeluti ilmu barat dengan belajar di sekolah sekolah sejak zaman etische politiek 1870-1890, dan ilmu ilmu moderen dari barat, sambil mempertahankan ajaran yang tidak kasat mata, dalam ilmu hakikat islami dan makrifat islami. Hafalan-nya hanya kitab Turutan/ Jus Amak, jus yang dalam Al Qur'anul karim, berisi surah surah pendek dari Al Qur’an yang dibaca sebagai lanjutan dari ummul Qur’an Al Fatihah wajib diucapkan pada setiap roka’at. Untungnya masih ada isyarat isyarat ilmu ilmu penting yang sudah dijabarkan para wali tanah jawa jauh jauh hari, dan masih dilantunkan oleh cak Nun dengan Kiai Kanjengnya. tembang dolanan "ilir ilir" ( di postingan blog ini tepat sebelum yang anda baca ini)
Sayangnya kok di youtube tidak dijabarkan sekalian maknanya "ilir ilir" itu
Kedua model perkembangan agama islam ini bertemu di zaman pra –kemerdekaan. ,Cacatnya para Amtenaar / kaum menengah ciptaan Belanda, jadi islam abangan yang sering melupakan sholat lima waktu dan puasa wajib, malah di maklumi oleh Raja Mangkunegoro IV, dengan syair gubahan beliau mengenai etika dan moral abdi Kraton - serat Wedhotomo, pemerintah Hindia Belanda tidak membredelnya, MUI belum ada. Sedangkan para santri yang uzlah, terpesona pada hujjah para ulama yang berguru dari timur tengah, sebab bangsa kita sendiri, seperti ustadz Firanda ( google kata kunci biodata Firanda ) yang dibesarkan di Sorong Papua, bermukim disana juga tidak mengenal toleransi dengan tetangga, yang bukan golongannya pun dibilang kafir, mau tawuran, sweepingpun sulit karena setiap oasis terpisah dengan padang pasir yang luas. Dan orang Arab kini sangat menghormati kebebasan individu, hanya memperlakukan peraturan agama pada dirinya sendiri ( google, islaModerat .com, Sumanto al Qurtubi, wahabi KW) Mau demo 411 atau 212 penduduknya cuma hitungan jari, ya pindah lesini. Yang tinggal disatu oasis harus seragam, yang beda ditindas, mau lari kemana ? Tidak kekurangan apapun semua dibeli dari Amerika. Petrodollarnya masih mengizinkan.
Zaman mengisi kemerdekaan Indonesia dengan tantangan baru, satu Negara yang multi budaya, satu Negara yang penduduknya sudah multi agama, harus dipersatukan oleh kepentingan bersama. Mempertahankan kehidupan warganya dengan warisan kakek moyang dan cadangan bagi para generasi mendatang, dengan kemakmuran yang berkeadilan. Itu saja ditinggal lari, oleh sebagian kecil warga kita, yang mengirim uang haramnnya ke Panama, pulau Kayman, Swiss, Singapore, untuk menghindar pajak yang tidak seberapa, kartelnya disini, jadinya kapan ada kemakmuran-nya ? Di kancah penggunaan fasilitas Negara, anggaran Negara, juga Kekuasaan Negara digunakan mengeruk bersama kartel Usaha e-KTP.. Pembalakan liar, Agen kapal keruk ikan “centrang” , pemerasan anak anak buruh pabrik mercon, penimbunan beras a'la PT Ibu, impor daging sapi, penilepan trilyunan kredit bank pemerintah kita, menteri sudrun mengobral over budgetting Kementeriannya, semua gak ngaku, bersih, mulus. Ini mestinya yang jadi sasaran gerakan 411 !
Sampai disini bebas, akan jadi koruptorkah dengan berkartel dan berKKN, enyusup dengan kekuatan internasional, atau jadi warga yang zuhud sebagai warga negara yang baik, mestinya sejarah ajaran islam di Nusantara, sebagai contoh di Jawa, sudah mampu menunjukkan beda antara mereka yang egosentris despotis a’la timur tengah, grusa grusu memaksakan kehendak dari para habib - dengan/atau mereka yang mementingkan masyarakatnya dengan hidup bersih, sederhana dengan hati dan mementingkan kepentingan umum, Bangsa dan Dunia, seperti bedanya model(A) Gus Dur dan model(B) Lutfi Hasan Ishaq, sangat nyata, Pak Jokowi adalah model(A) dengan kerja kerja karja mengejar dibangunnya infra structures dasar dari kemakmuran yang berkeadilan- yang malah dicibir dilecehkan oleh warga khilafah islam dari Sabang sampai Maroko, para saracen, muslimin khilafah, malah ponakan saya sndiri yang suka nulis ujaran kebencian di face book, anggauta Front embuh membela apa, gitu kok minta direken*)
0 comments:
Posting Komentar