Pohon Jati (Tectona Grandis L) Sebagi saksi Perkembangan Ilmu Pertanian di Iidonesia, Masih Berlandaskan Alur Pemikiran Para Perintisnya : Sarjana dari Lingkungan Sub –Tropis.
Perintis perkembangan Ilmu Pertanian tropik di Hindia Belanda mengikuti falsafah ilmu yang diterima secara luas saat itu terutama sesudah era Renaissance, kebangkitan dari zaman gelap, yaitu objectivitas penelitian yang sudah banyak terbebas dari takhayul/prasangka, metoda ini berkembang sangat pesat dan membuahkan banyak penemuan untuk pedoman praktek budidaya tanaman maupun hewan., terutama setelah ditemukannya microscope, meskipun, hingga dua abad terakhir setelah teori Evolusi yang dengan gamblang ditegaskan oleh karya-karya dari hasil expedisi dan penelitian Charles Darwin masih dilempar kesana kesini seperti kentang panas.
Dampak keraguan terhadap teori Darwin yang melihat kehidupan dan alam lingkungan hidup saling bertaut seperti apa adanya yang tersirat dalam teori Evolusi sangat menghambat pekembangan ilmu-ilmu yang sangat dekat dengan ilmu Pertanian.
Sedangkan pengetahuan nenek moyang kita yang selamanya bertani di suasana tropis adalah hasil pengamatan sangat panjang turun-temurun yang pokok nalarnya dimulai dari lingkungan makro kosmos, padi dimulai dari Dewi Sri, serangan hama mulai dari posisi rasi bintang Wuluh terhadap rasi bintang Waluku dsb. Mungkin banyak mengena tapi sulit di runut hubungannya.
Sebaliknya, tentang tinjauan kembali pengaruh ekology yang membentuk species liar yang telah jutaan tahun - terhadap pendekatan agroteknik species species tersebut setelah menjelma menjadi species budi daya yang sekilas sudah jauh berbeda dari nenek moyangnya, tidak selalu konsisten secara sistimatis dilakukan.
Begitu juga yang terjadi di bidang peternakan, tumbuhan hamparan, padang rerumputan semak atau perdu atau pohon dari kawasan tropik.
Misalnya, lingkungan tropis memberikan temperature dan kelembaban, hujan dan penyinaran matahari, mendukung kehidupan tumbuh tumbuhan sepanjang tahun, pasti setiap jengkal tanah dengan seberkas sinar matahari ditempati oleh tumbuhan apapun, silih berganti, jadi setiap individu species selalu punya tetangga species lain secara acak dan alami.
Tumbuhan/organisme apa saja yang bisa menjadi simbion-simbion masing masing budidaya tropik , dan tumbuhan / organisme apa yang tidak cocok saling mengganggu?
Sedangkan di wilayah dari sub tropic hingga ke sub arctic hamparan baik padang padang dan hutan, bisa hanya ditumbuhi beberapa species yang dominan saja secara alami.
Sejak perpindahan bangsa bangsa zaman batu halus, zaman perunggu, dari benua Asia sudah datang puak puak suku Dravida, Khmer, Burma. yang mungkin membawa benih dan hewan piaraan mereka termasuk biji dan keguanaan kayu jati. Penanaman kayu ini dilakukan di bekas lahan huma, kemudian ditinggalkan untuk tumbuh sendiri ini bisa terjadi sudah ribuan tahun yang lalu.
Sepanjang perjalanan sejarah mulai masa itu, kegunaan kayu jati makin disadari dan makin dibutuhkan karena ternyata kayu jati sangat tahan air laut, dan sangat bagus untuk lunas dan lambung perahu perahu besar yang selalu terendam air laut, seingga kerang-kerangan dan semacannya cacing laut yang bisa mengebor dan menghancurkan lunas dan lambung perahu dalam waktu yang singkat, adalah musuh para Juragan dan nakhoda perahu perahu besar yang berlayar menyeberang samudra berbulan bulan mengangkut muatan yang bernilai sangat tinggi, bisa tiba-tiba hancur di tengah pelayaran di luar perhitungan, kecuali bila lunas dan lambung perahu itu dibuat dari kayu jati, atau di-cat dengan cat yang baru ada pada jaman industrial.
Sejarah kerajaan di Jawa menunjukkan bahwa kayu jati merupakan komoditas export yang ada dongengnya sendiri sehingga ada ribuan nama tempat di pulau Jawa dengan nama “Jati” dirangkai dengan kata sifat yang lain, “jati” apa saja ada, bahkan ada puluhan nama tempat di Ibu Kota RI memakai nama “jati” hingga kini.
Yang paling terkenal adalah “Linggarjati” tempat Perundingan antara Van Mook dan Syahrir, pada era perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, dan tiga tahun yang lalu “Jatinangor” jadi sangat terkenal, tempat APDN - Akademi Pemerintahan Dalam Negeri mencetak calon Camat dan Sekda zaman Orde Baru di gembleng jadi tukang pukul – ketahuan selalu ada yang mati dipukuli setiap tahun ajaran baru.
Ya maklum, kekerasan adalah ikon zaman militerisme
Begitulah sebenarnya di pulau Jawa tegakan jati di hutan manapun adalah tanaman orang, bukan tumbuh secara acak sebagai kayu rimba. Di Kalimantan pembalak liar maupun perampok resmi jutaan hectare rimba raya tropic kadang hutan rimba primer – tidak pernah ‘nemu’ pokok jati. Di Lampung dan Bengkulu ada tapi tanaman Perhutani/Inhutani (Badan Usaha Milik Negara), begitu pula di Bali dan Sulawesi/ kep. Muna dan P.Buton.
Di di India belakang, populasi tegakan pohon jati alami paling hanya ada lima sangat jarang sampai sepuluh pohon setiap hectare hutan tropis, yang umurnya sampai ratusan tahun, itupun dari hamparan hutan tropis dengan elevasi sampai maximum 500 meter di atas muka laut dan type tanah yang berkembang di atas batuan kapur atau sand stone karena jati tidak suka tanah becek.
Akhirnya Hidalgo Portugis, Don Spanyol tahu tentang kehebatan kayu jati untuk lunas dan lambung galleon galleon mereka, kemudian baru para Edelheer Belanda dari VOC yang diajari oleh pembuat “Jung” dari Tiga Bukit Naga nama Indonesianya San Pao Lung - (sekarang Semarang-) dulu semua penduduknya adalah Cina mayoritas Islam tukang kayu pembuat “jung” yang berlunas datar dan layar dibentangkan dengan “kerai” batang batang bamboo yang khas.
Walhasil, sesudah perang Diponegoro, tuan besar Houtvester mulai membuat rencana “penanaman” hutan jati secara besar besaran, memanfaatkan kemiskinan petani di Pegunungan Kendeng utara pulau Jawa antara lain di wilayah Blora yang kurus, dijadikan “pesanggem”
Artinya sekeluarga petani yang di izinkan menanam jagung, padi gogo dan palawija lainnya ditanah Kanjeng Gubermen gratis, asal sanggem (sanggup) pada tahun itu juga harus menanaminya dengan semaian pohon jati sebanyak 10.000 bibit per-hektar juga tanpa diupah, semaian itu harus dipelihara hingga sela selanya tidak mungkin ditanami apapun karena sudah terlalu naung/rimbun, keluarga petani pesanggem itu harus pindah ke tempat yang baru yang berasal dari rimba atau hutan Jati yang telah gundul dipanen, begitulah bergenerasi-generasi, menanam hutan jati punya Kanjeng Gubermen.
Sering dikerahkan tenaganya untuk memelihara tanaman jati yang umurnya diatas sepuluh tahun, “ndarung”/ mendirikan gubug ditempat itu beberapa bulan.
Hingga Tuan Besar Houtvester ke V (yang Kelima) “hutan jati” sudah mencapai jutaan hectare, sedangkan panen yang ditebangi dan dijual selama seratus limapuluh tahun pertama penjajahan adalah tanaman-nya para Kiageng , Lurah Pangalasan dan para Wali pulau Jawa, Sunan “Gunung Jati” di Cirebon – Beliau Penguasa setara Sultan, beliau juga Penyebar Agama Islam tahap pertama di Pulau Jawa dan penanam jati di HPH nya sendiri mungkin juga saudagar gelondong/ log jati.
Bedanya dengan tuan Besar Houtvester van Holland, waktu itu pohon jati ditanam diantara tegakan pohon yang lain dikebun kebun buah buahan dan kelapa, dibiarkan bertetangga dengan kayu dan semak semak yang lain, sseolah olah seperti hutan.
Tidak ada problem apa apa hingga ditebang oleh Meneer VOC
gelondong berdiameter antara 80 cm sepanjang 12 m lurus tidak ada cacat dan lubang rongga, dan “kebun” ini kemudiasn dirampas Pemerintah Hindia Belanda, dianggap hutan milik Kanjeng Gubermen.
Tuan Houtvester berunding dengan tuan Landbauw Ingineurs di Wageningen dihadiri Der Majesteit memutuskan menggunakan “monocultuur” hutan jati, kenapa tidak, kan hutan “beryoza”/birch, hutan “sosna”/Pinus silvestris L juga monocultuur sech ?
Sejak itu Sultan, Wali, Ki Ageng, Lurah, Rakyat dilarang menanam kayu jati, bahkan hingga Republik Indonesia detik ini, rakyat harus mohon izin Bupati bila akan menebang pohon jati yang tumbuh dari tanaman di halaman atau kebunnya sendiri !
Ini ada dongengnya sendiri, pokoknya tegakan jati bisa dipanen usia mulai 60 tahun bila untung bisa mencapai seratus batang setiap hectare, karena hasil tanaman a’la Baron Sekeber (mungkin maksudnya Baron Von Houtvester) tegakan jati yang sepanjang usianya lebih dari 60 tahun selalu dijaga dari hama pembuat lubang dan rongga di batang kayu jati dijadikan sarang koloni-nya Neotermes Tectonae – satu familia dengan rayap, hama ini ganas sekali dihutan jati sang Baron Sekeber, saban tahun ada “laron” yang jumlahnya hampir ribuan dari setiap pohon yang terserang, terbang untuk mencari rumah baru, begitu pohon jati terserang begitu harus ditebang, bila ketahuan.
Sedangkan zaman sebelumnya pohon jati ada diantara pepohonan yang lain, mungkin bisa lebih menarik laron Neotermes tectonae dan disana ada binatang musuh alami maupun cendawan musuh bebuyutan bangsa serangga, sehingga meskipun populasi jati setiap luasan lebih sedikit, tapi tanpa pemeliharaan, selamat ndak ada yang diserang hama “inger-inger”/ Neotermes tectonae, hama ini mungkin, “di hutan” campuran sudah sangat sedikit populasinya karena tertekan oleh cendawan “pemangsa” serangga, atau si Neothermes lebih senang kayu lain, kan ada pilihan.
Selanjutnya, karena ada murid dari school Vavilov, Dokucayev dan Micurin yang baru tahun 1965 tamat belajar ilmu pertanian dengan dasar Falsafah Hukum Alam adanya kesatuan antara kehidupan dan alam maka dia mulai merasa bahwa falsafah agroteknik secara monoculture adalah hasil pemikiran para cikal bakal – Guru Guru sarjana pertanian dari semua fakultas atau institute Pertanian di Republik yang masih muda ini, berasal dari kawasan empat musim, dan jalan pikiran mereka ini banyak menimbulkan kesulitan di lapangan kawasan tropis.
Malah sekarang, ternyata tanaman lombok ( Capsicum spp ) ditanam secara monoculture dalam luasan sampai berhektar hektar mengikutkan banyak problem, terutama hama, penyakit segala macam yang sebelumnya sewaktu lombok/cabe merah/cabe rawit ( Capsicum spp) ini ditanam di petak petak tanah yang ditinggikan ditengah sawah dekat saung/gubug ( Jawa: stren -pasetren - tempat para istri bertanam kebutuhan dapur) bercampur baur dengan tanamanan sayur lainnya, terpencar pencar dihamparan sawah, selamanya ya aman aman saja, setiap pekan dipanen dan dibawa ke pasar.
Tanaman kopi yang diminum sebagai “kahwo” dalam bahasa Jawa, adalah hasil introduksi oleh pedagang Arab kerabat Sinbad si Pelaut, ke Nusantara, disana minuman kopi namanya ya “kahwa”.
Di kebun Pak Suto, Pak Bo’im, java coffee ini dengan sendirinya ditanam dibawah naungan segala tanaman yang posture nya lebih tinggi dari perdu Java coffee ( Coffea arabica L ), bisa dibawah tanaman pete, jengkol, bisa pauh, bisa cempedak, yang dikebun kebun Petani tumbuh meninggi menggapai langit seperti tegakan hutan tropis, karena asal nenek moyang kopi ini adalah daerah Afrika yang berbatasan dengan teluk Aden, yang juga hutan tropis, kebun Pak Suto dan Pak Bo’im langsung cocok, saat tuan VOC datang tidak ada problem apapun pada budidaya kopi di Jawa, oleh Cultuur Stelsel kopi diperluas, dengan tergesa gesa, memang diberi pohon naungan tapi asal asalan, turi ( Sesbania grandiflora L ) dan gude (Cajanus spp ) pun jadi, akhirnya fungsi naungan tidak awet/ umurnya lebih pendek dari yang dinaungi, timbul-lah wabah cendawan yang menghancurkan semua tanaman kopi (Coffea Arabica L) di dataran rendah, tertinggal di dataran tinggi, misalnya di Takengon, di Dataran tinggi Ijen, di Tanah Toraja begitu dingin sehingga mungkin spora cendawan Hemelea vestatrix L/karat daun, tidak mampu meng-inveksi daun kopi.
Akhirnya didatangkan benih kopi asal Uganda dan Kongo yaitu kopi Robusta yang hidup di dataran rendah dan tahan terhadap penyakit karat daun pada seratus limapuluh tahun yang lalu.
Kebun kopi Robusta didataran rendah dinaungi dengan Lamtoro var. L19 (Leuceana spp cultivar L 19, L21 tanpa buah)- tidak pernah ada problem hama.
Perkebunan besar kopi milik Negara (BUMN) di Jawa Timur, karena hutang kepada Bank Dunia, tahun delapan puluhan “dinasihati” oleh Consultant Bank Dunia untuk membabat seluruh naungan lamtoro dan memupuk berat, disiram dengan pengairan “sprinkler”/ percikan dari atas, hasilnya meningkat selama dua tahun hampir dua kali lipat dari biasanya, sesudah itu diserang hama kutu putih ( Planodococcus citri Risso / dompolan luis - Belanda) dan akhirnya pada mati karena sebab yang bagi Consultant bule ndak jelas.
Ternyata banyak budidaya hamparan (tanaman semusim) yang memang harus dicarikan tetangga yang bisa saling melindungi dan bersimbiose sebagaimana hidup nenek moyang mereka yang liar di hutan hutan dan padang padang rumput campuran segala macam tumbuhan khas suasana tropis.
Cara bercocok taman dengan monoculture masih bisa dilaksanakan asal ada pergiliran tanaman ( bisa pada tanaman musiman). Maksudnya agar pengambilan hara tanah tidak yang itu itu saja sepanjang waktu, perakaran akan lebih sehat karena ada tenggang waktu digilir oleh perakaran budidaya species lain, sedangkan di kondisi musim dingin di kawasan sub tropik memang ada waktu istiahat tapi di bawah tanah masih ada kegiatan bacteria, cendawan selama musim dingin masih menguraikan segala sisa dan racun yang terbentuk pada musim semi dan musim panas yang baru lewat.
Multiple cropping atau tumpang sari adalah keadaan ideal untuk pertanian di lahan tropis, kurang mendapat perhatian dalam program pendalaman pengembangannya di Ilmu Pertanian di Negeri ini. Apalagi pencarian simbion simbion tanaman budi daya tropis yang berupa species-species bakteri, cendawan, tumbuhan liar, tumbuhan budidaya, agar pas dengan suasana asal tanaman budidaya tropis.
Ya maklum Guru dari Guru - Guru mereka tidak mengilhami tentang ini.
Begitulah pokok kayu jati bisa menjadi saksi. (*)
0 comments:
Posting Komentar