Saya bercita - cita semua Desa di Nusantara dipimpin oleh Sarjana Pertanian.
Betapa tidak ?
Pertama, betapa sulitnya bagi sarjana pertanian khususnya bekerja di bidang pertanian – mandiri atau terima gaji – karena Ekonomists selalu menyebut usaha pertanian adalah usaha yang “slow growth”.
Bagi sarjana ilmu Pertanian, satu - satunya tempat yang bisa memberi peluang berkarya adalah “desa”.
Kedua, kesalahan agroteknik oleh ketidak mengertian, akan berakibat sangat parah, meskipun akibat dari kesalahan itu akan nampak sangat lama, seolah -olah tidak berakibat apapun, perlu pengertian yang tidak kurang dari pengertian seorang sarjana pertanian.
Ternyata cita-cita ini tidak mudah, bukan karena kesulitan mencari atau mencetak Sarjana Pertanian, tetapi karena Desa mempunyai keunikan sendiri yang harus diperhatikan.
Desa di Jawa dan di lain pulau di Nusantara umumnya, mereka memilih Pimpinannya, baru akhir-akhir ini saja orang dari lain tempat, menjadi Pimpinan Desa, meskipun tentu saja harus dari penduduk desa tersebut.
Rata-rata di pulau Jawa pemilihan Lurah atau Kepala Desa dipilih oleh rakyat desa dewasa atau yang sudah kawin, baik lelaki atau perempuan, ada pula dahulu, pemilih adalah pemilik atau petani yang mengerjakan sawah milik pemerintah Hindia Belanda atau petani gogol.
Sebagai contoh desa-desa di pulau Jawa yang menjadi lahan tebu dulu, mempunyai sawah berpengairan yang dikususkan untuk tebu rata - rata 100 Ha, tegalan rata- rata 200 Ha, pekarangan 100 Ha, tepi jalan dan tepi saluran pengairan 20 Ha ini sangat bervariasi menurut lokasinya. Jumlah areal antara 200- 400 Ha. Persis seperti Perkebunan kecil tetapi dengan tanaman budidaya yang sangat banyak speciesnya, lagi, tenaga kerja yang melimpah.
Sedangkan tanah perkebunan seluas 100 -200 Ha dan satu macam budidaya saja, mampu membayar satu sarjana yang baru lulus.
Kenapa bekas lahan tebu?, karena lahan ini khas tanah dataran rendah pulau Jawa dan pemerintah Hindia Belanda telah membangun irigasi untuk lahan ini, merupakan lebih dari 60 % dataran rendah, dipulau Jawa.
Di luar Jawa luas satu desa jauh lebih besar dari pulau Jawa, akan tetapi pengairan yang dibangun sangat kecil prosentasenya.
Tanpa sadar, saat orang menyebut “desa”, pikirannya sudah membayangkan sawah atau ladang, tegalan dan halaman yang luas berisi tanaman buah buahan, ternak sapi kerbau dipiara, kambing dan unggas di mana-mana, kadang kadang juga kolam ikan air tawar, semua bagus hijau, teduh pokoknya tenteram dan damai.
Boleh saja, dan benar, tapi kadang kenyataannya tidak demikian.
Sawah: Umumnya sawah berpetak petak dan ditanam padi, benar.
Tapi sawah yang sangat luas, milik beberapa puluh desa berhimpitan tanpa batas yang jelas, rentan terhadap hama dan penyakit.
Hama ”wereng” (Nilaparvata lugens Stal. Dan bangsanya Sogatella furcifera, Nephotettix nigropictus) menyerang hamparan padi tanpa ampun hingga kini. hama ini merebak secara luas sangast cepat. Misalnya tahun 75 an, padi mengering sampai puluhan ribu Ha. (hopper burn), juga menularkan virus ( sebagai vector ) “grassy stunt” rumpun padi yang mengerdil mirip rumput/ dan bila ”dibawa” menular sesudah malai kaluar, malai akan hampa total. Telah diciptakan VUTW (varietas unggul tahan wereng) meskipun sekarang sudah tidak dipakai lagi.
Sudah diciptakan satu set aturan menanam padi untuk menanggulangi hama ini, toh tidak dilaksanakan dengan consistent.
Penanaman dengan budidaya di luar musim, untuk memperoleh harga premium, seperti semangka pada musim hujan, atau tomat dan terung-terungan dalam musim hujan, hanya mengandalkan pestisida untuk melindungi dari hama dan penyakit, toh dikerjakan demi harga yang tinggi, tapi memerlukan “ilmu dan pengetahuan” pertanian yang luar biasa.
Sawah menjadi rusak akibat secara terus menerus ditanam padi dengan tergesa-gesa tiga kali setahun, yang perlu pengertian ilmiah untuk menghindarinya, karena harga beras lagi baik.
Ladang: Pada lahan yang miring sangan rentan terhadap erosi, sebenarnya hanya cocok untuk tanaman keras, toh ditanam singkong dan padi - padian.
Pekarangan dan tegalan: Lahan pekarangan dan tegalan, meskipun luas, sangat tidak produktif.
Segala tanaman perkebunan sebenarnya juga adalah tanaman tegalan, artinya, tanaman yang biasa ditanam di lahan tanpa pengairan, tapi semua tanaman tegalan dan pekarangan milik petani rata-rata tidak menurut aturan perkebunan,
Bisa ditebak bagaimana produktivitasnya, kuantitatif maupun kualitatif. Tidak heran bila di pasar- pasar, buah buahan lokal yang merupakan hasil tanaman tegalan dan pekarangan petani kita tidah berkualitas bagus, sebagus buah-buahan import, bahkan dengan harga yang sama, sedangkan buah-buahan yang selalu berkualitas baik meskipun ditanam asal-asalan seperti Manggis (Carcinia mangostana L ) malah hilang dari pasaran karena langsung diexport, (siapa bilang asal-asalan, dia ini kabarnya tidak mau dipindah, langsung mati bila dipindahkan !). Tapi dengan teknik putar gali yang bagus Manggis bisa dipindahkan.
Lahan pinggir jalan desa-desa, pinggir saluran irigasi yang punya de facto ya desa, ini selain rumput tidak ada, padahal diproduktif-kan juga bisa, malah syukur biasanya ditanam Turi ( Sesbania spp ) bunganya dibuat sayur pical – “C” dari cicak kata orang Suriname, kayunya baik untuk kertas berserat pendek, sayang pabrik kertasnya bangkrut karena BUMN. Bukannya merugi karena harga produknya murah tapi karena korupsi.
Sebenarnya sudah ada contohnya, di Jawa Timur ada desa yang didiami oleh suku Madura daerah Tanggul/Wonorejo - Lumajang, desa itu nyaris tanpa sawah beririgasi, tetapi karena di pulau Madura sawah berpengairan hanya sedikit sebab topografi pulau Madura tidak mengizinkan, para petani sangat memperhatikan tanaman pekarangan seperti mangga (Mangifera indica L) Petai (lupa nama latinnya) Nangka (Artrocarpus atilis Fosberg) rambutan (Nephelium lappaceum L) buah buahan cash crops dengan pasar luas dan stabil. Petanidisana sudah memangkat cabang tanammya dengan aturan, digergaji tepat pada pangkal percabangannya miring, supaya tidak dibuat sarang cendawan.
Lha petani di Jawa sejak zaman dahulu bertanam padi, bahwa ada tegalan dan pekarangan biasa ditanam kelapa ( Cocos nuciferaL) dan pisang (Musa sapientum L) selebihnya entah mengapa benar-benar diabaikan. Kelapanya lambat laun hilang karena hama (ada tulisan khusus mengenai ini ), pisangnya sudah terinfeksi cendawan Fusarium daunnya mengering sebelum waktunya, bacteri Psedomonas bakteri Xantomonas yang buahnya didalam hitam dan beracun maka pulau Jawa masih untung dapat support dari Kalimantan dan Sumatra agarpisang terutana varietas saba di pasar tetap ada.
Nampak jelas, desa adalah pusat produksi pangan yang teramat penting, bila di pelayaran laut, ada ketentuan seorang Nakhoda kapal harus mengenal ilmu pelayaran yang formal artinya dididik dan diberi ijazah oleh Departemen Pelayaran (juga armada nyamuk yang berlayar antar pulau)--- Lha ini setiap desa di Nusantara adalah produsen pangan kenapa tidak dipimpin oleh sarjana pertanian ? Kan Pemerintah tidak mbayari, dibayar oleh tanah bengkok/gantinya gaji, (sudah mulai dihapus) ?
Melihat kondisi banyaknya species tanaman dudidaya, perlunya mengaudit semua tanaman bisa menghasiknan dengqan mutu buah yang baik apa tida, yabg bisa membuat design tataa ruang dan pergiliran tanaman tiidak nanggung-nanggung, seorang Sarjana Pertanian bukan lulusan lain. SMK kejuruan pertanian, lulusan sekolah ini (kalau sekolah ini masih ada) sebagai second in command di desa desa. Malah second in commeand di Kabupaten, Kecamatan dan Desa sebagai Kepala Dusun, kenapa?, karena SMK pertanian kalaupun ada belum matang umur sebagai Kepala Desa, dan ilmu yang diajarkan setaraf lebih rendah dari sarjana S1 pertanian, meskipun dengan meningkatnya pengalaman dan umur, wawasan selalu tidak biisa dengan sendirinya berkembang, seperti sarjama peertanian dibidangnya.
Kita cukup tahu bahwa setiap desa adalah unik, potensinya dan topografinya lain lain, juga bakatnya terhadap tanaman, yang memerlukan banyak pertimbangan ilmiah tidak kurang dari laboratorium lapangan untuk pertanian, sebuah kapal di samudera yang harus dipimpin oleh seorang kapten.
Lagipula tidak membebani Pemerintah karena gaji dibayar oleh Desa ( tanah un
tuk dikerjakan di Jawa namanya “bengkok” atau “tanah ganjaran”).
Seandainya kini, jumlah sarjana pertanian kurang banyak, ya seadanya dulu, senyampang sangat sulit mencari pekerjaan yang cocok bagi sarjana pertanian, setidak- tidaknya bisa terdaftar sebagai pengikut pemilihan Kepala Desa, meskipun bukan/belum jadi penduduk desa tersebut.
Yang penting ada Peraturan Pemerintah yang mendukung sarjana pertanian mana saja untuk menjadi Kepala Desa dimana saja.
Saya sudah berumur 73 pada saat nulis tulisan ini, saya edit setelah berumur 78 tahun, toh saya masih membayangkan pedesaan di Negara ini seperti yang saya cita citakan.
Saya tidak mengetahui seluruh pedesaan yang ada di negeri ini, tapi pasti setiap desa di negeri ini penduduknya mendapatkan nafkahnya besar atau kecil dari usaha pertanian, di perairan darat atau laut, perikanan plus pertanian juga. Desa, sebagai desa lain diseluruh Dunia pasti ada Pemimpinnya atau Ketuanya atau orang yang dituakan istilah kerennya pemimpin formal dan pemimpin non formal. Skarang demi produktivitas dak kualitas product pertanian, sangan perlu sarjana pertanian memimpin desa, sebab lahan percontohan disetiap kecamatan yang culup luas disediakan oleh Pemerintah Kolonial Nindia Belanda sudah dibuat bancakan habis, bisa kantor Koramil, bisa kantor Kecamatan dan perumahan pegawainya, yang tidak langsung berhubungan dengan pertanian.
Saya yakin di negeri ini ada jutaan desa, mulai yang paling tertinggal sampai yang paling maju, semua menyumbangkan hasil buminya kepada manusia lain di negeri ini, jadi secara Nasional bila makanan tidak cukup, selalu tujuan mata yang pertama adalah pertaniannya alias pedesaannya, ada apa dengan desa kita ? Adalah salah besar bila Pemimpin kita hanya melihat angka statistik nasional berapa kita mampu mengadakan suatu komoditas pertanian yang dibutuhkan kemudian import dari negeri lain, habis perkara, meskipun mengenai tepung gandum sekalipun.
Negeri ini sudah dijajah 350 tahun oleh Kerajaan Belanda, tapi di pedesaan di Jawa dari dulu tetap memilih pimpinannya dengan azas pemilihan umum.
Konon, pada sekitar tahun 1830, saat habis perang Diponegoro penduduk pulau Jawa masih sangat banyak yang buta huruf latin (sementara yang melek huruf Jawa maupun huruf Arab gundul juga tidak banyak), sekolah dasar didirikan oleh Pemerintahan Kolonial Belada sebagai tindakan pacifikasi sambil menyediakan tenaga mandor untuk Pabrik gula yang aedang gnecar gencarnya dibangun di Pulau Jawa. tapi bentuk pendidikan di Asram, bentuk pendidikan di Pesantren tentu sudah ada.(*)
(Oleh : Ir. Subagyo, M.Sc Alumni S1 dan S2 Jurusan Agroteknologi-Agronomi Universitas Patricia Lumumba , Moskwa , Russia, raih gelar M.Sc tahun 1966 di Moskow, Russia).
0 comments:
Posting Komentar