Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 30 Juli 2011

Dongeng Budidaya Padi di Pulau Jawa

hamparan sawah menghijau

Ada pendapat  di antara para Peneliti di bidang sejarah budi daya Pertanian  mengatakan bahwa asal-usul budi daya Padi (Oryza sativa L) antara lain di Nusantara, ditandai dengan banyaknya varietas padi alami di wilayah ini.   Ada dua type varietas di Nusantara yaitu tipe padi yang gabahnya berbulu atau Varietas Indica dan type padi  yang gabahnya gundul yaitu varietas Japonica, hingga kini keduanya masih dibudi dayakan oleh para Petani kita.
Padi Bulu umurnya (masa vegetasi)  lebih panjang,  antara 5 – 6 bulan, bulirnya panjang dan tidak rontok. Sedang type Japonica gabahnya gundul dan umurnya hanya 120 – 130 hari. Postur batangnya lebih pendek juga bulirnya dan gabahnya mudah rontok bila masak.
Cara penanaman  ada dua macan,  dilahan kering - jadi ditugal, artinya  benih dimasukkan ke lubang tanam yaitu tanah gembur yang di “lubangi” dengan  tongkat runcing/tugal  - dan cara yang lebih canggih ditanam dari bibit atau batang padi yang baru perumur 20 – 25 hari  dikecambahkan dan dibesarkan hingga 20 -25 hari di pembenihan.
Cara pertama digunakan dilahan huma yang  boleh miring, maklum huma adalah lahan yang baru dibuka dari “hutan atau semak belukar”  cara pertanian yang primitip yaitu “slash and burn” atau perladangan yang berpindah pindah. Cara kedua jauh lebih canggih, yaitu   lahan disiapkan sebagai “sawah” artinya  sebidang petak lahan yang dilelilingi tanggul,  guna membendung genangan air sedalam 15 cm – 20 cm  dan lahan dibersihkan dari gulma yaitu tumput dan tumbuhan liar kemudian dijadikan “bubur” lumpur yang rata air dan bersih – inilah sepetak swah yang siap tanam  selama lebih dari sebulan bebas  sari benih benih rumput  liar karena terendam air.  Sedangkat bibit padi ditanam sudah cukup  tinggi  berumur mulai 20 hari,  hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 hari  untuk “bangun”  sesudah di pindahkan ke sawah,  sekaligus lebih kuat  dari rumput liar  dan dapat dibedakan dengan mudah.
 Genangan air bisa di dapat dari hujan atau  air pengairan, atau keduanya. Di pulau Jawa padi lahan kering disebut padi “gogo”, padi lahan  sawah  disebut padi “sawah”, ada dua macam sawah yatiu sawah “tadah hujan” atau hanya mendapat air untuk  membuat genagan bubur lumpur dari hujan, dan sawah berpengairan,  mendapatkan air dari saluran sistim poengairan, atau keduanya
Selanjutnya untuk mengawali dongeng tentang padi, sistim Pengairan ada dua macam yaitu pengairan  tradisional yang dibangun dan digunakan ribuan tahun yang lalu, dan sistim Pengairan Teknis yang dibangun semenjak industri Gula dibangun di pulau Jawa 150 tahun yang lalu,  meskipun mungkin di Pamanukan –Ciasem dan  di Tangerang bisa  jauh lebih awal,  sistim pengairan teknis melulu untuk budidaya padi. Sistem Pengairan tradisional air pengairan mengalir dari petak sawah satu ke petak sawah di hilir berikutnya lewat pematang yang di “bedah”, sedangkan Pengairan teknis, air pengairan sampai ke petak sawah hanya lewat saluran air.  Saluran pengairan teknis, mulai dari hulu  yaitu Bendung (misalnya  Bendung Jatiluhur,  Bendung Ir. Sutami)  atau Bendungan (Katulampa –Bogor, Bendungan Karet yang ikutan naik turun dengan permukaan sungai seperti di sungai Brantas – Jawa Timur)  atau instalasi Pompa  dari sungai Ombilin konon khusus untuk lahan sawah di  Sitiung Sumatra Barat.
Air pengairan teknis dari hulu sampai ke sawah  harus lewat pintu pintu air `yang dibangun tetap  dan terukur debietnya dalam liter per detik, tambahan dari curah hujan hanya bisa ditampung  sebatas kemampuan Bendung (kelebihan dibuang lewat saluran pelimpah) atau bila kelebihan air di petak sawah,   selalu harus `dibuang ke saluran pembuangan –kecuali darurat banjir yan sayangnya kini terlalu sering.
Saluran pengairan teknis dari hulu ke sawah adalah saluran  Primer, saluran Sekunder,  Saluran  Tersier  (mengairi kurang lebih 100 ha sawah petak tersier) , dari saluran tingkat atas ke tingkat bawah  air harus terukur lewat pintu pintu air yang bisa mengatur debiet yang diperlukan, dari saluran petak tersier air mengalir ke petak petak sawah  masing masing lewat “saluran cacing” jarang lewat pematang yang dibedah.
Sekarang dongeng dimulai :
Bisa  dibayangkan betapa sulit bagi Petani huma dengan  lahan padi gogo yang mereka tanam pada permulaan musim hujan, mereka menugal benih padi di lahan yang baru dibersihkan dari hutan semak belukar, umumnya dengan dibakar, tanah yang relatip bersih tanpa sumput rumpai , setelah hujan tiba bersamaan dengan penugalan benih padi, semua biji bijian terutama rumput dan semak liar bersamaan juga ikut nimbrung tumbuh, terutama rumput liar, sampai bulan pertama sesudah penugalan benih padi,   tanaman padi bayi sangat sulit dibedakan dengan  rerumputan liar,  sehingga penyiangan  sangat lambat, apabila terlambat menyiang tanaman akan kalah bersaing dengan tumbuhan rumputan liar dan terlanjur kurus kurang gizi.  Babi hutan dan hama  dan tikus   menyusul datang , saat padi berbulir burung burung pipit mulai berpesta. Begitulah  ribuan tahun berjalan nyaris tanpa  surplus  panen untuk diperdagangkan,  sehingga aneh, kapan Pulau ini dinamai pulau Jawa, atau Jawa Dwipa, atau Pulau Padi ?
Anak Benua India telah berkembang jauh lebih dulu dari Jawa Dwipa,   expedisi demi expedisi dikirim oleh masyarakat maju dari Atas Angin (angin muson tropis di utara katulistiwa bertiup ke timur sepanjang katulistiwa merupakan angin buritan perahu  perahu dari Teluk Bengali. Entah expedisi besar-besaran yang keberapa  mereka ini cukup membawa penumpang yang akan bertani, membuka lahan untuk bertani dan mencangkok  pranata social yang cocok untuk organisasi  sawah berpengairan. Pokoknya di Pulau Jawa  sistim gogo yang kurang produktip semakin diganti dengan sistim padi sawah, sesudah  masyarakatnya mampu  mencetak sawah berpengairan,  mengorganisasi pengairan  dengan banyak kelebihan  agroteknis, dan  memungkinkan  bertanam padi musim kemarau.   Peninggalan situs situs sejarah  masih bisa berguna untuk merunut peristiwa besar ini.
Type padi yang dikembangkan saat itu hingga ribuan tahun sesudahnya di Pulau Jawa  adalah type Indica, hasil dari huma maupun  dari sawah, Cultivar (varietas yang asalnya dari hasil seleksi manusia)  yang terbaik berasnya ditanak menjadi nasi  pulen dan  harum sudah menjadi mata dagangan Pulau ini  sejak itu, juga kerena surplus cukup  besar, mungkin saat itu julukan Jawa (juwawut – padi padian)  diberikan  kepada pulau ini 
Ke Pualu Jawa didatangkan dari India jenis kerbau yang lebih besar Bubalus anee L  lebih besar dari Bubalus mindoroensis L yan kini masih umum dipelihara di Phillipina, para Ksatria membangun hierarchy Pemerintahan dan menugaskan kaum Brahmana merancang sistim pengairan beserta organisasi “exploitation and maintenance” saluran pengairan dan bendung bendung, yang sampai kini menjadi sistim yang unggul yaitu sistim pertanian  “Subak” di Bali , bukan saja menyangkut air pengairan tetapi juga “pranoto mongso” waktu waktu yang tepat untuk mulai bertanam berbagai tanaman di lahan sawah, maka tercipta pola  pergiliran tanaman yang  tecatat rapi  merupakan hasil pengamatan ribuan tahun dihubungkan dengan peredaran  rasi rasi bintang dan orbit Bumi –  dikerjakan oleh para Brahmana  dari generasi ke generasi,  begitu rupa sehingga ciri khas setiap lokasi  sistim  saluran pengairan  mempunyai  pranata mongso yang  `mampu menjamin hasil optimal dari seluruh  wilayahnya, begitulah tidak ada anggauta Subak yang semaunya menanami lahan sawahnya dengan budidaya yang dipilihnya sendiri masing masing, saat dan pilihan  budidaya  diperhitungkan  oleh Pimpinan Subak.  Sistim petanian Subak di Bali  sama dengan sistim pertanian dengan pengairan di Jawa Dwipa,  Disiplin  patuh pada aturan masyarakat ini dasar Budaya  Petani  yang merupakan mayoritas  penduduk Jawa Dwipa zaman itu jauh sebelum “ Techniek van Irrigatie” ditrapkan untuk Tebu.
Tidak mengherankan bila situs situs  Kota Raja ada di lereng lereng gunung dengan elevasi 400 m – 600 m diatas muka laut  sangat  sering ditandai,  seperti di Panjalu,  Jawa Barat,  di Pikatan  wilayah Temanggung Jawa Tengah,  Prambanan Yogya, Singhasari Jawa Timur, dimana anak sungai masih dapat dengan mudah dibendung dan airnya dialirkan sepanjang punggung lereng tempat tertinggi yang melandai ke bawah, dengan pertolongan aliran air itu  pencetakan petak petak sawah ber- undak,  bertingkat tingkat kebawah dapat di kerjakan dengan tenaga dan teknologi yang ada saat itu. Bendung dan sistim saluran pengairan  beserta jadwal pembagian air di selenggarakan  petani sendiri, dibawah pimpinan   para  Brahmana yang  ndak mempan disuap dan tidak pilih kasih, begitu pula dalam mengemban tugasnya yang tak kurang penting yaitu menentukan besarnya “pajak” yang tidak pernah memberatkan petani. Para Brahmana ini  mampu menetapkan  dengan akurat jadwal dan jumlah distribusi air  ke setiap petak  milik masyarakat tani pemakai air atas nama Raja, menjadikan Raja Raja di Jawa Dwipa  di anggap “Trahing Kusuma Rembesing madu, tedhaking handana warih” yang artinya pernah disajikan di Majalah ini: Keturunan bunga Surgawi  yang mengalir darinya madu kehidupan dan Penerus keturunan pemberi  air pengairan –  Begitulah hingga sekarang ideal stereotype dari Ksatria di pulau Jawa, diharapkan melekat pada Pengemban Kekuasaan, yang didambakan  tapi belum pernah datang. Sejak Sang Erlangga.
 Selain itu dijuluki Ksatria  Sabrang, Bhuta Cakil. Sebangsa Cyrus Cakil, yang di Pewayangan suka lagak, membentak bentak  tapi tidak sakti, Bhuto Gayus Galiuk, semua dari golongan bangsa raksasa rendahan yang kepalanya botak perutnya besar jauh dari sakti, suka harta   melebihi tuannya  Maharaja bangsa raksasa malah masih  menguasai Nusa Jawa karena memang lahir dari  di kepundan Gunung  Merapi – Sang Super pecinta Harta, yang “daripada” badannya selalu berbau belerang,  mangkat, setiap tetes lendir daripada jazadnya “aken” berubah menjadi Bhuta   Cakil dan Galiuk “semangkin” beribu ribu , hinga sekarang  melekat seperti jelaga diseantero Nusantara menutupi matahari.  Jelaga ini akan tercuci  sampai pertanda surja sangkala : ” su-Kerta-ning Bhumi Sirna dening Ogha-ning kawula.” Artinya ( jelaga keringat dan lendirnya Sang Superpecinta Harta yang menjadi Bhuta  Yaksa  yang menutupi Nusantara akan terkikis habis pada tahun surya tersandi pada surya sangkala diatas), begitulah yang tertera pada Prasasti yang ditemukan di Gayungsari  - Terung (sekarang Surabaya) , baru tahun ini.
Tokoh tokoh penjilmaan lendir  mayat Rahwana  ini bukan idealnya penghuni Jawa Dwipa.(*)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More