Setiap Petani harus mempertaruhkan modal dan nafkahnya di alam terbuka di bawah terik matahari, hujan, angin dan semua kekuatan alam yang sering menjadi ganas mendadak tanpa bisa ditebak, selama paling cepat 120 hari rata2 sampai panen, karena tanaman memang hidup dengan alam bebas, campur tangan manusia -tani melainkan hanya sedikit, apalagi Petani tradisional, 80% nafkahnya bergantung kepada alam. Alam juga memberi waktu paling baik untuk menanam dan untuk panen, disinilah hukum ekonomi “harga adalah iteraksi antara penawaran dan permintaan” sangat membatasi Petani memperoleh harga yang baik karena panen yang hampir bersamaan.
Cerita ini mengenai Petani tradisional penanam tembakau di Kedu.
Banyak orang perpendapat bahwa tembakau di-introduksikan di Bumi Nusantara oleh Penjelajah Portugis (belum menjajah 100%) dibawa dari Amerika Selatan, karena nama tembakau adalah nama yang diberikan oleh Pedagang/Penjelajah yaitu “tobacco”. Nama umumnya Nicotiana Tabacum L
Tapi ada nama lain dalam bahasa Jawa yang sangat tidak mirip dengan nama yang diberikan oleh orang Portugis yaitu “Sata”, jawanya : Soto (vocal "o" dengan bacaan : Oncom-red).
Bisa jadi tanaman budidaya ini memang dibawa dari negeri asalnya Benua Amerika Selatan, tapi jauh sebelum Penjelajah samudra bangsa Portugis datang, yaitu oleh Penjelajah salah satu suku di Amerika Selatan, seperti yang pernah didemonstrasikan oleh pelayaran rakit kayu balsa tanpa paku dari logam dan tali temali nylon, rakit Kon Tiki – oleh Peneliti dari Europa Utara, dilayarkan dari pantai Peru utara menyeberang samudra Pacific sampai kepulauan dekat Irian, setengah abad yang lalu. Jadi telah dibuktikan bisa terjadi adanya pelayaran menyeberang samudra Pacific paling tidak semenjak zaman Perunggu.
Ada petunjuk yang masuk akal bahwa tembakau Kedu sudah menjadi mata dagangan yang sangat penting sejak zaman Hindu.
Wilayah Kedu, lereng landai dengan ketinggian antara 700 m – 1000 m diatas air laut, diantara gunung Sindara dan Sumbing di Jawa Tengah, ada kota kecil Kledung, dengan vocal “e” dari “Emilia”. Kledung adalah juga nama dari buah Persimon nama latinnya Dryospiros Khaki L, atau nama lainnya di pulau Jawa Kesemek dengan “e” seperti “empuk”, buah ini hanya tumbuh di ketinggian pegunungan hingga 1200 m. ( di Bogor dan sekitarnya tidak ada tanaman ini)
Kota ini sudah menjadi hunian sangat tua ditandai dengan banyaknya situs peninggalan candi2 Hindu disekitarnya.
Kledung tanaman berasal dari Cina, yang harus dikembang biak-kan dari stek akar, karena buahnya tidak berbiji, karena tidak berbiji, buah ini tidak mungkin tersebar secara alami oleh migrasi burung burung liar, terbawa tinjanya.
Jadi pendatang dari Cinalah yang sengaja membawa bibit stek akar buah Persimon ini ke pemukiman yang baru paling tidak sejak candi-candi itu dibangun di sana, karena budidaya tembakau memerlukan pemeliharaan lebih teliti dan hamparaan lahan terbuka, bukan sekedar budidaya huma.
Mereka datang kesana berdagang dan ikut menanam Tembakau juga Moxa atau Klembak, inipun obat2an Cina.
Oleh pengaruh pendatang India penduduk pulau Jawa waktu itu sudah makan sirih dan mengunyah tembakau ( tembakau susur}, dan tembakau Kedu sudah diperdagangkan seantero Nusantara searah dengan pengaruh Hindu.
Tembakau Kedu juga sangat diminati oleh suku2 bangsa Indo Cina – Campa sebagai tembakau kunyah ( susur) teman makan sirih, sampai kini.
Sejak itulah kota kecil Kledung dihuni oleh pedagang dari Cina dan keturunannya, terutama untuk budidaya tembakau dan perdagangan export ke Asia Tenggara, dengan untung besar.
Sektor perdagangan ini terlewatkan oleh Pedagang dari Europa.
Belakangan dengan menggila nya industri rokok kretek, tembakau Kedhu dipakai untuk campuran yang sangat penting dalam tembakau sigaret kretek yang produksinya milyaran batang setiap tahun, berkat dukungan industri kimia, pengawet, pelembab dan ninyak atsiri sintetis/ essences dari Jerman dan Perancis.
Nitisemito, perintis industri rokok kretek di kota Kudus, tahun tigapuluh lima –an sangat tidak berarti dibandingkan dengan salah satu saja Pabrik rokok kretek masa kini, sigaret kretek waktu itu mudah rusak mutunya oleh proses perdagangan dan distribusi, sangat membatasi berkembangnya brand name’s loyality karena “kecanduan”, selanjutnya membatasi volume penjualan.
Begitulah maka areal tembakau Kedu kini mencapai 15 000 Ha lebih.
Bukan Pedagang Tengkulak namanya kalau tidak nakal dan licik.
Nasib lebih dari 40 ribu keluarga Petani di lereng Kedu-lah yang jadi obyek kelicikan yang sangat canggih.
Setiap musim tembakau di Kedu, selalu terjadi ada beberapa kilo atau puluhan kilogram, jarang sekali sampai ratusan kilogram, daun tembakau setelah diproses oleh para Petani yaitu dirajang dan dijemur terus diperam , berubah menjadi substansi semacan aspal yang gelap dan lengket. beraroma tembakau yang pekat.
Tengkulak tembakau bersedia membeli tembakau ini yang dinamakan tembakau “Srintil” (arti harfiahnya tai kambing) dengan harga yang sangat tinggi setara dengan emas sampai beberapa puluh gram setiap kilogram Srintil ini.
Jadi sering ada Petani tembakau di Kedu yang jadi kaya mendadak gara-gara tembakau yang diperamnya ada yang menjadi tembakau Srintil.
Tembakau, setelah ditanam susah payah dan diproses menjadi mata dagangan, makan waktu hampir lima bulan , selain dijual kepada tengkulak tidak pernah jadi uang dengan cara lain, mau dikemanain ? Tembakau bukan bahan makanan, ternakpun tidak mau.
Sedangkan harga tembakau rajang sangat tergantung dari “mutu” yang ditetapkan oleh para Tengkulak dan Gudang. Apabila ada 10 % saja dari sekian ribu ton tembakau ini “dianggap” baik dan dinilai dengan harga baik, itu merupakan keberuntngan daerah itu, sisanya yang lain ya tidak lebih mendapat harga permainan para Tengkulak saja, karena “mutu” tembakau dibuat sangat subyektip, rahasia Tong mereka.
Para Tengkulak yang sudah puluhan generasi di Kedu sangat mengetahui, berapa beaya hidup Petani selama menunggu selesai panen padi tahun berikutnya., sekedar buat bernafas, segitulah harga rata2 tembakau Kedu atau bisa lebih rendah, adapun yang 10 % mendapat harga bagus ya cincay la, mereka, wana-Petani itu toh perlu mengawinkan anaknya, itung itung beramal.
Setiap tahun waktu tembakau harus dijual ke Gudang dan Pedagang, para petani tembakau berdondong –bondong membawa berkeranjang keranjang tembakaunya ke Gudang-Gudang dan mansions para Pegagang, mereka mengantre sambil duduk bersila manis ditanah memadati halaman yang luas, menanti minat sang Tuan untuk menimbang tembakaunya yang tentu saja dengan “revaksi” artinya potongan tara yang kejam dan harga akan deketahui menjelang sore, andaikata tidak cocok ya silahkan bawa pulang.
Sedangkan Si Srintil, sampai sekarang bahkan Lembaga Penelitian Tanaman Tembakau tidak menemukan alasan yang masuk akal untuk harga setinggi itu, meskipun analisa kimiawi sudah sangat canggih.
Seperti zaman Nalo dan Hwa Hwe tahun 70-han, waktu itu orang sering mendapat bisikan dari “Orang Pintar” yang mndadak berkeliaran dimana mana, karena mereka memang disewa untuk melakonkan jadi Dukun. Bahkan sampai terbawa mimpi, bisa dikonversi menjadi nomer yang bakal keluar dengan hadiah 60 kali lipat, sulit masuk akal.
Lantas banyak orang tergoda untuk mendapat rezeki nomplok, dan Penulis pun pernah bermimpi dikejar oleh orang Madura membawa clurit (sabit besar) yang bisa ditafsir oleh Maniak -Nalo sebagai angka 35, jadi Penulis pasang 35 dan 53 benar saja yang keluar angka 35, lumayan buat wakuncar ( wajib kunjung pacar) ke Yogya,( waktu itu Penulis masih umur 33 tahun belum kawin, boro-boro). Habis itu, suwer, saya ndak pernah pasang nomer lagi, haram hukumnya – istri saya muslimah mertua saya guru.
Pantas saja di Kedu setiap musim masih ada saja ribuan Ha. Tanaman tembakau, dan Petani tembakau disana tetap melarat. Sementara para anak cucu tengkulak tembakau sudah berkantor di Condominium Apartment mewah di Jakarta, membuat srintil2 dari Calek (ini pake “k” lho) dan Calon2 apa saja, apalagi kalok ndak mencari keuntungan dengan berjudi, setengah mencuri ?
Setiap Petani di Kedu saban musim tanam tembakau seluruh keluarga kerasukan mimpi mendapatkan panen tembakau yang menjadi tembakau srintil.
Bila tidak, semoga tahun depan.
Sehingga tidak mengherankan bila setiap musin selalu saja ada lebih dari 10 000 Ha. Tanaman tembakau diwilayah Kedu, 40 ribu jiwa terlibat judi yang sia sia.
Yang jelas setiap tahun Tembakau Kedu masuk ke gudang2 raksasa pabrik rokok kretek , stock masih cukup untuk lima tahun produksi, Tuan ini baik hati masih mau membeli tembakau dan petani selalu menggerutu mengenai harga, sedangkan Pedagang selalu mengeluh mengenai mutu. Perokok makin bertambah, merambah ke usia sekolah.
Malah ada yang curiga BLT UKM (Bantuan langsung Tunai Untuk Keluarga Miskin sebesar 200 000 rupiah/keluarga /bulan, tahun 2009 terlaksana beberapa bulan saja) malah dibelikan rokok.
Konon di Thailand semua Perusahaan Rokok adalah milik Kerajaan, sebagian keuntungan yang masuk untuk membeayai R&D Hortikultura di Royal Orchard, sudah ber tahun tahun
Kiranya Raja dari Monarchy Kuno keturunan Rama lebih terpercaya dari Dinasty Pedagang meskipun sudah menyandang nama Brahmana Mpu Sastrawan (*)
Cerita ini mengenai Petani tradisional penanam tembakau di Kedu.
Banyak orang perpendapat bahwa tembakau di-introduksikan di Bumi Nusantara oleh Penjelajah Portugis (belum menjajah 100%) dibawa dari Amerika Selatan, karena nama tembakau adalah nama yang diberikan oleh Pedagang/Penjelajah yaitu “tobacco”. Nama umumnya Nicotiana Tabacum L
Tapi ada nama lain dalam bahasa Jawa yang sangat tidak mirip dengan nama yang diberikan oleh orang Portugis yaitu “Sata”, jawanya : Soto (vocal "o" dengan bacaan : Oncom-red).
Bisa jadi tanaman budidaya ini memang dibawa dari negeri asalnya Benua Amerika Selatan, tapi jauh sebelum Penjelajah samudra bangsa Portugis datang, yaitu oleh Penjelajah salah satu suku di Amerika Selatan, seperti yang pernah didemonstrasikan oleh pelayaran rakit kayu balsa tanpa paku dari logam dan tali temali nylon, rakit Kon Tiki – oleh Peneliti dari Europa Utara, dilayarkan dari pantai Peru utara menyeberang samudra Pacific sampai kepulauan dekat Irian, setengah abad yang lalu. Jadi telah dibuktikan bisa terjadi adanya pelayaran menyeberang samudra Pacific paling tidak semenjak zaman Perunggu.
Ada petunjuk yang masuk akal bahwa tembakau Kedu sudah menjadi mata dagangan yang sangat penting sejak zaman Hindu.
Wilayah Kedu, lereng landai dengan ketinggian antara 700 m – 1000 m diatas air laut, diantara gunung Sindara dan Sumbing di Jawa Tengah, ada kota kecil Kledung, dengan vocal “e” dari “Emilia”. Kledung adalah juga nama dari buah Persimon nama latinnya Dryospiros Khaki L, atau nama lainnya di pulau Jawa Kesemek dengan “e” seperti “empuk”, buah ini hanya tumbuh di ketinggian pegunungan hingga 1200 m. ( di Bogor dan sekitarnya tidak ada tanaman ini)
Kota ini sudah menjadi hunian sangat tua ditandai dengan banyaknya situs peninggalan candi2 Hindu disekitarnya.
Kledung tanaman berasal dari Cina, yang harus dikembang biak-kan dari stek akar, karena buahnya tidak berbiji, karena tidak berbiji, buah ini tidak mungkin tersebar secara alami oleh migrasi burung burung liar, terbawa tinjanya.
Jadi pendatang dari Cinalah yang sengaja membawa bibit stek akar buah Persimon ini ke pemukiman yang baru paling tidak sejak candi-candi itu dibangun di sana, karena budidaya tembakau memerlukan pemeliharaan lebih teliti dan hamparaan lahan terbuka, bukan sekedar budidaya huma.
Mereka datang kesana berdagang dan ikut menanam Tembakau juga Moxa atau Klembak, inipun obat2an Cina.
Oleh pengaruh pendatang India penduduk pulau Jawa waktu itu sudah makan sirih dan mengunyah tembakau ( tembakau susur}, dan tembakau Kedu sudah diperdagangkan seantero Nusantara searah dengan pengaruh Hindu.
Tembakau Kedu juga sangat diminati oleh suku2 bangsa Indo Cina – Campa sebagai tembakau kunyah ( susur) teman makan sirih, sampai kini.
Sejak itulah kota kecil Kledung dihuni oleh pedagang dari Cina dan keturunannya, terutama untuk budidaya tembakau dan perdagangan export ke Asia Tenggara, dengan untung besar.
Sektor perdagangan ini terlewatkan oleh Pedagang dari Europa.
Belakangan dengan menggila nya industri rokok kretek, tembakau Kedhu dipakai untuk campuran yang sangat penting dalam tembakau sigaret kretek yang produksinya milyaran batang setiap tahun, berkat dukungan industri kimia, pengawet, pelembab dan ninyak atsiri sintetis/ essences dari Jerman dan Perancis.
Nitisemito, perintis industri rokok kretek di kota Kudus, tahun tigapuluh lima –an sangat tidak berarti dibandingkan dengan salah satu saja Pabrik rokok kretek masa kini, sigaret kretek waktu itu mudah rusak mutunya oleh proses perdagangan dan distribusi, sangat membatasi berkembangnya brand name’s loyality karena “kecanduan”, selanjutnya membatasi volume penjualan.
Begitulah maka areal tembakau Kedu kini mencapai 15 000 Ha lebih.
Bukan Pedagang Tengkulak namanya kalau tidak nakal dan licik.
Nasib lebih dari 40 ribu keluarga Petani di lereng Kedu-lah yang jadi obyek kelicikan yang sangat canggih.
Setiap musim tembakau di Kedu, selalu terjadi ada beberapa kilo atau puluhan kilogram, jarang sekali sampai ratusan kilogram, daun tembakau setelah diproses oleh para Petani yaitu dirajang dan dijemur terus diperam , berubah menjadi substansi semacan aspal yang gelap dan lengket. beraroma tembakau yang pekat.
Tengkulak tembakau bersedia membeli tembakau ini yang dinamakan tembakau “Srintil” (arti harfiahnya tai kambing) dengan harga yang sangat tinggi setara dengan emas sampai beberapa puluh gram setiap kilogram Srintil ini.
Jadi sering ada Petani tembakau di Kedu yang jadi kaya mendadak gara-gara tembakau yang diperamnya ada yang menjadi tembakau Srintil.
Tembakau, setelah ditanam susah payah dan diproses menjadi mata dagangan, makan waktu hampir lima bulan , selain dijual kepada tengkulak tidak pernah jadi uang dengan cara lain, mau dikemanain ? Tembakau bukan bahan makanan, ternakpun tidak mau.
Sedangkan harga tembakau rajang sangat tergantung dari “mutu” yang ditetapkan oleh para Tengkulak dan Gudang. Apabila ada 10 % saja dari sekian ribu ton tembakau ini “dianggap” baik dan dinilai dengan harga baik, itu merupakan keberuntngan daerah itu, sisanya yang lain ya tidak lebih mendapat harga permainan para Tengkulak saja, karena “mutu” tembakau dibuat sangat subyektip, rahasia Tong mereka.
Para Tengkulak yang sudah puluhan generasi di Kedu sangat mengetahui, berapa beaya hidup Petani selama menunggu selesai panen padi tahun berikutnya., sekedar buat bernafas, segitulah harga rata2 tembakau Kedu atau bisa lebih rendah, adapun yang 10 % mendapat harga bagus ya cincay la, mereka, wana-Petani itu toh perlu mengawinkan anaknya, itung itung beramal.
Setiap tahun waktu tembakau harus dijual ke Gudang dan Pedagang, para petani tembakau berdondong –bondong membawa berkeranjang keranjang tembakaunya ke Gudang-Gudang dan mansions para Pegagang, mereka mengantre sambil duduk bersila manis ditanah memadati halaman yang luas, menanti minat sang Tuan untuk menimbang tembakaunya yang tentu saja dengan “revaksi” artinya potongan tara yang kejam dan harga akan deketahui menjelang sore, andaikata tidak cocok ya silahkan bawa pulang.
Sedangkan Si Srintil, sampai sekarang bahkan Lembaga Penelitian Tanaman Tembakau tidak menemukan alasan yang masuk akal untuk harga setinggi itu, meskipun analisa kimiawi sudah sangat canggih.
Seperti zaman Nalo dan Hwa Hwe tahun 70-han, waktu itu orang sering mendapat bisikan dari “Orang Pintar” yang mndadak berkeliaran dimana mana, karena mereka memang disewa untuk melakonkan jadi Dukun. Bahkan sampai terbawa mimpi, bisa dikonversi menjadi nomer yang bakal keluar dengan hadiah 60 kali lipat, sulit masuk akal.
Lantas banyak orang tergoda untuk mendapat rezeki nomplok, dan Penulis pun pernah bermimpi dikejar oleh orang Madura membawa clurit (sabit besar) yang bisa ditafsir oleh Maniak -Nalo sebagai angka 35, jadi Penulis pasang 35 dan 53 benar saja yang keluar angka 35, lumayan buat wakuncar ( wajib kunjung pacar) ke Yogya,( waktu itu Penulis masih umur 33 tahun belum kawin, boro-boro). Habis itu, suwer, saya ndak pernah pasang nomer lagi, haram hukumnya – istri saya muslimah mertua saya guru.
Pantas saja di Kedu setiap musim masih ada saja ribuan Ha. Tanaman tembakau, dan Petani tembakau disana tetap melarat. Sementara para anak cucu tengkulak tembakau sudah berkantor di Condominium Apartment mewah di Jakarta, membuat srintil2 dari Calek (ini pake “k” lho) dan Calon2 apa saja, apalagi kalok ndak mencari keuntungan dengan berjudi, setengah mencuri ?
Setiap Petani di Kedu saban musim tanam tembakau seluruh keluarga kerasukan mimpi mendapatkan panen tembakau yang menjadi tembakau srintil.
Bila tidak, semoga tahun depan.
Sehingga tidak mengherankan bila setiap musin selalu saja ada lebih dari 10 000 Ha. Tanaman tembakau diwilayah Kedu, 40 ribu jiwa terlibat judi yang sia sia.
Yang jelas setiap tahun Tembakau Kedu masuk ke gudang2 raksasa pabrik rokok kretek , stock masih cukup untuk lima tahun produksi, Tuan ini baik hati masih mau membeli tembakau dan petani selalu menggerutu mengenai harga, sedangkan Pedagang selalu mengeluh mengenai mutu. Perokok makin bertambah, merambah ke usia sekolah.
Malah ada yang curiga BLT UKM (Bantuan langsung Tunai Untuk Keluarga Miskin sebesar 200 000 rupiah/keluarga /bulan, tahun 2009 terlaksana beberapa bulan saja) malah dibelikan rokok.
Konon di Thailand semua Perusahaan Rokok adalah milik Kerajaan, sebagian keuntungan yang masuk untuk membeayai R&D Hortikultura di Royal Orchard, sudah ber tahun tahun
Kiranya Raja dari Monarchy Kuno keturunan Rama lebih terpercaya dari Dinasty Pedagang meskipun sudah menyandang nama Brahmana Mpu Sastrawan (*)
0 comments:
Posting Komentar