Kisah kepahlawanan anak manusia sepanjang zaman selalu dikenang dan dimuliakan oleh masyarakat, bahkan bertahan sampai turun temurun. Di sini jelas ada dua unsur yang tak perisahkan yaitu disatu sisi sosok manusia yang telah berhasil memperlihatkan dirinya muncul kepermukaan dari rata-rata manusia biasa dalam ketulusannya demi umat manusia, disisi yang lain ada masyarakat yang cukup tulus dalam menilai sesamanya yang berjasa seperti batu permata di antara kerikil biasa.
Dia adalah Manusia Sejati, yang artinya memiliki kesejatian Manusia yang rakhman dan rakhim membekas kuat dalam tindakannya sehingga rela mengorbankan kepentingan pribadinya. Kenapa ketulusan dari dua sisi ini menjadi syarat utama dari apresiasi kepahlawanan seorang sosok anak manusia ?
Hubungan dua hal yang tak terpisahkan dan mengandung unsur pertentangan antara kepentingan manusia sebagai makhluk individu dengan kepentingan manusia sebagai makhluk sosial – cenderung tercermin dalam pertentangan bathin setiap individu antara suara nurani dan suara lain yang sangat piawai dan cerdik memenangkan kepentingan pribadi – malah secara kolektip menjadi palsu dan culas. Kapan terjadi pertentangan diametral antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat ? Bila egosentrisitas telah memperluas dirinya: dia sendiri dia dengan keluarganya, dia dengan puaknya, dia dengan sukunya, dia dengan bangsanya, dia dengan dengan umat seimannya, dia dengan seluruh manusia, tinggal menambah predikat “sentris” saja. Egosentrisitas – tamak dan culas, seperti Korun yang memendam hartanya yang sangat buanyak juga seperti Fir’aun, puak sentris dan famili sentris seperti Jendral Besar Suharto menjadi nepotisme, bangsa sentris menjadi chauvinistic, manusia sentris menjadi syndrome curiga pada “alien” yang semua pasti monster, dst. Ya so pasti, ada yang menjunjung Fir’aun menjadi “pahlawan nasional” Mesir, ya pasti ada yang menjunjung Jendral Besar Suharto alm. menjadi pahlawan nasional Indonesia, ya pasti ada yang menjunjung Hitler sebagai pahlawan nasional Bangsa Jerman, ya pasti ada yang doyan menonton film Hollywood “The Independence’s Day” dengan “pahlawan umat manusia” sosok berwajah Semit ahli computer pencipta program virus computer yang berhasil memporak perandakan “alien” yang monster predator, berusaha menghancurkan Bumi. Lantas, yang pantas dikaji adalah “siapa” mengangkat “siapa” sebagai Pahlawannya, entah lokal, nasional, atau universal, si “siapa” ini pasti sudah biasa menjadikan “diri”nya atau kelompoknya harus diturut orang lain, mau atau tidak mau.
Hubungan dua hal yang tak terpisahkan dan mengandung unsur pertentangan antara kepentingan manusia sebagai makhluk individu dengan kepentingan manusia sebagai makhluk sosial – cenderung tercermin dalam pertentangan bathin setiap individu antara suara nurani dan suara lain yang sangat piawai dan cerdik memenangkan kepentingan pribadi – malah secara kolektip menjadi palsu dan culas. Kapan terjadi pertentangan diametral antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat ? Bila egosentrisitas telah memperluas dirinya: dia sendiri dia dengan keluarganya, dia dengan puaknya, dia dengan sukunya, dia dengan bangsanya, dia dengan dengan umat seimannya, dia dengan seluruh manusia, tinggal menambah predikat “sentris” saja. Egosentrisitas – tamak dan culas, seperti Korun yang memendam hartanya yang sangat buanyak juga seperti Fir’aun, puak sentris dan famili sentris seperti Jendral Besar Suharto menjadi nepotisme, bangsa sentris menjadi chauvinistic, manusia sentris menjadi syndrome curiga pada “alien” yang semua pasti monster, dst. Ya so pasti, ada yang menjunjung Fir’aun menjadi “pahlawan nasional” Mesir, ya pasti ada yang menjunjung Jendral Besar Suharto alm. menjadi pahlawan nasional Indonesia, ya pasti ada yang menjunjung Hitler sebagai pahlawan nasional Bangsa Jerman, ya pasti ada yang doyan menonton film Hollywood “The Independence’s Day” dengan “pahlawan umat manusia” sosok berwajah Semit ahli computer pencipta program virus computer yang berhasil memporak perandakan “alien” yang monster predator, berusaha menghancurkan Bumi. Lantas, yang pantas dikaji adalah “siapa” mengangkat “siapa” sebagai Pahlawannya, entah lokal, nasional, atau universal, si “siapa” ini pasti sudah biasa menjadikan “diri”nya atau kelompoknya harus diturut orang lain, mau atau tidak mau.
Yang pantas disimak bahwa bangsa Belanda mengangkat Gubernur Jendral Jan Pieter Zoon Coen sebagai Pahlawan Nasional Bangsa Belanda, bisa dimengerti itu haknya. Akan tetapi bila ada diantara mereka yang mencanangkan supaya Van Mook bossnya Westerling yang mengisyaratkan untuk menggelar atrocities dan terror di tanah jajahan dengan pembunuhan massal guna mematahkan semangat perlawanan rakyat jajahan, juga dihormati sebagai Pahlawan, atau dianugerahi bintang Jasa dari Orde manapun dari Bangsa Belanda, kita bakal merasa merasa muak.
Meskipun sama sama pelanggar HAM berat, Van Mook tidak memperkaya diri keluarga dan kroninya selama tiga puluh lima tahun, meninggalkan hutang ribuan trilyun(*)
0 comments:
Posting Komentar