hamparan sawah menghijau |
Ada pendapat di antara para Peneliti di bidang sejarah budi daya Pertanian mengatakan bahwa asal-usul budi daya Padi (Oryza sativa L) antara lain di Nusantara, ditandai dengan banyaknya varietas padi alami di wilayah ini. Ada dua type varietas di Nusantara yaitu tipe padi yang gabahnya berbulu atau Varietas Indica dan type padi yang gabahnya gundul yaitu varietas Japonica, hingga kini keduanya masih dibudi dayakan oleh para Petani kita.
Padi Bulu umurnya (masa vegetasi) lebih panjang, antara 5 – 6 bulan, bulirnya panjang dan tidak rontok. Sedang type Japonica gabahnya gundul dan umurnya hanya 120 – 130 hari. Postur batangnya lebih pendek juga bulirnya dan gabahnya mudah rontok bila masak.
Cara penanaman ada dua macan, dilahan kering - jadi ditugal, artinya benih dimasukkan ke lubang tanam yaitu tanah gembur yang di “lubangi” dengan tongkat runcing/tugal - dan cara yang lebih canggih ditanam dari bibit atau batang padi yang baru perumur 20 – 25 hari dikecambahkan dan dibesarkan hingga 20 -25 hari di pembenihan.
Cara pertama digunakan dilahan huma yang boleh miring, maklum huma adalah lahan yang baru dibuka dari “hutan atau semak belukar” cara pertanian yang primitip yaitu “slash and burn” atau perladangan yang berpindah pindah. Cara kedua jauh lebih canggih, yaitu lahan disiapkan sebagai “sawah” artinya sebidang petak lahan yang dilelilingi tanggul, guna membendung genangan air sedalam 15 cm – 20 cm dan lahan dibersihkan dari gulma yaitu tumput dan tumbuhan liar kemudian dijadikan “bubur” lumpur yang rata air dan bersih – inilah sepetak swah yang siap tanam selama lebih dari sebulan bebas sari benih benih rumput liar karena terendam air. Sedangkat bibit padi ditanam sudah cukup tinggi berumur mulai 20 hari, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 hari untuk “bangun” sesudah di pindahkan ke sawah, sekaligus lebih kuat dari rumput liar dan dapat dibedakan dengan mudah.
Genangan air bisa di dapat dari hujan atau air pengairan, atau keduanya. Di pulau Jawa padi lahan kering disebut padi “gogo”, padi lahan sawah disebut padi “sawah”, ada dua macam sawah yatiu sawah “tadah hujan” atau hanya mendapat air untuk membuat genagan bubur lumpur dari hujan, dan sawah berpengairan, mendapatkan air dari saluran sistim poengairan, atau keduanya
Selanjutnya untuk mengawali dongeng tentang padi, sistim Pengairan ada dua macam yaitu pengairan tradisional yang dibangun dan digunakan ribuan tahun yang lalu, dan sistim Pengairan Teknis yang dibangun semenjak industri Gula dibangun di pulau Jawa 150 tahun yang lalu, meskipun mungkin di Pamanukan –Ciasem dan di Tangerang bisa jauh lebih awal, sistim pengairan teknis melulu untuk budidaya padi. Sistem Pengairan tradisional air pengairan mengalir dari petak sawah satu ke petak sawah di hilir berikutnya lewat pematang yang di “bedah”, sedangkan Pengairan teknis, air pengairan sampai ke petak sawah hanya lewat saluran air. Saluran pengairan teknis, mulai dari hulu yaitu Bendung (misalnya Bendung Jatiluhur, Bendung Ir. Sutami) atau Bendungan (Katulampa –Bogor, Bendungan Karet yang ikutan naik turun dengan permukaan sungai seperti di sungai Brantas – Jawa Timur) atau instalasi Pompa dari sungai Ombilin konon khusus untuk lahan sawah di Sitiung Sumatra Barat.
Air pengairan teknis dari hulu sampai ke sawah harus lewat pintu pintu air `yang dibangun tetap dan terukur debietnya dalam liter per detik, tambahan dari curah hujan hanya bisa ditampung sebatas kemampuan Bendung (kelebihan dibuang lewat saluran pelimpah) atau bila kelebihan air di petak sawah, selalu harus `dibuang ke saluran pembuangan –kecuali darurat banjir yan sayangnya kini terlalu sering.
Saluran pengairan teknis dari hulu ke sawah adalah saluran Primer, saluran Sekunder, Saluran Tersier (mengairi kurang lebih 100 ha sawah petak tersier) , dari saluran tingkat atas ke tingkat bawah air harus terukur lewat pintu pintu air yang bisa mengatur debiet yang diperlukan, dari saluran petak tersier air mengalir ke petak petak sawah masing masing lewat “saluran cacing” jarang lewat pematang yang dibedah.
Sekarang dongeng dimulai :
Bisa dibayangkan betapa sulit bagi Petani huma dengan lahan padi gogo yang mereka tanam pada permulaan musim hujan, mereka menugal benih padi di lahan yang baru dibersihkan dari hutan semak belukar, umumnya dengan dibakar, tanah yang relatip bersih tanpa sumput rumpai , setelah hujan tiba bersamaan dengan penugalan benih padi, semua biji bijian terutama rumput dan semak liar bersamaan juga ikut nimbrung tumbuh, terutama rumput liar, sampai bulan pertama sesudah penugalan benih padi, tanaman padi bayi sangat sulit dibedakan dengan rerumputan liar, sehingga penyiangan sangat lambat, apabila terlambat menyiang tanaman akan kalah bersaing dengan tumbuhan rumputan liar dan terlanjur kurus kurang gizi. Babi hutan dan hama dan tikus menyusul datang , saat padi berbulir burung burung pipit mulai berpesta. Begitulah ribuan tahun berjalan nyaris tanpa surplus panen untuk diperdagangkan, sehingga aneh, kapan Pulau ini dinamai pulau Jawa, atau Jawa Dwipa, atau Pulau Padi ?
Anak Benua India telah berkembang jauh lebih dulu dari Jawa Dwipa, expedisi demi expedisi dikirim oleh masyarakat maju dari Atas Angin (angin muson tropis di utara katulistiwa bertiup ke timur sepanjang katulistiwa merupakan angin buritan perahu perahu dari Teluk Bengali. Entah expedisi besar-besaran yang keberapa mereka ini cukup membawa penumpang yang akan bertani, membuka lahan untuk bertani dan mencangkok pranata social yang cocok untuk organisasi sawah berpengairan. Pokoknya di Pulau Jawa sistim gogo yang kurang produktip semakin diganti dengan sistim padi sawah, sesudah masyarakatnya mampu mencetak sawah berpengairan, mengorganisasi pengairan dengan banyak kelebihan agroteknis, dan memungkinkan bertanam padi musim kemarau. Peninggalan situs situs sejarah masih bisa berguna untuk merunut peristiwa besar ini.
Type padi yang dikembangkan saat itu hingga ribuan tahun sesudahnya di Pulau Jawa adalah type Indica, hasil dari huma maupun dari sawah, Cultivar (varietas yang asalnya dari hasil seleksi manusia) yang terbaik berasnya ditanak menjadi nasi pulen dan harum sudah menjadi mata dagangan Pulau ini sejak itu, juga kerena surplus cukup besar, mungkin saat itu julukan Jawa (juwawut – padi padian) diberikan kepada pulau ini
Ke Pualu Jawa didatangkan dari India jenis kerbau yang lebih besar Bubalus anee L lebih besar dari Bubalus mindoroensis L yan kini masih umum dipelihara di Phillipina, para Ksatria membangun hierarchy Pemerintahan dan menugaskan kaum Brahmana merancang sistim pengairan beserta organisasi “exploitation and maintenance” saluran pengairan dan bendung bendung, yang sampai kini menjadi sistim yang unggul yaitu sistim pertanian “Subak” di Bali , bukan saja menyangkut air pengairan tetapi juga “pranoto mongso” waktu waktu yang tepat untuk mulai bertanam berbagai tanaman di lahan sawah, maka tercipta pola pergiliran tanaman yang tecatat rapi merupakan hasil pengamatan ribuan tahun dihubungkan dengan peredaran rasi rasi bintang dan orbit Bumi – dikerjakan oleh para Brahmana dari generasi ke generasi, begitu rupa sehingga ciri khas setiap lokasi sistim saluran pengairan mempunyai pranata mongso yang `mampu menjamin hasil optimal dari seluruh wilayahnya, begitulah tidak ada anggauta Subak yang semaunya menanami lahan sawahnya dengan budidaya yang dipilihnya sendiri masing masing, saat dan pilihan budidaya diperhitungkan oleh Pimpinan Subak. Sistim petanian Subak di Bali sama dengan sistim pertanian dengan pengairan di Jawa Dwipa, Disiplin patuh pada aturan masyarakat ini dasar Budaya Petani yang merupakan mayoritas penduduk Jawa Dwipa zaman itu jauh sebelum “ Techniek van Irrigatie” ditrapkan untuk Tebu.
Tidak mengherankan bila situs situs Kota Raja ada di lereng lereng gunung dengan elevasi 400 m – 600 m diatas muka laut sangat sering ditandai, seperti di Panjalu, Jawa Barat, di Pikatan wilayah Temanggung Jawa Tengah, Prambanan Yogya, Singhasari Jawa Timur, dimana anak sungai masih dapat dengan mudah dibendung dan airnya dialirkan sepanjang punggung lereng tempat tertinggi yang melandai ke bawah, dengan pertolongan aliran air itu pencetakan petak petak sawah ber- undak, bertingkat tingkat kebawah dapat di kerjakan dengan tenaga dan teknologi yang ada saat itu. Bendung dan sistim saluran pengairan beserta jadwal pembagian air di selenggarakan petani sendiri, dibawah pimpinan para Brahmana yang ndak mempan disuap dan tidak pilih kasih, begitu pula dalam mengemban tugasnya yang tak kurang penting yaitu menentukan besarnya “pajak” yang tidak pernah memberatkan petani. Para Brahmana ini mampu menetapkan dengan akurat jadwal dan jumlah distribusi air ke setiap petak milik masyarakat tani pemakai air atas nama Raja, menjadikan Raja Raja di Jawa Dwipa di anggap “Trahing Kusuma Rembesing madu, tedhaking handana warih” yang artinya pernah disajikan di Majalah ini: Keturunan bunga Surgawi yang mengalir darinya madu kehidupan dan Penerus keturunan pemberi air pengairan – Begitulah hingga sekarang ideal stereotype dari Ksatria di pulau Jawa, diharapkan melekat pada Pengemban Kekuasaan, yang didambakan tapi belum pernah datang. Sejak Sang Erlangga.
Selain itu dijuluki Ksatria Sabrang, Bhuta Cakil. Sebangsa Cyrus Cakil, yang di Pewayangan suka lagak, membentak bentak tapi tidak sakti, Bhuto Gayus Galiuk, semua dari golongan bangsa raksasa rendahan yang kepalanya botak perutnya besar jauh dari sakti, suka harta melebihi tuannya Maharaja bangsa raksasa malah masih menguasai Nusa Jawa karena memang lahir dari di kepundan Gunung Merapi – Sang Super pecinta Harta, yang “daripada” badannya selalu berbau belerang, mangkat, setiap tetes lendir daripada jazadnya “aken” berubah menjadi Bhuta Cakil dan Galiuk “semangkin” beribu ribu , hinga sekarang melekat seperti jelaga diseantero Nusantara menutupi matahari. Jelaga ini akan tercuci sampai pertanda surja sangkala : ” su-Kerta-ning Bhumi Sirna dening Ogha-ning kawula.” Artinya ( jelaga keringat dan lendirnya Sang Superpecinta Harta yang menjadi Bhuta Yaksa yang menutupi Nusantara akan terkikis habis pada tahun surya tersandi pada surya sangkala diatas), begitulah yang tertera pada Prasasti yang ditemukan di Gayungsari - Terung (sekarang Surabaya) , baru tahun ini.
Tokoh tokoh penjilmaan lendir mayat Rahwana ini bukan idealnya penghuni Jawa Dwipa.(*)
0 comments:
Posting Komentar